Sabtu, 24 September 2011

PESUGIHAN GUNUNG KAWI

Dalam masalah pesugihan, kali ini membahas mitos seputar Pesugihan Gunung Kawi. Disaat orang banyak disibukkan dengan kesulitan ekonomi, kadang semua cara digunakan termasuk diantaranya adalah ritual pesugihan.
Ada yang mencari uang dengan bisnis internet, namun karena tidak sedahsyat dengan pesugihan maka bagi orang yang malas akhirnya lebih memilih pesugihan. Mitos Pesugihan Gunung Kawi memang dikenal sebagai tempat untuk mencari kekayaan (pesugihan).
Konon, barang siapa melakukan ritual dengan rasa kepasrahan dan pengharapan yang tinggi maka akan terkabul permintaannya, terutama menyangkut masalah kekayaan. Mitos seputar pesugihan Gunung kawi ini diyakini banyak orang, terutama oleh mereka yang sudah merasakan “berkah” berziarah ke Gunung Kawi. Namun bagi kalangan rasionalis-positivis, hal ini merupakan isapan jempol belaka.
Biasanya lonjakan pengunjung yang melakukan ritual terjadi pada hari Jumat Legi (hari pemakaman Eyang Jugo) dan tanggal 12 bulan Suro (memperingati wafatnya Eyang Sujo). Ritual dilakukan dengan meletakkan sesaji, membakar dupa, dan bersemedi selama berjam-jam, berhari-hari, bahkan hingga berbulan-bulan.
Di dalam bangunan makam, pengunjung tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak baik serta disarankan untuk mandi keramas sebelum berdoa di depan makam. Hal ini menunjukkan simbol bahwa pengunjung harus suci lahir dan batin sebelum berdoa.
Selain pesarean sebagai fokus utama tujuan para pengunjung, terdapat tempat-tempat lain yang dikunjungi karena ‘dikeramatkan’ dan dipercaya mempunyai kekuatan magis untuk mendatangakan keberuntungan, antara lain:
1. Rumah Padepokan Eyang Sujo
Rumah padepokan ini semula dikuasakan kepada pengikut terdekat Eyang Sujo yang bernama Ki Maridun. Di tempat ini terdapat berbagai peninggalan yang dikeramatkan milik Eyang Sujo, antara lain adalah bantal dan guling yang berbahan batang pohon kelapa, serta tombak pusaka semasa perang Diponegoro.
2. Guci Kuno
Dua buah guci kuno merupakan peninggalan Eyang Jugo. Pada jaman dulu guci kuno ini dipakai untuk menyimpan air suci untuk pengobatan. Masyarakat sering menyebutnya dengan nama ‘janjam’. Guci kuno ini sekarang diletakkan di samping kiri pesarean. Masyarakat meyakini bahwa dengan meminum air dari guci ini akan membuat seseorang menjadi awet muda.
3. Pohon Dewandaru
Di area pesarean, terdapat pohon yang dianggap akan mendatangkan keberuntungan. Pohon ini disebut pohon dewandaru, pohon kesabaran. Pohon yang termasuk jenis cereme Belanda ini oleh orang Tionghoa disebut sebagai shian-to atau pohon dewa. Eyang Jugo dan Eyang Sujo menanam pohon ini sebagai perlambang daerah ini aman.
Untuk mendapat ‘simbol perantara kekayaan’, para peziarah menunggu dahan, buah dan daun jatuh dari pohon. Begitu ada yang jatuh, mereka langsung berebut. Untuk memanfaatkannya sebagai azimat, biasanya daun itu dibungkus dengan selembar uang kemudian disimpan ke dalam dompet.
Namun, untuk mendapatkan daun dan buah dewandaru diperlukan kesabaran. Hitungannya bukan hanya, jam, bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Bila harapan mereka terkabul, para peziarah akan datang lagi ke tempat ini untuk melakukan syukuran.
Siapakah sesungguhnya Eyang Jugo dan Eyang Sujo?
Yang dimakamkan dalam satu liang lahat di pesarean Gunung Kawi ini? Menurut Soeryowidagdo (1989), Eyang Jugo atau Kyai Zakaria II dan Eyang Sujo atau Raden Mas Iman Sudjono adalah bhayangkara terdekat Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1830 saat perjuangan terpecah belah oleh siasat kompeni, dan Pangeran Diponegoro tertangkap kemudian diasingkan ke Makasar, Eyang Jugo dan Eyang Sujo mengasingkan diri ke wilayah Gunung Kawi ini.
Semenjak itu mereka berdua tidak lagi berjuang dengan mengangkat senjata, tetapi mengubah perjuangan melalui pendidikan. Kedua mantan bhayangkara balatentara Pangeran Diponegoro ini, selain berdakwah agama islam dan mengajarkan ajaran moral kejawen, juga mengajarkan cara bercocok tanam, pengobatan, olah kanuragan serta ketrampilan lain yang berguna bagi penduduk setempat. Perbuatan dan karya mereka sangat dihargai oleh penduduk di daerah tersebut, sehingga banyak masyarakat dari daerah kabupaten Malang dan Blitar datang ke padepokan mereka untuk menjadi murid atau pengikutnya.
Setelah Eyang Jugo meninggal tahun 1871, dan menyusul Eyang Iman Sujo tahun 1876, para murid dan pengikutnya tetap menghormatinya. Setiap tahun, para keturunan, pengikut dan juga para peziarah lain datang ke makam mereka melakukan peringatan. Setiap malam Jumat Legi, malam eninggalnya Eyang Jugo, dan juga peringatan wafatnya Eyang Sujo etiap tanggal 1 bulan Suro (muharram), di tempat ini selalu diadakan erayaan tahlil akbar dan upacara ritual lainnya. Upacara ini iasanya dipimpin oleh juru kunci makam yang masih merupakan para keturunan Eyang Sujo.
Tidak ada persyaratan khusus untuk berziarah ke tempat ini, hanya membawa bunga sesaji, dan menyisipkan uang secara sukarela. Namun para peziarah yakin, semakin banyak mengeluarkan uang atau sesaji, semakin banyak berkah yang akan didapat. Untuk masuk ke makam keramat, para peziarah bersikap seperti hendak menghadap raja, mereka berjalan dengan lutut.
Hingga dewasa ini pesarean tersebut telah banyak dikunjungi oleh berbagai kalangan dari berbagai lapisan masyarakat. Mereka bukan saja berasal dari daerah Malang, Surabaya, atau daerah lain yang berdekatan dengan lokasi pesarean, tetapi juga dari berbagai penjuru tanah air. Heterogenitas pengunjung seperti ini mengindikasikan bahwa sosok kedua tokoh ini adalah tokoh yang kharismatik dan populis.
Namun di sisi lain, motif para pengunjung yang datang ke pesarean ini pun sangat beragam pula. Ada yang hanya sekedar berwisata, mendoakan leluhur, melakukan penelitian ilmiah, dan yang paling umum adalah kunjungan ziarah untuk memanjatkan doa agar keinginan lekas terkabul.
Loading