Ketika aku masih bayi merah umur 3 hari, ibuku meninggal dunia karena
kondisinya yang lemah sehabis melahirkanku. Aku dan kelima kakakku pun
harus merelakan kepergiannya. Aku sendiri kemudian diangkat oleh orang
tua yang hingga kini amat menyayangiku.
Bertahun-tahun aku terpisah dari keluargaku tanpa sepengetahuanku.
Misteri ini baru terungkap ketika keluargaku di kampung memberi kabar,
bahwa nenekku, ibu dari ayahku sakit keras. Dengan sedikit tidak percaya
akhirnya kunyatakan aku bersedia pulang.
Sesampai di desa kelahiranku, aku disambut hangat oleh keluargaku.
Mungkin sekian tahun terpisah kini dipertemukan kembali, hingga sakit
nenekku akhirnya sembuh juga atas kehadiranku.
Setelah tiga hari di desa, aku diajak berziarah ke kuburan ibu dan
kakekku. Setelah membersihkan sekitar perkuburan aku membaca Surat
Yaasin. Ketika itulah aku merasakan hal yang sangat aneh. Entah kenapa,
mataku terasa berat dan tak bisa melihat sama sekali. Rupanya, aku jatuh
pingsan.
Ketika siuman dan kubuka mataku, kulihat betapa indahnya suasana kamar
tempatku berada. Banyak sekali benda-benda antik yang berkilauan. Bahkan
tempat tidurku sendiri beralaskan permadani bercorak keemasan.
“Dimanakah aku?” batinku.
“Budi…!” sapa seseorang yang entah darimana telah ada di sampingku.
Kupandangi orang yang ternyata sesosok laki-laki agak tua namun rambutnya belum beruban, dengan umur berkisar 60-an tahun.
“Tidak usah takut, Nak!” ucapnya kembali.
“Siapa Bapak ini?”.
“Aku adalah kakek dari pihak ibu kandungmu, Nak!”
“Jadi, aku sudah mati?” tanyaku dengan sedikit khawatir.
“Belum, dan lihatlah, itu Ibumu berdiri di dekat pintu!”
Lalu kupandangi ibuku. Kulihat ada senyum di bibirnya dan sebening air mata di pipinya. Ia mendekatiku dan mengusap rambutku.
“Ibu…!” ucapku sedikit bergetar karena haru.
Aku mencoba menerima kenyataan hidupku walau aku sangat bingung, kenapa
aku bisa bersama mereka yang sudah lama tiada. Dan aku merasakan dekapan
hangat dari orang yang sangat merindukanku. Kemudian aku bertanya dalam
kebisuan yang terjadi dengan rasa haru itu.
“Bu, seandainya aku masih hidup kenapa aku berada di tempat ini?”
“Kau tidak usah takut, Anakku! Kami membawamu ke sini untuk bersama kami.”
“Tapi, aku juga akan mati sebelum ajalku?”
“Sudahlah, aku harap kau bisa menyesuaikan diri, Nak!”
Aku tak bisa menolak dan entah kenapa aku menuruti begitu saja keinginan mereka.
Singkat cerita, sudah berhari-hari aku berada bersama almarhumah ibu dan
kakekku. Entah di alam apa? Kucoba mengamati keadaan alam di sekitarku.
Kulihat bukit-bukit yang membentang luas, dan aku merasakan sangat
nyaman. Aku melupakan keadaanku sesungguhnya. Rasanya, aku belum pernah
melihat pemandangan alam seperti ini sebelumnya. Begitu menyenangkan.
Tetapi yang membuatku merasa sangat aneh, kenapa setelah berhari-hari
berada di tempat ini tak menemukan sosok manusiapun kecuali hanya ibu
dan kakek. Hal ini membuatku sangat bingung, hingga suatu saat
kuteringat kehidupanku di dunia. Tanpa sengaja aku mendengar bisikan
bahwa aku harus pulang. Tetapi bisikan itu hilang begitu saja.
“Aku ingin pulang, tapi jalan mana yang harus kutempuh untuk bisa pulang?” batinku.
Ketika batinku berkecamuk sedemikian, tanpa sengaja kudengar percakapan
ibu dan kakek. Sepertinya terjadi sebuah keributan. Kudengar kakek
menyebut nama ibuku Ratih.
“Ratih, kita harus memulangkan Budi ke alamnya, karena ini bukan alam untuk dia!” tegas kakekku.
“Ayah, aku tak bisa melepaskan Budi, karena aku tak ingin anak itu
diasuh oleh orang yang bukan dari keluarga kita,” jawab ibuku dengan
nada memelas. Sempat kulihat ibu menangis.
“Aku tidak mengizinkanmu untuk menahan Budi,” kata kakekku dengan kasar.
Tangis ibu semakin pilu, sampai akhirnya kakek memanggilku. Kakek
kemudian menarik tanganku, mengajakku pergi. Ibu terus mengejar kami dan
memohon agar aku kembali padanya. Akhirnya, tibalah kami ditepi sungai
dan kakek memaksaku untuk menaiki sebuah perahu. Kakek mendorong perahu
itu ke tengah.
Aku dan perahu itu dibawa arus yang sangat deras, seperti sebuah jeram.
Aku berteriak meminta pertolongan. Sepertinya tak ada yang mendengar
teriakanku, sebab yang kulihat hanya pohon-pohon yang besar dan nampak
sunyi.
Aku semakin panik karena di hadapanku terdapat sebuah air terjun yang
tinggi. Akhirnya, aku hanya bisa pasrah. Air terjun itu itu melemparku
ke bawah, dan kurasakan tubuhku lemas tak bisa berbuat apa-apa. Seketika
itu pula mataku terasa berat. Semakin lama pandanganku berubah gelap.
Anehnya, ketika siuman dan kubuka kembali mataku, ternyata aku sudah ada
di kamarku. Kulihat poster-poster pajanganku. Tak lama berselang,
kulihat juga ibu dan ayahku angkatku. Mereka begitu bahagia melihat
keadaanku. Dan menurut mereka aku sudah pulih dari sakit.
Kuceritakan apa yang telah kualami saat aku tak sadarkan diri. Kudengar
juga penuturan mereka bahwa aku tak sadarkan diri hampir 2 minggu,
bahkan sempat seminggu dirawat di rumah sakit. Karena dokter tak mampu
mendeteksi keadaanku akhirnya aku dirawat dirumah dengan apa adanya.
Kesehatanku pun mulai pulih, tetapi aku sering bermimpi bahwa kakek
berpesan agar aku tidak usah berziarah lagi ke pusara ibuku. Entah
kenapa? Aku tak tahu jawabannya.
Aku hanya bisa berdoa pada Allah SWT agar ibu dan kakekku diberi
ketenangan. Aku berharap agar Tuhan selalu memberi jalan terbaik buatku.
Walau aku bingung apa yang terjadi padaku….