Selasa, 01 November 2011

TERJEBAK CINTA HARIMAU SILUMAN

Sudah sebulan Mas Hadi tugas ke Belanda. Dari Rotterdam dia menelpon bahwa tanggal 4 April 2010 akan pulang. Tugasnya sudah diselesaikan dengan baik. Big bossnya, pimpinan Central Intelejen Indonesia, Jenderal Ahmad Nurbuat dari Jakarta sudah memerintahkan untuk segera pulang. Sebab setelah tugas di Nederland satu bulan, Mas Hadi akan diberangkatkan pula ke Sydney, Australia.
Di Negeri Kanguru ini Mas Hadi akan menetap lebih lama, kurang lebih dua bulan. Mas Hadi sudah meminta ijin pada atasan untuk mengajakku ke Australia. Atasan sudah menyetujui dengan begitu aku akan ditanggung oleh institusi. Sebab, walau agak dekat dengan Indonesia, aku memang belum pernah ke benua yang satu ini. Sementara ke negeri Amerika Latin, Eropah, Timur Tengah, Afrika dan Asia semua sudah aku datangi. Mas Hadi selalu mengajak aku dan anak-anak ke negeri-negeri asing itu.
Karena berulang kali aku pergi ke Belanda, bahkan aku pernah tinggal dua tahun di Hilversum, maka aku menolak saat Mas Hadi mengajakku untuk ikut bersamanya di negeri Wilhelmina itu. Aku lebih memilih tetap di eumah kami di Bogor sambil mengurus dua anak kami yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Pada tanggal 5 April 2010 sore, di luar dugaanku, Mas Hadi sudah berada di Hongkong. Pesawat yang ditumpangi dari bandara Schipol Amsterdam tidak ada yang langsung ke Indonesia. Karena harus segera pulang, maka suamiku memilih transit di Kowloon Hongkong dan siap terbang dengan pesawat Cathay Pacific keesokan harinya. “Papa terbang dari bandara Kaitak, Kowloon pada pukul sembilan waktu Indonesia bagian barat, sampai ke bandara Soekarno-Hatta kurang lebih jam satu, Ma! Mama enggak usah jemput ke Cengkareng besok, biar Papa naik taksi dari bandara ke Bogor!” desis Mas Hadi, dari Hongkong, dengan nomor handphone baru versi service center Hongkong. “Baik Pa, hati-hati di perjalanan. Jangan macam-macam di hotel Peninsula Kowloon itu, soalnya banyak wanita Indonesia yang jadi pramuria di hotel itu!” candaku. Memang selama aku tinggal di Hongkong, aku menemukan banyak gadis-gadis Melayu yang menjadi pramuria di beberapa bar di Peninsula itu dan semuanya cantik-cantik. Padahal aku tahu, bahwa Mas Hadi hanya menyukai gadis-gadis Melayu, bukan bangsa Eropah yang bule bukan pula gadis bermata sipit dari daratan China. “Tenang, Ma, Papa tidak akan berselingkuh deh, kecuali kepepet!” ungkap Mas Hadi, balik bercanda.
Tanggal 5 April 2010 pukul 04.00 waktu Indonesia bagian barat, tiba-tiba aku mendengar suara taksi berhenti di depan rumahku di Palasari, Bogor Selatan. Sesaat kemudian suara pintu ditutup dan suara bagasi terbuka. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan menghambur ke jendela depan. Aku segera menyibak hordin dan mengintip siapa gerangan yang baru turun dari taksi itu. Oh Tuhan, Mas Hadi pulang. Dengan jaket hitam, celana hitam dan topi pet hitam Mas Hadi menenteng tas tarveling menggoyang-goyang pagar. Aku segera membuka pintu rumah dan menuju pintu agar dan membuka gembok besar di pagar itu. Sesaat kemudian taksi warna biru muda itu melesat meninggalkan Desa Palasari. “Kok pulangnya lebih cepat Pa?” tanyaku. “Kenapa, kaget ya? Kebetulan ada pesawat malam dan aku tidak jadi check in di Peninsula. Pikirku, dari pada menginap satu malam lagi, maka lebih baik buru-buru pulang, aku sudah sangat rindu sama kalian!” celoteh Mas Hadi, sambil negloyor masuk ke dalam rumah.
Namun pagi itu, terasa ada sesuatu yang aneh bagiku atas kehadiran Mas Hadi yang mendadak itu. Sebab bau pafumnya berbeda dengan parfum yang biasa digunakannya. Biasanya Mas Hadi fanatik dengan wewangian possesion yang tidak pernah berganti-ganti selama puluhan tahun. Tapi kali ini wewangiannya menggunakan wangi minyak Elizabeth Arden, minyak wangi yang biasa digunakan dukun-dukun untuk memanggil jin. “Kok parfumnya ganti sih Pa? Biasanya possesion kok ini baunya kayak Elizabeth Arden?” tanyaku, penasaran. “Jangan-jangan Papa baru tidur dengan perempuan berparfum Elizabeth Arden!” pancingku, santai, sambil meletakkan tas traveling hitam ke atas diswar. Mas Hadi hanya diam saja dan tersenyum kecil sambil membuka jaket dan bajunya. Setelah itu, dengan berapi-api suamiku memeluk dan menciumku. Karena aku sangat merindukannya maka aku pun membalas dengan semangat yang sama. Padahal kebiasaan ini tidak pernah terjadi atas Mas Hadi walau sudah lama tidak jumpa denganku. Biasanya yang pertama dilakukan dia masuk ke kamar anak-anak dan menciumi buah hatinya itu. Setelah itu dia mandi air hangat lalu barulah mencumbuku setelah ngobrol tentang pengalamannya dan pengalamanku selama ditinggal.
Tapi kali ini lain dari pada yang lain. Justru sebelum menemui anak dan sebelum mandi, dia langsung mencumbuku dan pagi buta itu juga kami terpaksa melakukan hubungan badan. Sebagai seorang istri, kata ustadzahku, aku tidak boleh menolak bila suami minta berhubungan badan. Bila menolak, hukumnya akan menjadi dosa. Selain takut dosa dan kebetulan aku juga sedang kangen karena lama tak dicumbu, maka akupun meladeni suamiku itu dengan sepenuh hati.
Perbedaan lain yang kurasakan, kali ini Mas Hadi tidak melakukan fore play, pemanasan, malah langsung seperti orang kerasukan melakukan tindakan seks kepadaku. Aku terkejut karena merasa ada sesuatu yang sangat lain karena terasa sangat sakit dan tidak sedikitpun kenikmatan itu kurasakan. Padahal biasanya aku sangat menikmatinya dan kami sangat berbahagia dengan usaha bermesraan itu. Bahkan pada rahimku terasa sangat sakit dan aku menjerit. Beberapa saat menjelang puncak, Mas Hadi malah menggerung mirip suara harimau. Aku tersentak dan mendorong tubuhnya ke samping. Api tubuhnya kuat sekali bahkan, duh Gusti, dari tangan kanannya muncul kuku yang sangat panjang dan tajam. Aku berteriak kesakitan setelah kuku-kuku panjang itu melukai tangan kiriku. Darah mengalir deras dan tubuhku merasaka sangat pedih. Saat aku menghindarinya, Mas Hadi menyeringai dan dari mulutnya yang terbuka, aku melihat dua taring panjang di bagian baris giginya yang atas. “Siapa kau? Kau bukan Hadi, suamiku?! Pergi, pergi!” teriakku, dengan keras.
Dalam hitungan detik, mahluk yang kuyakini hanya menyerupai Mas Hadi itu, menutup mulutku. Bahkan dia megancam akan mencekikku bila aku berteriak. Lalu setelah itu, mulutku bagaikan terkunci rapat dan aku tak dapat lagi menjerit. Kuku yang tajam itu megancam menculek mataku bila aku berteriak. Dengan beringas bersuara desahan harimau, mahluk itu memperkosaku berulang kali secara bertubi-tubi. Rasa sakit kurasakan bukan alang kepalang. Bahkan rasa sakit itu bukan hanya pada bagian rahimku tapi juga kurasakan sakit di sekujur tubuhku. Oh Tuhan!
Karena rasa sakit yang teramat sangat, maka aku pun tak ingat apa-apa lagi. Aku pingsan dan tersungkur di bawah ranjang. Begitu siuman, aku tersadar, mahluk itu sudah tidak ada lagi di kamarku. Bahkan setelah aku terseok-seok bangun, kukelilingi seisi rumahku dan ternyata mahluk itu memang sudah tidak ada lagi di rumah kami. Dari rahimku keluar darah kental menghitam yang tidak pernah selama ini aku alami. Bukan darah menstruasi bukan pula darah segar dari pecahan kulit tubuh. Darah itu mengalir perlahan dan kubasuh dengan air hangat dari termos di dapurku. Setelah bersih, dengan air panas juga aku mandi keramas dan sholat subuh walau agak terlambat. Aku berdoa dengan khusyuk meminta keselamatan pada Allah setelah didatangi mahluk penyaru suamiku itu yang telah memperkosaku dengan semena-mena.
Usai sholat aku segera membagunkan dua anakku untuk bersiap ke sekolah. Setelah itu, pada saat anak-anak mandi, aku menelpon Mas Hadi yang ternyata memang sedang berada di Belanda bahkan membatalkan rencana kepulangannya. Sebab Jenderal Ahmad Nurbuat menelpon dan memerintahkannya untuk bertugas ke Moscow, Rusia. Setelah itu Mas Hadi juga diperintah untuk terbang ke Norwegia dan bertugas ke Oslo. “Maat Ma, jangan kesal ya, karena ini tugas tambahan dan dianggap darurat karena keinginan dari ring satu di Jakarta!” desis suamiku, lemas.
Aku sangat memahami tugas suamiku selaku intelejen asing dan berkelana di beberapa negera luar. Selain berisiko tinggi akan tertangkap polisi luar negeri dan dihukum mati di pengadilan karena melakukan tindakan mata-mata, tugas-tugas Mas Hadi juga diharuskan berintelektualitas tinggi, licin, penuh sandiwara dan tangkas dalam berbagai bahasa asing. Mas Hadi termasuk dari sedikit tentara Indonesia yang memenuhi persyaratan itu. Pada saat di Akabri Magelang, memang Mas Hadi termasuk siswa akademi militer terpintar. Dia selalu mendapatkan nilai tertinggi, bahkan beberapa kali meraih gelar cum laude, mahasiswa the best of the best. Selain dari itu, Mas Hadsi adalah seorang yang cerdas damn mudah mengahfal ragam bahasa. Maka itu dia dengan cepat mampu berbahasa Inggeris, Belanda, Jerman, Rusia, Arab, Perancis dan Spanyol. Bahkan bahasa Mandarin, Jepang dan Kanton pun, sangat dikuasinya hingga Pak Ahmad Nurbuat jatuh cinta sekali padanya. Bahkan pada saat rekrutment pertama, as Hadi langsung lulus sebagai intelejan dengan nilai terbaik, best of the best.
Sebenarnya tidak ada seorang istripun di dunia ini tidak bangga bila mengetahui suaminya mendapatkan penghargaan tinggi dari institusi besar itu. Apalagi gaji yang diterimanya juga sangat besar karena kepintarannya itu. Akupun begitu, jujur saja, ya aku sangat bangga pada Mas Hadi dan aku tergolong gadis yang sangat beruntung saat dipinangnya untuk dijadikan istri. Tapi yang membuatku gundah gulana sejak dulu, yaitu tugas Mas Hadi sebagai tentara yang diplot sebagai intelejen. Hidup Mas Hadi penuh resiko dan berulangkali berhadapan dengan marabahaya. Bahkan saat menyelidiki kumunitas RMS, Republik Maluku Selatan di Rotterdam, Belanda, awal tahun lalu, Mas Hadi dihajar orang-orang hitam rambut gimbal hingga hidungnya penyok. Mas Hadi terpaksa menjalani operasi jahit hidung dan kini hidungnya itu memakai tulang stainlis. Walau hampir mati, tapi Mas Hadi tidak pernah kapok dan pantang menyerah memasuki wilayah RMS itu demi negara Indonesia.
Mas Hadi berhasil mengumpulkan data akurat tentang komunitas RMS di Belanda itu dan melaporkan secara akurat kepada lembaga intelejen tempatnya bernanung di ibukota. Pak Ahmad Nurbuat sangat puas dengan pekerjaan Mas Hadi dan setiap tahun diusulkan kepada instusi untuk kenaikan pangkatnya. Kini, walau masih cukup muda umurnya, Mas Hadi sudah berpangkat kolonel. Tapi pangkat itu nyaris tak pernah digunakannya karena pekerjaannya yang selalu tersembunyi dan melakukan penyamaran di negara-negara asing. Penyamaran Mas Hadi terkadang terkesan lucu, karena dia sering menyaru sebagai pedagang donat, pedagang hamburger, bahkan pernah pula menyamar sebagai wartawan dan pengemis. Karena kebiasaannya itu, maka aku menjuluki suamiku itu sebagai Manusia Seribu wajah.
Kini Mas Hadi batal pulang. Aku segera menelpon kantornya dan Pak Ahmad Nurbuat minta langsung berbicara denganku. “Sabar ya Bunda, ada tugas penting untuk suamimu di Moskow dan Norwegia selama beberapa bulan lagi. Jangan marah ya? Suamimu terpaksa ekstra kerjakeras demi negara kita. Oke?” pinta Ahmad Nurbuat. “Baik jenderal, 86, saya faham dan mengerti serta sangat maklum walau hati ini terasa sangat berat!” cetusku, lemas. Hari itu juga Jenderal Ahmad Nurbuat menyebut akan mentransfer sejumlah uang kepadaku untukku belanja ke mall bersama dua anakku. “Ya lumayan untuk beli baju-baju baru buat kalian serta makan-makan di mall sore nanti, oke?” kata Ahmad Nurbuat. “Siap jenderal, terima kasih banyak!” jawabku, sambil menutup telponku.
Walau uang berlimpah, tapi batinku menangis menghadapi kenyataan tadi malam. Hatiku terguncang pilu dan seluruh tubuhku terasa lunglai. Berjuta resah bergelayut di jantungku dan rasa takut menggerayangiku secara tidak menentu. Tapi tawaran uang untuk belanja dari jenderal Ahmad Nurbuat, haruslah kumanfaatkan dengan baik. Paling tidak, dua anakku akan senang jalan-jalan ke mall, makan-makan dan beli baju baru. Sebab uang yang ditransfer oleh Pak Jenderal ke rekeningku, ternyata berjumlah Rp 20 juta dan harus dinikmati dan dimanfaatkan dengan baik oleh kami.
Untuk tidak menganggu tugas suami, maka kejadian yang aku alami ini aku sangat rahasiakan dengan ketat. Tidak seorangpun kuberitahu soal ini. Termasuk kepada dua anak-anakku. Tapi setiap dinihari, suara harimau selalu menggerung dari hutan belakang rumahku. Dia berusaha masuk untuk kembali memperkosaku, tapi aku selalu membacakan ayat-ayat suci Al Qur’an seperti Al Ikhlas dan Al Falag untuk mengusir bangsa jin, yang selama ini kudapat dari ustadzahku, Hajjah Maryam Mariana. Untuk menyelamatkan diri dari gangguan gaib, harus rutin membaca ayat-ayat ini dan rutin sholat tahajut. Walau sering digelayuti rasa takut, tiap tengah malam aku bangun dan tahajut. Sementara sholat wajib, kulakukan secara rutin bila sedang tidak menstruasi.
Gerungan harimau ini hanya gerungan. Mahluk itu tidak mampu menampakkan diri apalagi sampai berwujud manusia untuk memasuki kamarku. Setipa malam jam 02.00 hingga jam 04.00 pagi, aku mendengar suaranya dan dengan keberanian seadanya aku melawan suara itu dengan ayat-ayat suci. Alhamdulillah, hingga sekarang suara itu tidak muncul lagi di belakang rumahku. Jangankan maujud, memperengarkan suaranya pun, dia tak mampu lagi.
Tapi peristiwa lain lagi yang lebih menyeramkan terjadi lagi padaku. Arkian, pada suatu malam tiba-tiba perutku mules dan membengkak. Dari rahimku keluar mahluk berkaki empat dan bertubuh loreng mirip harimau. Aku menjerit ketakutan dan jeritan itu tidak didengar oleh siapapun. Anak harimau itu lahir dan terjatuh di lantai kamarku selama beberapa detik, setelah itu menghilang entah ke mana. Dalam hitungan detik, harimau itu raib tidak meninggalkan bekas sama sekali. Siang harinya, aku menemukan jejal kaki harimau di samping rumahku dan aku membuntuti jejak itu. Duh Gusti, di belakang rumahku, di bawah pohon beringin putih, aku melihat sosok manusia harimau, mengendong bayi hariwau yang telah keluar dari rahimku tadi malam. Aku kembali membaca-baca ayat-ayat yang kuhafal saat berhadapan dengan mahluk itu. Setelah itu, dalam hitungan detik, mahluk yang sedang menggendong bayi itu menghilang ke daam hutan.
Syahdan, hingga saat ini mahluk jejadian itu tidak muncul lagi. Suaranya pun, tak pernah lagi terdengar hingga kini. Tapi aku tidak berhenti tahajut dan memohon pertolongan Allah untuk kami sekeluarga, juga untuk keselamatan suami yang sedang bertugas berat di luar negeri. Alhamdulillah, kami sudah merasa aman tanpa gangguan suara-suara dan pemunculan mahluk ajaib itu. Tapi suatu malam aku bermimpi, mimpi kedatangan anak harimau jejadian yang aku lahirkan. Dia sudah bertubuh agak tinggi dan berbaju kebesaran kerajaan dengan mahkota di kepalanya. Dalam mimpi itu, anak harimau yang mengaku bernama Macan Gilo itu menyebut bahwa dia menjadi raja, Raja Palasari dan akan berkuasa sampai muncul keturunannya yang baru, yang kelak akan berkuasa menjadi Raja Gunung Salak, gunung yang memang tidak jauh berada dari rumahku.
Hingga kasus mistik itu kuceritakan untuk Misteri Sejati, aku tidak pernah sekalipun menceritakan hal ini pada suami dan anak-anak. Kami sekarang sudah berbahagia dan hidup tetang di rumah kami yang baru di Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan. Dan Mas Hadi, kini naik pangkat lagi dan tidak lagi bertugas sebagai intelejen, tapi bertugas di staf Mabes TNI di Cilangkap, Jakarta Timur.
Kebahagiaan hatiku terus berbunga-bunga karena kasus mistik sudah berlalu dari hidupku dan anak gaibku sudah menjadi raja di Palasari tanpa menggangguku sedikitpun. Bila dia ingin bertemu denganku, dia hanya masuk di dalam mimpiku dan aku bisa bercengkerama dengannya di alam mimpi yang seperti nyata itu.***
(Cerita ini dialami Nyonya Hadi Purnomo. Syarifah Novita menulis kisah nyata musykil itu untuk Misteri Sejati-Red)
Loading