Di antara kegemaran PKI yang terkenal adalah membantai para
korbannya di sumur tua, kemudian ditimbun dengan tanah. Di sejumlah
tempat di Magetan dan Madiun, terdapat beberapa sumur-sumur tua yang
menjadi tempat pembantaian.
Sumur tua Desa Soco
Soco adalah sebuah desa kecil yang terletak hanya beberapa ratus meter
di sebelah selatan lapangan udara Iswahyudi. Desa Soco termasuk dalam
wilayah Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Dalam peristiwa berdarah
pemberotakan PKI tahun 1948, Soco memiliki sejarah tersendiri.
Di desa inilah terdapat sebuah sumur tua yang dijadikan tempat
pembantaian oleh PKI. Ratusan korban pembunuhan keji yang dilakukan PKI
ditimbun jadi satu di lubang sumur yang tak lebih dari satu meter
persegi itu.
Letak Soco yang strategis dan dekat dengan lapangan udara dan
dipenuhi tegalan yang banyak sumurnya, menjadikan kawasan itu layak
dijadikan tempat pembantaian. Apalagi desa ini juga dilewati rel kereta
lori pengangkut tebu ke Pabrik Gula Glodok, Pabrik Gula Kanigoro dan
juga Pabrik Gula Gorang-gareng. Gerbong kereta lori dari Pabrik Gula
Gorang-gareng itulah yang dijadikan kendaraan mengangkut para tawanan
untuk dibantai di sumur tua di tengah tegalan Desa Soco.
Di sumur tua desa Soco ditemukan tak kurang dari 108 jenazah korban
kebiadaban PKI. Sebanyak 78 orang diantaranya dapat dikenali, sementara
sisanya tidak dikenal. Sumur-sumur tua yang tak terpakai di desa Soco
memang dirancang oleh PKI sebagai tempat pembantaian massal sebelum
melakukan pemberontakan.
Beberapa nama korban yang menjadi korban pembantaian di Desa Soco
adalah Bupati Magetan Sudibjo, Jaksa R Moerti, Muhammad Suhud (ayah
mantan Ketua DPR/MPR, Kharis Suhud), Kapten Sumarno dan beberapa pejabat
pemerintah serta tokoh masyarakat setempat termasuk KH Soelaiman Zuhdi
Affandi, pimpinan Pondok Pesantren ath-Thohirin Mojopurno, Magetan.
Di Soco sendiri terdapat dua buah lubang utama yang dijadikan tempat
pembantaian. Kedua sumur tua itu terletak tidak jauh dari rel kereta
lori pengangkut tebu. Para tawanan yang disekap di Pabrik Gula Rejosari
diangkut secara bergiliran untuk dibantai di Desa Soco. Selain membantai
para tawanan di sumur Soco, PKI juga membawa tawanan dari jalur kereta
yang sama ke arah Desa Cigrok. Kini, desa Cigrok dikenal dengan nama
Desa Kenongo Mulyo.
Terungkapnya sumur Soco sebagai tempat pembantaian PKI bermula dari
igauan salah seorang anggota PKI yang turut membantai korban. Selang
seratus hari setelah pembantaian di sumur tua itu, anggota PKI ini
mengigau dan mengaku ikut membantai para tawanan.
Setelah diselidiki dan diinterogasi, akhirnya dia menunjukkan letak
sumur tersebut. Sekalipun letak sumur telah ditemukan, namun penggalian
jenazah tidak dilakukan pada saat itu juga, tapi beberapa tahun
kemudian. Hal ini disebabkan oleh kesibukan pemerintah RI dalam melawan
agresi Belanda yang kedua.
Sekitar awal tahun 1950-an, barulah sumur tua desa Soco digali. Salah
seorang penggali sumur bernama Pangat menuturkan, penggalian sumur
dilakukan tidak dari atas, namun dari dua arah samping sumur untuk
memudahkan pengangkatan dan tidak merusak jenazah. Penggali sumur dibagi
dalam dua kelompok yang masing-masing terdiri dari enam orang.
Menurut Pangat, mayat-mayat yang dia gali pada waktu itu sudah dalam
keadaan hancur lebur seperti tape ketela. Daging dan kulit jenazah hanya
menempel sedikit diantara tulang-belulang. Di kedalaman sumur yang
sekitar duabelas meter, regu pertama menemukan 78 mayat, sementara regu
kedua menemukan 30 mayat. Semua jenazah dihitung hanya berdasarkan
tengkorak kepala, karena tubuh para korban telah bercampur-aduk
sedemikian rupa.
Sumur tua Desa Bangsri
Diantara sejumlah sumur tempat pembantaian yang digunakan PKI di sekitar
Magetan, sumur tua desa Bangsri merupakan tempat yang paling awal.
Sumur tua ini terletak di tengah tegalan ladang ketela di Dukuh Dadapan.
Sekitar 10 orang korban PKI dibantai di sini. Kebanyakan adalah warga
biasa yang dianggap menentang atau melawan PKI.
Para korban pembantaian di Bangsri berasal dari Desa Selo Tinatah,
dan berlangsung sebelum pemberontakan 18 September 1948 dimulai. Mereka
yang tertangkap PKI kemudian ditahan di dusun Dadapan. Beberapa hari
menjelang hari H pemberontakan, para tawanan pun disembelih di lubang
pembantaian di tengah tegalan.
Sumur tua Desa Cigrok
Sumur tua di Desa Cigrok ini hampir sama dengan sumur tua di Desa Soco,
sama-sama tidak terpakai lagi. Sebagaimana kepercayaan masyarakat
setempat yang pantang menimbun sumur setelah tidak digunakan lagi, sumur
tua Desa Cigrok demikian pula. Tidak ditimbun, kecuali tertimbun
sendiri oleh tanah.
Sumur tua Desa Cigrok terletak di rumah seorang warga desa bernama To
Teruno. To Teruno sebenarnya bukanlah anggota PKI, justru dialah yang
melaporkan kekejaman PKI di sumur miliknya itu kepada kepala desanya.
Salah seorang korban PKI di sumur tua Cigrok adalah KH Imam Shofwan,
pengasuh Pesantren Thoriqussu’ada Rejosari, Madiun. KH Shofwan dikubur
hidup-hidup di dalam sumur tersebut setelah disiksa berkali-kali. Bahkan
ketika dimasukkan ke dalam sumur, KH Imam Shofwan sempat
mengumandangkan adzan. Dua putra KH Imam Shofwan, yakni Kyai Zubeir dan
Kyai Bawani juga jadi korban dan dikubur hidup-hidup secara
bersama-sama.
Sebanyak 22 orang yang menjadi korban pembantaian di sumur tua Desa
Cigrok. Selain KH Imam Shofwan dan dua puteranya, terdapat pula Hadi
Addaba dan Imam Faham dari Pesantren Sabilil Muttaqin, Takeran. Imam
Faham adalah adik dari Muhammad Suhud, paman dari Kharis Suhud.
Imam sebenarnya ikut mengawal KH Imam Mursjid ketika diciduk dari
pesantrennya, namun di tengah jalan mereka terpisah. Jenazah Imam Faham
akhirnya ditemukan di sumur tua itu, sementara jenazah KH Imam Mursjid
hingga kini belum ditemukan.
Sumur tua Desa Kresek
Selain beberapa sumur di Magetan, tempat pembantaian korban kebiadaban
PKI di Madiun juga ditemukan di sebuah lubang di Dusun Kresek, Desa
Dungus. Di lubang pembantaian di tepi bukit ini ditemukan 17 jenazah.
Mereka diantaranya adalah perwira militer, anggota DPRD, wartawan dan
masyarakat biasa.
Pembantaian di dusun Kresek dilakukan PKI karena posisinya telah
terjepit oleh pasukan Siliwangi. Sementara itu, mereka tersesat di
Kresek dalam perjalanan menuju Kediri. Karena tidak sabar membawa
tawanan sedemikian banyaknya, mereka pun melakukan pembantaian di tepi
bukit lalu menimbunnya di sebuah sumur tua. Terungkapnya sumur ini
sebagai tempat pembantaian bermula dari laporan seorang janda warga Desa
Kresek yang mengaku melihat terjadinya peristiwa keji itu.
Kini, di Kresek telah dibangun monumen dan tugu peringatan atas
kekejaman PKI pada tahun 1948 dulu. Sebagaimana monumen di Desa Soco,
monumen keganasan PKI di Kresek juga dibangun untuk mengingat keganasan
PKI dalam membantai lawan-lawan politiknya, dengan harapan paham itu
tidak lagi bangkit kembali di bumi pertiwi.