Melongok alam maya tidak ubahnya melihat bingkai suram yang penuh tanda tanya.
Tidak ubah kisah dialami Sukarman –bukan nama sebenarnya—, seorang
petualang ritual asal Jogjakarta. Suatu ketika dia mencari tempat
pemujaan pesugihan di salah satu goa yang ada di Jogjakarta. Di tempat
itu dia menemui juru kunci yang menjaga tempat keramat. Dia pun
mengembara ke alam pemujaan pesugihan yang menyeramkan.
Alam kehidupan maya yang gemerlap keindahan dan kemegahan membuat tidak
sedikit orang yang terlena untuk menikmati. Tanpa meninggalkan dunia
nyata sebagai tempat berpijak dan menampakkan keunggulannya, seseorang
bisa berbuat apa saja asalkan mau diperbudak iblis. Menghamba setan,
jin, dan sebangsanya hanya untuk mendapatkan kemewahan.
Sewaktu hidup di dunia bergelimang harta tidak terasakan kepedihan kelak
di alam baka. Ketika ajal menjemput resiko sebagai imbalan yang dia
perbuat dapat dirasakan demikian pedih. Seperti kisah misteri yang
dialami Sukarman ini sewaktu ‘bertamasya’ ke alam maya, di sana dia
kebetulan berkelana di alam pemuja setan sesudah mereka meninggal.
Dia demikian ngeri menyaksikan para pemuda setan seperti pesugihan itu,
dianiaya demikian berat. Dipukuli, diinjak-injak, dan dibakar dalam
sebuah tungku besar yang panas membara. Tidak sekedar itu, selama berada
di alam baka orang-orang berhati tamak tersebut dihinakan di antara
makhluk lain yang berada di alam maya.
Mereka tidak ubahnya kedibal-kedibal yang tidak berguna. Misalkan saja
dijadikan tumpuan WC, tempat pijakan kaki, atau pilar pagar, yang
dibiarkan kehujanan dan kepanasan.
Sukarman yang oleh juru kunci suatu tempat keramat di Parangtritis,
telah mengalami berkeliling ke alam jin dan diajak melihat-lihat
kehidupan dialam itu. Ternyata jin juga kehidupannya sama seperti
manusia. Di sana kehidupannya juga beragam. Ada jin yang kaya raya dan
memiliki banyak budak manusia yang keberadaanya sungguh menyedihkan,
tapi ada juga jin miskin yang sedikit memiliki budak, bahkan ada yang
sama sekali tidak memilikinya.
Manusia budak iblis itu, dari pandangan Sukarman pada umumnya bernasib
sebagaimana terjadi awal mula sejarah perbudakan di dunia. Tubuh mereka
kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, warna kulit hitam legam,
dan apabila dalam suatu pekerjaan mendapat kesalahan tak urung mendapat
deraan cambuk dari tuannya sehingga sekujur badannya mengeluarkan darah.
Mereka bekerja tak mengenal waktu.
Dalam kisahnya, Sukarman hingga dapat berkelana ke alam maya ini berawal
dari keinginannya untuk menjadi orang kaya. Dia sendiri kerjanya hanya
kuli serabutan. Padahal, anaknya 3 dan semuanya butuh biaya. Sukarman
sudah bulat tekadnya mencari kekayaan dengan jalan ‘nyaji’. Dia pun
sudah berjanji segala resiko sudah siap dihadapi. Dengan tekad membatu,
dia mendatangi sebuah tempat penyembahan paling terkenal di pulau Jawa
tersebut.
Tiba dihadapan juru kunci, Sukarman menceritakan maksudnya, dengan
resiko apapun ia sanggup menerima. Sang kuncen hanya tersenyum lalu
memberikan wejangan. Pesannya, nanti kalau sudah sampai di tempat
pemujaan (tempat untuk mengontak atau berkomunikasi dengan siluman, red)
dilarang mengucap kalimat-kalimat Al-Quran. Jangankan mengucap kalimat,
ingat kepada Tuhan saja tidak boleh. Ini akan menggagalkan semua
maksud.
“Kalau sudah mulai masuk goa siluman, jangan mengenakan busana. Walau
selembar benangpun tidak boleh ada yang melekat di tubuh. Anda harus
telanjang bulat,” pesan pekuncen tersebut seperti diceritakan Sukarman.
Pesan lainnya, selama menelusuri lorong goa yang gelap gulita, Sukarman
dilarang tengok kanan kiri. Jalan pun harus menundukkan kepala.
Sungguh ajaib, lorong goa yang semula gelap gulita ternyata
berangsur-angsur menjadi terang benderang. Di sekelilingnya terlihat
beraneka macam batu pualam. Jalan tanah yang semula diinjak penuh
bebatuan, berubah menjadi tumbuhan lumut hijau bak permadani begitu
empuk. Makin ke dalam semakin terlihat keajaiban.
Ternyata lorong goa itu hanya merupakan jalan pintu masuk saja. Di
dalamnya tampak suatu bangunan istana megah yang penuh dengan
ukiran-ukiran candi yang luasnya tak terkirakan. “Inilah yang disebut
alam pesugihan,” pekik Sukarman.
Namun, lebih ke dalam lagi Sukarman merasakan hawa yang sangat panas dan
merasakan keangkeran tempat asing itu. Dia masih dituntun oleh juru
kunci. Kemudian diajak meniti undakan bangunan. Tapi, alangkah
terkejutnya, saat menginjakan kakinya, ternyata terasa empuk, begitu
dilihat ternyata undakan itu terdiri dari tumpukan tubuh manusia yang
mulutnya menyeringai kesakitan. Sukarman merinding. Tapi ia tak dapat
berbuat apa-apa.
Selanjutnya, Sukarman dibimbing ke sebuah kolam yang ada jembatan
penyeberangan. Tenyata jembatan itupun terdiri dari anyaman tubuh
manusia. Mulai pilar hingga tiang-tiangnya semua terdiri dari tubuh
manusia yang dipasak oleh bilahan bambu. Dari sekujur tubuh anyaman
manusia itu mengucur darah segar yang tiada henti. Mengerikan sekali.
Saat berada dalam suasana mencekam itu, tiba-tiba ada suara berat
seseorang yang terdengar dari undakan jembatan yang diinjak.
“Hei manusia mengapa kamu datang kemari, maukah kamu kelak tersiksa
seperti kami?” kata suara itu, serak. Sukarman makin gentar takut
hatinya, merasakan kengerian yang tiada taranya. Sebelum melangkah lebih
jauh, tiba-tiba dari arah sebelah kanan terlihat beberapa orang yang
dijadikan tumpuan suatu bangunan berupa stupa yang menghiasi kolam.
Kolam itu airnya tidak lazim. Warnanya menyerupai darah dan menyebarkan
bau amis. Manusia yang dijadikan tumpuan itu terlihat sedang menahan
beban dan menahan sakit yang berkepanjangan.
Mereka menyeringai sedang sekujur tubuhnya mengeluarkan darah melalui
pori-pori kulitnya. “Wahai anak muda mengapa kamu kemari, pulanglah
kembali ketempatmu sebelum terlambat, jangan mengikuti jejak kami yang
tersesat. Kami saat ini merasakan penyesalan, maka anak muda biarkanlah
cuma kami yang menjadi korban,” ucap sosok manusia tersiksa itu.
Sukarman bergidik. Dia sadar alam yang dimasuki itu. Maka, sebelumnya
oleh juru kunci memandikannya dengan kembang agar hatinya mantap,
secepat itu hatinya meronta dan mengundurkan maksudnya dalam posisi 180
derajat. “Allahhu…akbar !,” pekiknya.
Begitu membalikkan badannya, ternyata semua yang terlihat secara ajaib
hilang semua, yang ada hanya mulut goa yang berbatu-batu. Sukarman terus
berlari keluar tak menghiraukan juru kunci yang mengantarnya. Begitu
sampai di luar goa segera dia bersujud ke tanah menghadap kearah kiblat
mengucap istigfar berulang-ulang dengan deraian air mata .”Ya Allah, ya
Tuhanku. Ampunilah hambaMu ini, yang hampir saja tergiur bujukan iblis,”
rintihnya dalam tangis.