Suku Dayak Benuag dan Tunjung meyakini betapa mereka berasal dari
leluhur yang dikenal dengan sebutan Tamerikukng — karena keturunannya
melakukan suatu kesalahan, akhirnya, mereka pun berubah ujud dan
tersebar di beberapa tempat di seantero Pulau Borneo. Dan mereka inilah
yang sering disebut sebagai “Roh” atau makhluk halus yang memiliki tugas
serta fungsi masing-masing dan mukim di seluruh alam, seperti di
langit, bumi, air dan sebagainya.
Walau hidup di alam yang tak kasat mata, namun, mereka memiliki
kebutuhan yang sebagian besar sama dengan yang dibutuhkan manusia pada
umumnya. Dalam kepercayaan lama inilah, sejatinya, hubungan dua alam
yang bersanding dan hanya terpisahkan oleh kabut misteri terjalin dengan
erat — dan keadaan itu hanya terasakan oleh manusia yang masih alami,
atau manusia yang masih memanusiakan manusia dan masih menghargai alam
semesta. Dan tak dapat dipungkiri, pengejawantahan dari sikap menghargai
itulah yang dapat membuka tabir dimensi misteri tersebut yang oleh
sebagian besar masyarakat Dayak diyakini sebagai Dunia Ilmu Magis.
Masyarakat Dayak meyakini, wujud ketaatan dan kesetiaan mereka terhadap
“roh” akan mendapatkan berkah dan imbalan dalam berbagai bentuk.
Sebaliknya, ketidaktaatan akan membawa mereka ke jurang kehancuran. Oleh
karena itu, mereka selalu berusaha untuk bisa berkomunikasi dengan
“roh-roh” tersebut lewat cara-cara yang seringkali tidak bisa diterima
dengan akal sehat.
Menurut pakar kebudayaan Tanah Borneo, Dalmasius Madrah T, pada
dasarnya, ilmu magis dibagi menjadi dua bagian; Yakni; Ilmu Magis Panas;
ilmu yang dipakai atau dapat mencelakakan orang yang disukai. Contoh
dari ilmu ini adalah rasutn dan bongkaaq eqaau yang sangat mematikan.
Sedang yang tidak membahayakan namun digolongkan dalam ilmu magis panas
adalah ilmu kebal. Sementara, Ilmu Magis Dingin; ilmu yang berfungsi
untuk mengantisipasi, menangkal, dan mengobati ilmu magis yang dipasang
atau dikirim oleh pihak lawan. Bahkan, bisa juga digunakan untuk
pengobatan penyakit madis.
Seperti biasa, bagi seseorang yang berniat mendapatkan ilmu tersebut di
atas, maka, ia harus mencari sumber (guru-pen) yang tepat atau yang
sesuai dengan keinginannya. Yang paling menarik adalah, walau berbagai
kajian ilmiah telah dilakukan dan banyak bukti nyata di dalam hidup dan
kehidupan sehari-hari, tetapi, konsep magis yang memang sulit untuk
diterima dengan akal sehat itu tetap saja tak bisa terungkap dengan
sejelas-jelasnya.
Selain dari mencari sumber (guru-pen), ada pula yang ingin mendapatkan
ilmu magis dengan cara “betapa” (bertapa-pen) sebagaimana yang dilakukan
oleh leluhur Bung Dani-i-Dani yang mendapatkan warisan berupa batu
berbentuk mirip telur yang terlilit oleh seekor ular. Dan sampai
sekarang mereka meyakini, inilah yang disebut sebagai mustika ular.
Bermula, ketika itu, daerah Tumbang Samba terserang oleh wabah penyakit
yang mematikan. Tak ada yang mereka bisa lakukan di desa yang demikian
terpencil itu kecuali hanya berharap dan berdoa — keadaan inilah yang
membuat kakek Bung Dani bertekad untuk betapa (bertapa-pen) di Sungai
Kahayan untuk mendapatkan pencerahan guna mengatasi penyakit yang kian
hari kian merajalela itu.
Pada saatnya, sang kakek pun berendam di Sungai Kahayan. Waktu terus
berlalu hingga suatu hari, ia ia ditemui oleh penguasa Sungai Kahayan
yang mengaku bernama Datu Amin Kelaru. Dan dari pertemuan dua makhluk
yang berbeda alam itulah, ia pun mendapatkan sebuah batu mirip telur
yang dililit oleh seekor ular. Singkat kata, dengan daya magis batu
tersebut, akhirnya, sang kakek pun berhasil menyembuhkan masyarakat di
desanya yang terkena penyakit aneh tersebut.
Meski mustika ular itu didapat dengan jalan betapa (bertapa-pen),
tetapi, benda yang oleh suku dayak diyakini memiliki kekuatan atau
kesaktian itu pada waktu-waktu tertentu biasa meminta imbalan berupa
makanan dan minuman sebagaimana yang kita kenal dengan sebutan sesaji.
Sudah barang tentu, silang pendapat akan hal tersebut di atas selalu
terjadi di tengah-tengah masyarakat. Namun, masyarakat suku Dayak
melakukan hal tersebut sebagai (meminjam istilah Khanjeng Joko-pen)
“tali asih” antara sesama makhluk ciptaan Tuhan. Sayangnya, dalam
kehidupan sehari-hari, hal tersebut kadang berkebalikan. Seharusnya
manusia yang diciptakan lebih sempurna ketimbang makhluk lain diptaanNya
itu memberi “sesaji” sebagai sedekah bagi mahkluk yang lebi rendah —
bukan sebaliknya.
Setelah sang kakek meninggalkan dunia nan fana ini, akhirnya, mustika
ular tersebut diwariskan kepada cucunya, Bung Dani-i-Dani. Pemuda inilah
yang akhirnya menjadi penerus sang kakek dalam memberikan pelayanan
pengobatan baik medis maupun non medis di daerahnya. Tumbang Samba.
Sampai sekarang, tiap malam Jumat, Bung Dani-i-Dani selalu memberikan
sesaji berupa bunga 3 atau 7 macam — dan salah satu di antaranya harus
bunga melati, serta kopi manis dan kopi pahit masing-masing segelas,
sementara, mustika ular itu diletakan di sebuah piring yang sebelumnya
telah ditaburi dengan segenggam beras.
Kini, ditangan Dani-i-Dani, mustika ular yang berdaya gaib tinggi itu
berhasil dioptimalkan untuk berbagai hal. Selain pengobatan, mustika
ular ini berhasil juga mendongkrak nilai guna dalam hal ekonomi. Di
antaranya, penglarisan dagang, memperlancar usaha dan keperluan pagar
gaib yang dikenal dengan sebutan kamaat (penjaga gaib yang setia). Yang
terakhir ini memang dapat diperoleh dengan cara nemaai (diperoleh dengan
pembayaran dan tata cara tertentu). Singkat kata, untuk membeli kamaat
bukanlah suatu pekerjaan yang mudah — karena diperlukan kesungguhan,
selain harus berhasil meyakinkan si pemilik kamaat agar mau berbagi.
Pada dasarnya, kamaat bukan barang dagangan, hanya saja, bagi yang
serius ingin mendapatkannya harus mau berbagi.
Demikian sekelumit legenda, tetapi nyata, dan sampai tulisan ini diturunkan masih bisa ditemui di Desa Tumbang Samba.