Kamis, 29 September 2011

WANITA PENGGODA DARI PERKAMPUNGAN JIN

Sebagai laki-laki normal yang beranjak remaja. Ada keinginan untuk memiliki pacar. Namun saat mengatakan cinta pada wanita, mendadak   wanita itu  langsung jatuh sakit  dan berteriak bagai orang kesurupan.  Selanjutnya mencaci maki dengan kata-kata kotor  dan selanjutnya menjauh dari saya.
Menjalani kehidupan normal dengan batasan-batasan tertentu  layaknya hidup seperti kebanyakan orang sangat terasa nyaman dan menyegarkan. Adanya rasa lapar, haus, makan dan minum, lelah dan kantuk hingga tertidur disertai mimpi  tak ubahnya kita hidup dengan batasan dan memanjatkan  rasa syukur dikaruniai berbagai nikmat dengan fenomena kehidupan indah tanpa beban lain selain beban untuk menyertakan kehidupan sehari-hari  hingga  akhirnya ajal menjemput kita kemudian menghadap Sang Maha Pencipta, diadili sekaligus mempertanggung jawabkan seluruh perbuatan kita selama hidup didunia.  
Kesadaran akan hidup normal ini lahir ketika saya serasa jenuh berhubungan dengan sosok halus dalam indera saya  dan terus mengikuti saya serta  selalu ikujt campur manakala saya berhadapan dengan sesuatu masalah pelik hingga menimbulkan korban.
Perkenalkan saya bernama Hamid. Hampir seluruh orang di sekeliling menyebut saya tak ubahnya orang gila karena terkadang menemui saya sedang berbicara dengan sesuatu yang menurut pendapat mereka tidak ada. Padahal saya  jelas-jelas sedang berbicara pada makhluk gaib. Saya menyadari mereka tidak melihat karena tidak memiliki kemampuan untuk menembusnya.     Meski ada beberapa orang mengaku paranormal atau merasa mampu menembusnya tetapi menurut saya hanya sebatas meraba-raba atau rekaan  saja sebab buktinya mereka tidak bisa berkomunikasi dengan makhluk yang ada dalam indera saya.
Sungguh kehidupan ganjil selama hampir tiga puluh tahun saya jalani. Keluarga dan sanak famili terasa sangat terasing dalam kehidupan saya hingga akhirnya secara tidak sengaja  ada sesuatu yang menggiring saya kealam sadar dan seterusnya menjalani kehidupan ini dalam keadaan normal.
Awalnya, saya lahir di pelosok desa di Bekasi Utara  45  tahun silam. Kehidupan yang serba pas-pasan membuat saya sepulang sekolah saat berusia 7 tahun  seringkali membantu bapak mencangkul disawah  milik tetangga. Seperti biasanya sepulang sekolah pertengahan hari, setelah makan seadanya, ganti baju kemudian mengambil arit menuju sawah tempat bapak bekerja. Untuk menempuhnyan berjarak sekitar dua kilometer  melalui perkebunan lebat layaknya seperti hutan belukar.  
Dalam perjalanan, saya kerap menengok  keatas pepohonan  sambil sesekali bersiul  ingin mengajakburung yang hinggap diatas pohon ikut bersiul atau berkicau. Belum separuh perjalanan,  saat bersiul, serasa ada sesuatu terbang diatas kepala saya sambil menyapa halus, “Hai………..sendirian….” Saya terkejut, arit pun terlepas dari tangan,  langsung menengok ke atas, tampak diatas kepala saya ada makhluk sejenis burung berkepala manusia berujud perempuan kecil sebaya saya  tersenyum kemudian mendarat ketanah dan seketika itu juga wujudnya berubah menjadi manusia seperti saya. Entah bagaimana rasa terkejut saya sirna bahkan menegurnya.
“Kamu siapa?” dia menjawab, sama seperti saya, tinggal di perkebunan ini.
Dia memperkenalkan diri bernama Ranah dan mengajak saya singgah di rumahnya. Saya manut saja seperti ada sesuatu yang membuat saya turut apa kemauannya. Mungkin saat itu saya berada dalam alam di bawah sadar. Sesaat saya sudah tiba di suatu perkampungan tak ubahnya pemukiman penduduk di kampung saya. Rumahnya memang agak luas, atapnya terbuat dari daun kelapa, dindingnya dari bilik bambu, tiangnya dari bambu besar serta berlantai tanah.  
Dari dalam rumah keluar bapak dan ibunya menegur saya, menanyakan nama dan tempat tinggal saya. Setelah saya jawab, tampak kedua raut mukanya terkejut dan seketika menarik tangan anaknya masuk ke dalam kamarnya. Entah apa yang dibicarakan mereka tapi saya dengar pelan tampak bapaknya marah dengan Ranah mengajak saya ke rumahnya. Terdengar pelan juga Ranah menangis, terdengar suara ibunya membujuk Ranah agar diam.”Ya sudah jangan nangis, sekarang main sana tapi jangan macam-macam ya!,” kata ibunya.
Rupanya dalam rumah itu hanya tinggal bertiga dan Ranah anak satu-satunya. Tak berapa lama ketiganya keluar dari kamar. Bapak dan ibunya tampak ramah dan meminta saya mengajak Ranah bermain dihalaman rumah saja dan nanti saya akan diantar pulang. Kembali saya seperti penurut, sama sekali lupa dengan arit  dan niat  membantu bapak di sawah.  Bermain juga seperti biasa dengan teman-teman yang lain, tapi Ranah sepertinya sangat suka bermain dengan saya sebab teman-teman yang lainnya saat ingin bermain bersama, seketika ditinggalkannya dan mengajak saya bermain berdua saja hingga sore hari.
Saya  diajak   makan bersama keluarganya. Saat saya utarakan ingin pulang, Ranah tidak memberi ijin dan malah menangis kepangkuan ibunya agar saya tidak boleh pulang dan kembali main bersama.  Ibunya menatap saya dengan senyum, Dan seketika niat untuk pulang pun hilang. Tak terasa malampun tiba,  saya mulai ingat, dalam pemukiman ini kok tak ada suara azan, beda dengan kampung saya yang setiap waktu sholat terdengar suara azan. Saya sesekali sholat meski tidak sepenuhnya. Kemungkinan besar dengan kekuatan ingatan itu lah saya berani mengutarakan kepada ibu dan bapaknya kalau saya ingin pulang dan  ingin sholat  serta mengatakan kalau  di kampungnya itu tidak ada mesjid dan mushola. Keduanya langsung membujuk  Ranah agar saya diperbolehkan pulang.  Ranah sambil menangis  tetap tidak memperbolehkan saya pulang. Meski ibu dan bapaknya menatap saya dengan senyum, dan meminta saya agar tidak pulang dulu, saya tetap bersikeras ingin pulang  meski harus sendiri.        Sambil berbisik, keduanya membujuk  saya agar sabar sebentar menunggu Ranah diam dan lengah. Katanya kalau Ranah lengah, saya pasti diantarnya pulang secara diam-diam.  Tampak keduanya gelisah sambil sesekali menghela nafas panjang. Saya dan Ranah yang masih menangis tak mengerti kegelisahan mereka. Ranah pun terus dibujuk agar diam.  Dan meminta saya turut membujuknya.  Akhirnya Ranahpun tediam atas bujukan saya.  Sayapun kembali bermain meski dalam rumah.    Hati saya terus bergejolak ingin pulang.  Dengan kata-kata halus saya bilang kepada Ranah kalau saya pingin mau pulang karena saya kengen sama bapak dan ibu. Kali ini dia tidak menangis tetapi ingin ikut dengan saya.  Saat itu saya bilang boleh, sebab bagi  saya Ranah tak ubahnya dengan saya serta saya tidak pernah berpikir tentang hantu dan sebagainya. Ibu dan bapak memang  tidak pernah bercerita tentang hal yang berbau horor.   
Ranah juga mengajak saya untuk pulang diam-diam tanpa setahu kedua orang tuanya. Saya pun sepakat. Maka Ranah bilang sama Ibunya berpura-pura ingin main dihalaman rumah dan ibunya mengijinkan    Sesaat bermain, ketika keduanya lengah, saya dan Ranah langsung menyelinap ke dalam kebun yang memang sudah gelap. Saya serasa dituntun oleh Ranah dan tak sedikitpun kaki saya terkena benturan dengan batu dan sebagainya. Saya dituntun berjalan seperti di siang hari.        
Tak jauh dari rumah saya yang layak disebut gubuk  melihat  kedua orang tua saya sedang berdiri di depan pintu bersama beberapa orang tetangga rumah. Saya pun langsung berteriak memanggil  Ibu dan bapak sekeras-kerasnya.  Anehnya keduanya dan yang lainnya seperti tidak mendengar teriakan saya meski sudah berkali-kali.   Saya bilang pada Ranah kalau itu kedua orang tua saya.  Ranah langsung tersenyum dengan saya dan meminta agar saya memanggil kembali keduanya. Entah bagaimana, keduanya mendengar dan menyongsong saya pulang sambil Ibu menangis dan beberapa orang tetangga turut mendatangi saya.
Anehnya saya tidak ikut menangis seperti  kebanyakan anak kecil yang hilang dan baru kembali kerumah. Saya malah tersenyum dan mengatakan bahwa saya dijalan tadi bertemu dengan teman namanya Ranah dan anehnya saat saya ingin bercerita lebih lanjut, mulut saya terasa terkunci. Mereka termasuk bapak dan ibu  bilang tidak melihat saya dengan yang lain kecuali sendiri. Mereka juga heran melihat saya bisa pulang sendiri tanpa cedera apa-apa.  Mulut sayapun seperti kembali terkunci saat ingin menceritakan hal yang sebenarnya terjadi.
Saat itu Ranah masih tetap di samping saya hingga saya tertidur di samping ibu. Sesekali saya berbicara dengan Ranah, Ibu langsung menegur saya. ”Jangan ngigau, hayo lekas tidur, kamu capek habis jalan jauh!”  Bapak dan ibu sedikit pun tidak menegur Ranah seperti tidak melihatnya. Sayapun oleh Ranah disuruhnya tidur. Saat saya terbangun, Ranah sudah tidak ada di samping saya. Saya sempat mencarinya keluar rumah, tetapi tidak ketemu juga. Saat ibu bertanya, saya jawab cari teman yang semalam mengantar saya, tetapi ibu tak menggubrisnya selain disuruhnya saya sholat karena kebetulan saat itu sudah menginjak waktu sholat Dzuhur.
Orang-orang di sekeliling saya seperti tidak melihatnya. Hingga hari-hari berikutnya setiap kali saya berucap tentang Ranah dan kampungnya kepada bapak dan ibu serta yang lainnya, mulut saya terasa terkunci. Sayapun dilarang membantu bapak kalau kebetulan lewat perkebunan itu.
Sejak saat itu, setiap kali saya bermain dan teringat dengan Ranah, seketika itu juga Ranah berada didekat saya sambil tersenyum. Saya saling bercerita tentang keseharian d kampung masing-masing bahkan tentang kedua orang tua. Ranah juga sempat menyebutkan kalau kedua orang tuanya sempat marah dengannya dan saya karena kabur pulang ke rumah saya.           
Saat saya tanyakan, kenapa saya bangun pagi, dia tidak ada, dia mengatakan kalau malam itu kedua orang tuanya datang kerumah saya menjempunya. Saat akan saya tanyakan pada ibu dan bapak, kembali mulut ini terasa terkunci rapat.
Waktupun terus berjalan, Saya seringkali ditegur dan dinasehati bahkan dihardik oleh bapak dan ibu serta tetangga rumah pun kerap menasehati saya agar saya tidak ngomong sendirian. Padahal saya jelas-jelas sedang berbicara dengan Ranah. Seperti kejadian sebelumnya,  setiap kali akan menjelaskan, mulut saya selalu terkunci.
Kedua orang tua saya berupaya mengobati saya dengan mendatangkan orang pintar atau juga disebut paranormal dan beberapa ustadz bahkan tidak sekali mereka mengadakan acara ritual untuk mengusir setan dan sebagainya. Setiap kali diadakan pengobatan atau ritual untuk saya,  Ranah memang selalu tidak ada disamping saya sehingga mereka menganggap kalau saya tidak dirasuki makhluk halus dan menyimpulkan saya ini kena penyakit jiwa.  Saya terus mencoba menerangkan dengan berbagai upaya termasuk menulis tetapi entah bagaimana saat saya hendak menulis, tangan saya mendadak tidak bergerak hingga saya bosan mencobanya dan selanjutnya saya diam tak bias berbuat apa-apa.
Setiap kali bertemu dengan Ranah pun saya lupa menanyakan hal ini padanya dan kembali ingat saat dia tidak berada disamping saya.      Kelamaan, orang di sekeliling saya tak lagi menggubris perilaku saya yang dianggap aneh. Keanehan demi keanehan sejak pertemuan dengan Ranah terus terjadi.  Sejak itu beban ekonomi keluarga seperti tidak ada kesulitan bahkan mulai menanjak. Kedua orang tua saya tidak lagi kerja seperti dulu menjadi tukang cuci pakaian dan buruh mencangkul di sawah. Mereka berdagang kelontong kecil-kecilan hingga maju pesat dan membangun rumah lumayan besar.
Awal perubahan itu ketika saya lulus SD, saya beranikan diri menjadi tukang parkir liar di persimpangan jalan yang rawan kemacetan. Hasilnya lumayan buat meneruskan sekolah ke SMP. Saat saya sedang istirahat melepas lelah di bawah pohon, Ranah muncul menemui saya dan memberikan uang cukup yang katanya buat modal berdagang.
Karena saat itu saya masih belum mengerti berdagang, uang itu saya berikan ke bapak dan ibu. Mereka tampak terkejut. Mulut saya pun terkunci saat ingin menjelaskan asal uang itu hingga seperti ada yang mengatur mulut saya dan mengucapkan kalau uang itu boleh nemu dijalan. Akhirnya bapak mau menerima uang itu dan mulailah berdagang kelontong kecil-kecilan hingga maju pesat. Setiap harinya sarat dengan pembeli. Entah darimana mereka, sayapun tidak pernah tahu karena kesibukan saya sekolah dan menjadi tukang parkir liar hingga saya disuruh bapak untuk berhenti dari pekerjaan itu. Sayapun dimintanya tekun bersekolah. Keseharian saya di sekolah memang tak ada yang dianggap aneh oleh teman-teman karena saat-saat itu Ranah memang tak muncul.  Saat ketemu Ranah pun sering berpesan agar saya rajin sekolah dan dia juga sekolah di kampungnya. Saya dan Ranah seringkali bersenda gurau bahkan pernah saling marahan lazimnya teman hingga saya dan Ranah beranjak remaja
Sebagai laki-laki yang mulai remaja, hasratnya untuk memiliki pacar pun  timbul.  Ketika di SMU, saya melirik wanita yang kebetulan siswi sekolah dan mulai mengadakan pendekatan.  Saat saya mengatakan cinta padanya, mendadak   wanita itu langsung jatuh sakit  dan teriak-teriak seperti orang kesurupan.  Dan selanjutnya mencaci maki bahkan sangat benci serta menjauh dari saya.
Demikian dengan wanita lainnya yang saya dekati selalu terjadi seperti itu. Bahkan ada beberapa wanita yang sakit dan selanjutnya meninggal dunia.  Saya tidak mengerti kenapa harus terjadi seperti itu. Masyarakat dikampunng pun geger bahkan di antaranya mencurigai saya orang yang menyantet wanita-wanita itu.
Akhirnya saya putuskan untuk tidak lagi mendekati wanita meski saya merasa suka padanya.  Dan entah kenapa hasrat kelelakian saya timbul setiap kali saya lihat sosok wanita namun  tertahan oleh tekanan batin hingga terjadi sesuatu dengan Ranah.
Suatu malam  saat kedua orang tua saya tidak ada dirumah, Ranah muncul di hadapan saya.
Di tengah pembicaraan, saya mengatakan kejadian demi kejadian setiap kali saya mendekati wanita. Ranah mendadak cemberut, saya mulai membaca perangai Ranah.  Rupanya dia cemburu. Saya pandangi dia dengan mata tak berkedip. Ranah memang cantik. Kulitnya putih langsat dan tubuhnya lumayan seksi. Saya mulai terpancing dan  katakan bahwa saya ingin sekali punya pacar seperti Ranah.  Ranah pun langsung memeluk saya erat dan menyatakan cinta pada saya. Pelukannya yang hangat membuat hasrat kelelakian saya timbul.  Rongga dada terasa semakin bergejolak penuh birahi. Saya langsung mencium bibirnya yang mungil. Dia sambut ciuman saya dengan hangat dan nafasnya yang harum serasa terengah-tengah. Kami berdua saling memagut. Tangan saya maraba liar ke kanan dan ke kiri sampai  ke tubuh Ranah yang sensitif.  Ranah pun terpancing dan melakukan hal yang sama hingga akhirnya melakukan perbuatan tidak senonoh. Kehormatan saya dan Ranah lepas dalam kejadian ini.
Namun ini tak membuat saya dan Ranah bosan. Perbuatan itu terus dilakukan setiap kali ada kesempatan. Hingga pada akhirnya saya mulai sadar akan perbuatan ini dan ada keinginan dalam benak saya untuk menikahi Ranah. Sejujurnya saya sangat mencintai dia.
Ketika suatu saat hal ini saya sampaikan pada Ranah, dia tampak terkejut separuh tersenyum. Dengan ramah dia menjawab kalau dirinya takkan mungkin melakukan pernikahan dengannya karena dirinya dengan diri saya berbeda alam. Bahkan selama ini perbuatannya dengan saya tidak diberitahu kedua orang tuanya, karena ini sangat dilarang. Menurut hukum adat di alamnya,  jika sebangsanya berhubungan intim kepada manusia, maka akan dibunuh dengan cara-cara kejam dengan disayat-sayat satu persatu bagian badannya hingga mati  dan selanjutnya dimakan oleh kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya.
Mendengar hal ini, saya menjadi ngeri.  Namun hal ini tak menyurutkan langkah saya untuk melamarnya. Bahkan saya utarakan padanya saya ingin dipertemukan pada kedua orang tuanya yang dulu pernah bertemu ketika saya kecil. Ranah sambil menangis menyatakan tidak setujunya bahkan dia mengancam untuk meninggalkan saya selamanya jika saya tetap nekat. Dikatakannya agar biarlah dia jalani seperti ini dengan saya. Tak lama kemudian Ranah pamit dan pergi menghilang.
Sesaat setelah Ranah menghilang dari hadapan saya, sayapun merenungi kejadian tadi hingga saya tertlelap tidur.  Dalam tidur saya bermimpi melihat dari kejauhan, Ranah berteriak-teriak minta tolong sambil tangannya menggapai ke arah saya.  Sekucur tubuhnya mengeluarkan cairan kuning bersinar. Ranah disayat-sayat  dengan kejam oleh kedua orang tuanya dan ketika Saya ingin  menolongnya, kaki saya terasa tak bergerak sama sekali hingga saya berteriak keras. Saya terbangun dari mimpi buruk itu dan mulai berpikir meminta bantuan pada orang pintar. Siapa tahu bisa membantu menemukan jalan keluar untuk bisa bersama Ranah selamanya tanpa menimbulkan korban.
Esok  harinya saya pergi menuju salah satu pesantren yang cukup terkenal. Saya ingin sekali  menemui Kyai pimpinan pondok pesatren itu untuk konsultasi sekaligus meminta bantuannya.  Saat saya masuk ke dalam Pesantren, mendadak sekujur tubuh saya panas.    Panaspun semakin menjadi ketika saya mendekat pada sejumlah santri yang sedang mengaji di Surau (ruang mengaji). Sebagian santri melihat saya pucat pasi dan langsung pingsan. Ketika sadar, tampak di hadapan saya, sesosok orang tua memakai jubah putih sedang memegang kening saya. Entah bagaimana, mata saya melotot tajam ke arahnya.
Dengan ramah, dia memperkenalkan diri seorang Kyai pemimpin pondok pesantren itu. Dikatakannya kalau saya baru tersadar dari pingsan. Dengan lembut dia bilang kalau  dalam diri ada zat gaib dari alam lain selain zat yang dimiliki manusia sesuai kodratnya sehingga ketika memasuki tempat orang menimba ilmu tentang spiritual, zat itu bertolak belakang dan memanasi rongga fisik manusia itu seperti terjadi terhadap saya.  Untunglah saat saya pingsan, santri didiknya cepat menolong saya dengan menyirami sekujur tubuh saya dengan air sambil dibacakan mantera-mantera suci agar terlepas dari gangguan itu dan membawanya ke rumah Pak Kyai.
Saya langsung mengutakan maksud kedatangan ke pesantren ini sambil menceritakan semua kejadian yang saya alami selama ini. Sesekali Pak Kyai tampak terkejut mendengar cerita saya hingga setelah itu Kyai bersedia  membantunya. Dengan ramah, Kyai mengatakan bahwa saya tidak akan bisa menikahi Ranah dan menurutnya tidak layak karena Manusia adalah mahluk paling sempurna di dunia ini. Kalau saya memaksanya, maka selain Ranah akan menjadi korban, saya akan mati dan ruh saya takkan diterima di sisi Sang Maha Pencipta dan diceburkan ke neraka jahanam pada hari pembalasan kelak. Diceritakannya bahwa selama ini korban wanita yang pernah didekati oleh saya adalah akibat dari perbuatan Ranah yang tidak ingin saya berhubungan dengan wanita dari alam yang sama seperti saya. 
Kemudian  Pak Kyai  pun membuka  kitab kuning huruf arab kuno dan saya diminta untuk meperhatikan setiap kata yang dibacakannya.  Ternyata dalam kitab itu berisi kisah terjadinya dua alam yakni alam gaib dan nyata berikut dalam kehidupannya.  Sambil terus memperhatikan setiap bacaan dalam kitab itu, terasa satu persatu urat dalam diri saya mengencang keras  tetapi tak lama kemudian mengendur lemas. Pembacaan kitab itu terhenti saat waktu sholat tiba, saya ikut sholat menjadi makmum.  Setiap kali sehabis sholat, batin  saya terasa tenang. 
Sehabis sholat dan berdoa, Pak Kyai pun meneruskan bacaannya hingga mendadak  batin saya berdegup keras dan tak lama kemudian  tampak di hadapan saya Ranah menyapa saya sambil menangis. Dikatakannya kalau dia dipanggil oleh Pak Kyai. Terlihat  Pak Kyai tampak tersenyum dan menganggukkan kepalanya.  Dengan bijak Pak  Kyai menasehati Ranah dan saya. Disarankannya agar hubungan saya diakhiri saja sebelum semuanya terlambat. Kami berdua mendengarkan dengan seksama berbagai nasehat dari Pak Kyai.
Saya dan Ranah harus rela dan ikhlas  berpisah dan hidup di alamnya masing-masing.  Tanpa sadar kamipun mengangguk tanda setuju dan  ikhlas seperti tak punya beban sama sekali.  Tampak dimulut Pak Kyai membaca sesuatu, dan kedua raut muka kami diusapkan oleh Pak Kyai. Entah bagaimana, setelah itu kami terlupa satu sama lainnya. Bahkan saat saya melihat Ranah seperti sesuatu yang asing bagi saya. Selanjutnya dia berubah menjadi sinar kebiru-biruan dan selanjutnya menghilang. Saya seperti sadar sepenuhnya. Dengan menangis terharu saya mencium tangan Pak Kyai menyatakan terima kasih dan bersyukur telah keluar dari lingkaran yang selama ini selalu menghantui saya.
Sedikitpun tak pernah terlintas dihati saya  telah kehilangan sesuatu yang saya sayangi. Semuanya seperti ringan dan biasa saja. Pak Kyai selanjutnya menyuruh saya untuk segera kembali kerumah dan mencium telapak tangan  serta meminta maaf pada kedua orang tua saya dan tak perlu mengutarakan kejadian yang sebenarnya agar mereka tidak terkejut mendengarnya.  Sesampainya di rumah, saya juga melaksanakan perintah Pak Kyai.
Syukurlah, hingga saat ini saya tak pernah ada rasa rindu ataupun sesuatu hasrat untuk bertemu dengan Ranah. Entahlan sedang apa dan di mana dia kini.  Tuhan sangat berkuasa  terhadap  makhluk ciptaannya. KepadaNya semuanya terjadi dan atasNya semua makhluk. Semoga saya senantiasa mendapat perlindungannya. Amin. Tamat.
Loading