Begitu koko Lo Bie Khiong jadi membeli ruko Pasarbaru Jakarta, aku
ditugaskan menempati rumah toko berlantai tiga di dekat Gang Kelinci
itu. Koko Lo memodaliku buka usaha sepatu underlicence dari Italia
merek Palacci dan tas-tas produk Francis merk Luois Vitton. Lantai
dasar dipajang sepatu dagangan, lantai dua dijadikan gudang., lantai
tiga tempat tinggalku.
Walau baru saja diresmikan, tapi Puji Tuhan, toko kami menjadi
sangat ramai dikunjungi peminat. Koko Lo Bie Khiong melibatkan ahli
fengshui kenamaan bernama Suhu Beng dengan altar ritualis paripurna
berikut tiga sio lo. Ada pula pajangan di dinding macam cermin Fa Kua
dan tulisan kaligrafi China ciao yo. Selain terdapat ratusan lilin
pengundang chi positif, altar ritual itu diisi oleh kim cua, shio hu dan
Tio Ciu sebagai simbol pengundang keberuntungan.
Koko Lo Bie Khiong memang sangat dekat dengan dunia spiritual Tiongkok.
Setiap kali membuka usaha, Koko Lo selalu melibatkan Suhu Beng. Suhu
Beng merupakan penasehat hongshui-fengshui handal dalam keluarga kami.
Mulai dari kakek, bapak hingga ke kakak-kakakku, jika buka usaha selalu
melibatkan Suhu Beng. Walau Suhu Beng sudah berumur 85 tahun, tapi ahli
budaya China ini kelihatan sehat dan kekar. Langkahnya sangat cepat jika
berjalan, tidak kalah dengan anak muda umur 30 tahunan. Kiat sehat Suhu
Beng sangat sederhana, dia giat olahraga jogging dan memakan makanan
berserat, nabati dan minum air putih.
Menurut Koko Lo, Suhu Beng itu pakar supranatural yang punyai ilmu
saktimandraguna. Selain menguasai ilmu fengshui, dia juga menguasai ilmu
membangkitkan roh. Suhu Beng bisa berdialog dengan arwah, memanggil
orang yang sudah jadi mayat untuk bangkit dan bicara. Secara diam-diam
Suhu Beng sering dimintai bantuan oleh pihak kepolisian untuk mencari
pembunuh yang dinyatakan dark number, suatu peristiwa pembunuhan yang
sulit dilacak. Suhu diminta memanggil arwah korban dan menanyai siapa
pembubuh korban itu. Dengan ilmunya, korban yang sudah jadi mayat akan
menyebut siapa pembunuh sebenarnya kepada Suhu Beng.
Toko milik Koko Lo Bie bukan Cuma satu. Untuk di Pasarbaru saja dia
punya tiga toko termasuk toko yang dipercayakannya padaku. Di Glodok,
Jalan Melawai Blok M, Metropolis Tangerang, Cipulir Jakarta Selatan, dia
punya banyak toko. Semua toko yang dimilikinya tidak kurang dari 60
toko besar. Semua usahanya itu maju pesat dan memetik untung berlipat.
Kemajuan usaha itu dipercaya betul oleh Koko Lo Bie disebabkan oleh
ritual Suhu Beng. “Tapi Suhu Beng itu hanya mediator Tuhan di dunia ini.
Yang menentukan kemajuan atau suatu kemunduran usaha kita tidak lain
Thien Tie Kong, Tuhan kita!” kata Koko Lo Bie kepadaku.
Sebagai pemeluk agama Budha dan memegang kepercayaan Konfusius, aku
yakin betul kepada berkah Dewa. Dewa yang inti yang memberkati usaha
setiap pemeluk Budha kuyakini adalah Thien Tie Kong. Lain dari itu ada
pula Dewa Matahari, Dewa Bumi dan Dewi Kwan Im. Semua Dewa itu akan
menyayangi dan melindungi kita bila kita selalu memuja dan memuji-Nya!”
pesan Koko.
Koko banyak memberikan masukan hal agama Budha kepadaku. Sebab selama
ini aku bukanlah pemeluk agama ini. Tadinya aku tidak punya agama, hanya
aliran kepercayaan saja. Tapi begitu tamat SMA Tarakanita, aku
diperkenalkan Koko Lo Bie kepada Vihara dan Klenteng. Hampir semua
Klenteng tua yang wingit sudah kudatangi. Termasuk Klenteng Ancol yang
bermakam sejarah cinta antara Sampoo Soe Sue dan Sitiwati itu. Klenteng
Benten Lama juga kudatangi dan bersembahyang di sana. Bahkan Klenteng
Liong Bio di Pulau Kemaro Palembang, pernah pula kumasuki dan
bersembahyang di sana. Bahkan sekarang aku bertetangga dengan Klenteng
Yayasan Dharma Jaya Sin Tek Bio di Pasarbaru yang secara rutin aku
melakukan ritus Budhis denagn bimbingan beberapa biksu dan niku.
Ajaran Sidharta Gautama kupelajari secara intensif hingga kini. Inti
dari ajaran itu adalah bersih hati, tulus ihlas, kasih sayang, punya
kepedulian besar pada yang miskin dan tidak boleh iri hati juga tidak
boleh menyimpan dendam. Ajaran itu kupraktekkan sehari-hari dengan
beberapa orang karyawanku yang beragama berbeda-beda. Karena dengan
pendekatan sifat suci itulah, maka semua karyawanku betah, jujur dan
berbahagia di perusahaanku. Bahkan dua karyawati yang masih gadis,
tinggal bersamaku di lantai tiga. Mereka menemaniku hingga aku menikah
kelak. Tapi karena aku tidak kunjung menikah maka selama melajang
berkepanjangan itu, mereka betah tinggal bersamaku.
Setelah selama lima tahun kami tinggal di ruko itu, Selasa 2 Februari
l999, kami bertiga dikagetkan oleh suatu suara eneh di atas loteng.
Tengah malam pukul 12 terdengar suara batuk lelaki berumur. Padahal di
ruko kami itu tidak ada laki-laki. Bahkan di rumah sebelah pun, tidak
ada laki-laki tua karena semua penghuni lelaki muda dan wanita pekerja.
Suara batuk seperti penderita TBC itu berlangsung secara berkala hingga
azan subuh dinihari. “Masak ada orang di loteng?” tanya Erni, pegawai
toko yang tinggal bersamaku. “Tidak mungkin, tidak mungkin ada orang
betulan di atas sana!” desis Lola, pegawaiku yang satunya. “Maksud
kalian yang batuk itu hantu?” desakku. “Bukan hantu, tapi mungkin mahluk
gaib lah!” tandas Erni.
Habis azan Erni dan Lola melakukan sholat subuh. Setelah itu kami
bertiga tidur di kamar masing-masing. Pagi harinya, kami segera turun ke
bawa berbenah. Kami membuka pintu toko dan stnaby pukul 9 pagi.
Beberapa calon pembeli masuk, perempuan, laki-laki baik tua maupun muda.
Di antara beberapa calon pembeli, salah seorang kakek
terbungkuk-bungkuk dengan tongkatnya melihat beberapa sepatu yang
dipajang. Kakek itu terbatuk-batuk dan suara batuknya persis suara
misterius yang terdengar tadi malam. Lola memandang Erna, Erna
mengarahkan pandangannya padaku. Aku lalu memberi kode agar salah
seorang di antara mereka mendekati kakek-kakek itu.
“Bapak cari apa, cari sepatu? Sepatu yang model apa dan buat siapa?”
desak Lola. Si Kakek acuh tak acuh saja. Dia berlagak tidak mendengarkan
pertanyaan Lola. Atau justru dia benar-benar tidak dapat mendengar
suara Lola. Untuk itulah Lola mengulangi lagi pertanyaannya. Tapi
kakek-kakek itu tidak memperdulikan pertanyaan itu juga. Dengan lembut,
Lola pun menyentuh tangan kakek-kakek itu. “Kakek cari sepatu?” tanya
Lola lagi. Yang bersangkutan tetap diam, malah dia berlalu dari Lola
menuju konter yang lain.
Karena Lola tidak berhasil mendekati, Erna ambil inisiatif menanyai
lelaki tua itu. Tapi kakek itu tetap diam membisu seribu bahasa. Bahkan
dia lalu berlalu keluar toko kami ke arah jalanan yang sudah mulai
ramai. Seperti kompak betul, kami bertiga melongok keluar halaman. Tapi
aneh bin ajaib, kakek-kakek itu tidak terlihat sama sekali. Baik di
utara maupun di selatan dan barat, tidak ada kakek itu.”Ke mana dia
berjalan?” tanyaku kepada Lola dan Erni. Kedua pegawaiku itu pun
mengangkat bahu. Dalam hitungan detik, kakek itu menghilang. “Batuknya
persis suara batuk tadi malam, jangan-jangan…” desis Erna. “Maksud Erna,
jangan-jangan kakek itu mahluk jejadian yang tadi malam ada di loteng
kita!” kataku.
Kejadian yang misterius yang akami anggap kecil itu berlalu begitu saja.
Kami ebrusaha melupakan persitiwa itu dan menjadikannya sebagai
pengalaman unik saja. Tapi pada malam harinya, Selasa Pon, 3 Februari
jam 23.00, suara batuk itu terdengar lagi. Kali ini malah disertai bau
wewangian yang menyengat. Bau harum itu seperti gabungan antara melati,
kantil dan bunga mawar. Semerbak itu tercium ke penjuru ruang lantai
tiga. Termasuk di dalam kamarku.
“Nampaknya persoalan ini persoalan serius, kita tidak boleh menganggap
enteng. Kita harus telpon Koko Bie dan Suhu Beng!” sorongku. Erna dan
Lola pun mengangguk. “Benar Ncik, kita mesti panggil Koko dan Suhu
Beng!” sergah Erna.
Sebelum semua tuts handphone kupencet, tiba-tiba terdengar suara gdebuk
dari loteng bagian dapur. “Aduh, suara apa itu?” tanya Lola. Suara itu
mirip nangka runtuh dan bunyinya keras sekali hingga lantai tiga
bergetar. “Ayo kita rame-rame lihat ke dapur!” pintaku. Kami pun bertiga
menghambur ke dapur.
Begitu pintu dapur dibuka Lola, kami tergetar hebat. Jantungku berdetak
kencang dan kakiku tiba-tiba menjadi lemas. Di situ kami melihat sosok
kakek-kakek yang siang tadi di toko. Kakek-kakek itu nenar menatap
mataku dan seakan ingin bicara. Tapi karena takut, kami segera kabur
bertiga dan berteriak minta tolong. Tapi suara kami tidak ada yang
mendengar.
Kami lari ke lantai bawah dan membuka pintu darurat. Kami terus berlari
ke Vihara Sin Tek Bio yang hanya beberapa ratus meter dari rumah kami.
Klenteng yang tertutup oleh bangunan toko-toko itu sangat sepi malam
itu. Tidak ada penjaga, biksu dan niku yang bergadang. Padahal biasanya
niku dan biksu sembahyang malam di altar ber-sio lo itu. Anehnya, di
malam yang sunyi itu tidak ada seorangpun yang terlihat. Dua naga di
atas Klenteng terlihat menyala karena bersit sinar bulan tigaperempat
purnama.
Oh Tuhan, di pintu Klenteng, aku melihat kakek-kakek itu berdiri lagi.
Tubuhnya kaku dengan muka pucat oleh biasa sinar lampu klenteng yang
terang. Kami berlari secara berbalik arah. Kami keluar ke Jalan
Samanhudi menuju Pecenongan. Kami tidak dapat berkomunikasi pada
siapapun karena semua handphone kami tertinggal di lantai tiga. Aku
butuh bantuan polisi, paling tidak untuk mengamankan toko yang belum
kami kunci.
Dua orang polisi dengan mobil Karens dinas patroli membantu kami. Kami
bertiga naik mobil polisi dan rumah abang ku yang lain Lo Peng Gie.
Abangku segera keluar dengan mobilnya dan kami denagn mobil polisi
kembali ke toko. Dua polisi ikut naik ke atas sementara Kekek-kakek itu
sudah tak ada lagi di dapur. Di Vihara Sin Tek Bio pun, kakek itu tak
ada lagi. “Mana? Tidak ada apa-apa kok?” tukas Ipda Rusman, salah satu
dari dua polisi itu.
Koko Lo Peng Gie menyisir setiap ruang demi ruang ruko dengan senter
enam batere. Gudang barang-barang pun diacak mencari keberadaan
kakek-kakek yang kami lihat. Atas restu Koko Gie, polisi pun berpamitan
pada kami dan meninggalkan nomor hp kepada Koko Gie. “Saya pikir hanya
halusinasi karena adik Anda sangat penakut!” kata Ipda Rusman kepada
Koko Gie.
Karena Suhu Beng sedang berada di Singapura dan HP nya tulalit, maka
kasus aneh itu terhenti di situ. Maka sampailah kami pada hari Sin Chia,
merayakan malam tahun baru Imlek Tiong Chiu. Saat itu jatuhnya tahun
baru penanggalan Cina itu pada l2 Februari masehi. Malam l2 Februari
itu, Si Kakek batuk-batuk lagi di atas loteng. Aku segera menelpon Pak
Ipda Rusman dan polisi Polsek Tamansari itu datang ke toko kami. Dengan
mata kepalanya sendiri dia mendengar suara batuk-batuk dan bau wewangian
yang keras di hidung itu. “Ya, saya mendengar suara batuk dari loteng
dan bebauan yang menyengat hidung!” komentar Ipda Rusman.
Koko Gie sudah berada di lantai tiga setelah kutelpon beberapa saat
menjelang malam. Persiapan pesta sin chia sudah kami buat. Aku dan tiga
pegawaiku memakai cheongsam merah penuh pernik hongshui di dada. Di
lantai tiga kami bikin pernik-pernik sin chia seperti pohon jeruk hias
sien tao dan Yu Sheng, sajian ikan untuk leluhur bila dia datang ke
rumahku.
Seperti kejadian pertama, dari loteng atas dapur terdengar kedebuk lagi.
Suara seperti nangka jatuh kembali terdengar dan mengagetkan kami. Pak
Ipda Rusman mencabut pestol dan membuka pintu dapur. Kami beramai-ramai
membuntuti polisi itu dari belakang. Benar saja, kekek-kakek yang sama
berdiri pucat dan kaku di hadapan kami.”Siapa Anda!” bentak Pak Ipda
Rusman.
Lelaki tua itu tetap diam membisu. Dengan langkah perlahan dia maju
mendekati Ipda Rusman yang memegang pestol. Sosok itu seperti menantang
untuk ditembak sambil menunjuk dadanya yang pucat. “Maju selangkah lagi,
Anda saya tembak!” kata Ipda Rusman. Bukannya mucnur, ditantang begitu
Si Kakek malah maju lagi satu langkah. Tapi Rusman bijak, dia tidak jadi
menembak, dia memasukkan senjatanya lalu mengulurkan tangannya pada Si
Kakek berjabat tangan. Kakek itu lalu menjulurkan tangannya dan
berjabatan dengan Ipda Rusman.
Tapi dalam hitungan sepersekian detik, kakek itu menjadi asap lalu
menghilang ke atas loteng. Semua gumpalan asap terbang ke loteng dan
Rusman ternganga dan terheran dengan apa yang baru saja dihadapinya.
“Seumur hidupku, baru inilah aku menemukan keanehan yang sangat aneh
sepanjang tugas saya sebagai polisi!” imbuhb Ipda Rusman, perwira asal
Lahat itu kepada kami.
Rusman menyarankan agar kami pindah saja jika takut tinggal di
Pasarbaru itu. Sebab menurut Rusman, kakek itu adalah mahluk gaib yang
menetap. Dia penghuni ruko dan mungkin punya hubungan yang kental dengan
ruko itu. Coba diselidiki secara intensif, minta bantuan jasa
paranormal untuk menyelidikinya. “Maaf saya ini menguasai eksakta
kepolisian, tapi buta soal supramistik seperti ini!” akunya.
Karena mengaku tidak paham, Ipda Rusman mengajak temannya yang mengerti
soal mahluk gaib. Temannya itu juga seorang suhu hongshui yang biasa
memimpin sembahyang di krematorium dan larungan. Suhu Alpin nama
paranormal Cina itu. Dengan ilmu yang nyaris setara dengan Suhu Beng,
suhu Alpin melakukan ritual di dapur saya. Dengan sejumlah peralatan
sesaji, daging ayam, daging babi, buah-buahan lengkap, air putih dan
ikan, Suhu Alpin berdoa di situ. Suhu Alpin juga membakar hio merah,
shio hu dan bikin tio cu di atas kertas putih dengan tinta hitam.
Saat asap hio mengepul, tiba-tiba suara batuk kembali terdengar dan asap
tebal berbunyi gedebug jatuh di depan Alpin. Duh Gusti, kami melihat
dengan kasadmata sosok kekek-kakek itu mendekat Auhu Alpin. Dia makan
dengan lahap sesaji yang diberikan Alpin. Dengan cara khas berbahasa
Kek, Suhu Alpil dari Singkawang itu berdialog dengan Si Kakek. Dalam
dialog itu diketahuilah bahwa kakek itu adalah buyut kami dari She Lo.
Kakek itu sudah lama mengikutiku sebagai cicitnya dan ingin hidup
bersamaku sampai aku meninggal. Nama kakek itu adalah Lo Jin King, asal
Provinsi Fukien China dan ayah kandung dari kakekku dan kakek dari
ayahku Lo Teng Gian.
“Dia membuntutimu selama kau tinggal di ruko ini. Dia tinggal di sekitar
sini dan minta makan pada cicitnya. Tapi kau tidak pernah memberikan
sesaji terutama pada tanggal l5 bulan ke delapan tahun imlek. Saat itu
dia sangat butuh persembahan dari anak cucu dan cicitnya benbentuk doa,
sesaji dan hio. Ke depan nanti, rutinlah melakukan sesaji, sediakan
daging, buah dan minuman di tempatmu memasak.Sebagaimana manusia yang
hidup, dia juga butuh makan dan berinteraksi dengan manusia yang asli
keturunan darahnya!” kata Suhu Alpin. Setelah pulang dari Singapura Suhu
Beng pun, mengatakan hal yang sama.
Sejak itu aku rutin memberi sesaji untuk Buyutku. Lo Jin King. Kata dua
ahli supramistik Suhu Alpin dan Suhu Beng, kakekku itulah yang mendorong
usaha kami selama ini untuk maju pesat. Beliau diutus Tuhan kami Thien
Tie Kong untuk mendampingiku hingga akhir hayatku. “Dia adalah
pendamping gaibmu sampai ahir hayat. Kau adalah keturunannya dan dia
sangat mencintaimu, Nak!” kata Suhu Beng.
Kini aku belajar banyak dari dua suhu tentang berdialog dengan arwah. Di
Klenteng Sin tek Bio yang berumur 309 tahun yang dulunya bernama Het
Kong Sie Huis Tek itu, secara rutin setiap tanggal l5 bulan 8 tahun
China, aku dapat berbincang dengan buyutku dan kami membahas apa saja
yang bersifat dunia dan sorgawi. Walau tidak seiman denganku, Lola dan
Erna pun, mengakui bahwa arwah itu dapat berkomunikasi pada yang hidup
kalau hal itu mau dipelajari. Kata Erna yang berjilbab itu, di dalam
agama Islam pun, ada ilmu supramistik yang memungkinkan manusia yang
hidup berdialog dengan arwah. Tapi yang mampu melakukan itu adalah
orang-orang terpilih seperti kiyai sufi dan kaum tasawuf yang punya
hububungan langsung dengan kekuatan Maha Tunggal.***