Sabtu, 23 Juni 2012
Ilmu Harimau Kakek (oleh: Dawam)
Perjalanan dengan kereta api Jakarta-Blitar kali ini sungguh sangat melelahkan. Bukan hanya penumpang yang berdesak-desakkan seperti ikan tertumpuk dalam kaleng, namun juga mulai Bekasi hingga Tulungagung hujan enggan berhenti. Praktis, suasana dalam gerbong kereta api makin pengap, campur aduk antara bau keringat orang, bau pesing dari toilet yang tidak tertutup serta barang bawaan penumpang yang menyengat hidung.
Karena lelahnya, begitu tiba di rumah kakek, aku langsung ngorok hingga bangun sudah bersamaan dengan mentari bertahta indah di ufuk timur.
“Mimpi apa kamu tadi malam, Ko?” sapa kakek. Begitu aku membuka mata, kakek sudah berada di samping ranjang berderitku.
“Tidak mimpi apapun. Saya tidur sangat nyenyak, Kek. Mungkin karena lelah setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang,” sahutku. “Apa Kakek ingin aku mimpi ketemu Nenek di alamnya sana dan Nenek titip salam buat Kakek?” sambungku dengan nada bercanda.
“Wong orang sudah meninggal kok kirim salam! Nenekmu sudah tenang di alam barzah sana, Ko. Semasa hidupnya dulu dia orang yang tekun ibadahnya, terpuji budi pekertinya serta ibu dan nenek yang baik bagi anak dan cucunya,“ ujar Kakek sambil menepuk-nepuk pundakku.
Aku terdiam mendengar penuturannya. Memang begitulah Nenek yang ak kenal. Itu sebabnya kami semua merasa begitu kehilangan setelah beliau wafat beberapa tahun lalu.
”Jadi anak yang baik. Biar banyak manfaat yang kamu dapat selama menerima amanahNya sebagai khalifah di muka bumi ini,” nasehat Kakek ketika melihat aku terdiam menyimak ucapannya tadi.
Kakek memang selalu begitu. Siapa saja yang dijumpai, tidak terbatas anggota keluarga saja, Kakek selalu wanti-wanti agar tidak neko-neko hidup di alam mayapada ini, supaya jika kembali ke haribaan Allah bisa khusnul khatimah, akhir yang baik.
Hampir tiap tahun, aku selalu menyempatkan diri menyambangi Kakek. Dia hidup sendirian, sementara anak-anaknya yang sudah memiliki rumah sendiri-sendiri. Saat disarankan untuk ikut di rumah salah seorang anaknya agar di hari tuanya lebih terawat, Kakek tidak mau. Aku masih mampu mengurus diri sendiri. Aku tidak ingin merepotkan mereka, selalu demikian Kakek beralasan tentang ketidaksiapannya nebeng di keluarga salah satu keturunannya tadi.
“Kapan kuliahmu kelar, Ko?” tanya Kakek suatu pagi sehabis sarapan dengan lauk daun singkong rebus, sambal terasi kegemaran Kakek. Semua Kakek sendiri yang masak. Sejak bujang Kakek memang tukang masak yang baik. Masakan olahannya tidak pernah ada orang mengatakan tidak enak. Disukai siapa saja. Tak heran jika rahasia masak Kakek jadi tumpuan menimba ilmu kuliner dari para tetangganya.
“Sebenarnya sudah selesai, Kek. Tinggal menunggu wisuda saja.“
“Oh…Terus, rencanamu ke mana setelah bangku perguruan tinggi kelak kamu tinggalkan?”
“Kerja, Kek.“
“Kerja apa?”
“Apa saja mau, asal halal dan bisa untuk menopang hidup. Keinginan saya tidak terlalu muluk-muluk, Kek.”
“Bagus. Tapi ingat,jangan menyalahgunakan wewenang, menyimpangkan kekuasaan demi keuntungan pribadi. Jaman ini memang langka orang yang idealis demikian. Lebih baik muncul sebagai manusia langka ketimbang menjadi orang jelek tingkah lakunya secara berjama’ah, Ko.“
“Akan saya upayakan, Kek.“
“Nah, harus gitu!”
Sederet senyum kebanggaan mencuat dari wajah tua Kakek. Menurut Ibu, usia Kakek hampir 90 tahun. Walau demikian, fisiknya masih bagus, daya ingatnya tajam, tak pernah mengeluh sakit, kecuali lelah biasa.
Banyak falsafah hidup kudapat dari Kakek. Dia yang bukan tipe pemarah, apalagi berkeluh-kesah. Kakek senantiasa nrimo ing pandum yakni menerima apa adanya tanpa berkeluh-kesah. Soal ibadah, Kakek bisa menjadi contoh karena beliau sangat tekun ibadah. Kamus malas seperti jauh dari hidup Kakek.
Meski hanya seorang petani, namun Kakek bukan petani minim wawasan dan pengetahuan. Kakek tergolong petani teladan, sehingga lima orang anak-anaknya mencicipi bangku pendidikan tinggi dan lulus menjadi sarjana. Mereka juga menjadi pekerja yang tak jauh beda uletnya dengan orangtuanya. Tepat kiranya jika Kakek disebut sebagai wong ndeso yang tidak ndesani alias orang dari desa yang cara hidup dan pergaulannya luas.
Pengamatan Kakek tentang kondisi jaman yang makin rusak ini lumayan jeli, tajam dan tepat sasaran. Menurut Kakek, semakin bertambah jauh penghuni bumi ini meninggalkan ajaran agama, semakin besar malapetaka yang akan datang, susul-menyusul seperti deretan bencana yang beberapa tahun terakhir terjadi.
“Orang yang mengaku sebagai pemeluk agama memang makin hari bertambah banyak, tapi mereka itu ibarat buih. Menggelembung dan kelihatan besar di permukaan, di bawah buih-buih tersebut kosong tak ada apa-apanya. Orang beragama yang hanya ingin dipuji, ingin disebut fanatik. Buktinya orang bermoral tercela malah muncul di mana-mana,“ kritik Kakek.
Di masa Kakek muda dulu, tekhnologi memang tidak secanggih sekarang. Namanya orang jahat akan selalu ada, bersamaan dengan terciptanya bumi, langit beserta isinya ini. Untuk mengantisipasi tindak kejahatan, di samping benteng agama kuat, orang harus menguasai tekhnologi juga, agar tidak dimakan orang lain.
“Dulu orang durjana, orang yang bermaksud tidak baik kepada kita hanya bisa diimbangi dengan doa dan ilmu kanuragan. Orang tidak mempunyai kesaktian akan jadi bulan-bulanan orang sekitarnya,“ ujar Kakek panjang lebar. Tapi aku senang mendengarnya karena apa yang diucapkannya penuh petuah.
Apa yang dikatakan Kakek paling akhir ini menjadikan aku teringat akan peristiwa yang sungguh tak kuduga sebelumnya. Dua tahun lalu, suatu malam dengan sinar rembulan merajai alam, Kakek mengajakku ke bagian belakang tempat tinggalnya. Aku sendiri tak tahu apa kehendak Kakek kali ini. Dua hari sebelumnya Kakek membuat anyaman bambu menyerupai kurungan ayam, dengan lebar lebih empat meter serta tinggi lima meter.
Kakek memintaku untuk membuka kurungan tersebut, sementara dia duduk bersila di dalamnya. Entah apa yang dilakukannya, sesaat setelah merapalkan doa, Kakek tidak ada lagi di dalam sangkar bambu ini. Ke mana dia? Tiba-tiba.. masya Allah! Jantungku terasa nyaris rontok manakala di dalam sangkar berdiri dengan garangnya seekor macan putih. Saking besarnya, tubuhnya hampir memenuhi setiap jengkal lokasi sangkar.
“Tak usah takut, Ko. Aku kakekmu si Sumarto Joyo. Aku hanya ingin memperlihatkan kepadamu bahwa dengan wujud harimau putih inilah, dulu Kakek bisa membikin bertekuk-lutut orang-orang yang ingin mencelakai Kakek,” kata Kakek. Suaranya terdengar menggema, seakan guntur yang menyambar di tengah hujan badai.
Aku mencoba menenangkan diri sambil perlahan kembali mendekat ke kandang itu.
“Sedetik lagi akan kamu lihat wujud asli Kakek sesungguhnya,“ kata harimau itu setelah aku mendekat.
Benar juga. Perwujudan harimau tadi telah lenyap, ganti Kakek yang sedang pringas-pringis minta dibukakan sangkar buatannya. Secara iseng kutanyakan apakah ilmu semacam ini tidak merepotkan pemilknya tatkala hendak meninggal.
“Ada mantra dan amalan penawarnya. Lagi pula ilmu demikian sudah tidak dipraktekkan lagi setelah kakek menikah,” jawab kakek.
Sampai saat ini saya masih mengingat hal itu. Diam-diam aku ingin belajar tapi Kakek belum mengijinkan. Saya yakin suatu waktu Kakek pasti akan mau mengajarkannya pada saya.***
Loading