Kisah mistis ini
sungguh menggetarkan perasaan. Bagaimana bisa vagina seseorang dihuni
oleh seekor binatang berupa Lintah Hijau? Apakah ini penyakit, atau
mungkin kutukan...?
Ketika kakiku menginjak Bumi Lambung
Mangkurat, hatiku langsung terpaut erat di sana. Alamnya yang gemerlap
indah dan masih perawan, sungguh telah menawan hatiku. Sungai-sungai,
hutan, rawa-rawa, dan bukit-bukitnya begitu elok dan membuatku serasa
telah menemukan dunia baru.
Aku pun semakin terikat erat dengan
Lambung Mangkurat begitu berkenalan dengan Emalia, seorang gadis Dayak
Manyan yang telah merampas jiwaku. Aku begitu mencintai gadis ini,
bahkan mungkin dialah cinta pertamaku yang sebenarnya. Karena itu aku
ingin segera menikah dengan Emalia, tetapi kawan-kawanku melarang atau
paling tidak memperingatkan agar aku berpikir ulang untuk mewujudkan
niat itu.
"Emalia bukan seorang gadis, dia tidak perawan lagi!" kata Bonar, mengingatkan.
"Walau Emalia seorang janda, apa salahnya? Aku mencintainya," jawabku, tegas
"Masalahnya,
dia telah menjanda empat kali. Kalau kau menikah dengannya, dia akan
menajdi janda untuk kelima kalinya!" sahut Damai sambil menepuk bahku.
"Jadi,
dia telah beberapa kali menikah?" tanyaku keheranan. Terus terang, baru
kali ini aku mendengar informasi itu. Walau aku tahu Emilia berstatus
sebagai janda, namun kupikir dia baru sekali menikah. Ya, dia cerai mati
karena suaminya meninggal akibat suatu penyakit. Demikian yang pernah
aku dengar.
"Kau ini selalu ketinggalan kereta. Makanya, sebelum kau
memutuskan untuk menikahi Emilia, lebih baik cari dulu informasi agar
kamu tidak terjemurus," tambah si Bonar pula.
"Dari mana kalian tahu semua ini?" tanyaku, penasaran.
"Ya, dari mulut ke mulut!" sahut Ripto yang sejak tadi hanya diam saja.
Ah,
informasi mengenai status Emilia yang telah menjanda empat kali ini
terus terang sangat mengganggu pikiranku. Aku tidak bisa tinggal diam.
Emalia harus kuajak bicara mengenai hal ini. Sebab, jangan-jangan Bonar,
Damai, dan juga Ripto hanya ingin memanas-manasiku. Ya, bisa saja
mereka bercanda untuk menutup perasaan cemburu.. Kalau ini bernar,
sungguh canda mereka sangat keterlaluan.
Hari itu, aku sengaja
menemui Emilia dan mengajaknya bicara berdua. Biasanya kami berdua hanya
berbincang-bincang di teras rumahnya. Tetapi sekarang aku diajak duduk
di sebatang kayu ulin yang tergolek di samping rumah. Di tempat itu kami
dapat berbicara tanpa diganggu oleh adik-adiknya yang sangat akrab
denganku.
"Abang mau tahu tentan kehidupan masa laluku, bukan?"
Emalia mulai membuka pembicaraan. Sepertinya dia sudah bisa membaca
perasaanku.
"Bagaimana kau tahu?" tanyaku, heran.
"Setiap calon
suami selalu ingin tahu masa lalu calon isterinya. Tidak terkecuali
Abang. Ini suatu hal yang wajar, dan aku tidak perlu merasa tersinggung
karenanya."
"Benar, Ema. Tapi sebelumnya aku mohon maaf. Semua ini
terpaksa aku lakukan, karena aku tidak ingin masa lalumu menjadi kendala
kehidupan rumah tangga kita nantinya," jawabku coba bersikap bijak.
"Apa yang ingin Abang ketahui?" tanya Emilia sambil menatapku.
Aku
hanya diam tergugu. Batinku sungguh tak tega untuk menanyakan hal yang
dipergunjingkan oleh teman-temanku semalam. Aku tak ingin melihat wanita
cantik itu bersedih.
"Aku taku apa yang sedang berkecamuk di dalam
hati Abang!" kata Emilia seperti menebak. "Ya, pasti Abang sudah
mendengar cerita tentang aku yang sudah menikah empat kali? Itu, benar
Bang. Aku tidak membantahnya. Dan kalau kita berjodoh, abang adalah
suamiku yang kelima. Dan perlu Abang ketahui, keempat suamiku meninggal
setelah menikahiku. Paling lama hanya tiga bulan. Itupun mereka hanya
berhubungan badan denganku sekali saja. Itulah kisah tentang aku, Bang.
Sekarang, terserang sikap Abang bagaimana!"
Seperti layaknya terbius,
aku tetap diam seribu bahasa. Tenggorokanku seperti tercekat oleh
perasaan yang begitu mengharu di dalam hatiku.
"Sekarang, apa yang Abang perlu ketahui lagi tentang diriku?" tanya Emilia seakan coba mencairkan suasana.
"Ema,
apakah kamu punya ilmu atau apa yang dapat mencelakai para suamimu?"
aku balik bertanya dengan suara yang agak gemetar. Aku sungguh tak mau
menyakiti hatinya.
"Ilmu? Saya tidak punya, Bang! Tapi, semua ini mungkin karena tadirku yang buruk," jawabnya dengan nada sedih.
"Apakah di tubuhmu ada tanda atau semacam gambar seperti tato, misalnya?" pancingku.
"Mengapa Abang tanyakan itu?"
"Soalnya, di Jawa ada perempuan yang setiap kali menikah suaminya pasti meninggal. Mereka disebut Bahu Laweyan. Biasanya, di tubuh mereka ada semacam tato atau tanda bawaan sejak lahir," jawabku.
"Tidak. Tidak ada, Bang. Tubuh Ema mulus, kok. Nanti Abang bisa periksa. Atau kalau Abang mau sekarang juga boleh."
"Tidak, tidak usah. Abang percaya, kok!" jawabku agak kikuk.
Dengan
pandangan menerawang, Emilia lalu berkata, "Terus terang, saya juga
tidak senang dengan keadaan saya yang aneh ini, Bang. Kalau diibaratkan
penyakit, Ema juga ingin sembuh. Ema tidak ingin hanya sebentar bersama
Abang. Ema sangat mencintai Abang. Demi Tuhan, Ema takut nasib Abang
akan sama seperti nasib suami-suami Ema terdahulu!" air mata Emilia
mulia mengalir di atas wajahnya yang halus dan inosen itu.
"Apakah dengan suami-sumai terdahulu Ema tidak mencintainya?"
"Hidup
manusia memang penuh misteri, Bang. Bahkan Ema menganggap seperti
perjudian. Empat kali menikah, ada empat alasan mengapa Ema menganggap
bahwa Abang adalah jodoh Ema. Sejak pertama kali melihat Abang, Ema
percaya bahwa Abang adalah ayah dari anak-anak Ema nanti. Terus terang,
pernikahan Ema sebelumnya adalah karena orang tua semata."
"Baiklah
kalau begitu. Abang akan berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya yang
terjadi dalam dirimu. Kalau sudah ketemu penyebabnya pastilah ada jalan
keluarnya," kataku sambil menyusut air matanya yang telah menganaksungai
di atas wajah cantiknya. Untuk menenangkannya, kubiarkan Emilia larut
dalam pelukanku.
***
Akhirnya, aku berpamitan pulang ke
kampung halamanku di Jawa Tengah. Sebelum berpisah Ema menghadiahiku
ciuman di pipi. Lembut dan sejuk. Ah, cinta yang teramat dalam membuatku
begitu merasakan ketulusan di dalam hati Emilia. Dan tekadku kian
mantap untuk mencari jalan keluar atas apa yang dialami oleh wanita yang
sangat aku cintai itu.
Selama di kampung, waktu senggangku
kuhabiskan untuk mencari tahu penyakit apa sebenarnya yang bersarang di
tubuh calon isteriku itu. Namun hampir semua orang pintar yang kutanya
selalu menggelengkan kepalanya. Tidak tahu apa yang ada dalam diri Ema.
Alhasil, usahaku mencari tahu itu akhirnya gagal. Dan aku memutuskan
untuk kembali ke Lambung Mangkurat. di tempat ini aku bekerja di
perusahaan penebangan kayu yang beroperasi di pedalaman Kalimantan
Tengah. Tepatnya di Tumbang Samba, beberapa kilometer sebelum Rantau
Asem. Sedangkan Ema tinggal di Banjarmasin. Kami bertemu tiga bulan
sekali di saat aku ke Kantor Pusat untuk menyampaikan laporan
Triwulanan.
Aku tak ingin berputus asa. Setibanya kembali di
Kalimantan, aku terus mencari informasi ke oang pintar di sana. Namun,
sejumlah sesepuh orang Dayak di sepanjang Sungai Katingen yang sudah
kutanyai, tidak ada seorang pun yang dapat memberikan jawaban yang
memuaskan.
Setelah berkeliling tanpa hasil, akhirnya aku nasib
mempertemukanku dengan seorang Kyai di daerah Kota Kandangan. Menurut
silsilahnya, beliau masih keturunan Kyai yang dulu datang dari Kerajaan
Demak membantu Pangeran Samudera. Beliau adalah Kyai Abdullah Syafei.
"Saya
heran. Setelah setelah sekian puluh tahun saya tidak mendengar adanya
kasus seperti ini, sekarang muncul lagi di Banjarmasin," kata sang Kyai
setelah mendengar suluruh rangkaian cerita yang aku tuturkan mengenai
Emilia.
"Sebenarnya apa yang tengah dialami oleh calon isteri saya itu, Kyai. Penyakit atau kutukan?" tanyaku setengah mendesak.
"Begini,
agar lebih jelas lagi, saya kira calon isterimu ajaklah kesini. Dengan
demikian aku dapat memastikan apa yang tengah dialaminya," kata Kyai
Abdullah Safei.
"Baiklah, Kyai. Besok Emalia akan saya ajak menghadap Kyai. Lebih cepat lebih baik." kataku menyanggupi.
Setelah
berpermitan saya lalu kembali ke Banjarmasin. Setibanya di Banjarmasin,
aku temui Emilia dan kuceritakan prihal pertemuanku dengan Kyai
Abdullah. Akhirnya, Emalia mau berobat ke Kyai Abdullah di Kandangan.
Hari
itu, kami kembali bertatap muka dengan Kyai Abdullah. Setelah
berbincang-bincang sejenak, Emalia diminta untuk keluar sebentar.
Setelah dia keluar, Kyai memintaku agar segera menikahi Emalia.
"Apakah tidak berbahaya, Kyai?" tanyaku sedikit kuatir.
"Tidak!
Hanya kamu yang dapat menyembuhkan calon isterimu itu. Dengan
menikahinya secara resmi, kamu telah menjadi suaminya, maka kamu dapat
menghilangkan penyebab penyakit calon isterimu itu," jelas Kyai
Abdullah.
"Bagaimana mungkin, Kyai?" desakku.
"Ketahuilah, di
rahim calon isterimu itu dihuni oleh seekor binatang langka berwujud
Lintah Hijau. Binatang itu suka sekali menghisap air mani. Dia akan
menempel ke ujung penis yang masuk ke dalam, maaf, lubang vagina," jelas
Kyai lagi.
"Kenikmatan yang luar biasa akan dirasakan oleh suami
tanpa menyadari adanya bahaya yang mengancam jiwanya. Sewaktu menghisap
sperma ludah Lintah Hijau yang sangat beracun itu memasuki tubuh
korbannya melalui saluran sperma atau saluran kencing. Akibat pertama
yang dialami korban adalah impotensi total. Bekerjanya racun itu sangat
hebat dan cepat. Tidak lebih dari empat jam si korban sudah dibuat tidak
berdaya. Kemudian menjalar ke seluruh tubuh dan menghancurkan sistem
kekebalan tubuh," tambahnya membuat bulu kudukku merinding.
"Bagaimana orang tega melakukan kekejaman seperti itu, Kyai?" tanyaku sambil menekan perasaan.
"Sebenarnya
Lintah Hijau itu tadinya dimaksudkan untuk mencegah perselingkuhan.
Siapa yang berhubungan dengan isterinya tanpa mengetahui bahwa isterinya
dihuni Lintah Hijau, dalam waktu yang sangat singkat akan meninggal."
"Apakah Kyai tahu bagaimana Emalia memiliki itu?"
"Warisan
orang tua. Ketika ibunya meninggal Emalia masih kecil. Lintah Hijau
akan keluar dari sarangnya begitu yang dihuni meninggal. Maka oleh
ayahnya Linta Hijau itu diambil dan dimasukkan ke dalam vagina anaknya.
Sayang sekali sebelum sempat memberitahukan keberadan Lintah Hijau dan
penangkalnya ayah Emalia menyusul isterinya. Meninggal."
"Apakah Kyai sudah punya penangkalnya?" tanyaku.
"Belum. Baru akan saya buat. Nanti akan kuberkan kepadamu menjelang kalian menikah."
Ringkas
cerita, aku dan Emalia sudah menetapkan hari pernikahan. Satu minggu
menjelang hari H, aku kembali ke Kandangan untuk mengambil penangkal
Lintah Hijau itu. Aku tidak tahu terbuat dari bahan apa. Sepintas
seperti fosfor. Ya, bubuk berwarna hijau. Bila di tempat gelap tampak
menyala. Wadahnya berupa botol kaca bergaris tengah 5 cm dengan panjang
12 cm.
Akhirnya, kami menikah. Pestanya cukup meriah. Setelah pesta
usai kami berdua mendapat kesempatan untuk menikmati malam pertama.
Tentu saja aku punya tugas untuk membebaskan isteriku dari Lintah Hijau
terkutuk itu.
"Demi kebahagian kita, turuti saja perintahku. Aku tidak mungkin membuatmu menderita," bisikku dengan mesra.
"Terserah Abang saja, asal Abang bahagia!" jawabnya dengan suara bergetar.
Aku
mulai bereaksi sesuai petunjuk Kyai Abdullah. Lampu kamar kumatikan.
Untuk sekejap aku tidak mampu melihat apapun. Kemudian aku naik ke
ranjang. Kubisikan ke telinga isterku agar melapaskan pakaiannya. Ia
menurutinya.
Kemudian kaki isteriku sedikit kutekuk, lalu kusuruh dia
dalam posisi mengangkang. Dengan cepat botol yang berisi bubuk hijau
itu kubuka tutupnya lalu kuletakkan di depan kemaluan isteriku. Di dalam
gelap bubuk hijau tampak menyala.
Tidak sampai sepuluh menit
kemudian, kulihat kemaluan isteriku memancarkan warna hijau terang. Dari
lubang kemaluannya keluar seekor Lintah berwarna hijau terang. Makhlun
aneh itu bergerak perlahan menuju ke botol yang kutaruh di depan
kemaluan isteriku. Seorang tersedot oleh bubuk di dalam botol, makhluk
itu terus masuk ke dalamnya.
Begitu Lintah itu memasuki botol sampai
di tengah, segera kututup botol itu dan kumasukkan ke dalam kantong
hitam yang sudah disiapkan oleh Pak Kyai. Lalu, kupeluk isteriku dengan
penuh haru.
Semalaman itu kami hanya tidur sambil berpelukan. Tidak
ada nafsu. Yang ada hanya cinta kasih dan sayang. Aku sangat bahagia
sebab telah membebaskan isteriku dari "penyakit" atau boleh disebut
sebagai "kutukan" yang maha dahsyat.
Setelah beberapa hari meminum
ramuan dan membersihkan kemaluan air pemberian Kyai Abdullah, barulah
kami dapat berhubungan badan. Dan kami hidup bahagia sampai sekarang...