Kedua arwah
sahabatnya datang dan mengaku tak kuat lagi menahan siksa api neraka.
Sebagai pemimpin geng, dia dituntut kedua arwah sahabatnya itu untuk
membebaskan mereka dari siksaan. Bagaimana mungkin hal ini bisa
dilakukannya. ..?
Memang benar kata orang bahwa jodoh,
maut, dan rezeki merupakan hal yang misteri atau rahasia Tuhan kepada
manusia. Misalnya saja, sekarang kita kaya, mungkin nanti jadi miskin.
Hari ini jahat, mungkin besok-besok bisa jadi baik. Atau malah yang hari
ini baik, besok berubah jadi penjahat. Demikian seterusnya. Semuanya
berjalan mengikuti siklus yang ada. Siapa yang kuat, dialah yang dapat
bertahan.
Demikian pula yang terjadi dengan sahabat karib saya. Sebut
saja Ki Anom namanya (bukan nama asli). Semasa duduk dibangku SLTA,
karib saya ini tergolong santri, dan sangat rajin menjalankan perintah
agama. Tapi setelah merantau ke pulau Jawa, malah dia berubah menjadi
berandal, pemabok dan pecandu narkoba.
Ki Anom sendirinya sebenarnya
sebuah julukan pemberian saya kepadanya, yang ketika itu masih sama-sama
duduk di bangku SLTA. Mengapa julukan yang nampaknya sacral ini saya
berikan kepadanya? Karena ketika itu dia sangat suka memberikan nasehat
atau petuah-petuah agama kepada saya atau teman yang lainnya, sehingga
bagi saya sebutan Ki Anom itu memang sangat pantas baginya.
Waktu
itu, keberangkatan Ki Anom ke Surabaya sebenarnya untuk menuntut ilmu ke
jenjang yang lebih tinggi lagi. Ya, dia mau kuliah di sebuah
universitas yang sangat didambakannya. Namun karena gagal masuk ke
perguruan tinggi idamannya, dia akhirnya dipaksa kuliah oleh orang
tuanya di kampus yang menjadi pilihan mereka. Meski Ki Anom menolak,
namun kedua orang tuanya tetap saja memintanya kuliah di sana.
Karen
masuk dengan cara terpaksa, maka pantaslah kalau keberadaan Ki Anom di
perguruan tinggi itu hanya berusia seumur jagung. Setelah drop out dari
perguruan tinggi, dia nampaknya lebih tertarik kepada dunia kehidupan
"semau gue" alias brokenhome. Dari sini, dia mulai mengenal bisnis
barang haram yang menghasilkan banyak uang. Ketimbang pusing-pusing
menghadapi pelajaran, dinoa kemudian membuatnya terlena.
Atas ajakan
seorang temannya bernama Bony, akhirnya Ki Anom hengkang juga ke
Jakarta. Karena Jakarta menurutnya punya potensi untuk mengembangkan
usaha haramnya tadi.
Jakarta sebagai kota besar, tentu banyak
menyimpan misteri kehidupan, dari kegiatan yang sifatnya baik-baik
sampai yang palilng buruk pun ada. Karena lingkungan kota besar sangat
memungkinkan bagi setiap orang untuk berbuat yang serba bebas.
Selama
berdiam di Jakarta, gaya hidup Ki Anom mulai berubah. Dia sudah banyak
bergaul dengan orang-orang berandal atau dunia kelam lainnya. Dunia
kekerasan, miras maupun narkoba bukanlah barang yang asing lagi bagi
dirinya.
Bahkan hidup dalam penjara pun pernah dia alami selama 2,5
tahun, karena kasus narkoba. Namun penjara ternyata bukannya membuat Ki
Anom menjadi jera. Yang terjadi malah sebaliknya. Sekeluarnya dari
penjara, Ki Anom berbuat yang lebih nekad lagi. Dia bukan saja sebagai
pemakai dan pengedar, tapi juga berambisi menjadi agen atau pemasok
narkoba.
Nampaknya, kian lama Ki Anom semakin berani menjalankan
operasinya, dan semakin jauh pula kehidupannya dari jalan agama, yang
semasa SMA dulu begitu fasih dikuasainya. Perilakunya semakin rusak dan
sudah berputar 180 derajat dari kehidupannya dulu sebelum merantau ke
Jakarta, dan terlibat dengan pergaulan yang keras.
Sampai pada suatu
hari, terjadilah perkelahian antara geng yang dipimpin Ki Anom dengan
anggota geng lainnya. Korban luka-luka berjatuhan, bahkan korban nyawa
pun tidak bisa dihindari lagi. Untung saja ketika itu, Ki Anom bisa
menyelamatkan diri walau dirinya juga mengalami luka ringan di tubuhnya.
Setelah
perkelahian itu, polisipun berdatangan untuk mengevakuasi lokasi maupun
orang-orang yang terlibat perkelahian tersebut. Sekali lagi Ki Anom
terhindar dari kepungan petugas polisi, kendati ketika itu dia harus
berjam-jam lamanya berada dalam genangan air selokan yang memuakkan.
Kedati
polisi tak dapat menangkapnya, namun jati diri Ki Anom dan
konco-konconya sudah diketahui polisi, dan polisi pun terus berupaya
mencari dan mengejarnya. Karena gerak-geriknya di Jakarta sudah semakin
sempit, akhirnya Ki Anom hengkang lagi ke kampung, guna menyelamatkan
diri dari kejaran polisi.
Dasar Ki Anom, sekembalinya di kampong
halaman pun lagi-lagi dia melakukan kegiatan seperti di Jakarta. Mabok
miras atau narkoba itu sudah menjadi kebiasaannya tiap hari, yang
sepertinya akan sulit untuk ditinggalkannya. Hampir tiap hari kerjanya
mabuk-mabukkan, dan tak seorang pun yang bisa mencegahnya. Bila ada yang
nekad mencegahnya, maka Ki Anom akan murka dan berjanji akan
membunuhnya.
Hingga tibalah di suatu malam, Ki Anom dan teman-teman
barunya di kampong halaman, berpesta mabok-mabokan di rumah kontrakan
tempat persembunyian geng mereka. Begitu hebatnya mereka mabuk, sampai
akhir tanpa sadar mereka semuanya lelap dalam tidurnya. Pada keesokan
harinya sekitar pukul 11.15, baru Ki Anom mulai membuka matanya. Dia
segera bangkit dari tidurnya, lalu duduk. Dia heran karena dilihatnya
semua teman-temannya sudah tidak ada di tempat itu. Mungkin mereka semua
sudah pergi, dan sengaja meninggalkannya seorang diri, sebab tak ada
satupun yang berani membangunkan Ki Anom.
Dengan mata yang masih
merah, dia melotot ke arah pintu. Anehnya, begitu ditatapnya, pintu itu
mengeluarkan bunyi yang agak nyaring, seperti layaknya ada yang
membukanya dari luar. Dan benar saja, pintu itu memang mulai terbuka.
Mata Ki Anom terus memelototinya.
ìJangan-jangan polisi mau meringkusku!î begitu terlintas dalam benak Ki Anom.
Dua
menit kemudian, sebuah gumpalan asap putih masuk lewat sela-sela pintu
yang meregang tadi. Dan lama-lama asap itu membentuk semacam hantu
pocong. Kesadaran Ki Anom sebenarnya belum pulih 100%, dan dengan agak
sempoyongan dia berusaha mendekati pintu yang ada hantu pocongnya itu.
Belum
lagi Ki Anom mencapai pintu itu, asap berupa hantu pocong tersebut
mengeluarkan suara tangisnya yang mengiba-iba. Karuan saja Ki Anom
mundur beberapa langkah dan duduk lagi di atas kasur.
Setelah
menghela nafas keras beberapa kali, Ki Anom memberanikan diri lagi untuk
mendekatinya, namun hantu pocong tersebut berteriak-teriak sambil
mengaduh kesaktian dan akhirnya kembali berubah menjadi gumpalan api. Ki
Anom tercengang melihat pemandangan yang.benar-benar aneh ini.
Setengah
menit kemudian, asap tersebut segera menghilang. Ki Anom menjadi sangat
kaget dan keheranan, dan karena pula dia menjadi sadar betul. Dengan
pelan-pelan Dia mendekati dan meraba pintu itu. Namun tidak ada
apa-apanya, pintu ya tetap pintu.
ìAh, barangkali aku hanya berhalusinasi?î pikir Ki Anom.
Suara
adzan berkumandang dari sebuah masjid dekat rumah itu, bersamaan itu
pula lamunan Ki Anom yang memikirkan kejadian aneh itu buyar. Dia pun
berusaha mendekati jendela dan membukanya, seakan ingin lebih jelas lagi
mendengarkan kalimat panggilan sholat bagi seorang muslim itu.
Dia
lalu menggumam sendirian, ìMasyaa Allah, entah berapa lama sudah aku
tidak melaksanakan sholat, dan entah berapa banyak pula kemaksiatan dan
dosa yang sudah aku lakukan. Astagfirullah al adzim...!î
Mata
memandang jauh dari lubang jendela kamarnya yang berada di tingkat atas.
Dia seakan ingin melakukan kilas balik atas segala perbuatan maksiatnya
yang berlumuran dosa itu. Tanpa terasa beberapa tetes air mata bening
keluar dari kelopak matanya yang sudah tampak mencekung itu.
Waktu
itu, Ki Anom seharian tidak keluar rumah. Dia hanya duduk-duduk di
kamarnya sambil melamun dan merenungi nasibnya yang kini larut dalam
dunia hitam. Bahkan makan pun tidak ada selera. Dia hanya merebus
sebungkus mie instan untuk sekedar mengisi perutnya yang sejak tengah
malam tadi tanpa diisi apapunm, kecuali hanya cairan alcohol yang seakan
membakarnya.
Kendati titik-titik cahaya iman sudah mulai memasuki
batinnya, namun Ki Anom belum terbuka lagi hatinya untuk mengerjakan
shalat. Tapi setidaknya itu sudah merupakan tanda-tanda baginya untuk
kembali ke jalan yang benar. Karena jiwanya masih sangat labil,
bergejolak dan bahkan sedan ak, ketika mendengar suara tangis yang
ternyata persis seperti tangisan hantu pocong tempo hari. Mata Ki Anom
pun menoleh ke arah datangnya suara tangisan itu. Dan ternyata dia
kembali melihat sebuah bayangan, atau persisnya asap putih yang
berbentuk hantu pocong. Sosok aneh ini mengawang-awang di balik jendela
berkaca naco yang belum tertutup gorden.
Kali ini pocong tersebut mengeluarkan kata-katanya, ìBos, tolong saya..Tolong Bos, tubuh saya dibakar api neraka.î
ìHe setan... siapa kamu? Pergi...pergi dari sini!?î bentak Ki Anom, gelagapan
ìJangan
begitu dong, Bos. Saya Bony, teman Bos sendiri. Hanya kepada Bos saya
berani meminta tolong untuk membekaskan saya dari api neraka yang terus
mengepung saya,î ujar asap aneh berbentuk pocongan mayat itu.
Ki Anom
terbelalak. Tubuhnya menggigil hebat, sampai sesaat kemudian hantu
pocong yang mengaku bernama Bony tersebut terbakar api dan lenyap
seketika. Ketika keadaan menjadi tenang, Ki Anom tersentak kaget
mendengar pengakuan pocong yang menyebut dirinya sebagai Bony itu. Dia
ingat, kalau Bony itu adalah teman akrabnya semasa di Jakarta, yang
sering mabuk berduaan bersamaannya. Bahkan tak hanya itu, dia juga
sering menikmati satu perempuan dengan Bony.
ìTapi kenapa bisa jadi
begini?î Ki Anom menggumam sendirian. Sekujur tubuhnya masih merinding
membayangkan kejadian yang baru saja dialaminya.
Malam itu, Ki Anom
kembali tidak bisa tidur semalaman. Karenanya, pada pagi hari sekitar
pukul 08.30 WIT, dia akhirnya tertidur pulas. Namun dalam tidurnya kali
inipun arwah temannya itu terus menterornya dalam mimpi. Bahkan kali ini
Bony dan Bondan datang secara bersamaan. Mereka adalah dua sahabat
karib Ki Anom semasa di Jakarta. Beginilah kurang lebihnya percakapan Ki
Anom dengan kedua temannya dalam mimpi.
ìKami datang berdua kesini minta tolong sama, Bos. Kami telah disiksa dan dibakar dalam kubur.î
ìBagaimana mungkin, aku tidak bisa menolong kalian. Aku tidak tahu bagaimana caranya.î
ìPokoknya Bos harus bisa, dan Bos harus bertanggungjawab. Kami jadi begini kan karena mengikuti ajakan dan perintahmu.î
ìPokoknya juga tidak bisa. Mana mungkin aku bisa menolong kalian!î
ìKalau begitu biar kami berdua yang akan membakarmu, Bos!î
ìJangan... jangan...! Tolong... tolong...tolong...!î
Ki Anom terbangun dari tidurnya, dan dilihatnya beberapa orang penghuni rumah yang ada di lantai bawah berada di dekatnya.
ìAda apa ini?î tanya Ki Anom, gelagapan..
ìBukankah
tadi kamu yang berteriak minta tolong. Lantas kami datang dan kebetulan
pintu kamarmu kamu tidak terkunci,î jawab seseorang.
ìOoo...begitu!
Rupanya tadi aku mengigau. Aku minta maaf. Sekarang, pergilah kalian
semua,î sahut Ki Anom sambil berusaha menyembunyikan kegelisahan
hatinya..
Setelah orang-orang tadi keluar kamarnya, Ki Anom kembali
bergumam sendirian. ìMasya Allah...Laaillahaillallah
Muhammadarrasulullah. Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan Bony dan
Bodan?î
Dia lalu segera bangkit dari pembaringannya, dan duduk
dilantai sambil bersandar di pinggir tempat tidur. Dia lagi-lagi
melamun, dan mengingat kedua temannya, Bony dan Bondan di Jakarta.
ìApa
mereka sudah meninggal?î gumamnya. ìPadahal seingatku, Bony dan Bondan
juga selamat saat terjadi perkelahian di Jakarta. Bahkan mereka sempat
melepaskan keberangkatanku tempo hari ke Lampung. Mungkin sesuatu yang
tidak beres telah menimpa mereka.î
Dua malam kemudian arwah Bony dan
Bondan datang lagi menerornya. Waktu itu, bertepatan dengan Ki Anom
mendapat kabar dari temannya, bahwa barang-barang dari Aceh yang berupa
daun ganja kering akan segera datang pada malam hari tersebut. Bahkan,
transaksi akan segera dilakukan di tempat biasa kawanan mereka bertemu.
Karenanya, malam itu Ki Anom dan dua pengawalnya segera berangkat dengan
naik mobil menuju ke tempat transaksi. Suasana jalan agak sepi. Mungkin
karena cuaca yang sedang gerimis. Kendati demikian, mobil yanhg mereka
kendarai tetap melaju dengan kecepatan 120 Km/jam.
Setelah sekitar
15 menit perjalanan, di sebuah ruas jalan sepi, seketika Ki Anom
menginjak rem mobilnya dengan keras, sehingga membuat arah mobil
berbalik kembali.
ìApa apa, Bos?î Tanya salah seorang temannya yang tadi hampir saja terdorong jatuh dari jok.
ìAh....nggak ada apa-apa, cuma ngantuk saja!î sahut Ki Anom dengan wajah sedikit tegang.
ìPerlu aku gantikan nyetir, Bos?î usul temannya yang satu lagi.
ìEhm...nggak perlu, kan sudah dekat!î kata Ki Anom.
Mobilpun kembali melaju dengan cepat. Namun mendadak Ki Anom berteriak histeris, ìTidaaakkk...jangaaanÖ!?î
Untunglah
dengan cepat temannya yang disamping ikut membantu mengendalikan stir,
kalau tidak pasti sudah menabrak tiang listrik. Setelah keadaan mobil
terkendali, Ki Anom segera menepikan mobilnya di dekat sebuah masjid.
Lalu,
dengan gugup dia menyatakan bahwa dirinya tidak bisa ikut melanjutkan
perjalanan dan melakukan rencana semula, dengan alasan selain ngantuk
juga sedang tidak enak badan. Kali ini dia harus mempercayakan kepada
dua temannya itu untuk melaksanakan tugas yang selama ini dia lakukan
sendiri. Dan kedua temannya yang tidak tahu apa yang terjadi terhadap
diri Ki Anom itupun setuju saja, tanpa curiga dan banyak tanya.
Setelah
kedua temannya pergi untuk melanjutkan perjalanan, dengan langkah
gontai, Ki Anom memasuki pekarangan masjid. Dia menuju kran air untuk
membasuh mukanya yang tampak acak-acakan itu. Dia duduk melamun di teras
masjid dengan pandangan hampa. Dalam pikirannya yang terbayang hanyalah
wajah dua temannya yang di Jakarta, Bony dan Bondan, yang tadi
tiba-tiba saja muncul dikaca depan mobil dan persis di hadapan Ki Anom.
Saat itu, Ki Anom sempat melihat Bony dengan ganasnya menumpahkan bensin
dari jerigen ke seluruh mobil yang dikendarinya. Sementara Bondan sudah
bersiap-siap menyalakan korek apinya. Makanya Ki Anom berteriak
histeris dan langsung mengerem mobilnya, sehingga terpelanting dan
nyaris tidak terkendali lagi..
Hal ini tersebut memang tidak
diceritakannya kepada kedua temannya yang sudah berangkat untuk
transaksi ganja tadi. Dia takut kedua temannya itu akan menganggapnya
naif dan penakut, sehingga kewibawaannya sebagai pemimpin geng jadi
luntur.
Lamunan Ki Anom segera buyar setelah beberapa orang jama'ah
dan imam Masjid datang untuk melaksanakan shalat Subuh. Dan Ki Anom pun
ikut shalat mengikuti ajakan sang imam masjid tersebut.
Setelah
kejadian demi kejadian yang beruntun menimpa Ki Anom, akhirnya dia
berencana untuk secepatnya pergi ke Jakarta guna mengetahui keadaan
sebenarnya yang menimpa Bony dan Bondan, teman akrabnya.
Ketika
berada di Jakarta, Ki Anom segera merubah penampilannya. Dia berpakaian
ala seorang ulama atau kyai, dengan maksud agar polisi tidak
mengenalinya lagi. Ketimbang langsung ke rumah Bony atau Bondan, dia
lebih memilih ke rumah Dodo yang juga salah seorang temannya. Menurut
pertimbangan Ki Anom, rumah Dodo jauh lebih aman dari jangkauan polisi.
Ringkas
cerita, setelah bertemu Dodo yang menyambutnya dengan penuh suka cita,
akhiir Ki Anom tahu bahwa Bony dan Bondan mati ditembak polisi karena
berusaha melarikan diri saat rumahnya digrebek petugas.
ìInnalillahi wa'inna lillahi rajiiun,î cetus Ki Anom dengan suara datar. Air matanya tak terasa jatuh menitik.
Ternyata
firasat buruk Ki Anom menjadi kenyataan. Dan mungkin benar pula Bony
dan Bondan tersiksa di alam kubur sana, karena dosa-dosanya sudah
terlampau banyak, seperti halnya juga Ki Anom sendiri.
Semuanya itu
berpangkal dari Ki Anom, karena dia yang mula-mula mengajak mereka
bergabung dengan kegiatan haramnya. Sehingga pantaslah kalau arwah
mereka bergentayaangan dan selalu menerornya.
Setelah memberikan
sejumlah uang kepada Dodo, Ki Anom segera pamit untuk menuju Surabaya.
ìJaga dirimu baik-baik dan sebaiknya kamu segera bertobat. Sebelum
terlambaty,î katanya.
ìSaya menurut apa kata Bos saja!î sahut Dodo, pendek.
ìInsya
Allah saya bertobat di Surabaya, dan akan mendalami ilmu agama pada
seorang Kyai kenalan saya dulu,î ucap Ki Anom sambil berjalan menuju
mobilnya.
Sesampainya di Surabaya, dia benar-benar mau bertobat. Pria
yang sebelumnya gemar mabuk ini berubah sangat rajin belajar ilmu-ilmu
agama pada seorang Kyai. Akhirnya, berkat kegigihannya menuntut ilmu
agama, selama hampir 10 tahun, maka kini dia benar-benar sudah menjadi
Ki Anom alias Kyai Anom, yang berarti Kyai muda.
Ki Anom sekarang
sudah dikarunia seorang putera dan puteri yang manis-manis, hasil dari
perkawinannya dengan Halimah, puteri dari guru ngajinya selama ini.
Semoga kisah sejati yang dialaminya dapat memberi inspirasi bagi kita
untuk menuju jalan kebaikan.