Bulan Suro telah tiba, jangan mengadakan hajatan pada bulan ini, nanti
bisa sial.” Begitulah kata sebagian sebagian orang di negeri ini. Ketika
hendak mengadakan hajatan, mereka memilih hari/bulan yang dianggap
sebagai hari/bulan baik yang bisa mendatangkan keselamatan atau barakah.
Dan sebaliknya, mereka menghindari hari/bulan yang dianggap sebagai
hari-hari buruk yang bisa mendatangkan kesialan atau bencana.
Seperti bulan Suro yang sudah memasyarakat sebagai bulan pantangan untuk
keperluan hajatan. Bahkan kebanyakan mereka meyakininya sebagai prinsip
dari agama Islam. Apakah memang benar hal ini disyariatkan atau justru
dilarang oleh agama?
Maka simaklah kajian kali ini, dengan penuh tawadhu' untuk senantiasa
menerima kebenaran yang datang dari Al Qur'an dan As Sunnah sesuai yang
telah dipahami oleh para sahabat Rasulullah ?.
Apa Dasar Mereka Menentukan Bulan Suro Sebagai Pantangan Untuk Hajatan?
Kebanyakan mereka sebatas ikut-ikutan (mengekor) sesuai tradisi yang
biasa berjalan di suatu tempat. Ketika ditanyakan kepada mereka,
“Mengapa anda berkeyakinan seperti ini ?” Niscaya mereka akan menjawab
bahwa ini adalah keyakinan para pendahulu atau sesepuh yang terus
menerus diwariskan kepada generasi setelahnya. Sehingga tidak jarang
kita dapati generasi muda muslim nurut saja dengan "apa kata orang tua",
demikianlah kenyataannya.
Para pembaca sekalian, dalil "apa kata orang tua", bukanlah jawaban
ilmiah yang pantas dari seorang muslim yang mencari kebenaran. Apalagi
permasalahan ini menyangkut baik dan buruknya aqidah seseorang. Maka
permasahan ini harus didudukkan dengan timbangan Al Qur’an dan As
Sunnah, benarkah atau justru dilarang oleh agama?
Sikap selalu mengekor dengan apa kata orang tua dan tidak memperdulikan
dalil-dalil syar'i, merupakan perbuatan yang tercela. Karena sikap ini
menyerupai sikap orang-orang Quraisy ketika diseru oleh Rasulullah ?
untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa kata mereka? (artinya):
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut
suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami
orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az
Zukhruf: 22)
Jawaban seperti ini juga mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum Nabi
Ibrahim ? ketika mereka diseru untuk meninggalkan peribadatan kepada
selain Allah.
“Kami dapati bapak-bapak kami berbuat demikian (yakni beribadah kepada
berhala, pen).” (Asy Syu’ara’: 74)
Demikian juga Fir'aun dan kaumnya, mengapa mereka ditenggelamkan di
lautan? Ya, mereka enggan untuk menerima seruan Nabiyullah Musa, mereka
mengatakan:
"Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang
kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya …" (Yunus: 78)
Kaum ‘Aad yang telah Allah ? binasakan juga mengatakan sama. Ketika Nabi
Hud ? menyeru mereka untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan
kesyirikan, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami, agar kami menyembah Allah saja dan
meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?” (Al A’raf:
70)
Lihatlah, wahai pembaca sekalian, mereka menjadikan perbuatan yang
dilakukan oleh para pendahulu mereka sebagai dasar dan alasan untuk
beramal, padahal telah nampak bukti-bukti kebatilan yang ada pada
mereka.
"(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (Al
Baqarah: 170)
Agama Islam yang datang sebagai petunjuk dan rahmat bagi semesta alam,
telah mengajarkan kepada umatnya agar mereka senantiasa mengikuti dan
mengamalkan agama ini di atas bimbingan Allah ? dan Rasul-Nya ?. Allah
berfirman (artinya):
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Al A’raf: 3)
Sudah Ada Sejak Zaman Jahiliyyah
Mengapa sebagian kaum muslimin enggan untuk mengadakan hajatan (walimah,
dan sebagainya) pada bulan Muharram atau bulan-bulan tertentu lainnya?
Karena mereka menganggap bahwa bulan-bulan tersebut bisa mendatangkan
bencana atau musibah kepada orang yang berani mengadakan hajatan pada
bulan tersebut, Subhanallah. Keyakinan seperti ini biasa disebut dengan
Tathayyur (????????) atau Thiyarah (???????), yakni suatu anggapan bahwa
suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian
tertentu, waktu, atau tempat tertentu.
Misalnya seseorang hendak pergi berjualan, namun di tengah jalan dia
melihat kecelakaan, akhirnya orang tadi tidak jadi meneruskan
perjalanannya karena menganggap kejadian yang dilihatnya itu akan
membawa kerugian dalam usahanya.
Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat
mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat. Setelah Islam datang,
keyakinan ini dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang harus dijauhi.
Dan Islam datang untuk memurnikan kembali keyakinan bahwa segala
sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah dan membebaskan hati ini dari
ketergantungan kepada selain-Nya.
"Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari
Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (Al A'raf: 131)