Jimbung adalah sebutan dari kawasan yang berada di bawah pemerintahan
Daerah Klaten. Kawasan satu ini banyak menarik perhatian dari para
pencari pesugihan. Mayoritas berasal dari luar warga setempat. Bahkan
ada yang berasal dari kota-kota besar yang jauh, seperti Bandung,
Jakarta, Medan, Bangka, dan Surabaya.
Di tembok sendang Jimbung sendiri saat ini tertulis kalimat berupa
pemberitahuan, yang berbunyi: “SENDANG INI BUKAN TEMPAT PEMUSRIKAN”. Namun tetap saja masih terlihat adanya bekas tanda-tanda yang digunakan memuja penunggu ‘Sendang Jimbung’.
Tanda-tanda bekas pemujaan tersebut terlihat ada segelas air putih yang
didalamnya berisi kembang setamn, kemenyan Jawa yang telah dibakar serta
sebungkus kain kafan putih. Entah apa yang ada di dalam bungkusan kain
kafan putih tersebut. Setidaknya pemandangan tersebut membuktikan bahwa
sendang satu ini memang benar-benar tempat memuja roh kegelapan.
Penasaran dengan sosok yang disebut Eyang Poleng, Misteri mencoba
mendatangi salah satu sesepuh warga di sana, yakni Bapak Projo Sugito.
Lelaki ini mantan Kepala Desa dua periode. Misteri disambut dengan
hangat olehnya.
Menurut Pak Projo, demikian panggilan akrab mantan Kades itu, Eyang
Poleng adalah sosok sakti pada masa kerajaan Mataram. Dia juga sosok
yang disegani oleh pihak kerajaan Mataram. Setiap kerajaan Mataram
mengalami pergolakan, maka Eyang Poleng tersebut pasti dilibatkan.
Panggilan ketika mudanya adalah Joko Poleng.
Salah satu kesaktiannya adalah mampu mengubah dirinya dalam bentuk
apapun, tak terkecuali menjadi seekor bulus. Mitos menyebutkan ia
merupakan salah satu sosok yang disayangi oleh Nyi Roro Kidul, Ratu
Pantai Selatan. Dengan demikian tidak aneh bila ia memiliki kesaktian
yang tiada tara, bahkan bisa juga Eyang Poleng masuk dalam kategori
manusia setengah siluman.
Awalnya, sebelum ia masuk dalam jajaran orang sakti di bumi Mataram,
Joko Poleng adalah seorang pengembara. Dalam pengembaraannya ia hanya
seorang diri. Dikisahkan, suatu ketika dalam perjalanan ia diundang
sekelompok perampok di tengah hutan belantara di tenga-tengah rawa yang
saat itu masih sunyi senyap yaitu Rawa Jombor.
Para perampok tersebut hendak merampas barang-barang yang dibawa Joko
Poleng. Namun mereka dapat dikalahkan oleh sang pengembara tadi. Sejak
saat itulah Joko Poleng menetap di daerah Rawa Jombor, tepatnya di dukuh
Jimbung.
“Ketika hendak menetap di Jimbung merasa ada yang kurang yaitu tempat
mandi, maka ia membuat sendang. Kemudian sendang tersebut digunakan
untuk mandi Joko Poleng dan sendang itulah yang oleh warga sekitar
disebut dengan Sendang Jimbung,” cerita Pak Projo lebih jauh.
Sejak saat itu ia menetap di daerah yang kala itu masih sunyi belum
banyak penghuninya. Yang menarik, Joko Poleng tiap malam Jum’at Kliwon
melakukan tirakat dengan cara berendam atau kungkum di sendang.
Setiap kali tirakat ia lebih suka merubah bentuk menjadi seekor bulus.
Dengan maksud agar tidak terganggu oleh orang yang melihat. Sampai suatu
ketika ada salah seorang yang melihat dirinya sedfng tirakat berendam.
Tetapi menurut pandangan orang ketika itu ia melihat seluruh tubuh Joko
Poleng berwarna belang-belang dengan bentuk menyerupai kulit bulus.
Sejaksaat itu keberadaan Joko Poleng tidak diketahui oleh warga. Atau
detailnya Joko Poleng masa itu seperti hilang ditelan bumi tanpa
seorangpun yang tahu keberadaannya. Entah meninggal atau belum, warga
pada saat itu tidak tahu.
“Semenjak saat itu baik sendang maupun mitos sosok Joko Poleng melegenda dan begitu keramat,” demikian keterangan Pak Projo.
Seiring dengan berkembangnya mitos keangkeran, kekeramatan serta
keampuhan yang diyakini para pemburu pesugihan sehubungn dengan Sendang
Jimbung, mereka pun berbondong-bondong melakukan tirakat atau ritual di
sendang ini.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi para pencari pesugihan. Di
antaranya adalah, mereka harus menyiapkan sesajen yang diinginkan.
Misalnya, segelas air putih yang berisi kembang setaman, sebatang rokok
klobot, kemenyan, tanah rumah pencari pesugihan yang harus dibungkus
dengan kain kafan. Syarat-syarat tersebut diletakkan di bawah pohon di
dekat sendang. Setelah itu mereka berendam/kungkum di sendang. Mulainya
harus malam Jum’at Kliwon.
Syarat lainnya adalah, bagi mereka yang telah dikabulkan harus melakukan
tasyakuran setiap bulan syuro di ‘Sendang Jimbung’. Bila ini dilanggar
fatal akibatnya bagi pencari pesugihan tersebut. Ada pantangan yang
harus dihindari oleh para pamuja Eyang Poleng, pantangan tersebut tidak
boleh membunuh hewan bulus secara sengaja atau tidak.
Karena bila membunuh hewan bulus maka hidup sang pemuja itu tidak begitu
lama, akan mati sebelum jadwal maut yang dijadwalkan datang. Setiap
malam Jum’at Kliwon si pelaku juga tidak boleh absent datang ke sendang,
meski dia sudah sekses sekalipun tidak boleh lupa.
“Bila sampai lupa, maka akan ada seekor bulus yang datang berkunjung ke
rumah sang pemuja tadi. Kedatangan pertama bulus ini sekedar
mengingatkan. Namun bila sampai dua malam Jum’at Kliwon dirinya tidak
sowan atau tidak menghadap, maka dalam bulan tersebut, sang pemuja akan
dipanggil untuk menghadap oleh siluman penunggu sendang tersebut.
Otomatis wujud si pemuja pun akan berubah menjadi seekor bulus seperti
para pemuja Eyang Poleng lainnya yang melanggar pantangan,” beber Pak
Projo.
Masih menurut Pak Projo, tidak hanya resiko-resiko itu yang harus
diterima pemuja Joko Poleng. Masih ada resiko lainnya yaitu mereka yang
memuja atau mencari pesugihan di Jimbung dapat dipastikan sekujur
tubuhnya mengalami cacat sedikit demi sedikit. Kulit tubuhnya akan
terlihat belang-belang. Cacat kulit ini bisa dilihat dengan kasat mata.
Pada dasarnya pesugihan bulus jimbung tidak meminta tumbal nyawa baik
anggota keluarga pemuja maupun orang lain, kecuali pemuja pesugihan itu
sendiri yang harus menanggung resikonya. Dalam arti resiko yang telah
disebutkan di atas.
“Yang pasti, kelak bila pemuja pesugihan bulus jimbung meninggal, arwah
serta rohnya tidak langsung dibawa malaikat menghadap Tuhan, melainkan
akan disabotase oleh komunitas siluman yang berwujud binatang yang suka
menyembunyikan bagian kepalanya tersebut. Dengan demikian secara resmi
ia sah menjadi anggota siluman sesat yang diketuai oleh Eyang Poleng,”
tambah Pak Projo.
Sebelum menutup pembicaraan dengan Misteri, Pak Projo memberi contoh
salah satu realita yang terjadi pada pemuja Bulus Jimbung. Pemuja
pesugihan ini merupakan teman dekat pak Projo, tetapi satu kampung
dengan lelaki yang suka mengenakan peci hitam ini. Temannya tersebut
semula sudah diingatkan oleh Pak Projo sebelum melakukan ritual. Namun
karena rapuhnya keimanan sang teman, akhirnya dia membulatkan tekad
untuk melakukan tirakat di sendang Jimbung.
Setelah beberapa malam Jum’at Kliwon melakukan ritual di sendang
Jimbung, kehidupan teman Pak Projo tersebut memang berkembang pesat. Dia
berhasil mempunyai satu unit mesin penggiling padi. Beberapa tahun
kemudian temannya tadi mempunyai 3 buah truk pengangkut padi, sehingga
warga sekitar menyebutnya dengan julukan juragan beras.
Namun bila dicernati, seiring kesuksesan duniawi yang berhasil
diraihnya, ternyata dibarengi juga dengan tanda-tanda ganjui di sekujur
tubuhnya. “Ya, sekujur kulitnya berubah menjadi belang-belang, sehingga
membuat warga enggan untuk berdekatan dengan dirinya, dan selanjutnya
dia diasingkan oleh sebagian warga,” kisah Park Projo lebih jauh.
Demikianlah sedikit liputan tentang pesugihan Buyut Jimpang. Ingatlah,
setiap segala sesuatu ada resiko yang harus ditanggung oleh para pemburu
pesugihan. Hidup hanyalah laksana perjalanan yang kita tidak tahu kapan
perjalanan tersebut terhenti. Sehingga kita perlu merenung sejenak
tentang hakiki dari sebuah hiruk-pikuk alam fana ini. Hanya satu yang
membuat orang beruntung yaitu “ketika orang itu selalu mendekatkan diri
pada Tuhan….”