Ada banyak mitos yang dianut orang Bali. Misalnya saja, ada hari
tertentu saat mereka tak boleh menebang bambu yakni di hari Minggu. Atau
berangkat ke tajen bila bertemu dengan orang hamil itu pertanda sang
penjudi akan kalah. Masih banyak puluhan mitos lainnya yang tak bisa
dihitung dengan jari.
Diantara begitu banyak mitos
yang dianut orang Bali, dan ini sudah dianggap sebagai pakem, salah
satunya adalah yang menyangkut kematian, kuburan, dan sejenisnya. Mitos
atau pamali yang berhubungan dengan ketiga hal inilah yang paling banyak
dihindari.
“Mencium aroma kuburan saja di seputar halaman rumah, atau di jalan
sudah membuat orang Bali merinding,” ujar Dewa Naga, 57 tahun, yang
mengaku berulang kali rumahnya dilempari orang dengan tanah kuburan.
Biasanya, tanah kuburan itu tidak mesti diambil di kuburan yang
sebenarnya. Karena kekuatan magisnya maka tanah pasir yang diambil di
tepi pantai pun bisa berubah seolah-olah menjadi tanah kuburan.
“Ini karena saat melewati kuburan tanah itu diberi semacam Ajian Aruti
Mangala Prancata oleh mereka yang iri atau dengki kepada kita,” tegas
Dewa Naga.
Dampak dari model guna-guna ini adalah seluruh keluarga penghuni rumah akan berantakan, bahkan rejeki bisa menjauh.
Menurut Dewa Naga, di antara mereka yang sampai sekarang merasakan
dampak kejahatan guna-guna tanah kuburan adalah Ketut Badra, 40 tahun,
tetangganya di Tojan, Gianyar, 25 km arah timur Denpasar.
Badra sejak sepuluh tahun yang lampau tanpa sebab yang jelas, tiba-tiba
saja mengalami sakit mengurus dan mengering tinggal tulang belulang.
Padahal sebelumnya, Badra adalah lelaki tangguh yang setiap hari sanggup
memanjat 10 kelapa di kampungnya.
“Suatu siang dia mencium aroma kuburan di tepi sungai di ujung desa
kami. Saat dia menengoknya, dia melihat ada periuk kecil berisi kembang
sepatu hitam, cempaka hitam dan sejumput tanah kuburan yang ditenggarai
adalah milik demit atau Gamang yang menghuni dasar sungai tersebut,”
kisah Dewa Naga lebih lanjut.
Ru[anya, ketika itu Ketut Badra tidak sadar kalau periuk kecil berisi
sesajen itu adalah milik Gamang. Tanpa sengaja Badra menyepaknya dan
periuk itupun akhirnya terpental masuk ke sungai.
Seminggu kemudian stelah kejadian itu Badra bermimpi didatangi orang
tinggi besar setinggi tiang listrik, kulitnya legam dan lidahnya
menjulur.
“Dalam kepercayaan orang Bali, itulah raja Gamang yang hidup di dasar
sungai yang mengalir di timur kampung Tojan ini,” tambah Dewa.
Sejak saat itulah, tepatnya 13 April 1995, Badra menunjukkan perilaku
aneh. Dia tak berani keluar rumah meski siang hari sekalipun. Bahkan
melihat sinar matahari lewat jendela kamarnya saja dia ketakutan seperti
melihat macan di tengah hutan. Makannya juga semakin sedikit, bahkan
kadangkala seminggu sekali baru mau makan.
“Karena itu badannya semakin kurus bak tulang terbungkus kulit, matanya
kosong menatap hampa kepada siapa saja yang ada didekatnya. Kami
menyebut apa yang dialami Badra itu sebagai terkena Pekakas Gamang,”
jelas Dewa.
Setelah hampir setahun sakitnya belum ada tanda perbaikan,
keluarganyapun menanyakan kepada orang pintar, persisnya seorang guru
spiritual di Klungkung Bali. Disebutkan bahwa suatu siang Badra memang
menyepak periuk Gamang yang isinya tanah kuburang sehingga dia menjadi
terkena apa yang disebut sebagai sakit ngeb-ngeban, obatnya termasuk
sangat sulit.
Keluarga Badra pun menerima kenyataan itu dengan lapang dada, karena
dalam pandangan orang Bali, sakit menahun akibat kutukan karena menyepak
periuk bertanah kuburan itu memang sangat sulit obatnya.
Sejak peristiwa itu, kehidupan sehari-hari Badra dulu riang, ramah
menyapa siapa saja sahabatnya, sekarang ini tampak membeku, mirip mayat
hidup. Keluarganya sudah kehabisan akal untuk menyembuhkan sakitnya.
Mungkin seratus dokter, seratus dukun dan seratus orang pintar telah
dihubungi untuk menyembuhkan penyakitnya. Namun tak satupun memberikan
harapan yang pasti.
Bagi orang Bali, tanah kuburan memang bisa membawa petaka pada siapapun
yang tertimpa oleh kesialannya. Seperti juga yang dialami oleh Wayan
Soper, 45 tahun, manajer salah satu hotel di Bali.
Ceritanya, sekitar lima tahun yang lalu Wayan Soper punya kerabat yang
meninggal dunia di Bandung, Jawa Barat. Karena akan dilakukan Ngaben
bagi si mayat, maka diputuskan oleh pemuka agama setempat di Bandung
untuk hanya mengirim tanah kuburannya ke Bali, dan tidak perlu membakar
jenazahnya.
“Kami sebenarnya tidak setuju karena itu tidak lumrah, tapi keluarga di
Bandung bersikeras agar tanah kuburan itu dikirim ke Bali,” papar Wayan
yang asli kelahiran Mengwi Bali ini.
Apa yang terjadi memang diluar akal sehat manusia. Akibat membawa tanah
kuburan itu, sejak naik bus di terminal di Bandung, bus sudah
menunjukkan gejala kurang beres. Memang nagas, ebelum masuk kota Jogya,
bus yang ditumpangi utusan yang membawa tanah kuburan itu bertabrakan.
“Terpaksa sang utusan berganti bus lagi, tapi tetap dengan membawa tanah
kuburan itu. Anehnya, menjelang masuk terminal Jurang Asri, Surabaya,
bus bertabrakan lagi. Kamipun berganti bus lagi,” kenangnya.
Itu saja rupanya belum cukup. Menjelang masuk Kota Negara, bus yang
ditumpanginya bertabrakan lagi. Akhirnya, merekapun berganti bus untuk
ketiga kalinya. Untunglah sampai di Bali tanah kuburan itu tetap utuh
tapi tiga bus telah jadi korbannya.
Yang lebih sial lagi, begitu sampai di Bali, saat tanah kuburan itu akan
diikutkan dalam upacara Ngaben, keanehan juga terjadi. Menjelang
upacara memukur, isteri almarhum yang sebelumnya sehat saat masih berada
di Bandung, tanpa mengalami sakit apapun tiba-tiba meninggal dunia.
Tanah kuburan membawa sial juga dialami oleh Made Sudi, 47 tahun,
tehnisi penyedia jasa tower telepon selular, kelahiran Tabanan Bali. Dia
tidak menyepak periuk Gamang penuh tanah kuburan seperti Badra, atau
membawa tanah kuburan dari Bandung, tapi berniat menyantet musuh
bebuyutannya dengan menggunakan tanah kuburan sebagai medianya.
“Menurut Mbah Dukun, saya mesti mencari segenggam tanah kuburan yang ada
di tempat kampung musuh yang akan saya sanet itu,” tuturnya belum lama
ini kepada Misteri.
Made Sudi menyanggupi syarat itu. Dia pun nekad mengambil tanah kuburan
di kampung tempat tinggal orang yang akan disantetnya. Namun karena
kemalaman, dia tak segera bisa membawa tanah kuburan itu ke tempat sang
dukun, tapi terlebih dahulu menyimpannya di meja yang ada di sebelah
tempat tidurnya.
“Tengah malam, tiba-tiba telinga saya mendenging dahsyat seperti
disambar pesawat jet. Bahkan, karena peristiwa ini gendang telinga saya
sampai seperti pecah, karena kerasnya suara itu. Dokter yang memeriksa
saya setidaknya mengatakan demikian,” kenang Made Sudi.
Alhasil, dia tak sempat lagi membawa tanah kuburan itu ke rumah dukun
karena keburu harus mengobati telinganya. Sampai sekarang pun telinga
sebelah kanannya masih sering kumat dan mengeluarkan cairan berbau
busuk.
Begitulah kepercayaan orang Bali terhadap tanah kuburan. Memang, tak
sembarang saja dia bisa dimanfaatkan untuk mencelakai orang lain,
salah-salah yang celaka malahan diri kita sendiri.