Pantangan warga Desa Ciranggon agar tidak memelihara atau menyembelih
kambing memang dibenarkan oleh para sesepuh Karawang. Salah satunya
adalah R.H. Tjetjep Supriadi.
Menurut pria 63 tahun ini, pantangan tersebut tidak lepas dari
keberadaan telaga atau sendang yang berbentuk sumur di desa tersebut,
yang oleh warga seputar disebut sebagai Kobak Sumur. Konon menurut
cerita warga setempat, sumur tua inilah yang menjadi sumber dari segala
ihwal cerita yang berkaitan dengan pantangan warga memelihara dan
menyembelih kambing.
Larangan memelihara atau menyembelih kambing itu sejatinya juga
berpangkal dari satu peristiwa berdarah yang berlangsung di bumi
Karawang di masa silam.
“Kejadian itu ada kaitannya dengan cerita berdirinya Karawang ratusan
tahun silam, ” ujar pria berkacamata yang kerap mementaskan wayang Golek
dengan cerita Babad Tanah Karawang itu ketika ditemui Misteri di
kediamannya.
Peristiwa yang dimaksud dalang kondang ini yakni kisah “terpenggalnya”
kepala Singa Perbangsa, Bupati Karawang di masa silam. Dalam sejarah
disebutkan bahwa pemberontakan Trunajaya berpengaruh besar bagi
Karawang. Hal itu dijadikan kesempatan oleh orang-orang Makasar yang
membantu pemberontakan Trunajaya untuk melakukan aksi kriminal seperti
merampok, merampas harta benda dan bahkan pembunuhan warga yang tidak
berdosa. Aksi ini pada akhirnya menimbulkan kesengsaraan rakyat Karawang
yang hidup di sekitar Pantai Utara Jawa.
Di saat yang sama, penduduk Karawang yang tinggal di sepanjang sungai
Citarum, juga tak luput dari gangguan orang-orang Banten yang dendam
karena pangeran Puger Agung dipenggal kepalanya oleh Adipati Kertabumi
IV, atau Singa Perbangsa III, Bupati Karawang pada masa itu.
Sebagaimana yang ditetapkan dalam pelat berupa kuningan yang disebut
sebagai Kandang Sapi Gede, yang merupakan bukti surat pengangkatan
wadana (bupati) Karawang, bahwa antara Singa Perbangsa dan Aria Wirasaba
adalah setingkat tetapi dalam pelaksanaan roda pemerintahan, Aria
Wirasaba dianggap bawahan Adipati Kertabumi IV alias Singa Perbangsa
III, sebagai Bupati Karawang. Sementara Aria Wirasaba hanya
mempertahankan dan memerintah Waringin Pitu, Parakan Sapi dan Adiarsa.
Kekurang kompakan mereka sebagai tampuk pimpinan dimanfaatkan oleh 2
orang pimpinan pasukan tentara Trunajaya yaitu Nata Manggala dan
Wangsananga yang diberi tugas memblokir jalan menuju ke Batavia untuk
menghalangi Amangkurat meminta bantuan kompeni Belanda. Kekusutan
hubungan dua tokoh ini juga dijadikan kesempatan untuk menyerang
kediaman Singa Perbangsa, yang memang dianggap membantu terjadinya
perundingan di Jepara antara Mataram dan Kompeni, hingga mengakibatkan
Trunajaya di hukum mati.
Maka pendopo Karawang diserang oleh Nata Manggala dan Wangsanga bersama
pasukannya. Singa Perbangsa terdesak dan lari ke arah utara. Akan
tetapi di daerah Tunggak Jati Tengah, Singa Perbangsa berhasil ditangkap
dan dipenggal kepalanya. Sedangkan dalem istri dan keluarga serta
Raden Anom Wirasuta, Putra Singa Perbangsa, menyelamatkan diri dengan
menyebrangi sungai Citarum. Rombongan eksodus ini dipimpin oleh Dalem
Singa Derpa Kerta Kumambang. Rombongan ini terus melarikan diri menuju
ke selataan.
Hampir bersamaan dengan peritiwa pralayanya Singa Perbangsa ini, R.
Suriadipati Putra Rangga Gede dari Sumedanglarang, diangkat menjadi
Rangga di Kelapa Dua. Sementara Indra Manggala Putra Dalem Jaya
Manggala dari Sukakerta, Tasikmalaya, juga mendengar Karwang diserang
pemberontak. Dia dan pasukannya segera melarikan kudanya menuju
Karawang. Sampai di suatu tempat Indra Manggala bertemu dengan
rombongan keluarga bupati Karawang yang dipimpin Singa Derpa Kerta
Kumambang. Kedua belah pihak kemudian melakukan perjanjian damai. Tempat
atau bekas perundingan damai ini kini disebut Kampung Badami
(berdamai?), yang kini termasuk wilayah Wadas, Teluk Jambe.
Setelah pejanjian damai disepakati, Suriadipati dan Indra Manggala
segera berupaya menyelamatkan bupati Singa Perbangsa dengan cara
menyusup ke wilayah kotaraja.
Meski akhirnya mereka tahu kalau Singa Perbangsa telah gugur, namun
Suriadipati dan Indra Manggala telah sepakat bahwa apapun yang terjadi,
kepala bupati Karawang yang terpisah dari badannya itu harus bisa
diselamatkan.
Dikisahkan, selang beberapa waktu kemudian, keduanya dapat memasuki
kotaraja Karawang. Bahkan, mereka dapat menyusup ke areal pendopo
Karawang yang telah diduduki kaum pemberontak. Ketika itulah mereka
melihat potongan kapala Singa Perbangsa dipertontonkan dengan cara
ditancapkan dekat pendopo. Maksudnya tak lain agar rakyat Karawang
menyerah dan tunduk kepada para pemberontak.
Dengan taktik dan strategi yang jitu, Suriadipati dan Indra Manggala
dengan cepat menyelamatkan kepala bupati Karawang tersebut. Mereka
kemudian membawanya untuk dipersatukan kembali dengan tubuhnya yang
telah dibawa terlebih dahulu oleh para abdi dalem dan rakyat Karawang
yang telah mengungsi. Maksudnya tak lain untuk dimakamkan secara layak.
Menurut tutur, daerah yang dilalui para abdi dalem dan rakyat Karawang
dalam pelariannya disebut Klari. Konon, setelah pemakaman selesai para
abdi dalem kembali menemui Singaderpa Kerta Kumambang di Citaman.
Lebih lanjut R.H. Tjetjep Supriadi, dalang yang juga anggota DPRD TK II
Karawang ini menguraikan kisahnya. Bahwa, menurut riwayat yang
disebarkan secara getok tular (dari mulut ke mulut), sebelum keduanya
tiba di daerah Manggung Jaya, lokasi yang direncanakan untuk
memakamakan Singa Perbangsa, Rangga Suriadipati dan Indra Manggala
beristirahat di daerah Ciranggon, tepatnya di kawasan irigasi, dekat
sebuah sendang,. Nah, sendang inilah yang sekarang disebut Kobak Sumur
oleh masyarakat setempat.
Disebutkan, karena merasa prihatin melihat potongan kepala Singa
Perbangsa yang kotor,. meski masih dihantui kejaran pasukan Trunajaya,
namun keduanya menyempatkan diri untuk membersihkan potongan kepala
Singa Perbangsa yang berlumur darah kering itu. Tempat mencucinya d
Kobak Sumur tersebut.
Konon, akibat perbuatan mereka yang sembrono ini, air sendang yang
tadinya jernih, seketika memerah dan berbau anyir. Apa yang terjadi
kemudian? Akhirnya, secara tiba-tiba Rangga Suriadipati dan Indra
Manggala merasakan suasana di sekitarnya jadi hening laksana di
kuburan. Seiring dengan itu, indera keenam mereka juga menangkap adanya
sesosok makhluk halus beraura jahat yang hadir di tempat itu. Dengan
kesaktian yang mereka miliki, lantas keduanya melakukan kontak gaib
dengan makhluk tak diundang tersebut.
Hasilnya? M ereka bisa ketahui jika makhluk halus tersebut adalah
siluman penunggu kawasan tersebut. Dari hasil dialog gaib bisa
disimpulkan bahwa siluman tersebut sangat tertarik dengan kepala dan bau
anyir potongan kepala Singa Perbangsa.
Dengan rasa tanggung jawab besar, mereka akhirnya coba mengusir makluh
gaiob tersebut. Akan tetapi siluman itu ternyata memiliki kesaktian
tinggi, sehingga tak mudah menaklukkannya. Bahkan, sang siluman terus
mengganggu pekerjaan Rangga Suriadipati dan Indra Manggala yang akan
membawa potongan kepala Sing Perbangsa dan menyatukan dengan tubuhnya.
Ketika mereka terdesak dan hampir hilang akal, maka ketika itulah mereka
melihat beberapa orang sedang menggiring kambing. Rangga Suriadipati
segera tanggap. Dipanggilnya para penggiring kambing itu. Dia pun
menceritakan kesulitan yang tengah dihadapannya, dan meminta agar para
penggiring kambing itu sudi menyerahkan salah seekor kambingnya untuk
dijadikan tumbal pengganti potongan kepala Singa Perbangsa.
Terdorong oleh kecintaan mereka, dan demi menyelamatkan potongan kepala
Singa Perbangsa, salah seorang penggiring kambing itu segera menyerahkan
seekor kambing jantan miliknya. Kambing inilah yang kemudian disembelih
dan kepalanya dipisah dari badannya. Kepala kambing ini kemudian
menjadi pengganti potongan kepala Singa Perbangsa. Potongan kepala
kambing itu lantas ditancapkan di sekitar sendang Kobak Sumur,
menggunakan batang bambu kuning, dengan maksud untuk mengelabui si
makhluk halus yang menginginkan potongan kepala Singa Perbangsa.
Dengan melakukan ritual sederhana ini akhirnya mereka terlepas dari
gangguan siluman. Dengan mata kepala sendiri, mereka menyaksikan wujud
sosok siluman itu pergi membawa bangkai kambing tanpa kepala tersebut,
sementara kepalanya ditinggalkan menancap dilokasi sendang.
Menurut peneropongan batin keduanya siluman itu tertarik dengan kepala
kambing yang masih basah dengan darah. Dan mereka yakin siluman itu
akan kembali mengambilnya.
Disamping untuk mengelabui siluman, penancapan kepala kambing itu
dimaksudkan juga sebagai tanda isyarat bagi pengikut Dalem Singa
Perbangsa III, bahwa kepala junjungannya telah berhasil diselamatkan.
Urusan dengan siluman penunggu sendang telah selesai. Karena itulah
Rangga Suriadipati dan Indra Manggala kemudian segera meneruskan
perjalanannya ke manggung. “Konon dari peristiwa itulah, tercipta
kenapa di daerah Ciranggon orang tabu untuk memelihara apalagi
menyembelih kambing, termasuk untuk berkurban. Bahkan, bagi para pelaku
spiritual, apa yang disebut Kobak Sumur itu sampai detik ini masih
diziarahi,” terang R.H. Tjetjep Supriadi, yang juga ayah dari Eka
Supriadi, dalang Golek terkenal di Jawa Barat.
Dia menambahkan, “Rata-rata yang datang ke Sumur Kobak dengan maksud
memperoleh berkah kebaikan, entah dari segi perdagangan maupun
pertanian.”.Namun diingatkan, kepercayaan ini hendaknya disikapi dengan
bijak. “Jangan sampai menyesatkan, apalagi berakibat syirik!” tandas
R.H. Tjetjep Supriadi.