Dalam masalah pesugihan, kali ini membahas mitos seputar Pesugihan
Gunung Kawi. Disaat orang banyak disibukkan dengan kesulitan ekonomi,
kadang semua cara digunakan termasuk diantaranya adalah ritual
pesugihan.
Ada yang mencari uang dengan bisnis internet, namun karena tidak
sedahsyat dengan pesugihan maka bagi orang yang malas akhirnya lebih
memilih pesugihan. Mitos Pesugihan Gunung Kawi memang dikenal sebagai
tempat untuk mencari kekayaan (pesugihan).
Konon, barang siapa melakukan ritual dengan rasa kepasrahan dan
pengharapan yang tinggi maka akan terkabul permintaannya, terutama
menyangkut masalah kekayaan. Mitos seputar pesugihan Gunung kawi ini
diyakini banyak orang, terutama oleh mereka yang sudah merasakan
“berkah” berziarah ke Gunung Kawi. Namun bagi kalangan
rasionalis-positivis, hal ini merupakan isapan jempol belaka.
Biasanya lonjakan pengunjung yang melakukan ritual terjadi pada hari
Jumat Legi (hari pemakaman Eyang Jugo) dan tanggal 12 bulan Suro
(memperingati wafatnya Eyang Sujo). Ritual dilakukan dengan meletakkan
sesaji, membakar dupa, dan bersemedi selama berjam-jam, berhari-hari,
bahkan hingga berbulan-bulan.
Di dalam bangunan makam, pengunjung tidak boleh memikirkan sesuatu yang
tidak baik serta disarankan untuk mandi keramas sebelum berdoa di
depan makam. Hal ini menunjukkan simbol bahwa pengunjung harus suci
lahir dan batin sebelum berdoa.
Selain pesarean sebagai fokus utama tujuan para pengunjung, terdapat
tempat-tempat lain yang dikunjungi karena ‘dikeramatkan’ dan dipercaya
mempunyai kekuatan magis untuk mendatangakan keberuntungan, antara lain:
1. Rumah Padepokan Eyang Sujo
Rumah padepokan ini semula dikuasakan kepada pengikut terdekat Eyang
Sujo yang bernama Ki Maridun. Di tempat ini terdapat berbagai
peninggalan yang dikeramatkan milik Eyang Sujo, antara lain adalah
bantal dan guling yang berbahan batang pohon kelapa, serta tombak pusaka
semasa perang Diponegoro.
2. Guci Kuno
Dua buah guci kuno merupakan peninggalan Eyang Jugo. Pada jaman dulu
guci kuno ini dipakai untuk menyimpan air suci untuk pengobatan.
Masyarakat sering menyebutnya dengan nama ‘janjam’. Guci kuno ini
sekarang diletakkan di samping kiri pesarean. Masyarakat meyakini bahwa
dengan meminum air dari guci ini akan membuat seseorang menjadi awet
muda.
3. Pohon Dewandaru
Di area pesarean, terdapat pohon yang dianggap akan mendatangkan
keberuntungan. Pohon ini disebut pohon dewandaru, pohon kesabaran. Pohon
yang termasuk jenis cereme Belanda ini oleh orang Tionghoa disebut
sebagai shian-to atau pohon dewa. Eyang Jugo dan Eyang Sujo menanam
pohon ini sebagai perlambang daerah ini aman.
Untuk mendapat ‘simbol perantara kekayaan’, para peziarah menunggu
dahan, buah dan daun jatuh dari pohon. Begitu ada yang jatuh, mereka
langsung berebut. Untuk memanfaatkannya sebagai azimat, biasanya daun
itu dibungkus dengan selembar uang kemudian disimpan ke dalam dompet.
Namun, untuk mendapatkan daun dan buah dewandaru diperlukan kesabaran.
Hitungannya bukan hanya, jam, bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan.
Bila harapan mereka terkabul, para peziarah akan datang lagi ke tempat
ini untuk melakukan syukuran.
Siapakah sesungguhnya Eyang Jugo dan Eyang Sujo?
Yang dimakamkan dalam satu liang lahat di pesarean Gunung Kawi ini?
Menurut Soeryowidagdo (1989), Eyang Jugo atau Kyai Zakaria II dan Eyang
Sujo atau Raden Mas Iman Sudjono adalah bhayangkara terdekat Pangeran
Diponegoro. Pada tahun 1830 saat perjuangan terpecah belah oleh siasat
kompeni, dan Pangeran Diponegoro tertangkap kemudian diasingkan ke
Makasar, Eyang Jugo dan Eyang Sujo mengasingkan diri ke wilayah Gunung
Kawi ini.
Semenjak itu mereka berdua tidak lagi berjuang dengan mengangkat
senjata, tetapi mengubah perjuangan melalui pendidikan. Kedua mantan
bhayangkara balatentara Pangeran Diponegoro ini, selain berdakwah agama
islam dan mengajarkan ajaran moral kejawen, juga mengajarkan cara
bercocok tanam, pengobatan, olah kanuragan serta ketrampilan lain yang
berguna bagi penduduk setempat. Perbuatan dan karya mereka sangat
dihargai oleh penduduk di daerah tersebut, sehingga banyak masyarakat
dari daerah kabupaten Malang dan Blitar datang ke padepokan mereka untuk
menjadi murid atau pengikutnya.
Setelah Eyang Jugo meninggal tahun 1871, dan menyusul Eyang Iman Sujo
tahun 1876, para murid dan pengikutnya tetap menghormatinya. Setiap
tahun, para keturunan, pengikut dan juga para peziarah lain datang ke
makam mereka melakukan peringatan. Setiap malam Jumat Legi, malam
eninggalnya Eyang Jugo, dan juga peringatan wafatnya Eyang Sujo etiap
tanggal 1 bulan Suro (muharram), di tempat ini selalu diadakan erayaan
tahlil akbar dan upacara ritual lainnya. Upacara ini iasanya dipimpin
oleh juru kunci makam yang masih merupakan para keturunan Eyang Sujo.
Tidak ada persyaratan khusus untuk berziarah ke tempat ini, hanya
membawa bunga sesaji, dan menyisipkan uang secara sukarela. Namun para
peziarah yakin, semakin banyak mengeluarkan uang atau sesaji, semakin
banyak berkah yang akan didapat. Untuk masuk ke makam keramat, para
peziarah bersikap seperti hendak menghadap raja, mereka berjalan dengan
lutut.
Hingga dewasa ini pesarean tersebut telah banyak dikunjungi oleh
berbagai kalangan dari berbagai lapisan masyarakat. Mereka bukan saja
berasal dari daerah Malang, Surabaya, atau daerah lain yang berdekatan
dengan lokasi pesarean, tetapi juga dari berbagai penjuru tanah air.
Heterogenitas pengunjung seperti ini mengindikasikan bahwa sosok kedua
tokoh ini adalah tokoh yang kharismatik dan populis.
Namun di sisi lain, motif para pengunjung yang datang ke pesarean ini
pun sangat beragam pula. Ada yang hanya sekedar berwisata, mendoakan
leluhur, melakukan penelitian ilmiah, dan yang paling umum adalah
kunjungan ziarah untuk memanjatkan doa agar keinginan lekas terkabul.