Pertemuanku dengan Hasan di Bandara Hang Nadim, Batam, beberapa waktu
yang lalu, akhirnya terus berlanjut. Maklum, Hasan yang mukim di
Tanjung Pinang, kini sedang merintis usaha di bidang rumah makan di
Batam. Yang paling berkesan dari Hasan adalah wajahnya yang sama sekali
tidak pernah berubah. Walau usia sudah menginjak kepala lima, tetapi, ia
benar-benar kelihatan awet muda. Dengan kata lain, wajah Hasan sekarang
sama dengan wajahnya ketika masih duduk di bangku SMA dulu.
Ketika hal itu kutanyakan, dengan nada kelakar ia pun mengatakan:
“Sebagai orang Melayu, aku tergolong taat menjalankan jampi-jampi yang
kuanggap bermanfaat.”
“Maksudnya?” Potongku cepat.
“Ya … yang bermanfaat dengan
bidang yang kugeluti tentunya,” jawabnya sambil tersenyum.
Aku hanya mengangguk-angguk walau tak mengerti dengan apa yang dikatakannya.
Maklum, walau darah Jawa mengalir kental pada setiap pembuluh
darahku, tetapi, keluarga tak pernah menceritakan apalagi mengajarkan
berbagai hal yang berbau mistik.
Ketidakmengertianku akhirnya terjawab ketika pada suatu hari libur Hasan
mengajakku untuk singgah di rumahnya di bilangan Tanjung Pinang setelah
menyeberang dengan “ferry” dan dilanjutkan dengan naik angkot,
akhirnya, kami pun tiba di depan sebuah bangunan rumah dengan model
Melayu.
“Assalamu’alaikum ..” demikian Hasan melakukan uluk salam ketika tiba di depan rumah.
“Wa’alaikumsalam … ayah …,” demikian terdengar suara manja dari seorang anak perempuan yang tengah beranjak dewasa.
Tak lama kemudian, tampak wajah mungil, cantik berkulit putih yang
menghambur ke pelukan Hasan. Sang ayah pun langsung membungkuk dan
mencium gemas pipi kiri dan kanan anaknya.
“Hasanah … kenalkan, ini Om Dirgo, teman ayah ketika masih SMA dulu.
Sekarang ia pindah tugas di Batam,” ujar Hasan.
Hasanah pun mengulurkan tangan sambil menyebutkan namanya.
“Silakan duduk Om,” lanjutnya.
“Dirgo hanya tersenyum. Belum lama duduk, dan ketika matanya menyapu
beberapa foto yang terpampang di dinding, hatinya langsung tercekat.
Betapa tidak, ternyata, Hasan berhasil mempersunting Tuti, sang
primadona di sekolahnya.
Belum lagi terjawab beberapa pertanyaan yang melingkar-lingkar dalam
benaknya. Dirgo kembali tercekat tatkala daun telinganya mendengar
sapaan halus dan merdu; “Dirgo … apa kabar?”
“Baik … baik,” demikian sahut Dirgo sambil menjabat tangan halus yang
diangsurkan oleh tuan rumah.
“Akhirnya …,” hanya itu yang terucap dari mulut Dirgo.
“Ya … akhirnya Hasan yang berhasil menyuntingku. Kegigihannya telah membuat aku jatuh hati kepadanya,” sahut Tuti dengan renyah.
Tuti benar-benar tidak berubah. Selalu ceria sebagaimana waktu
sekolah dulu. Itulah yang membuat kenapa ia memiliki banyak teman dan
dikenal oleh seluruh guru dan siswa mulai dari kelas satu sampai kelas
tiga tak terkecuali para pedagang yang biasa mangkal di sekolah itu.
“Ada apa?” Tanya Hasan sambil duduk dan meminta tolong Tuti untuk menyiapkan minum dan sekadar kudapan.
Tak sampai sepuluh menit, Tuti kembali dengan dua gelas kopi dan
sepiring goreng pisang yang masih panas. “Silakan dicoba …kalau tak
salah ingat, goreng pisang adalah makanan kegemaranmu.”
“Wah … wah …, rasanya seperti waktu sekolah … ya,” demikian sahut Dirgo dengan wajah sumringah.
Tanpa banyak basa-basi, akhirnya, ketiga sahabat itu mulai berceloteh
tentang indahnya masa SMA dulu. Hasanah yang mulai terlibat pun
sesekali menimpali celoteh tersebut dengan istilah-istilah anak zaman
sekarang.
Ketika Tuti menanyakan apakah Dirgo jadi mempersunting Sinta, dengan
wajah dan senyum kecut terdengar jawaban, “Wah… gagal. Kalah cepat sama
Ghafur … aku menikah dengan Alya … adik kelas kita. Anak IPS.”
“Wah … cinta Om Dirgo pernah ditolak ya …,” potong Hasanah, “kenapa tidak
belajar Jampi Wajah Berseri dari ayah,”sambungnya.
“Maksudnya?” Tanya Dirgo penasaran.
“Wah … Om Dirgo tidak tahu kalau kakek dari ayah dan bunda adalah orang pintar, “sahut Hasanah dengan bangga.
Dirgo meminta penjelasan dengan cara menatap wajah Hasan dan Tuti.
Keduanya hanya tersenyum sambil menganggukanggukkan kepala tanda
mengiakan. Hampir bersamaan, pasangan suami istri itu pun berkata,
“Sebagaimana lazimnya keturunan Melayu, aku dan Tuti tergolong taat
mengamalkan jampi-jampi yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari
kami.”
“Oh …,” hanya kata itu yang terlontar dari mulut Dirgo. Keheningan
mulai menyungkupi ruang tamu yang semula dipenuhi dengan gelak tawa.
Yang terdengar hanyalah helaan napas berat Dirgo yang tampaknya tengah
berpikir keras. Melihat hal itu, Hasan dan Tuti seolah tak ingin
mengganggu lamunan Dirgo yang kala itu tengah terbang entah kemana. Dan
tak lama kemudian, setelah menghembuskan napas berat beberapa kali,
Dirgo pun berkata dengan nada penuh harap, “Mungkinkah aku dapat pula
mengamalkan agar target penjualanku dapat tercapai?”
“Kenapa tidak, almarhum ayah telah memberikan izin kepadaku untuk
mengijazahkan ilmu-ilmu yang ada kepada yang berhak dan ingin mengamalkannya,” sahut Hasan mantap.
Dengan wajah sumringah, Dirgo pun mendengarkan apa yang bakal dikatakan
oleh Hasan lebih lanjut. “Yang perlu menjadi perhatian adalah, semua
itu dari Allah SWT … sedang mantra atau jampi hanya merupakan permohonan
kepada-Nya,” tutur Hasan lebih lanjut.
“Oleh karena itu, dekatkanlah selalu diri kita kepada Allah SWT,
Insya Allah, apa yang diminta bakal dikabulkan. Selanjutnya, syukurilah
nikmatnya, maka, engkau bakal mendapatkan yang lebih dari-Nya,” imbuh
Hasan.
“Selanjutnya, janganlah menjadi manusia yang kikir. Ingat, di dalam rezeki
yang kita terima, terdapat sebagian rezeki dari kaum dhuafa. Jika hal
tersebut bisa engkau jalankan dengan ikhlas, maka, aku bisa
mengijazahkan Jampi Wajah Berseri kepadamu,” lanjut Hasan.
Sejenak Dirgo merenung dan akhirnya berkata, “Karena tidak menyimpang
dengan ajaran agama, maka, aku berjanji akan menjalankan apa yang tadi
engkau katakan dengan ikhlas.”
“Baik, nanti setelah mendirikan shalat Isya berjamaah, Jampi Wajah
Berseri akan kuijazahkan kepadamu. Sekarang istirahat dulu, nanti kita
mendirikan Maghrib dan Isya berjamaah di surau itu,” ujar Hasan sambil
menunjuk ke arah selatan rumah.
Singkat cerita, seusai mendirikan shalat Isya berjamaah, Hasan pun
menerangkan tata cara penggunaan Jampi Wajah Berseri sebagai berikut;
usai mendirikan shalat Subuh, seiring dengan mentari terbit, ambil embun
pada dedaunan dengan menggunakan kedua telapak tangan (jika tidak ada,
gunakan segelas air yang diembunkan), kemudian membaca;
Bismillahirrahmanirrahim,
Hai embun mustika embun,
Embun bernama Jalalullah,
Aku memakai mustika embun,
Aku anak aminullah.
“Selain untuk meningkatkan cahaya pada wajah, jampi ini juga
bermanfaat sebagai ilmu pekasih. Oleh karena itu, sebagai seorang
pemimpin divisi marketing, maka, ilmu ini sungguh tepat jika engkau
amalkan dengan istiqomah,” papar Hasan menutup pembicaraan. Dirgo pun
mengangguk. Dan
benar, karena Allah SWT lewat Jampi Wajah Berseri, akhirnya, Dirgo berhasil menjadi salah seorang yang berhasil di bidangnya.
Bahkan, ia mulai dipromosikan untuk menjadi salah seorang pimpinan cabang di Singapura.