Kamis, 06 Oktober 2011

KAMAR KOSONG

Riak angin laut pantai selatan  sangat bersahabat ktika aku dan parman ada di tempat itu. Tempat wisata yang  belum  begitu dikenal itu merupakan  tempat yang tenang dan rasanya  prospektif untuk dikembangkan sebagai  derah wisata.  Parman-duduk di sebuah bangku  sederhana  di tepi pantai  bersamaku. Tugasku bersama dia untuk meneliti  biota pantai laut  tinggal beberapa hari lagi. Entah terdorong oleh apa, tiba-tiba saja parman yang asal Kalimantan itu meminta  bermalam di situ. Katanya dia sangat interest dengan suasana yang ada di situ.
“kulihat bapak-bapak berdua ini datang dari jauh ya ? dan, baru pertama kali dating ke sini ?” ujar seorang lelaki setengah baya yang mengenakan  pakaian khas jawa lengkap dengan  blangkon dan kerisnya.
Kami seperti tak menyadari kedatangan  laki-laki itu. Tiba-tiba saja dia seperti sudah berada di dekat kami berdua. Aku dan parman saling mengangguk.  Dia kemudian menawarkan kepada kami untuk menginap di sebuah hotel  bernama hotel  udang biru. Anehnya, parman langsung saja menyetujuinya. Demikian juga denganku, aku seperti terkena hipnotis ddan tidak dapat mengelak dengan apa yang  menjadi keinginan parman.
Maka, saat itu juga  aku dan parman mengikuti langkah orang itu menuju hotel yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. Begitu memasuki  hotel, kulihat  ada  beberapa orang  yang sedang bersenda gurau sambil  duduk-duduk santai di lobi hotel. Namun dari beberapa orang  yang ada disitu, anehnya tidak ada satupun yang memeprhatikan langkah kami. Kedatangan kami seolah tidak di anggap, meski Cuma melihat barang sepintas  saja.
“ini kamarnya , pak” katanya sambil mengeluarkan  sebuah kunci dari kantong  baju surjannya. Aku dan parman lalu memasuki  kamar itu.
Beberapa orang yang ada di sekitar  situ melihatku dengan heran. Aku sendiri tidak tahu  mengapa mereka melihatku  dengan heran. Aku sendiri tidak  tahu mengapa mereka melihatku  dan parman seperti itu. Seolah ada yang aneh pada diri kami. Sementara orang bersujan  tersebut membantu kami membawakan masuk barang-barang bawaan kami ke dalam kamar.
Begitu masuk ke dalam kamar, aku dan parman langsung mencium bau kemenyan yang berbaur dengan kembang kenanga yang biasa digunakan  orang untuk menabur kembang  di atas makam.
Aku melayangkan pandangan ke  sekeliling kamar yang di cat dengan nuansa  hijau. Aku sangat penasaran dengan bau-bau tersebut. Demikian pula dengan parman yang hidungnya cengar – cengir  mencium bau tersebut.
Dengan penasaran aku lalu mencoba melongok ke bawah tempat tidur sambil menyingkap spreinya. Tapi tidak ada tempat untuk  pembakaran  dupa  atau kembang secuil pun yang ada dikolong   itu. Oran tua bersurjan  hanya diam  saja melihat tindakanku dan parman yang demikian. Dia tidak menjelaskan dari mana datangnya bau-bauan yang menyengat itu. Bahkan, tak lama kemudian dia langsung ngeloyor pergi.
Malam pun tiba. Hotel di tempat wisata itu tiba-tiba menimbulkan galau di hatik. Dan ternyata parman juga mengalami hal yang serupa. Malahan, meski malam belum larut, kami malah diserang rasa kantuk yang teramat sangat. Rasa kantuk yang jarang aku alami karena aku terbiasa  tidur larut malam. Kupersilahkan parman yang tersiksa oleh kantuk  untuk tidur duluan.
Mendengar usulku, parman rupanya sudah tidak lagi memeperdulikan  lagi bebauan yang mengundang mistik itu. Ia langsung saja merebahkan  diri dan memejamkan matanya. Aku kemudian memilih  duduk-duduk di beranda  sambil mempermainkan  asap rokok.
“belum tidur , mas?” Tanya salah seorang penghuni hotel  yang kamarnya bersebelahan  dengan kamar kami. Aku hanya menggelengkan kepala  sambil  tersenyum. Lalu bangkit dari tempat dudukku dan berjalan menghampirinya. Setelah berkenalan, kamipun  kemudian terlibat dalam pembicaraan yang hangat. Namanya surya dari kota madiun.
“Mas budiman kok berani bermalam di kamar itu ?” katanya sambil menunjuk kamarku. Aku terkejut dengan pertanyaannya.
“lho memangnya ada apa dengan kamarku itu ?” tanyaku  sembari kutatap tajam-tajam matanya.
“katanya kamar  yang mas budiman  tempati itu tempatnya raja jin  yang memang  secara khusus diperuntukan  untuk menjaga keamanan hotel ini. Kamar itu  katanya juga dihuni oleh seseorang , tentunya orang halus.” Surya bercerita panjang lebar mengenai kamar itu dengan serius. Dia seperti tidak sedang bercanda atau sengaja menakut-nakutiku.
Mendengar  apa yang dikatakan surya mengenai kamar yang kusewa  itu seketika bulu kudukku menjadi merinding. Tapi tetap  kucoba kegelisahanku itu tidak  kutunjukannya. Sekitar pukul sebelas malam, surya meminta diri. Aku juga  segera menuju kamar yang ku tempati sembari bertekad mengajak  parman malam itu juga untuk hengkang dari situ.
Namun ketika beberapa langkah hendak memasuki kamarku, tiba-tiba kudengar suara gamelan yang sayup-sayup di tengah-tengah deburan ombak. Suara itu semakin mendekat…semakin mendekat… dan semakin mendekat. Hingga terasa jelas sekali di telingaku.
Bersamaan itu pula terdengar suara gemerincing kereta kuda. Disusul kemudian penampakan kereta kencana yang ditarik empat ekor kuida yang semuanya berwarna putih mulus. Keempat ekor kuda  yang bertubuh kokoh itu  semuanya berkalung  asesoris yang gemerlapan karena lampu TL yang ada disitu. Tak lama kemudian  dari kereta itu  keluarlah lelaki bersurjan  yang tadi sore sempat mengantarku ke hotel ini.
Setelah turun dari kereta, dia lalu jongkok . kemudian menyembah kearah kereta. Seolah  di dalamnya ada seseorang  yang sangat di hormatinya. Dari dalam kereta  kemudian ada seseorang  yang memberikan aba-aba dengan hanya mengibaskan  tangannya. Melihat bentuk  tangannya yang mulus dan halus bisa di tebak kalau tangan itu adalah tangan seorang wanita.
Dan setelah aba-aba itu turun, disusul kemudian  keempat prajurit yang membawa tameng di tangan kirinya. Sedang di pinggang  kanannya menggantung sebuah pedang. Semuanya mengenakan  pakaian ala prajurit keratin Yogyakarta. Aku yang melihatnya kemudian hampir ppingsan  kala menyaksikan  empat prajurit itu semuanya tidak berkepala. Tanpa bersuara mereka melangkahkan kakinya  menuju kamarku. Tahu hal itu aku bermaksud  segera lari menuju kamar  untuk menyeret parman  yang kemungkinan masih terlelap  dalam tidurnya.
Tetapi ternyata apa yang  hendak aku lakukan itu ketahuan oleh orang bersurjan yang misterius itu. Dengan serta merta dia berjalan mendekatiku. Setelah ada didepanku, tiba-tiba tangannya menepuk pundakku sebanyak tiga kali. Aneh bin ajaib, setelah mendapat tepukan itu tubuhku seketika menjadi lemas tanpa daya.  Sulit untuk digerakan. Setelah itu, mereka  dengan leluasa  masuk ke dalam kamarku. Sementara itu, diluar masih terdengar suara sayup-sayup gamelan yang masih mengumandang di tengah  kegelapan malam.
Beberapa menit kemudian aku hanya bisa memelototkan mata ku tanpa bisa berbuat  sesuatu  ketika keempat prajurit  yang dikawal lelaki bersurjan mengangkat  tubuh parman  dalam posisi masih  tertidur pulas. Tubuh parman lalu dimasukan ke dalam kereta  kencana yang semenjak  tadi sudah menunggu  di depan kamarku.
Gemerincing suara asesoris yang dikenakan ke empat ekor kuda  mewarnai keberangkatan  kereta tersebut ke tengah laut yang masih kelam. Dan, bersaman dengan kepergiaan  kereta yang  telah  membawa tubuh parman ,suara gemerincing dan gamelan suaranya semakin  redup dan akhirnya tidak terdengar lagi.
Anehnya setelah kejadian itu aku yang  tadinya  tidak mampu  bergerak  sama sekali, kini kembali bisa bergerak  seperti semula. Entah mengapa hal itu bisa terjadi  secara aneh. Segera  setelah tubuhku normal kembali dengan cepat kutengok kamarku. Betapa  terkejutnya aku ketika  di kamar itu  tubuh parman  yang tadinya  masih tergeletak tidur  sudah  tidak ada lagi. Kamar  dalam keadaan  kosong. Aku menjadi panic seketika.
Tak lama kemudian hampir semua penghuni hotel  udang biru mencium peristiwa  misteri itu. Sebagian orang yang  sering mengunjungi hotel tersebut  sudah menduga  bahwa sesuatu yang tidak diinginkan  akan segera terjadi.
Keesokan harinya  ketika sedang  berada dikantor  polsek setempat untuk  melaporkan kejadian  yang kami alami, seorang turis  asing yang tengah  santai dipinggir pantai  berlari-lari memberitahukan  ada mayat  yang tedampar dipinggir pantai. Seketika itu juga  aku menduga  bahwa mayat itu  pasti mayat  temanku si parman. Orang-orang yang ikut mendengarkan , juga berpendapat sama.
Dan, setelah berada di TKP , pandangan ku langsung  tertuju  kepada tubuh  parman  yang sudah  terbaring  di tepi  pantai. Beberapa orang  tengah mengerumuninya. Disitu tampak juga surya , yang ternyata adalah seorang paranormal. Setelah  kuceritakan awal mula pertemuan kami dengan orang  bersurjan  yang sebenarnya  orang halus itu hingga  pada akhirnya  kami terjerumus  ke kamar kosong itu, lelaki paranormal  itu hanya  geleng-geleng kepala seperti  menyesali  apa yang telah terjadi.
Mendung duka menyelimuti hatiku. Bahkan tak terasa mataku pun menitikkan air mata  karena kehilangan seorang sahabat. Sementara langit menunjukan  suasana yang sangat tak  bersahabat terpadu  dengan angin yang sepoi-sepoi basah. Namun , sebenarnya  suasana yang romantic itu tidak sesuai  dengan kenyataannya. Berbanding terbalik dengan suasana misteri yang telah membawa korban jiwa.

Loading