Sungai Citarum selalu dituding sebagai penyebab utama terjadinya
banjir di kawasan Kabupaten Bandung, juga daerah-daerah lain di
sepanjang aliran sungai terbesar sekaligus terpanjang di Provinsi Jawa
Barat itu. Induk sungai ini berhulu dari tujuh mata air yang berinduk
dari sumber-sumber mata air lainnya yang ada di kawasan gunung-gunung
besar yang berada di sekeliling kawasan Bandung. Dari selatan ada anak
sungai besar bernama Cisangkuy, dan dari utara ada anak sungai
Cikapundung. Kedua anak sungai tersebut bermuara di Citarum, kawasan
bekas Ibukota Bandung lama, yakni Baleendah dan Dayeuhkolot. Karena itu
sangat wajar kiranya, jika pada puncaknya musim penghujan tiba, kedua
titik ini dapat dipastikan akan dilanda luapan air sungai yang melimpah,
alias banjir.
Tahun ini, berdasar pengakuan para penduduk perkampungan korban
banjir di kedua daerah tersebut, merupakan banjir terbesar. Di samping
luapan banjir yang begitu cepat, juga kawasana yang terkena banjir pun
semakin luas. Rumah-rumah atau perkampungan yang biasanya tidak terkena,
kini ikut terendam banjir. Bahkan jalan raya yang sengaja dibangun
lebih tinggi pun, ikut pula tergenang, sehingga berdampak terputusnya
arus transportasi.
Terlepas dari cerita tentang banjir, sebagaimana hasil investigasi
Misteri, di balik namanya yang terkenal itu, Citarum ternyata banyak
menyimpan cerita misteri yang menarik digali sekaligus diketahui. Konon,
nama Citarum sebagai sebuah sungai tua sudah ada sejak zaman sebelum
kota Bandung terbentuk. Bahkan, nama Citarum sudah dikenal dan sudah ada
jauh tatkala kawasan Bandung masih berupa cekungan, atau sebelum
terjadinya pristiwa Bandung menjadi sebuah danau raksasa, yang lebih
masyhur dikenal dengan nama telaga. Ini terjadi untuk jangka waktu
ratusan tahun lamanya.
Sebagaimana catatan sejarah yang dapat dibaca, bahwa konon kawasan
Bandung dulunya masih berupa hutan, dengan cekungan yang ada di bawah
kaki Gunung Sunda. Di bagian utara cekungan ini sejak dulunya telah
dibelah oleh sebuah aliran sungai bernama Citarum, yang titik hulunya
berasal dari sebuah gunung lain di kawasan selatan, dengan arah
alirannya menuju ke barat hingga menembus sebuah gunung lainnya yang ada
disana, sebelum akhirnya terus mengalir ke kawasan luar Bandung yang
ada di sebelah barat.
Karena suatu peristiwa alam yang menghebohkan, yakni meleutusnya Gunung
Sunda yang disebutkan berada di bagian utara Bandung saat ini, maka
dampaknya antara lain terjadinya luapan larva, serta bebatuan-bebatuan
besar. Kesemuanya itu mengalir memenuhi aliran Sungai Citarum.
Karena aliran Sungai Citarum menuju ke laut yang berada di bagian barat
Pulau Jawa yang sebelumnya harus melewati terowongan sungai di bawah
Gunung Sunda, oleh sebab banyaknya bebatuan yang terbawa serta limpahan
larva akhirnya tersumbat. Aliran sungai yang melewati terowongan secara
otomatis tertampung di antara cekungan Bandung. Karena peristiwa ini,
konon, untuk sekian ratusan tahun lamanya kawasan Bandung pun terendam
dan berubah menjadi sebuah danau atau telaga raksasa. Hingga pada priode
ratusan tahun berikutnya sumbatan bebatuan itu kembali terkikis dan
Bandung pun kembali berubah menjadi daratan yang dialiri oleh banyak
sungai-sungai kecil, yang kesemuanya berinduk pada sebuah sungai besar
bernama Citarum.
Kendati demikian, siapa sangka kalau Citarum yang selalu dituding
sebagai pangkal penyebab banjir di kawasan Bandung itu asal muasalnya
adalah dari sebuah selokan, atau setidaknya hanyalah sebuah sungai
kecil yang berasal dari kawasan hutan Gunung Wayang, Pangalengan.
Menurut cerita, sedikitnya ada tujuh atau lima buah sumber mata air yang
kemudian mengalir membentuk Sungai Citarum. Sumber-sumber mata air itu
mengalir dari sela-sela bebatuan di puncak Gunung Wayang itu kesemuanya
mengalir dan tertampung pada sebuah kolam penampungan kecil yang berada
di bagian kaki gunung setinggi 2181 meter diatas permukaan laut
tersebut. Akhirnya air tersebut mengalir melalui selokan-selokan kecil
yang membelah areal pesawahan dan perkampungan.
Namun, siapa sangka pula bahwa sumber air yang tertampung pada kolam
kecil di kaki Gunung Wayang itu, sejak lama dikenal sebagai sumber air
keramat. Pada setiap hari atau bulan-bulan tertentu, sumber air tersebut
kerap didatangi banyak peziarah yang bertujuan mendapatkan berkah.
“Sumber air ini merupakan sumber air keramat yang ada di Gunung Wayang,
di samping tempat-tempat lainnya yang berada di atas bagian gunung ini,”
jelas Pak Oman (63), sesepuh setempat yang kepada Misteri.
Disampikan pula oleh Pak Oman, bahwa disamping banyak didatangi oleh
para peziarah yang tujuannya bermacam-macam, sejak lama sekali kawasan
Gunung Wayang telah menjadi semacam tempat wajib yang mesti diziarahi
oleh mereka yang berhasrat menjadi dalang.
“Hampir semua dalang besar yang namanya kini terkenal, pasati pernah mendatangi gunung ini,” tandasnya.
Selain sumber air keramat, di kawasan ini pun terdapat sebuah makam
petilasan yang dianggap sebagai bagian leluhur pegunungan gaib hulu
Citarum. Makam tersebut berada tepat di sebelah kanan sumber air dan
dikenali dengan sebutan Makam Eyang Dipati Ukur.
“Bisanya, setelah melakukan ritual mandi di sumber air Citarum, maka
selanjutnya para peziarah pun melakukan ziarah ke makam Eyang Dipati
Ukur. Mereka umumnya melakukan ritual pengukuran tongkat,” tambah Pak
Oman.
Lebih lanjut kakek puluhan cucu ini menjelaskan, bahwa ritual tongkat
yang dipotong sepanjang dua rentangan tangan (Sadeupa: B. Sunda) itu
merupakan sibol keberuntungan. Biasanya, setelah melakukan ritual khusus
peziarah akan melakukan pengukuran makam dengan tongkat tersebut. Kalau
ternyata panjang makam sama dengan tongkat, maka segala permaksudan si
peziarah akan tercapai. Sebaliknya, bila panjang tongkat tidak sama
dengan panjang makam, maka permaksudannya masih belum saatnya
terkabulkan. Uniknya, ada saja peziarah yang mengalami kejadian seperti
ini. Aneh, memang. Tapi begitulah kenyataan yang terjadi.
Berdasar informasi yang berhasil dihimpun Misteri, alur Sungai Citarum
yang mengalir dari hulu hingga ke titik paling akhir dari kawasan
Bandung, konon terbagi dalam dua alur kekuatan dimensi gaib. Dari arah
hulu hingga titik tengahnya yang berada di sekitaran kawasan
Daeyeuhkolot, memiliki penguasa gaib yang berwujud seekor kerbau siluman
yang tanduknya yang seperti patah menggelantung ke bawah, atau dalam
istilah masyarakat setempatnya disebut Munding Dongkol.
Menurut pengakuan kebanyakan masyarakat sepuh di sana, konon kemunculan
kerbau jejadian ini biasanya terjadi menakala air Sungai Citarum akan
meluap atau banjir. Kerbau jejadian tersebut jika kebetulan ada yang
melihat penampakannya dan dia sedang berenang di tengah sungai dari arah
hulu ke titik batas kekuasaannya, maka dapat dipastikan banjir besar
akan berlangsung.
“Seperti pada saat akan terjadinya banjir besar akibat meluapnya Sungai
Citarum pada sekitar tahun 1986 silam. Dengan mata kepala sendiri, saya
sempat menyaksikan penampakkan kerbau siluman Munding Dongkol itu. Dia
sedang berenang-renang di tengah sungai. Namun pada saat menjelang
banjir besar sekarang saya tidak melihatnya. Mungkin ada orang lain yang
sempat melihatnya,” cerita Pak Oyo (50), penduduk sebuah perkampungan
di Dayeuhkolot.
Dijelaskan pula, Munding Dongkol yang biasanya muncul sebagai pertanda
akan terjadinya banjir itu, yang akan terlihat cuma bagian kepalanya
saja. “Dia akan nampak seperti kerbau yang tenggelam dan mengalir
terbawa arus!” tandasnya.
Sementara itu, dari kawasan Dayeuhkolot hingga ke alur paling akhir,
yakni di ujung paling barat kawasan Badung, konon Sungai Citarum ini
memiliki penunggu gaib lainnya, yang berwujud seekor ular besar berwarna
hitam dengan lingkaran putih dibagian lehernya, atau menyerupai kalung.
Ular jejadian ini oleh masyarakat setempat dikenali dengan sebutan
Raden Kalung. Penamaan ini konon karena asal muasalsi ular merupakan
seorang putera bupati yang sempat mengawini perempuan dari bangsa jin.
Raden Kalung menjadi penguasa gaib Sungai Citarum konon tidak lain adalah atas perintah ayahandanya sendiri.
“Raden Kalung itu merupakan penunggu sungai yang baik, karena biasanya
dia akan membantu menolong orang-orang yang tenggelam di sungai.
Terutamanya adalah mereka yang memiliki hubungan saudara dengannya, ”
cerita Mardiyah (65), seorang ibu yang ditemui Misteri dan ditinggal di
sebuah perkampungan tepian Citarum.
Lebih lanjut dijelaskan oleh wanita tua yang juga mengaku memiliki
hubungan keturunan dengan sosok Raden Kalung ini, bahwa konon wujud
sebenarnya dari ular jadi-jadian itu ialah bagian kepalanya merupakan
kepala manusia. Persisnya kepala seorang laki-laki berwajah tampan.
Mengiringi cerita terjadinya banjir besar yang melanda kawasan Bandung
tahun ini, warga di beberapa perkampungan yang ada di dua kecamatan
berbeda, yakni Baleendah dan Dayeuhkolot, dalam selang waktu yang
berbeda pula, sempat dihebohkan oleh sebuah kejadian aneh. Ketika air
Sungai Citarum itu meluap hingga menggenangi daratan, warga di kedua
perkampungan tersebut dikabarkan sempat mendapat dua ekor ular berukuran
yang sangat besar. Ular tersebut berjenis sanca kembang dengan ukuran
panujang sekitar enam meteran.
Keanehan ular tersebut hingga kini masih menjadi cerita dan tanda tanya
yang belum terjawab. Diceritakan, setelah kedua ular tersebut berhasil
di tangkap secara beramai-ramai oleh masing-masing warga di kedua
kampung tadi, esok paginya kedua hewan itu sama-sama hilang dari
kandangnya. Padahal, kedua ular tersebut disimpan dalam sebuah tempat
berupa peti dari kayu yang besar dan siangnya sempat menjadi tontonan di
tengah bajir. Yang tak kalah aneh, peti tempat penyimpanannya masih
dalam keadaan utuh.
Apakah kedua ekor ular itu merupakan sosok gaib yang menjadi bagian dari
penunggu Sungai Citarum? Atau jangan-jangan hewan itu merupakan
perwujudan dari penguasa gaib bernama Raden Kalung? Sungguh sebuah
pertanyaan menggelitik yang selamanya selalu menarik untuk terus
diterlusuri.
BOKS:
CITARUM
DI ZAMAN TARUMANEGARA
Situs Batujaya Karawang diduga merupakan sisa-sisa peninggalan dari
Kerajaan Tarumanagara. Demikian juga dengan situs candi yang ditemukan
di daerah Bojongmenje Rancaekek, Kabupaten Bandung. Makna kedua temuan
ini bagi masyarakat Jawa Barat merupakan suatu hal yang sangat berarti
untuk memperjelas keberadaan orang-orang Sunda dalam pentas sejarah di
Pulau Jawa pada masa klasik, yaitu masa sebelum pengaruh Islam masuk dan
berkembang.
Temuan Candi di Batujaya Karawang erat kaitannya dengan Prasasti Tugu,
yaitu prasasti yang terdapat di Desa Tugu, dekat Tanjung Priok. Dalam
Prasasti Tugu tersebut dinyatakan bahwa Raja Purnawarman memerintahkan
untuk menggali dua kanal, yaitu Candrabaga dan Gomati, di mana kedua
kanal tersebut alirannya terlebih dahulu dibelokkan ke sekitar istananya
dan kemudian dialirkan kembali ke muara.
Panjangnya kanal tersebut setelah digali sejauh 6.122 tumbak, oleh Prof.
Dr. Poerbatjaraka diperkirakan panjangnya 11 km. Jika perkiraan
Purbatjaraka ini digunakan sebagai patokan dalam menelusuri bekas
reruntuhan keraton Tarumanegara, maka situs Batujaya tersebut merupakan
lokasi yang paling tepat untuk diasumsikan sebagai lokasi bekas keraton
Raja Purnawarman. Ini karena jarak antara lokasi situs dengan Muara
Bendera (tempat terpecahnya aliran sungai Citarum menjadi dua, yaitu
yang menuju Muara Pakis dan yang menuju Muara Gembong) berjarak sekitar
11 kilometer. Perkampungan yang terletak antara dua pecahan aliran
Sungai Citarum sampai bibir Pantai Pakis dan Muara Gembong merupakan
sebuah delta yang terus mengalami pendangkalan akibat kegiatan
sedimentasi yang dibawa oleh aliran Sungai Citarum.
Dugaan bahwa pantai purba tempat bermuaranya kanal Candrabaga dan Gomati
yang digali oleh Raja Purnawarman terletak di Muara Bendera,
berdasarkan pada kegiatan sedimentasi sungai yang terjadi pada aliran
Sungai Citarum. Dari arah hulu, aliran sungai membawa sumber-sumber
endapan seperti sampah dan lumpur yang kemudian membentuk delta pada
Muara Bendera tersebut. Akibat sedimentasi yang terus menerus tersebut,
telah memperbesar areal delta dan memecah aliran Sungai Citarum menjadi
dua, yaitu yang menuju Muara Pakis dan yang menuju Muara Gembong.
Jarak antara Muara Bendera ke Muara Pakis sekarang sekitar 12 km dan
yang menuju Muara Gembong kira-kira berjarak 15 km. Penelitian geologi
di daerah sekitar Muara Bendera mungkin akan memberikan jawaban yang
lebih akurat tentang dugaan letak muara purba seperti yang tertulis
dalam Prasasti Tugu.
Sungai Citarum selalu dituding sebagai penyebab utama terjadinya
banjir di kawasan Kabupaten Bandung, juga daerah-daerah lain di
sepanjang aliran sungai terbesar sekaligus terpanjang di Provinsi Jawa
Barat itu. Induk sungai ini berhulu dari tujuh mata air yang berinduk
dari sumber-sumber mata air lainnya yang ada di kawasan gunung-gunung
besar yang berada di sekeliling kawasan Bandung. Dari selatan ada anak
sungai besar bernama Cisangkuy, dan dari utara ada anak sungai
Cikapundung. Kedua anak sungai tersebut bermuara di Citarum, kawasan
bekas Ibukota Bandung lama, yakni Baleendah dan Dayeuhkolot. Karena itu
sangat wajar kiranya, jika pada puncaknya musim penghujan tiba, kedua
titik ini dapat dipastikan akan dilanda luapan air sungai yang melimpah,
alias banjir.
Tahun ini, berdasar pengakuan para penduduk perkampungan korban
banjir di kedua daerah tersebut, merupakan banjir terbesar. Di samping
luapan banjir yang begitu cepat, juga kawasana yang terkena banjir pun
semakin luas. Rumah-rumah atau perkampungan yang biasanya tidak terkena,
kini ikut terendam banjir. Bahkan jalan raya yang sengaja dibangun
lebih tinggi pun, ikut pula tergenang, sehingga berdampak terputusnya
arus transportasi.
Terlepas dari cerita tentang banjir, sebagaimana hasil investigasi
Misteri, di balik namanya yang terkenal itu, Citarum ternyata banyak
menyimpan cerita misteri yang menarik digali sekaligus diketahui. Konon,
nama Citarum sebagai sebuah sungai tua sudah ada sejak zaman sebelum
kota Bandung terbentuk. Bahkan, nama Citarum sudah dikenal dan sudah ada
jauh tatkala kawasan Bandung masih berupa cekungan, atau sebelum
terjadinya pristiwa Bandung menjadi sebuah danau raksasa, yang lebih
masyhur dikenal dengan nama telaga. Ini terjadi untuk jangka waktu
ratusan tahun lamanya.
Sebagaimana catatan sejarah yang dapat dibaca, bahwa konon kawasan
Bandung dulunya masih berupa hutan, dengan cekungan yang ada di bawah
kaki Gunung Sunda. Di bagian utara cekungan ini sejak dulunya telah
dibelah oleh sebuah aliran sungai bernama Citarum, yang titik hulunya
berasal dari sebuah gunung lain di kawasan selatan, dengan arah
alirannya menuju ke barat hingga menembus sebuah gunung lainnya yang ada
disana, sebelum akhirnya terus mengalir ke kawasan luar Bandung yang
ada di sebelah barat.
Karena suatu peristiwa alam yang menghebohkan, yakni meleutusnya Gunung
Sunda yang disebutkan berada di bagian utara Bandung saat ini, maka
dampaknya antara lain terjadinya luapan larva, serta bebatuan-bebatuan
besar. Kesemuanya itu mengalir memenuhi aliran Sungai Citarum.
Karena aliran Sungai Citarum menuju ke laut yang berada di bagian barat
Pulau Jawa yang sebelumnya harus melewati terowongan sungai di bawah
Gunung Sunda, oleh sebab banyaknya bebatuan yang terbawa serta limpahan
larva akhirnya tersumbat. Aliran sungai yang melewati terowongan secara
otomatis tertampung di antara cekungan Bandung. Karena peristiwa ini,
konon, untuk sekian ratusan tahun lamanya kawasan Bandung pun terendam
dan berubah menjadi sebuah danau atau telaga raksasa. Hingga pada priode
ratusan tahun berikutnya sumbatan bebatuan itu kembali terkikis dan
Bandung pun kembali berubah menjadi daratan yang dialiri oleh banyak
sungai-sungai kecil, yang kesemuanya berinduk pada sebuah sungai besar
bernama Citarum.
Kendati demikian, siapa sangka kalau Citarum yang selalu dituding
sebagai pangkal penyebab banjir di kawasan Bandung itu asal muasalnya
adalah dari sebuah selokan, atau setidaknya hanyalah sebuah sungai
kecil yang berasal dari kawasan hutan Gunung Wayang, Pangalengan.
Menurut cerita, sedikitnya ada tujuh atau lima buah sumber mata air yang
kemudian mengalir membentuk Sungai Citarum. Sumber-sumber mata air itu
mengalir dari sela-sela bebatuan di puncak Gunung Wayang itu kesemuanya
mengalir dan tertampung pada sebuah kolam penampungan kecil yang berada
di bagian kaki gunung setinggi 2181 meter diatas permukaan laut
tersebut. Akhirnya air tersebut mengalir melalui selokan-selokan kecil
yang membelah areal pesawahan dan perkampungan.
Namun, siapa sangka pula bahwa sumber air yang tertampung pada kolam
kecil di kaki Gunung Wayang itu, sejak lama dikenal sebagai sumber air
keramat. Pada setiap hari atau bulan-bulan tertentu, sumber air tersebut
kerap didatangi banyak peziarah yang bertujuan mendapatkan berkah.
“Sumber air ini merupakan sumber air keramat yang ada di Gunung Wayang,
di samping tempat-tempat lainnya yang berada di atas bagian gunung ini,”
jelas Pak Oman (63), sesepuh setempat yang kepada Misteri.
Disampikan pula oleh Pak Oman, bahwa disamping banyak didatangi oleh
para peziarah yang tujuannya bermacam-macam, sejak lama sekali kawasan
Gunung Wayang telah menjadi semacam tempat wajib yang mesti diziarahi
oleh mereka yang berhasrat menjadi dalang.
“Hampir semua dalang besar yang namanya kini terkenal, pasati pernah mendatangi gunung ini,” tandasnya.
Selain sumber air keramat, di kawasan ini pun terdapat sebuah makam
petilasan yang dianggap sebagai bagian leluhur pegunungan gaib hulu
Citarum. Makam tersebut berada tepat di sebelah kanan sumber air dan
dikenali dengan sebutan Makam Eyang Dipati Ukur.
“Bisanya, setelah melakukan ritual mandi di sumber air Citarum, maka
selanjutnya para peziarah pun melakukan ziarah ke makam Eyang Dipati
Ukur. Mereka umumnya melakukan ritual pengukuran tongkat,” tambah Pak
Oman.
Lebih lanjut kakek puluhan cucu ini menjelaskan, bahwa ritual tongkat
yang dipotong sepanjang dua rentangan tangan (Sadeupa: B. Sunda) itu
merupakan sibol keberuntungan. Biasanya, setelah melakukan ritual khusus
peziarah akan melakukan pengukuran makam dengan tongkat tersebut. Kalau
ternyata panjang makam sama dengan tongkat, maka segala permaksudan si
peziarah akan tercapai. Sebaliknya, bila panjang tongkat tidak sama
dengan panjang makam, maka permaksudannya masih belum saatnya
terkabulkan. Uniknya, ada saja peziarah yang mengalami kejadian seperti
ini. Aneh, memang. Tapi begitulah kenyataan yang terjadi.
Berdasar informasi yang berhasil dihimpun Misteri, alur Sungai Citarum
yang mengalir dari hulu hingga ke titik paling akhir dari kawasan
Bandung, konon terbagi dalam dua alur kekuatan dimensi gaib. Dari arah
hulu hingga titik tengahnya yang berada di sekitaran kawasan
Daeyeuhkolot, memiliki penguasa gaib yang berwujud seekor kerbau siluman
yang tanduknya yang seperti patah menggelantung ke bawah, atau dalam
istilah masyarakat setempatnya disebut Munding Dongkol.
Menurut pengakuan kebanyakan masyarakat sepuh di sana, konon kemunculan
kerbau jejadian ini biasanya terjadi menakala air Sungai Citarum akan
meluap atau banjir. Kerbau jejadian tersebut jika kebetulan ada yang
melihat penampakannya dan dia sedang berenang di tengah sungai dari arah
hulu ke titik batas kekuasaannya, maka dapat dipastikan banjir besar
akan berlangsung.
“Seperti pada saat akan terjadinya banjir besar akibat meluapnya Sungai
Citarum pada sekitar tahun 1986 silam. Dengan mata kepala sendiri, saya
sempat menyaksikan penampakkan kerbau siluman Munding Dongkol itu. Dia
sedang berenang-renang di tengah sungai. Namun pada saat menjelang
banjir besar sekarang saya tidak melihatnya. Mungkin ada orang lain yang
sempat melihatnya,” cerita Pak Oyo (50), penduduk sebuah perkampungan
di Dayeuhkolot.
Dijelaskan pula, Munding Dongkol yang biasanya muncul sebagai pertanda
akan terjadinya banjir itu, yang akan terlihat cuma bagian kepalanya
saja. “Dia akan nampak seperti kerbau yang tenggelam dan mengalir
terbawa arus!” tandasnya.
Sementara itu, dari kawasan Dayeuhkolot hingga ke alur paling akhir,
yakni di ujung paling barat kawasan Badung, konon Sungai Citarum ini
memiliki penunggu gaib lainnya, yang berwujud seekor ular besar berwarna
hitam dengan lingkaran putih dibagian lehernya, atau menyerupai kalung.
Ular jejadian ini oleh masyarakat setempat dikenali dengan sebutan
Raden Kalung. Penamaan ini konon karena asal muasalsi ular merupakan
seorang putera bupati yang sempat mengawini perempuan dari bangsa jin.
Raden Kalung menjadi penguasa gaib Sungai Citarum konon tidak lain adalah atas perintah ayahandanya sendiri.
“Raden Kalung itu merupakan penunggu sungai yang baik, karena biasanya
dia akan membantu menolong orang-orang yang tenggelam di sungai.
Terutamanya adalah mereka yang memiliki hubungan saudara dengannya, ”
cerita Mardiyah (65), seorang ibu yang ditemui Misteri dan ditinggal di
sebuah perkampungan tepian Citarum.
Lebih lanjut dijelaskan oleh wanita tua yang juga mengaku memiliki
hubungan keturunan dengan sosok Raden Kalung ini, bahwa konon wujud
sebenarnya dari ular jadi-jadian itu ialah bagian kepalanya merupakan
kepala manusia. Persisnya kepala seorang laki-laki berwajah tampan.
Mengiringi cerita terjadinya banjir besar yang melanda kawasan Bandung
tahun ini, warga di beberapa perkampungan yang ada di dua kecamatan
berbeda, yakni Baleendah dan Dayeuhkolot, dalam selang waktu yang
berbeda pula, sempat dihebohkan oleh sebuah kejadian aneh. Ketika air
Sungai Citarum itu meluap hingga menggenangi daratan, warga di kedua
perkampungan tersebut dikabarkan sempat mendapat dua ekor ular berukuran
yang sangat besar. Ular tersebut berjenis sanca kembang dengan ukuran
panujang sekitar enam meteran.
Keanehan ular tersebut hingga kini masih menjadi cerita dan tanda tanya
yang belum terjawab. Diceritakan, setelah kedua ular tersebut berhasil
di tangkap secara beramai-ramai oleh masing-masing warga di kedua
kampung tadi, esok paginya kedua hewan itu sama-sama hilang dari
kandangnya. Padahal, kedua ular tersebut disimpan dalam sebuah tempat
berupa peti dari kayu yang besar dan siangnya sempat menjadi tontonan di
tengah bajir. Yang tak kalah aneh, peti tempat penyimpanannya masih
dalam keadaan utuh.
Apakah kedua ekor ular itu merupakan sosok gaib yang menjadi bagian dari
penunggu Sungai Citarum? Atau jangan-jangan hewan itu merupakan
perwujudan dari penguasa gaib bernama Raden Kalung? Sungguh sebuah
pertanyaan menggelitik yang selamanya selalu menarik untuk terus
diterlusuri.
BOKS:
CITARUM
DI ZAMAN TARUMANEGARA
Situs Batujaya Karawang diduga merupakan sisa-sisa peninggalan dari
Kerajaan Tarumanagara. Demikian juga dengan situs candi yang ditemukan
di daerah Bojongmenje Rancaekek, Kabupaten Bandung. Makna kedua temuan
ini bagi masyarakat Jawa Barat merupakan suatu hal yang sangat berarti
untuk memperjelas keberadaan orang-orang Sunda dalam pentas sejarah di
Pulau Jawa pada masa klasik, yaitu masa sebelum pengaruh Islam masuk dan
berkembang.
Temuan Candi di Batujaya Karawang erat kaitannya dengan Prasasti Tugu,
yaitu prasasti yang terdapat di Desa Tugu, dekat Tanjung Priok. Dalam
Prasasti Tugu tersebut dinyatakan bahwa Raja Purnawarman memerintahkan
untuk menggali dua kanal, yaitu Candrabaga dan Gomati, di mana kedua
kanal tersebut alirannya terlebih dahulu dibelokkan ke sekitar istananya
dan kemudian dialirkan kembali ke muara.
Panjangnya kanal tersebut setelah digali sejauh 6.122 tumbak, oleh Prof.
Dr. Poerbatjaraka diperkirakan panjangnya 11 km. Jika perkiraan
Purbatjaraka ini digunakan sebagai patokan dalam menelusuri bekas
reruntuhan keraton Tarumanegara, maka situs Batujaya tersebut merupakan
lokasi yang paling tepat untuk diasumsikan sebagai lokasi bekas keraton
Raja Purnawarman. Ini karena jarak antara lokasi situs dengan Muara
Bendera (tempat terpecahnya aliran sungai Citarum menjadi dua, yaitu
yang menuju Muara Pakis dan yang menuju Muara Gembong) berjarak sekitar
11 kilometer. Perkampungan yang terletak antara dua pecahan aliran
Sungai Citarum sampai bibir Pantai Pakis dan Muara Gembong merupakan
sebuah delta yang terus mengalami pendangkalan akibat kegiatan
sedimentasi yang dibawa oleh aliran Sungai Citarum.
Dugaan bahwa pantai purba tempat bermuaranya kanal Candrabaga dan Gomati
yang digali oleh Raja Purnawarman terletak di Muara Bendera,
berdasarkan pada kegiatan sedimentasi sungai yang terjadi pada aliran
Sungai Citarum. Dari arah hulu, aliran sungai membawa sumber-sumber
endapan seperti sampah dan lumpur yang kemudian membentuk delta pada
Muara Bendera tersebut. Akibat sedimentasi yang terus menerus tersebut,
telah memperbesar areal delta dan memecah aliran Sungai Citarum menjadi
dua, yaitu yang menuju Muara Pakis dan yang menuju Muara Gembong.
Jarak antara Muara Bendera ke Muara Pakis sekarang sekitar 12 km dan
yang menuju Muara Gembong kira-kira berjarak 15 km. Penelitian geologi
di daerah sekitar Muara Bendera mungkin akan memberikan jawaban yang
lebih akurat tentang dugaan letak muara purba seperti yang tertulis
dalam Prasasti Tugu.