Selasa, 01 November 2011

MEMBURU MAKHLUK GAIB PENJARAH IKAN DI TAMBAK

Memang pekerjaanku sangat menjemukan. Berhari-hari aku harus berada di tengah-tengah kesunyian dan keheningan. Karena begitu luasnya areal tambak-tambak itu, membuatku segan keluar dari dangau (gubuk) beratap alang-alang tempatku berteduh dari hujan dan terik matahari.
Meski begitu, bukan berarti aku sama sekali tidak berkomunikasi dengan orang-orang yang seprofesi dengan diriku. Maksudku, sesama kunjen atau penjaga tambak. Meski tidak sering, sesekali aku berhubungan dengan mereka. Misalnya saja ketika aku kehabisan beras, maka aku harus meminjam dahulu dari salah satu di antara mereka.
Majikanku, orang yang memiliki tambak ini memang tinggal di Bandung. Dia hanya datang mengontrol sebulan sekali, dengan membawa beras dan rokok kretek murah untuk persediaanku selama satu bulan. Kadang-kadang cukup, kadang-kadang tidak.
Persediaan beras itu harus dibagi dua dengan anak dan isteriku yang aku tinggalkan dirumah. Seminggu sekali aku pulang ke rumah sambil membawa uang hasil dari penjualan udang sehari-hari. Kalau majikan, tidak punya urusan dengan uang hasil dari penjualan udang, karena dianggap udang itu tidak ditanam, tapi udang alam yang dating dengan sendirinya.. Dan udang itu hasil dari kerajinanku memasang perangkap yang disebut “Bubu”. Ketika sore dan malam hari, air laut pasang membawa udang-udang laut masuk ke tambak-tambak melalui pintu tambak yang dipasangi bubu. Dan esok paginya air laut surut kembali. Otomatis udang-udang itu tidak bisa keluar tambak lagi, karena terperangkap di dalam bubu.
Begitulah pekerjaanku sehari-hari. Sore memasang bubu dan subuh mengangkatnya. Yang paling menyedihkan, bila masuk ke musim penghujan. Segalanya susah. Terutama untuk menebar pakan dan mengendalikan air yang berlebihan. Apalagi tambak majikanku itu luasnya kurang lebih dua puluh hektar.
Memang, tugasku intiku memberi pakan pagi dan sore hari. Sampai benih siap di panen selama empat bulan ke depan.
Bergulat di kehidupan pertambakan sudah aku lakukan sejak umurku masih remaja. Belajar dari bapakku, almarhum. Tetapi tambak yang dipercayakan ke bapak dulu tidak seluas yang kini dipercayakan padaku.
Sebagai seorang penjaga dan perawat tambak kawakan, aku sudah hapal betul tempat-tempat mana saja yang harus kuhindari karenakeangkerannya. Memang ada mitos-mitos yang harus dipegang erat-erat. Salah satunya seperti jangan bersiul-siul di malam hari. Konon, apabila mitos ini dilanggar maka akan menghandirkan sosok gaib berwujud harimau yang berjumlah banyak sekali.
Bertahun-tahun kehidupanku kuhabiskan ditambak ini. Bermacam-macam penampakkan yang aku lihat tidak membuat nyaliku ciut. Mungkin akibat seringnya melihat kuntilanak, wewe gombel atau makhluk gaib lainnya aku tidak merasa takut lagi. Asal jangan merugikan saja. Kehadiran mereka kadang-kadang malah membuatku senang, sebab berarti aku ada yang menemani.
Ada sejenis makhluk berukuran mini, menyerupai tuyul. Makhluk inilah yang dimusuhi para petani tambak karena datangnya berkoloni, puluhan bahkan mungkin ratusan jumlahnya. Sangat merugikan sekali. Makhluk inilah yang disebut “jangjitan”.
Makhluk ini mungkin sejenis tuyul yang masih liar kehidupannya, belum memiliki majikan. Ada juga yang percaya, jangjitan itu berasal dari roh-roh bayi yang diaborsi, karena tidak diharapkan kehadirannya oleh kedua orang tuan mereka, atau hasil dari hubungan gelap sepasang kekasih.
Aku tidak memperdulikan dari mana makhluk itu berasal. Yang pasti, mereka memiliki penampilan yang buruk sekali. Tingginya hanya kurang dari enam puluh centi meter, kedua telinganya panjang, hidungnya pesek, mulutnya lebar, perutnya buncit dan kepalanya besar plontos.
Pertanda awal-awal kehadirannya mengeluarkan suara seperti burung-burung yang jumlahnya banyak, mencicit-cicit. Tetapi sebelumnya, ada seperti pengintai untuk mengamati situasi apakah aman atau belum tambak yang akan mereka satroni dari keberaaan manusia. Karena memang makhluk mini itu paling takut kepada manusia.
Keanehan lain dari makhluk mini itu dari ujung jarinya mengeluarkan api yang berfungsi sebagai penerangan ketika mencuri ikan di tambak. Selain menggunakan penglihatannya, mereka juga menggunakan penciumannya untuk menditeksi keberadaan manusia. Kalau ada manusia, salah satu darinya akan berteriak, “Mambu uwong…mambu uwong (bau manusia…bau manusia) !”  Berteriaknya seperti kawanan monyet hutan. Kemudian berlarian dan menghilang di gelapnya malam.
Karena ulahnya, para petani tambak sering memburu mereka. Apalagi setelah kehadiran mereka biasanya banyak sekali bangkai ikan berserakan di pematang tambak, dengan isi bagian perutnya yang hilang, sedang fisik ikan itu utuh.
Memang jangjitan itu hanya menghabiskan jerohan ikan saja. Inilah yang dikatakan mubazir oleh petani, karena bangkai ikan itu tak bisa dijual. Mau dimakan sendiri terlalu banyak. Dibiarkan akan membusuk.
Makhluk jingjitan ini juga sepertinya memiliki kecerdasan. Mereka bisa tahu mana tambak banding yang ikannya masih kecil, dan mana tambak yang ikanya yang sudah siap panen. Kedatangan merea tidak cukup sekali, tetapi berkali-kali sampai waktu panen tiba. Celakanya, ini tidak bisa diprediksi, sebab waktunya tidak bisa ditentukan.
Kendati demikian, setelah aku pelajari kedatangannya berkali-kali, ternyata biasanya mereka dating menjelang pagi hari sebelum adzan Subuh. Rupanya para makhluk itu tahu persis di saat-saat inilah puncak dari kelelehan seorang manusia yang tidak bisa menahan kantuknya, dan pasti akan lengah dengan tertidur walau hanya sekejap. Sementara manusia lengah, makhluk mini itu menyerbu dan menjarah ikan di tambak. Kejadian memang relatif cepat. Mungkin hanya beberapa detik saja. Tapi akibatnya sangat merusak.
Biasanya, masa kritis petani tambak adalah ketika memasuki tiga bulan musim hujan. Bahkan di masa-masa inilah aku jarang tidur, karena terus mengawasi  ikan-ikan yang sudah mulai membesar. Banyak gangguan, baik gangguan yang datangnya dari manusia jahil atau gangguan dari makhluk halus. Kuntilanak dan wewe gombel paling banyak memakan ikan dua sampai tiga ekor setiap kemunculannya. Sama seperti makhluk mini, kuntilanak dan wewe gombel pun hanya menyantap jerohan ikan saja, sedang bagian dagingnya dibuang begitu saja di pematang.
Pernah kusaksikan pada suatu malam, kuntilanak berjongkok di sisi tambak dengan tangannya ditutupi baju putih menjulur, dan secepat kilat ikan bandeng sudah dalam genggamannya.
Suaranya ketika sedang menggerogoti isi perut ikan, persis sekali suara kucing lapar. Meringkik-ringkik. Pagi-paginya sisa ikan itu tergeletak membusuk di pematang.
Pada awalnya aku tidak tahu kalau jingjitan itu adalah makhluk halus. Aku mengira mereka hanya anak kecil yang iseng-iseng main saja. Ya, aku seperti terhipnotis ketika itu. Tetapi setelah kepergian mereka, kuhampiri tempat bermainnya tadi. Aku kaget, banyak bangkai ikan berserakan tanpa isi perut dan kepala. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
Dan sejak itu, jingjitan jadi musuh utamaku. Setiap malam, aku mengintai kedatangan mereka. Golok tidak pernah lepas dari pinggangku setiap kali aku berkeliling tambak di malam hari.
Untuk menaklukan jingjitan, almarhum Bapakku pernah memberi nashet begitu, “Yang pertama kamu harus bersabar, dan lakukan puasa mutih selama tiga hari tiga malam. Selama puasa itu kamu jangan tidur malam, terus keliling tambak sampai Subuh. Nanti juga pasti akan tampak sendiri, bila saatnya tiba.”
Bapakku membelaki sekalian dengan doa-doa yang harus dibaca ketika menjalani puasa mutih, dan dibaca saat sedang mengelilingi tambak.
Dengan kesungguhan kujalani petunjuk yang diberikan oleh Bapakku. Setelah persyaratan kulakoni, setiap malam aku keliling tambak sampai menjelang pagi. Tetapi selama lima malam aku belum beruntung melihat penampakkan makhluk mini itu.
Suatu saat di malam Selasa, aku keluar tepat pukul 12 malam. Bawang putih sudah selesai kululurkan di sekujur badanku, yang fungsinya untuk mengaburkan penciuman makhluk jangjitan. Yang membuatku riskan adalah dibalik kain sarungku, aku tidak mengenakan apa-apa lagi, sebab ini memang petunjuk dan saran dari Bapakku bahwa apabila ingin melihat wujud jingjitan maka harus dengan cara seperti itu.
Malam itu, dangau sudah jauh kutinggalkan. Hanya kelap-kelip lampu templok yang terlihat. Tiba-tiba dari langit kudengar gemuruh suara cicit-cicit seperti suara tikus dalam jumlah yang banyak.
“Ini dia!” Pikirku. Kulepas kain sarungku, lalu tengkurep di atas pematang tambak dalam keadaan bugil. Betul juga, akibat dari luluran bawang putih di tubuhku, makhluk jangjitan itu tidak bisa mendeteksiku.
Aku sempat merinding juga melihat jumlahnya yang begitu banyak saat mereka mendarat di pematang yang tidak jauh dariku. Aku terus merangkak mendekati. Kira-kira dalam jangkuan bambu kuning di tanganku, aku merapalkan doa pemberian Bapakku. Jelas kulihat disini, mulut jingjitan yang lebar itu bergerak-gerak, seperti kera-kera mencium benda yang mencurigakan.
Makhluk-makhluk kerdil itu berjejer dipematang tambak. Aku terus lebih mendekatinya, bergerak merangkak-rangkak. Maksudnya agar ujung bambu kuning ini dapat mengenai sasaran, ketika kucambukkan ke badan makhluk kerdil itu.
Kudengar dedemit-dedemit itu seperti sedang berkomunikasi dengan bangsanya. “Mambu…ora…..ana…ora uwong…” Hanya itu percakapan yang kudengar dan setidaknya kumengerti. Disusul teriakan seperti memberi aba-aba. Lalu…byurr! Makhluk-makhluk kerdil itu terjun ke tambak.
Kecipak air dan jeritan-jeritannya membuat gaduh suasana. Bulu kuduk merinding melihat mereka mengisap-isap perut ikan yang ditangkapnya. Air tambak mendadak bergelombang, karena puluhan makhluk kerdil itu terjun semua kedalam tambak sambil mengobok-obok isi tambak. Jeritan-jeritannya memekakkan telinga.
Aku lebih memfokuskan sasaran kesalah satu makhluk mini itu. Terutama kepada yang sudah berada di darat dan sedang makan jerohan ikan. Aku berjongkok sambil mendekati salah satu sasaranku. Bismillah! Aku bersiap menghantamkan bambu kuning kebadannya. Dan, Buk! Sasaran kena hantaman. Makhluk dari alam gaib itu menggelepar-gelepar menahan sakit. Berbarengan dengan suara lengkingan yang menyayat.
Sementara puluhan jangjitan lainnya, ketika mendengar lengkingan rekannya itu langsung berhamburan, kabur dan menghilang di tengah-tengah kegelapan malam.
Suasana kembali hening, hanya sayup-sayup deburan ombak pantai utara yang kudengar. Kuhampir korban tergeletak yang sepertinya tidak berdaya. Kukenakan kain sarungku lagi, karena udara sangat dingin.
Ooo…ternyata makhluk kerdil itu masih sekarat. Perut buncitnya bergerak-gerak, dan dari mulutnya keluar lenguhan yang mirip rintihan. Aduh minta ampun, bau anyir tubuhnya membuat mual perutku.
Akan kutunggui sampai pagi. Apa yang akan terjadi dengan makhluk kerdil ini? Sambil membaca mantera pemberian Bapakku dan diselingi membaca kalam-kalam Illahi, aku menanti pagi dengan kesabaran.
Apa yang kemudian terjadi dengan makhluk yang tergeletak di hadapanku? Seiring waktu menuju fajar, makhluk gaib yang disebut jangjitan itu berkelojotan. Dari mulutnya yang lebar keluar erangan-erangan. Matanya membeliak-beliak.
Dan bersamaan adzan Subuh, saat itu pula dari seluruh badannya mengepul asap putih. Lalu disusul suara jeritan yang memilukan. Hanya dalam hitungan detik, seluruh tubuh makhluk mini itu berubah menjadi arang. Dan arang itu akhirnya berubah menjadi abu putih, seiring sinar matahari menyembul di ufuk timur.
Kutampung debu putih itu ke dalam daun pisang, lalu kutaburkan di setiap sudut tambak milik majikanku, seperti yang diperintahkan oleh Bapak almarhum.
Nah, demikianlah kisah perburuan yang kulakukan untuk menjebak makhkluk-makhluk kerdil pencuri ikan. Aneh, memang. Tapi begitulah kenyataan yang kualami sendiri.
Loading