Suamiku merencanakan untuk tinggal sendirian di Kota Praya, Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat, tanpa aku dan anak-anak. Sebab dua anak
kami, Dita dan Putih, sudah bersekolah di SMU 9, Kunciran, Kota
Tangerang. Mas Sugiarto Pramono menyayangkan kedua putri kami itu
harus pindah dan bersekolah di daerah terpencil yang mutu pendidikannya
di bawah standar. Baik kwalitas guru, maupun
system pendidikan di daerah terpencil, berbeda jauh dengan Kota
Tangerang yang sudah begitu maju pesat dan dekat dengan pusat
pemerintahan Jakarta. Untuk kegiatan ekstra kurikuler saja, guru
olahraga Dita dan Putih adalah mantan pelatih bulutangkis nasional,
yaitu Ahmad Daniel, yang sangat mahir bermain badminton dan melatih,
sehingga beberapa kali SMA Negeri 9 ini menjadi juara turnamen
bulutangkis se-provinsi, kometisi ketat antar SLTA se-Banten.
Anak kami, Dita dan Putih, menjadi dua orang dari beberapa murid yang
mampu bermain badminton dengan baik. Sejak mereka SD, Mas Sugiarto sudah
memasukkan mereka ke club besar. Maka itu, setelah rutin mengikuti
turnamen, dua anak kami itu jadi mahir bermain badminton. Teruji
sebagai pemain. Bahkan beberapa kali dilirik untuk dimasukkan pada
pelatnas.
Karena tugas di Praya tidak sebentar, sepuluh tahun, maka kami
sepakat untuk pindah semua ke Praya. Boyongan pindah ke kota baru
meninggalkan kota yang lama. Kami masuk dalam suasana baru, lingkungan
baru dan bertetangga dengan orang-orang baru yang serba baru. Dita dan
Putih sangat setuju pindah ke Praya, kota kecil dekat laut Samudera
Hindia di Lombok Tengah yang sunyi.
Hari Rabu, 2 November 2009 kami sekeluarga berpamitan pada tetangga
untuk pindah. Tetangga kami hampir semuanya kaget mendengar
kepindahan kami yang mendadak ini. Bahkan banyak yang mempertanyakan ada
apa, apa ada sesuatu masalah yang besar hingga begitu terburu-buru
pindah. Beberapa orang tetangga terbaikku, teman baik seperti Bu
Bambang dan Bu Winarno, menangis dan hujan airmata saat melepaskan kami
ke bandara Soekarno Hatta hari itu. Mereka mempertanyakan kenapa saya
tidak jauh hari mau bercerita, tidak memberi kabar akan pindah hingga
mereka menyiapkan makanan atau souvenir apalah untuk kami. Lalu
kukatakan pada mereka, justru karena kami tidak mau bikin repot, maka
kami tidak mengabarkan hal ini dari jauh hari.
Bahkan di antara mereka, banyak yang mau mengantarkan ke bandara, tapi
aku mencegah. Aku tidak mau meninggalkan mereka di airport
Soekarno-Hatta. Aku ingin perpisahan yang menyedihkan itu cukup di
rumah saja, lalu hanya kami sekeluarga pergi ke bandara dan terbang ke
Selaparang, Nusa Tenggara Barat untuk kemdian berjalan lewat darat
selama tiga jam ke pinggir Samudera Hindia, Kota Praya yang mungil.
Airmataku tak tertahankan mengalir saat memeluk semua ibu-ibu yang
hadir mengantarkan kami keluar rumah. Mataku terasa terus basah, terasa
terus mengalirkan air saat mobil kijang perusahaan Real Estate Inti
Bumi mengantarkan kami menuju bandara internasional di Cengkareng, Kota
Tangerang itu. Lama sekali aku memeluk beberapa ibu yang semuanya
menangis menyaksikan kepergian kami ini. Bahkan Dita dan Putih dipeluk
mereka sambil mengusap rambut anak-anakku, meminta agar anak-anak
berhati-hati dan waspada di daerah yang baru nanti. ”Jangan lupa
menelpon dan berkirim surat kepada kami-kami di sini ya?” harap Bu
Bambang dan Bu Winarno kepada anak-anakku.
Senja memerah di ufuk barat, langit menguning karena bias sinar matahari
yang mulai memasuki kedalaman galaksi. Pesawat Garuda Indonesia
Airways Airbus nomor penerbangan GA 484 take up mulus meninggalkan
Bandara Jakarta menuju timur dan mengudara di atas laut Jawa. Ketika
pesawat berwarna putih dan biru yang kami tumpangi mendarat di bandara
Selaparang, Mataram, Nusa Tenggara Barat, jantungku terasa bergetar
cepat tidak menentu. Entah kenapa, tiba-tiba datang rasa gundah gulana
menggantung tipis di kedalaman batinku. Turun dari pesawat kami
langsung dijemput oleh sopir perusahaan yang penuh tatto di tangannya,
Sudrajat Jindono. Supir itu sudah lima bulan di situ setelah pindah
tugas dari kantor pusat di Jalan Ampera Raya, Kemang Selatan, Jakarta
Selatan.
Selama perjalanan menuju rumah baru kami di Praya, Lombok Tengah, NTB,
Pak Sudrajat bercerita tentang banyak hal yang bermacam-macam pada Mas
Sugiarto, di antaranya yaitu mengenai kasus banyaknya kematian
misterius belakangan ini di Praya, Lombok Tengah dan Selong, Lombok
Timur. Memang, dari berita-berita di koran, menyeruak kasus kematian
misterius di dua daerah ini, Praya dan Selong. Namun hingga sejauh ini,
polisi belum berhasil mengungkap tentang sebab apa kematian beberapa
korban itu. Dari beberapa narasumber terpercaya, kami mendapat
keterangan, bahwa kematian demi kematian itu diduga karena serangan
srigala, kelompok anjing liar yang belakangan ini memang banyak terlihat
di Hutan Tangkil empat kilometer di luar kota Praya.
”Di sebelah barat ada satu bukit, nama bukit itu adalah Bukit Malaya, di
atas bukit itu kita melihat pemandanganseluruh Nusa Tenggara Barat
yang sangat indah. Di situ juga kita bisa melakukan aktifitas outbound.
Bukankah Dita dan Putih suka out bound kan?” pancing Mas Sugiarto,
mengalihkan perhatian anak-anak. Sebab suamiku tidak mau anak-anakku
ketakutan mendengar cerita seram Pak Drajat.
Kendaraan melewati jalan tanah berbecek menuju rumah dinas Mas Sugiarto
di Jalan Abdul Razak Raya No.13 B, Praya, Pasar Kitri, Lombok Tengah.
Selain tanah berbecek, di pinggir jalanan juga terdapat banyak akar-akar
kayu besar seperti akar kayu mahoni dan angsana yang berumur ratusan
tahun. Untunglah mobil yang ditumpangi adalah mobil bergardan ganda,
Kijang Out Town yang dikenal tangguh menghadapi lumpur. ”Jalan ini belum
seberapa parah dibanding jalan menuju lokasi perumahan Inti Bumi
Estate di dekat laut selatan. Kalian semua akan pergi ke sana bersama
papa besok pagi!” kata Mas Sugiarto.
”Daerah selatan itu seberapa jauh dari rumah kita Pa?” tanyaku, demi
untuk mengalihkan perhatian anak-anak dari cerita menyeramkan yang
terjadi di Praya belakangan. ”Tidak jauh Ma, hanya 20 kilometer, tapi
lokasinya sangat sulit dijangkau, sebab jalanannya masih tanah. Kalau
berjalan ke sana pada musim panas, jalanan itu sangat berdebu. Tapi
yang repotnya bila musim hujan seperti sekarang ini, jalanan berbecek
tebal dan mobil sering sekali tergelincir bila sopirnya tak begitu
pandai. Tapi driver satu ini, Mas Drajat, saya yakin dia punya kemampuan
menyetir yang luar biasa, dia mampu menyetir bukan saja dalam lumpur,
tapi di dasar laut pun, dia bisa menyetir!” canda Mas Sugiarto, dengan
maksud untuk memuji Pak Drajat, sambil tertawa terpingkal-pingkal. Pak
Drajat terlihat sangat senang dengan percandaan itu. Selain geli, dia
juga tersanjung dengan ungkapan calon boss barunya itu.
Kami sampai di Jalan Abdul Razak 13 B, Pasar Kitri, tepat pukul l7.45
waktu Indonesia tengah. Rumah dinas itu ternyata bangunan tua jaman
Belanda, gaya Reneisasance dan Pollendam Stuille. Sebuah tempat
tinggal peninggalan belanda abad l7 lalu, yang merupakan rancangan dari
arsitektur sohor Belanda, Heinderick Van Brongkost. Rumah itu dibangun
Belanda karena di sekitarnya ada deposit emas besar yang kala itu
diincer Ratu Wilhelmina. Selain itu, ada pula deposit nikel dan biji
besi, yang kala itu menjadi primadona material tingkat dunia. Benda itu
dicari-cari oleh industri yang sedang bertumbuh di Jerman dan Italia.
Saat Cucu Ratu Wilhelmina membangun industri dan ekploitasi nikel dan
biji besi N.V Eindhoven Drill tahun l779, 100 orang pekerja asal
Belanda dan Jawa mati terkubur di situ. Tanah perbukitan yang dibangun,
tiba-tiba rontok, ambruk longsor dan mengubur hidup-hidup pekerja
tambang dengan investasi besar-besaran pada jaman itu.
Begitu kami semua masuk ke dalam rumah, kami semua terperanjat. Tapi
tidak dengan Mas Sugiarto. Ternyata, Mas Sugiarto membuat kejutan
yang sangat sensasional bagi kami. Di rumah bertingkat dengan l0 kamar
besar-besar itu ternyata telah terisi perabotan komplit. Selain meja
kursi, sofa, lemari, televisi, AC, lemari es dan dapur yang nyaman, di
garasi juga ada tiga mobil sedan mulus buat aku pergi dan anak-anak
sekolah. ”Papa sudah siapkan semuanya saat Papa ke sini sebulan lalu.
Satu mobil untuk Dita, satu mobil untuk Putih dan satu mobil untuk
Mama. Semua masing-masing punya mobil dan tidak boleh saling ganggu
satu sama lain. Dita dan Putih sudah ada sekolahnya, l0 kilometer dari
Praya ini, yaitu arah ke Kota Cakranegara. Sekolahannya tidak begitu
bagus, tapi tenaga pengajarnya sangat profesional, dua di antara tenaga
pengajar itu adalah warga negara Inggeris. Hebat kan?” dorong Mas
Sugiarto.
”Papa sendiri mobilnya yang mana, di garasi ini mobilnya kan hanya ada
tiga?” tanya Dita, penasaran. ”Tenang, mobil Papa adalah Kijang Out
Town dan Om Drajat yang menyetirkan Papa ke mana-mana!” jawab Mas
Sugiarto, sambil tertawa dan menunjuk mobil yang menjemput kami ke
bandara Selaparang tadi. Dita pun tersenyum puas mendengar keterangan
papanya itu. ”Papa hebat, diam-diam, Papa ini kaya raya di daerah
terpencil ini, tapi di Jakarta kok biasa saja sih Pa? Jangan-jangan Papa
korupsi nih, Hati-hati Pa kalau korup, sekarang KPK sangat galak, Papa
bisa-bisa diseret ke Pengadilan Tipikor!” canda Dita.
”Enak aja, Papa korup, emangnya Papa bekerja sama negara? Papa bukan PNS
bukan pegawai negeri, bukan pejabat pemerintah. Tidak ada urusannya
papa ini dengan korupsi. Lagi amit-amit, insya Allah Papa tidak korup
lah, semua ini karena kebijakan perusahaan, Papa banyak dapat inventaris
mobil, buat kalian lah, satu-satu. Lagi pula, sekarang ini, sebuah
mobil, bukan lagi barang mewahan, tau?Di manamana banyak mobil
leasing, mobil kereditan. Punya uang 10 juta sudah dapat Avaza, Xenia
atau Grand Max baru!” jawab Mas Sugiarto serius.
Tapi Mas Sugiarto hanya banyak tersenyum simpul mendengar ocehan
anak-anak, yang memang tidak tahu kalau Mas Sugiarto beberapa bulan
belakangan ini diangkat jabatannya, dari kepala bagian di kantor pusat
menjadi Direktur Operasional dan Direktur Cabang di Nusa Tenggara Barat.
Pada malam hari saat baru datang, kami makan di restoran Sea Food
Oriental barat kota. Restoran mewah dan nyaman itu milik seorang warga
negara Inggeris asal Derby County, Inggeris Utara. Nama pria itu Sir
Richard Robinson, istrinya Sherly Duberry. Dia teman lama Mas Sugiarto
saat suamiku bertugas di Mataram selama beberapa bulan. Sir Robinson
juga punya beberapa restoran mewah di Bali dan juga di Ampenan, NTB.
Selain Sea Food ala Cina, Sir Robinson juga buka restoran Italian Food
dan Spanish Food di Timika, Irian Jaya. Tapi entah kenapa, kata Mas
Sugiarto, Sir Robinson lebih senang di Praya, bukan di restorannya yang
lain yang lebih besar.
Pulang dari Sea Food kami masuk ke kamar masing-masing. Mas Sugiarto dan
aku di kamar bawah depan, Dita di kamar tengah dan Putih di kamar kiri
depan. Sedangkan di lantai atas, satu kamar dari lima kamar yang ada
ditempati oleh Pak Drajat.
Entah kenapa malam itu aku dan Mas Sugiarto sulit tidur. Padahal kami
ngobrol banyak hal hingga mulut kami berdua sampai capek ngomong.
Sementara jam di dinding, menunjuk di angka 24.00 tengah malam.
Suasana malam Kota Praya sangat sunyi. Tak ada kendaraan lalu lalang
atau tak terdengar sedikitpun suara orang-orang yang bergadang di luar
rumah. Suara jangkrik dan kodok sesekali terdengar memecah kebisuan
malam. Dari kejauhan di atas bukit, terdengar suara srigala yang
mengaum, menyentak jantungku hingga hatiku terasa begitu miris.
Saat kami nyaris tertidur, terdengar suara pekikan Dita dari kamar
tengah. ”Papa. Mama, tolongin Dita Pa!!” teriaknya. Mas Sugiarto
langsung melompat dan aku juga ikut dari belakang. Kami menghambur ke
arah kamar Dita. Pintu kamar tidak terkunci dan kami langsung menemui
Dita. Anak bungsuku itu tertelungkup di lantai dan pucat pasih. Mulutnya
tak dapat bicara dan tangannya menunjuk-nunjuk ke jendela yang terbuka.
”Drakula, Drakula!” pekik Dita sambil memelukku erat-erat.
Aneh, daun jendela rumah itu tiba-tiba terbuka. Padahal dari sore aku
telah menutup rapat-rapat daun jendela itu dengan kunci yang berlapis.
Aku lalu menghambur ke arah jendela dan melihat keluar. Oh Tuhan, dari
balik lampu taman, aku melihat dengan jelas sosok pria berjas panjang
warna gelap dan bertopi laken. Sementara di bahunya terlihat sal panjang
yang terjumbai disapu angin malam. ”Mas Giarto, di luar ada orang!”
teriakku.
Saat Mas Sugiarto mendekat ke jendela untuk melihat, tiba-tiba dalam
hitungan detik, sosok itu terbang seperti kelelawar ke atas rumah.
Kelebatnya terlihat jelas oleh kami dengan menggunakan sal menjadi
sayap. Sayap sosok itu mirip sekali dengan sayap kelelawar, terbang ke
atap rumah kami. Mas Sugiarto kalut dan kami bertiga tegang berat. Kami
langsung buru-buru menutup jendela dan menelpon polisi Sektor Praya.
Tidak berapa lama kemudian, tiba-tiba terdengar pekikan Pak Drajat di
kamar atas. Aku membimbing Dita untuk mengikuti Mas Giarto naik ke kamar
atas. Setelah mendobrak pintu kamar Drajat dan menyalakan lampu, kami
terkejut bukan alangkepalang. Drajat terkulai lemas dengan leher yang
penuh darah. Wajahnya pucat dan Pak Drajat ternyata sudah tak bernyawa
lagi. Pak Drajat mati beberapa saat setelah dia berteriak minta tolong.
”Saya yakin sosok yang kita lihat itu adalah pembunuh misterius yang
meresahkan warga Praya belakangan ini!” kata Mas Sugiarto. Aku semakin
ngeri, Dita semakin cemas dan kami semua jadi gunda gulana, gelisah dan
takut. Tak berapa lama, aku teringat anak kami satunya, Putih di kamar
bawah kanan. ”Putih Mas, Putih anak kita!” teriakku.
Bagaikana berkejaran dengan waktu, kami bertiga bergegas lari ke bawah.
Kami bertiga menuju kamar Putih yang mungkin juga dalam bahaya,
mudah-mudahan anak sulungku itu sedang tertidur lelap dan tenang di alam
mimpinya. Sementara mayat Pak Drajat kami tinggalkan begitu saja sambil
menunggu polisi datang.
Sesampainya di kamar Putih, ternyata pintu kamar terkunci dari dalam.
Kami berteriak keras memanggil Putih. Tapi anehnya, Putih tidak
terbangun dan tak bergeming sedikitpun. Rasa cemas makin membahana dalam
batinku. Rasa was-was bertaut di batin kami, yang mengkuatirkan akan
nasib Putih. Karena tidak ada reaksi sedikitpun dari dalam, maka Mas
Giarto menghantam pintu sekeras-kerasnya dengan kakinya. Pintu itu lalu
terbuka setelah kunci tercerabut akibat tendangan. Setelah menyalakan
lampu besar, kami bertiga tak kuasa menahan sedih. Duh Gusti, anak
kesayanganku itu telah terkapar di lantai tanpa nyawa. Putih tewas
dengan luka gigitan di leher dan tubuhnya memutih karena kehabisan
darah.
Melihat keadaan anakku yang memilukan itu, aku tak kuasa lagi menahan
tubuhku yang lemah. Aku lunglai terhempas di lantai dan pingsan. Aku pun
tak ingat apa-apa lagi dan baru sadar setelah diberi air putih hangat
oleh Iptu Sanija kepala kepolisian Sektor Praya. Dalam satu malam, dua
korban mati di rumah dinas itu. Satu sopir kesayangan dan satu anak
sulung kami yang pendiam yang sangat santun juga baik hati.
Aku menangis habis-habisan di pelukan Mas Guarto, begitu juga dengan
Dita yang lusuh berurai airmata karena kepergian kakaknya yang sangat
dicintai itu. ”Ada mahluk di luar alam manusia yang berhubungan dengan
manusia yang hidup dan menghisap darah. Saya sudah mendeteksi, bahwa ada
Vampir di sini. Jika dalam dua 24 jam tidak ditemukan dan tidak bisa
dimusnahkan, akan jatuh korban lebih banyak lagi!” kata Kaji Husin,
penasehat spiritual Ipda Sanija. Kaji Husin didatangkan Ipda Sanija
malam itu juga dengan jeep dari tepi Samudera Hindia.
Setelah memvisum jenazah Putih, aku minta pulang ke Jakarta. Kami
memutuskan untuk memakamkan Putih di Pulau Jawa. Sementara Pak Drajat
dimakamkan keluarganya di Praya.
Setelah dimakamkan di TPU Kayugede, Serpong, aku minta pada Mas Giarto
untuk tidak kembali lagi ke Praya. Mas Giarto memenuhi tuntutanku itu
dan aku bersama Dita kembali tinggal di Kota Tangerang. Mas Giarto pun
minta pindah tugas dan big boss pun membatalkan semua proyek di wilayah
NTB itu. Tapi Mas Sugiarto minta izin padaku untuk turut membasmi vampir
yang telah membunuh anak keyangan kami itu.
Alhamdulillah, tekad suamiku yang kukenal pantang menyerah itu,
terwujud dan sukses. Vampir biadab itu ternyata berhasil dimusnahkan dan
dibakar secara berombongan di tengah persembunyian mereka di luar Kota
Praya. Vampir itu ternyata arwah para tenaga kerja asal Belanda yang
mati di Praya abad lampau. Setiap waktu tertentu, kami undang semua
tetangga dan keluarga besar untuk membantu kami melakukan tahlilan di
rumah kami, mendoakan agar Putih di terima layak di sisi Allah. Kami
terharu sekali karena banyak tetangga kami yang terus menerus turut
berduka, menyesali kematian anak kami yang cantik, Putih Zaskiah, yang
selama ini selalu santun dan baik hati kepada siapapun. ***