Saat air ketuban kering dan bayi
terancam mati, datang sosok misterius memberi air putih untuk persalinan
istriku. Laki-laki tua yang tiba-tiba datang itu, diyakini bukan
manusia biasa, tapi jin utusan Tuhan yang diturunkan untuk membantu kami
yang sedang panik dan menderita batin....
Saat istriku menjerit kesakitan karena air ketuban kering karena
kelebihan dua minggu dari harinya, aku begitu cemas. Sementara bidan
Sri Dwijaningsih sudah lepas tangan, tidak sanggup lagi menangani
istriku yang sudah 20 hari di kliniknya. Kami dianjurkan rujukan ke
rumah sakit besar l00 kilometer dari kampung kami untuk operasi sesar.
Dalam teori medis, bila air ketuban kering, bayi akan meninggal. Sebab
air ketuban itu dimakan oleh jabang bayi dan menjadi racun pembunuh
utama. Bayanganku jauh soal biaya. Paling tidak, untuk melakukan
operasi sesar, Rp 5 juta mesti keluar. Sedangkan di kantongku, hanya
tersisa uang Rp 200 ribu pemberian Om Zul, adik bungsu ibuku yang
tinggal di Jakarta lewat transfer BNI 46 cabang Tugumulya, Lampung
Barat.
Di tengah kegelisahanku, tiba-tiba datang seorang laki-laki setengah
baya memberikan segelas air putih untuk diminumkan kepada istriku.
Entah darimana datangnya sosok pria berpeci hitam, berbaju koko putih
dan memakai sarung batik coklat. Disodorkan air dengan niat baik itu,
aku langsung meraih dan meminumkannya poada istriku. Arkian, lima
menit setelah minum air putih itu, bayi kami langsung lahir dengan
selamat. Tapi laki-laki yang membawa air putih itu tiba-tiba menghilang
di balik jendela. Saya mengejar keluar untuk mengucapkan terima kasih.
Tapi laki-laki itu ternyata raib, tidak meninggalkan bekas sama
sekali. Ditanya pada orang-orang sekitar, tidak ada satupun orang yang
tahu. Tidak seorangpun yang mengaku melihat ada laki-laki bersarung
batik, berbaju koko dan berpeci hitam masuk ke klinik itu. Bu bidan
pun, tidak mengetahui ada sosok yang dimaksud berada dalam kliniknya.
Sejak setahun yang lalu, tepatnya bulan Juli 2003, aku menganggur. Aku
dipecat sebagai Duty Manager sebuah hotel melati tiga di kawasan Blok
M, Jakarta Selatan. Pemecatan tanpa alasan dan dicari-cari oleh
management untuk menghindari pengangkatan satusku dari kontrak setelah 7
tahun aku kerja itu, benar-benar memukul batin kami. Selain merasa
tidak bersalah, aku pun harus menghadapi suatu permasalahan ekonomi
karena melamar ke sana ke mari, tidak mudah diterima. Sementara rumah
kontrakan kami di Desa Suradita, Kecamatan Cisauk, Kabupaten
Tanggerang, Banten, tinggal sedikit lagi masa kontraknya akan habis.
Kehidupan kami mulai mengalami cobaan dari Allah SWT, dan baru pertama
kali itulah aku merasakan pukulan hidup yang begitu berat dan menekan.
Tapi aku harus tabah dan menghadapi ujian itu dengan ihlas. Tapi istri
dan anakku, tentu saja tidak bisa menunda makan, minum dan kebutuhan
rumah tangga yang lain. Maka itu, barang-barang di rumah satu perastu
dilepas untuk hidup. Mulanya VCD, lalu kulkas, radio dan handphone.
Tinggal televisi yang tersisa, karena televisi itu buat hiburan di
malam hari. Bila tidak ada televisi, tentu rumah akan menjadi neraka
dunia, sunyi dan aku akan jadi buta informasi.
Sedangkan Verli putra kami yang berumur 3 tahun, tidak pernah mau makan
nasi. Dia hanya mau minum susu indomilk kaleng dan satu kaleng hanya
untuk satu hari. Sementara persedian uang belakangan sudah tidak ada
lagi untuk membeli susu. Barang-barang pun tidak ada lagi yang bisa
dijual untuk susu anak kami itu. Untungnya, kakak kandungku, Bang Is,
yang tinggal tidak jauh dari rumah kami, turun membantu. Karena uluran
tangannyalah, maka kami bisa membelikan susu untuk Verli setiap hari.
Berapa bulan kemudian Sukirtina istriku terlambat datang bulan. Setelah
diperiksa di dokter kandungan di Medical Center Bahkati Asih, istriku
ternyata positif hamil. Bila kebanyakansuami senang mendengar istri
positif hamil, aku malah sebaliknya. Bayanganku jauh ke depan meyangkut
biaya kehamilan dan biaya melahirkan, sementara aku belum juga
mendapatkan pekerjaan yang bisa menopang semua kebutuhan itu. Maka itu,
kami pun akhirnya sepakat untuk menggugurkan kandungan itu. Tapi
tiba-tiba kami membayangkan dosa dan kami sangat takut bila Tuhan marah
atas usaha pengguguran itu. Bayi itu, menurut hemat kami, adalah
titipan Allah dan Allah pasti sudah mengatur rejekih untuknya.
Pengguguran itu, pikir kami, adalah suatu pembunuhan, sebab kehamilan
istriku ternyata sudah empat bulan dan jabang bayi di perus istriku
sudah berbentuk utuh walau masih kecil.
Sejak dari itu, kandungan istriku tidak terurus lagi. Makan, minum
susu serta vitamin pun tidak pernah dapat terpenuhi. Tak ada uang kami
untuk membeli kebutuhan itu. Airmata istriku sering menggenang dan aku
tahu dia sangat sedih melihat kenyataan itu. Kadang-kadang dia sewot
pula bicara, menyuruh aku banting tulang bekerja apa saja untuk
mendapatkan uang. Aku mengerti desakan itu, dan sudah seharusnyalah aku
bekerja keras bekerja apa saja untuk mendapatkan uang. Tapi aku
bingung, mau kerja apa aku. Om ku mengajak aku jadi sopir
perusahaannya, tapi aku tidak bisa menyetir. Om yang lain lagi mengajak
bekerja sebagai kru sinetron, tapi aku tidak punya pengalaman di
bidang produksi sinetron. Paling-paling, kata Omku. aku bekerja sebagai
Pembantu Umum, tukang masak air dan menyediakan keperluan pemain dari
dapur. Dan Omku tidak tega melihat aku bekerja di bidang itu, pekerjaan
terendah di produksi sinetron kita. Makan sehari-hari pun dengan
seadanya dan juga di bantu dari paman kami. Karena merasa tidak enak
dengan paman kami dan keluarga yang di Jakarta, akhirnya kami putuskan
untuk berpisah sementara. Anak dan istriku dipulangkan dulu di kampung
ke tempat orang tua kami di Lampung. Sedangkan aku berada di Jakarta
untuk mencari kerja lagi, dari hotel ke hotel dan dari restoran ke
restoran sesuai dengan bidang keahlianku sebagai Bar tender dan Duty
Manager hotel melati tiga. Tapi upaya itu belum menunjukkan hasil. Tak
satupun tempat aku masukkan lamaran dapat memanggilku. Semua bilang
tunggu dan tunggu, terus begitu.
Walau perasaan kami sedih karena keluarga kami terpecah, tapi karena
hanya itulah menurut kami hal yang terbaik kami ambil saat itu, maka
kami terus ihlas dan tawakal menghadapi kenyataan itu. Sambil kami
berharap, mudah-mudahan aku cepat mendapat pekerjaan dan istri serta
dua anakku di lampung dapat kubawa lagi ke Jakarta.
Sebulan istriku di kampung, aku diajak kerja oleh salah satu paman
dengan gaji yang cukup minim. Tapi aku bersyukur masih bisa menyambung
hidup di kota Jakarta. Dua bulan kemudian, aku mendapat kabar dari
istri di kampung, bahwa bulan Juli pertengahan dia akan melahirkan anak
kami yang kedua.
Setelah tiba waktu istriku melahirkan, perut istriku selalu mulas-mulas
tapi anehnya bayi kami tidak mau lahir juga. Sampai akhirnya istriku
minta aku pulang ke kampung biar supaya dia punya kekuatan untuk
melahirkan. Sesampainya di kampung, Tugumulya Lampung Barat, isteriku
benar-benar akan melahirkan. Kehadiranku ternyata cukup memberi
semangat istriku untuk cepat-cepat mengeluarkan anak. Tapi sayang, hal
itu terbatas di mulas-mulas dan askit perut saja, tapi jabang bayi
tidak muncul juga. Hingga akhirnya, bidan yang menangani isteriku,
lepas tangan, minta agar kami ke rumah sakit Kayuagung dan melakukan
operasi sesar.
Mendengar vonis dari Bidan itu, kami tentu saja kebingungan uang. Dari
mana kami mendapatkan uang untuk membayar operasi sesar di rumah sakit
di kota yang begitu besar. Jangankan uang Rp 5 juta sebagai biaya
standar operasi sesar, uang untuk ongkos sewa mobil ke rumah sakit
itupun, aku tak punya. Seemntara mertuaku di Tugumulya, bukanlah orang
berada, hidupnya juga pas-pasan dari hasil jualan pakaian secara
kreditan dari kampung ke kampung. Karena panik dan sangat cemas, saya
berusaha menekan Bu Bidan. Barangkali saja, bila ditekan, Bu Bidan akan
membantu sekuat tenaganya dan istriku bisa melahirkan.
"Bu bidan, kenapa istri saya harus dibawa ke rumah sakit, memang ibu
tidak bisa membantu lagi? Ibu kan bidan ternama di daerah ini, masa ibu
tidak bisa berusaha secara optimal agar istri saya dapat melahirkan?"
tanyaku, agak ketus.
"Istri bapak air ketubannya sudah kering karena kelebihan dua minggu
dari harinya. Dan hanya operasi sesarlah jalan satu-satunya yang dapat
membantu!” kjelas Bu Bidan, lebih ketus lagi.
"Apa yang menyebabkan istri saya, kok bisa begini. Waktu anak kami yang
pertama tidak begini, dan kira-kira biaya operasi sesar di rumah sakit
berapa?" tanyaku lagi.
"Istri bapak menderita stress. Mungkin karena terlalu banyak masalah
yang dipikirkannya. Ini berbeda dengan yang pertama, mungkin waktu
hamil pertama istri bapak pikirannya tidak stress dan tenang, dan untuk
biaya operasi sesar saya tidak tahu pasti. Tapi sekitar 4 juta rupiah
atau 5 juta-an," jelas bidan itu.
Mendengar penjelasan dari bidan itu, otakku bertambah panik. Usaha apa
lagi yang dapat aku tempuh dalam keadaan begini. Sedangkan istriku,
masih menjerit kesakitan, merang di atas ranjang klinik sederhana itu.
Sementara itu, Bu Bidan menjelaskan tambahan, bahwa bila kami terlambat
ke rumah sakjit dan melakukan sesar, istriku akan celaka dan anakku
akan meninggal di dalam kandungan. Saat itu, aku seakan dikejar waktu
dan keadaan makin lama makin keras dan panas. “Kalau terlambat operasi,
bisa-bisa anak Bapak meninggal di dalam perut dan istri Bapak bisa
pula meninggal karena kontraksi!” kata-kata Bu Bidan terus terngiang di
telingaku dan aku sangat ketakutan.
Saat itu aku menghambur ke kamar mandi dan wuduh di air keran. Aku
langsung melakukan sembahyang yang aku tidak tahu itu sholat apa. Dalam
sembahyang itu aku berkonsentrasi penuh kepada Allah minta
bantuan-Nya, mukjizat atau keajaibannya dikirim untuk kami dalam
keadaan kalut dan memprihatinkan itu. “Ya Allah, aku tidak mau
melakukan perampokan, pencurian atau apapun yang tidak halal untuk
kelahiran bayiku ini. Aku tidak punya apa-apa lagi untuk biaya istriku
ya Allah. yang kupunyai sekarang hanya Engkau dan untuk itulah aku
meminta Engkau Yya Allah, utnuk menurunkan bantuanmu agar hari ini juga
anakku lahir!” doaku, kala itu, begitu khusuk dan terasa begitu dekat
kepada Allah. Habis aku bersujud, tiba-tiba sekujur tubuhku merinding
dan aku merasa begitu tenang, seakan Allah tersenyum dan memberikan apa
yang aku minta.
Habis sholat di kamar tengah yang kosong, aku kembali ke kamar istriku
dan mencium keningnya. Suara tangis dan rasa sakitnya kala itu agak
menurun walau wajahnya masih pucat dan bibirnya menjadi putih. Telapak
tangan kanan istriku kupegang erat dan aku kembali khusuk minta kepada
Allah, agar Tuhan menurunkan mukjizatnya dan istriku dapat lahir saat
itu juga. Kekuatan doa dan kekuatan konsentrasiku pada Sang Khalik ini,
alhamdulillah membuahkan hasil. Tiba-tiab datang seorang laki-laki
berpeci hitam, berbaju koko putih dan bersarung batik membawa segelas
air aqua untuk istriku. “Minumkan air ini untuk istrimu, Nak!” kata
bapak-bapak itu, yang umurnya kurang lebih 80 tahun.
Saat itu juga, air putih tersebut aku minumkan ke istriku. Tanpa banyak
bertanya aku langsung menuruti perintah dari bapak-bapak yang tidak
tahu datangnya dari mana itu. Berapa jam kemudian keajaiban terjadi,
istriku merasakan perutnya sangat sakit dan mulas sekali. Aku dan
sitriku memanggil bidan lewat head phone dan Bu Bidan segera datang.
Istriku bilang, bahwa kepala bayi sudah keluar sebagian dan ia akan
melahirkan. Tanpa banyak kata-kata, Bu Bidan dengan cekatan membantu
persalinan istriku dan berapa menit kemudian anak kami lahir.
Kami bersyukur sekali atas karunia Allah. di mana anak kami lahir tanpa
sesar dan keluar dengan selamat, sehat dan segar. Kelahiran anak kami
yang tidak jadi dioperasi sesar itu tentu saja membuat bidan bingung.
Ahli persalinan itu, tidak menyangka bahwa istriku bisa melahirkan
tanpa operasi sesar. Karena menurut ilmu kedokteran, istriku harus
dioperasi sesar baru bayi itu bisa lahir. Tapi peristiwa ini, ternyata
hanya dengan bantuan air putih dan doa, yang bisa membantu mempercepat
kelahiran yang seharusnya dilakukan dengan operasi sesar.
Saat kami masih bertanya-tanya siapakah orang yang membantu kelahiran
istriku dengan segelas air putih dan datangnya pun secara tiba-tiba
itu, membuat aku bertanya-tanya hingga sekarang. Siapakah laki-laki
yang berbaik hati itu? Benarkah dia manusia biasa atau mahluk dari
bangsa jin yang diutus Allah untuk membantu kami? Kami tidak tahu dan
tidak memcahkannya sekarang. Yang jelas dari bibir kami terucap,
wallahuallam bissawab. Terima kasih ya Allah, terima kasih atas
pertolongan dan mukjiza serta karunia mu yang begitu besar. Sekali
lagi, terima Tuhan, terima kasih Ya Allah, ya Tuhanku. Tidak lama
kemudian muncul seorang laki-laki tua menghampiri kami dan ternyata ia
adalah pak Usup, 70 tahun, mertua ku, yang juga baru saja melakukan
sholat khsusus di rumah, meminta agar istriku melahirkan tanpa operasi
dan cepat beranak tanpa diperpanjang lagi rasa sakit yang dideritanya
yang selama ini begitu berat.
Menurut mertuaku, bahwa, usai sholat, dia sudah mendapat firasat bahwa
ada orang gaib yang datang memberi bantuan. “Alhamdulillah semua sudah
beres, Tuhan mendengar doa kita. Amin!” bisik mertuaku. Kini, kata
mertuaku, tinggal aku yang harus berkonsentrasi penuh, untuk mendapat
pekerjaan di Jakarta buat mengambil istri dan dua anakku dan menghidup
mereka di Jakarta. Tapi aku yakin dan percaya betul bahwa Tuhan pasti
mempunyai rencana lain untukku. Akhirnya, l0 hari setelah kelahiran
anak bungsuku, aku pun kembali ke Jakarta untuk mencari pekerjaan yang
pas untukku. Semua itu, tujuannya adalah agar keluarga ku bisa
berkumpul kembali seperti dulu, hiudp nyaman dan bahagia di kota
metropolitan yang gemerlap.