Selasa, 01 November 2011

ANAK KESAYANGANKU MATI DITANGAN MAKHLUK PEMAKAN DARAH

Suamiku  merencanakan untuk  tinggal sendirian di Kota Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, tanpa aku dan anak-anak.  Sebab dua anak kami, Dita dan  Putih, sudah bersekolah di SMU 9,  Kunciran, Kota Tangerang.  Mas Sugiarto Pramono  menyayangkan  kedua putri kami itu harus pindah dan bersekolah di daerah terpencil yang mutu pendidikannya  di bawah standar. Baik kwalitas guru, maupun system pendidikan di daerah terpencil, berbeda jauh dengan Kota Tangerang yang sudah begitu maju pesat dan dekat dengan pusat pemerintahan  Jakarta. Untuk kegiatan ekstra kurikuler saja, guru olahraga Dita dan Putih adalah mantan pelatih bulutangkis nasional, yaitu Ahmad Daniel, yang sangat mahir bermain badminton dan melatih,  sehingga beberapa kali SMA Negeri 9  ini menjadi juara turnamen bulutangkis se-provinsi, kometisi ketat antar  SLTA se-Banten.
Anak kami, Dita dan Putih, menjadi dua orang dari beberapa murid yang mampu bermain badminton dengan baik. Sejak mereka SD, Mas Sugiarto sudah memasukkan mereka ke club besar.  Maka itu, setelah rutin mengikuti turnamen, dua anak kami itu jadi  mahir bermain badminton. Teruji sebagai pemain.  Bahkan beberapa kali dilirik untuk dimasukkan pada pelatnas.
Karena tugas  di Praya  tidak sebentar, sepuluh tahun, maka kami  sepakat untuk pindah semua ke Praya.  Boyongan  pindah ke kota baru meninggalkan kota yang lama. Kami masuk dalam suasana baru, lingkungan baru dan bertetangga dengan orang-orang baru yang serba baru. Dita dan Putih  sangat setuju pindah  ke Praya, kota kecil dekat laut Samudera Hindia di Lombok Tengah yang sunyi.
Hari Rabu, 2 November 2009  kami sekeluarga berpamitan pada  tetangga untuk pindah.  Tetangga kami hampir semuanya  kaget mendengar kepindahan kami yang mendadak ini. Bahkan banyak yang mempertanyakan ada apa, apa ada sesuatu masalah yang besar hingga begitu terburu-buru pindah.  Beberapa orang  tetangga terbaikku, teman  baik seperti Bu Bambang dan Bu Winarno,  menangis dan hujan airmata saat melepaskan kami ke bandara Soekarno Hatta hari itu. Mereka mempertanyakan kenapa saya tidak jauh hari mau bercerita, tidak memberi kabar akan pindah hingga mereka menyiapkan  makanan atau souvenir apalah untuk kami. Lalu kukatakan pada mereka, justru karena kami tidak mau bikin repot, maka kami tidak mengabarkan hal ini dari jauh hari.
Bahkan di antara mereka, banyak yang  mau mengantarkan ke bandara, tapi aku mencegah. Aku tidak mau meninggalkan mereka di airport Soekarno-Hatta.  Aku ingin perpisahan yang menyedihkan itu cukup  di rumah saja, lalu hanya kami sekeluarga pergi ke bandara dan terbang  ke Selaparang, Nusa Tenggara Barat untuk kemdian berjalan lewat darat selama tiga jam ke pinggir Samudera Hindia, Kota Praya yang mungil.
Airmataku tak tertahankan mengalir saat memeluk semua ibu-ibu yang hadir mengantarkan kami keluar rumah. Mataku terasa terus basah, terasa terus mengalirkan air  saat mobil kijang perusahaan Real Estate Inti Bumi  mengantarkan kami menuju bandara internasional di Cengkareng, Kota Tangerang itu.  Lama sekali aku memeluk beberapa ibu yang semuanya menangis menyaksikan kepergian kami ini. Bahkan Dita dan Putih dipeluk mereka sambil mengusap rambut anak-anakku, meminta agar anak-anak berhati-hati dan waspada di daerah yang baru nanti. ”Jangan lupa menelpon dan berkirim surat kepada kami-kami di sini ya?” harap Bu Bambang dan Bu Winarno kepada anak-anakku.
Senja memerah di ufuk barat, langit menguning karena bias sinar matahari yang mulai memasuki kedalaman galaksi.  Pesawat Garuda Indonesia Airways Airbus nomor penerbangan GA 484 take up mulus meninggalkan Bandara Jakarta menuju timur dan mengudara di atas laut Jawa. Ketika  pesawat berwarna putih dan biru  yang kami tumpangi mendarat di bandara  Selaparang, Mataram, Nusa Tenggara Barat, jantungku terasa bergetar cepat tidak menentu. Entah kenapa,  tiba-tiba datang  rasa gundah gulana menggantung  tipis di kedalaman batinku.  Turun dari pesawat kami langsung dijemput oleh sopir perusahaan yang penuh tatto di tangannya, Sudrajat Jindono. Supir itu sudah lima bulan di situ setelah pindah tugas dari kantor pusat di Jalan Ampera Raya, Kemang Selatan,  Jakarta Selatan.
Selama perjalanan menuju rumah baru kami di Praya, Lombok Tengah, NTB, Pak  Sudrajat bercerita tentang banyak hal yang bermacam-macam pada Mas Sugiarto, di antaranya yaitu  mengenai kasus banyaknya  kematian misterius belakangan ini di Praya, Lombok Tengah dan Selong, Lombok Timur. Memang, dari berita-berita di koran, menyeruak kasus kematian misterius di dua daerah ini, Praya dan Selong. Namun hingga sejauh ini,  polisi belum berhasil mengungkap tentang sebab apa kematian beberapa korban itu. Dari beberapa narasumber terpercaya, kami mendapat keterangan, bahwa kematian demi kematian itu diduga karena serangan srigala, kelompok anjing liar yang belakangan ini memang banyak terlihat di Hutan Tangkil empat kilometer di luar  kota Praya.
”Di sebelah barat ada satu bukit, nama bukit itu adalah Bukit Malaya, di atas bukit itu kita melihat pemandanganseluruh Nusa Tenggara Barat  yang sangat indah. Di situ juga kita bisa melakukan aktifitas outbound. Bukankah Dita dan Putih suka out bound kan?” pancing Mas Sugiarto, mengalihkan perhatian anak-anak. Sebab suamiku tidak mau anak-anakku ketakutan mendengar cerita seram Pak Drajat.
Kendaraan melewati jalan tanah berbecek menuju rumah dinas Mas Sugiarto  di Jalan Abdul Razak Raya No.13 B, Praya, Pasar Kitri, Lombok Tengah.  Selain tanah berbecek, di pinggir jalanan juga terdapat banyak akar-akar kayu besar seperti akar kayu mahoni dan angsana  yang berumur ratusan tahun. Untunglah mobil yang ditumpangi adalah mobil bergardan ganda, Kijang Out Town yang dikenal tangguh menghadapi lumpur. ”Jalan ini belum seberapa parah dibanding jalan menuju  lokasi perumahan Inti Bumi Estate  di dekat laut selatan. Kalian semua akan pergi ke sana bersama papa besok pagi!” kata Mas Sugiarto.
”Daerah selatan  itu seberapa jauh dari rumah kita Pa?” tanyaku, demi untuk mengalihkan perhatian anak-anak dari cerita menyeramkan yang terjadi di Praya belakangan. ”Tidak jauh Ma, hanya 20 kilometer, tapi lokasinya sangat sulit dijangkau, sebab jalanannya masih tanah. Kalau berjalan ke sana pada musim panas,  jalanan itu sangat berdebu. Tapi yang repotnya bila musim hujan seperti sekarang ini, jalanan berbecek tebal dan mobil sering sekali tergelincir bila sopirnya tak begitu pandai. Tapi driver satu ini, Mas Drajat, saya yakin dia punya kemampuan menyetir yang  luar biasa, dia mampu menyetir bukan  saja dalam lumpur, tapi di dasar laut pun, dia bisa menyetir!” canda Mas Sugiarto, dengan maksud untuk memuji  Pak Drajat, sambil tertawa terpingkal-pingkal.  Pak Drajat terlihat sangat senang dengan percandaan itu. Selain geli, dia juga tersanjung dengan ungkapan calon boss barunya itu.
Kami sampai di Jalan Abdul Razak 13 B, Pasar Kitri,  tepat pukul l7.45 waktu Indonesia tengah. Rumah dinas itu ternyata bangunan tua jaman Belanda, gaya Reneisasance dan Pollendam Stuille.   Sebuah tempat tinggal peninggalan belanda abad l7 lalu, yang merupakan rancangan dari arsitektur sohor Belanda, Heinderick Van Brongkost.  Rumah itu dibangun Belanda karena di sekitarnya ada deposit emas besar yang kala itu diincer Ratu Wilhelmina. Selain itu, ada pula deposit nikel dan biji besi, yang kala itu menjadi primadona material tingkat dunia. Benda itu dicari-cari oleh industri yang sedang bertumbuh di Jerman dan Italia.  Saat Cucu Ratu Wilhelmina membangun industri dan ekploitasi nikel dan biji besi  N.V Eindhoven Drill tahun  l779, 100 orang pekerja asal Belanda dan Jawa mati terkubur di situ. Tanah perbukitan yang dibangun, tiba-tiba rontok, ambruk longsor dan mengubur hidup-hidup pekerja tambang dengan investasi besar-besaran pada jaman itu.
Begitu kami semua masuk ke dalam rumah, kami semua terperanjat. Tapi tidak dengan Mas Sugiarto.  Ternyata, Mas Sugiarto  membuat  kejutan yang sangat sensasional  bagi kami. Di rumah bertingkat dengan l0 kamar besar-besar itu ternyata telah terisi perabotan komplit. Selain meja kursi, sofa, lemari, televisi, AC, lemari es dan dapur yang nyaman, di garasi juga ada tiga mobil sedan mulus buat aku pergi dan anak-anak sekolah. ”Papa sudah siapkan semuanya saat Papa ke sini sebulan lalu. Satu mobil untuk Dita, satu mobil untuk Putih dan  satu mobil untuk Mama.  Semua masing-masing punya mobil dan tidak boleh saling ganggu satu sama lain. Dita  dan Putih  sudah ada sekolahnya, l0 kilometer dari Praya ini, yaitu  arah ke Kota Cakranegara.  Sekolahannya tidak begitu bagus, tapi tenaga pengajarnya sangat profesional, dua di antara tenaga pengajar itu  adalah warga negara Inggeris. Hebat kan?” dorong Mas Sugiarto.
”Papa sendiri mobilnya yang mana, di garasi ini mobilnya kan hanya ada tiga?” tanya Dita, penasaran.  ”Tenang, mobil Papa adalah Kijang Out Town  dan Om Drajat yang menyetirkan Papa ke mana-mana!” jawab Mas Sugiarto, sambil tertawa dan menunjuk mobil yang menjemput kami ke bandara Selaparang tadi.  Dita pun tersenyum puas mendengar keterangan papanya itu. ”Papa hebat, diam-diam, Papa ini kaya raya di daerah terpencil ini, tapi di Jakarta kok biasa saja sih Pa? Jangan-jangan Papa korupsi nih, Hati-hati Pa kalau korup, sekarang KPK sangat galak, Papa bisa-bisa  diseret ke Pengadilan Tipikor!” canda Dita.
”Enak aja, Papa korup, emangnya Papa bekerja sama negara? Papa bukan PNS bukan  pegawai negeri, bukan pejabat pemerintah. Tidak ada urusannya papa ini dengan korupsi. Lagi amit-amit, insya Allah Papa tidak korup lah, semua ini karena kebijakan perusahaan, Papa banyak dapat inventaris mobil, buat kalian lah, satu-satu. Lagi pula, sekarang ini, sebuah mobil,  bukan lagi barang mewahan,  tau?Di manamana banyak mobil leasing, mobil kereditan. Punya uang 10 juta sudah dapat Avaza, Xenia atau Grand Max baru!” jawab Mas Sugiarto serius.
Tapi Mas Sugiarto  hanya  banyak  tersenyum simpul mendengar ocehan anak-anak, yang  memang tidak tahu kalau Mas Sugiarto beberapa bulan belakangan ini diangkat jabatannya, dari kepala bagian di kantor pusat menjadi Direktur Operasional dan Direktur Cabang di Nusa Tenggara Barat.
Pada malam hari saat baru datang,  kami makan di restoran Sea Food Oriental  barat kota. Restoran mewah dan  nyaman itu milik seorang warga negara Inggeris asal Derby County, Inggeris Utara.  Nama pria itu Sir Richard Robinson, istrinya Sherly Duberry. Dia teman lama  Mas Sugiarto  saat suamiku bertugas  di Mataram selama beberapa bulan. Sir Robinson juga punya beberapa restoran mewah di Bali  dan juga di Ampenan, NTB.  Selain Sea Food ala Cina, Sir Robinson juga buka restoran Italian Food dan Spanish Food di Timika, Irian Jaya. Tapi entah kenapa, kata Mas Sugiarto, Sir Robinson lebih senang di Praya, bukan di restorannya yang lain yang lebih besar.
Pulang dari Sea Food kami masuk ke kamar masing-masing. Mas Sugiarto dan aku di kamar bawah depan, Dita di kamar tengah dan Putih  di kamar kiri depan. Sedangkan di lantai atas, satu kamar dari lima kamar yang ada ditempati oleh Pak Drajat.
Entah kenapa malam itu aku dan Mas Sugiarto  sulit tidur. Padahal kami ngobrol banyak hal hingga  mulut kami berdua sampai capek ngomong. Sementara jam di dinding, menunjuk di angka 24.00  tengah malam.
Suasana malam Kota Praya  sangat  sunyi. Tak ada kendaraan lalu lalang atau tak terdengar sedikitpun suara orang-orang yang bergadang di luar rumah. Suara jangkrik dan kodok sesekali terdengar memecah kebisuan malam. Dari kejauhan di atas bukit, terdengar suara srigala yang mengaum, menyentak jantungku hingga hatiku terasa begitu miris.
Saat kami nyaris tertidur, terdengar suara pekikan Dita dari kamar tengah. ”Papa. Mama, tolongin Dita Pa!!” teriaknya. Mas Sugiarto langsung melompat dan aku juga ikut dari belakang. Kami menghambur ke arah kamar Dita. Pintu kamar tidak terkunci dan kami langsung menemui Dita. Anak bungsuku itu tertelungkup di lantai dan pucat pasih. Mulutnya tak dapat bicara dan tangannya menunjuk-nunjuk ke jendela yang terbuka. ”Drakula, Drakula!” pekik Dita sambil memelukku erat-erat.
Aneh, daun jendela rumah itu tiba-tiba terbuka. Padahal dari sore aku telah menutup rapat-rapat daun jendela itu dengan kunci yang berlapis. Aku lalu menghambur ke arah jendela dan melihat keluar. Oh Tuhan, dari balik lampu taman, aku melihat dengan jelas sosok pria berjas panjang warna gelap dan bertopi laken. Sementara di bahunya terlihat sal panjang yang terjumbai disapu angin  malam. ”Mas Giarto, di luar ada orang!” teriakku.
Saat Mas Sugiarto mendekat ke jendela untuk melihat, tiba-tiba dalam hitungan detik, sosok itu terbang seperti kelelawar ke atas rumah. Kelebatnya terlihat jelas oleh kami dengan menggunakan sal menjadi sayap. Sayap sosok itu mirip sekali dengan sayap kelelawar, terbang ke atap rumah kami. Mas Sugiarto kalut dan kami bertiga tegang berat. Kami langsung buru-buru menutup jendela dan menelpon polisi Sektor Praya.
Tidak berapa lama kemudian, tiba-tiba terdengar pekikan  Pak Drajat di kamar atas. Aku membimbing Dita untuk mengikuti Mas Giarto naik ke kamar atas. Setelah mendobrak pintu kamar Drajat dan menyalakan lampu, kami terkejut bukan alangkepalang. Drajat terkulai lemas dengan leher yang penuh darah. Wajahnya pucat dan Pak Drajat ternyata sudah tak bernyawa lagi. Pak Drajat mati beberapa saat setelah dia berteriak minta tolong.
”Saya yakin sosok yang kita lihat itu adalah pembunuh misterius yang meresahkan warga Praya belakangan ini!” kata Mas Sugiarto. Aku semakin ngeri, Dita semakin cemas dan kami semua jadi gunda gulana, gelisah dan takut. Tak berapa lama, aku teringat anak kami satunya, Putih di kamar bawah kanan. ”Putih Mas, Putih anak kita!” teriakku.
Bagaikana berkejaran dengan waktu, kami bertiga bergegas lari ke bawah. Kami bertiga menuju kamar Putih yang mungkin juga dalam bahaya,  mudah-mudahan anak sulungku itu sedang tertidur lelap dan tenang di alam mimpinya. Sementara mayat Pak Drajat kami tinggalkan begitu saja sambil menunggu polisi datang.
Sesampainya di kamar Putih, ternyata pintu kamar terkunci dari dalam. Kami berteriak keras memanggil Putih. Tapi anehnya, Putih tidak terbangun dan tak bergeming sedikitpun. Rasa cemas makin membahana dalam batinku. Rasa was-was bertaut di batin kami,  yang mengkuatirkan akan nasib Putih. Karena tidak ada reaksi sedikitpun dari dalam, maka Mas Giarto  menghantam pintu sekeras-kerasnya dengan kakinya. Pintu itu lalu terbuka setelah kunci tercerabut akibat tendangan. Setelah menyalakan lampu besar, kami bertiga tak kuasa menahan sedih. Duh Gusti, anak kesayanganku itu telah terkapar di lantai tanpa nyawa. Putih  tewas dengan luka gigitan di leher dan tubuhnya memutih karena kehabisan darah.
Melihat keadaan anakku yang memilukan itu, aku tak kuasa lagi menahan tubuhku yang lemah. Aku lunglai terhempas di lantai dan pingsan. Aku pun tak ingat apa-apa lagi dan baru sadar setelah diberi air putih hangat oleh  Iptu Sanija kepala kepolisian Sektor Praya.  Dalam satu malam, dua korban mati di rumah dinas  itu. Satu sopir kesayangan dan  satu anak sulung kami yang pendiam yang sangat santun juga baik hati.
Aku menangis habis-habisan di pelukan Mas Guarto, begitu juga dengan Dita yang lusuh berurai airmata karena kepergian kakaknya yang sangat  dicintai itu. ”Ada mahluk di luar alam manusia yang berhubungan dengan manusia yang hidup dan menghisap darah. Saya sudah mendeteksi, bahwa ada Vampir  di sini. Jika dalam dua 24 jam tidak ditemukan dan tidak bisa dimusnahkan, akan jatuh korban lebih banyak lagi!” kata Kaji Husin, penasehat spiritual Ipda Sanija. Kaji Husin didatangkan Ipda Sanija malam itu juga dengan jeep dari tepi Samudera Hindia.
Setelah memvisum jenazah Putih,  aku minta pulang ke Jakarta. Kami memutuskan untuk memakamkan Putih  di Pulau Jawa. Sementara Pak Drajat dimakamkan keluarganya di Praya.
Setelah dimakamkan di TPU Kayugede, Serpong,  aku minta pada Mas Giarto untuk tidak kembali lagi ke Praya.  Mas Giarto memenuhi tuntutanku itu dan aku bersama Dita kembali tinggal di Kota Tangerang. Mas Giarto pun minta pindah tugas dan big boss pun membatalkan semua proyek di wilayah NTB itu. Tapi Mas Sugiarto minta izin padaku untuk turut membasmi vampir yang telah membunuh anak keyangan kami itu.
Alhamdulillah,  tekad suamiku yang kukenal pantang menyerah itu, terwujud dan sukses. Vampir biadab itu ternyata berhasil dimusnahkan dan dibakar secara berombongan di tengah persembunyian mereka  di luar Kota Praya. Vampir itu ternyata arwah para tenaga kerja asal Belanda yang mati di Praya abad lampau. Setiap waktu tertentu,  kami undang semua  tetangga dan keluarga besar  untuk membantu kami melakukan tahlilan di rumah kami, mendoakan agar Putih di terima layak di sisi Allah. Kami terharu sekali karena banyak tetangga kami  yang terus menerus  turut berduka, menyesali kematian anak kami yang cantik, Putih Zaskiah, yang selama ini selalu santun dan baik hati kepada siapapun. ***
Loading