Syech Abdul Muhyi adalah tokoh ulama legendaris yang lahir di Mataram
tahun 1650. Ia tumbuh dan menghabiskan masa mudanya di Gresik dan Ampel,
Jawa Timur. Ia pernah menuntut ilmu di Pesantren Kuala Aceh selama
delapan tahun. Ia kemudian memperdalam Islam di Baghdad pada usia 27
tahun dan menunaikan ibadah haji.
Setelah berhaji, ia kembali ke Jawa untuk membantu misi Sunan Gunung
Jati menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Awalnya Abdul Muhyi
menyebarkan Islam di Darma, Kuningan, dan menetap di sana selama tujuh
tahun. Selanjutnya, ia mengembara hingga ke Pameungpeuk, Garut Selatan,
selama setahun.
Abdul Muhyi melanjutkan pengembaraannya hingga ke daerah Batuwangi dan
Lebaksiuh. Setelah empat tahun menetap di Lebaksiuh, ia bermukim di
dalam goa, yang sekarang dikenal sebagai Goa Safarwadi, dengan maksud
untuk mendalami ilmu agama dan mendidik para santrinya.
Keberadaan Goa Safarwadi ini erat kaitannya dengan kisah perjalan Syech
Abdul Muhyi. Dikisahkan, pada suatu saat ia mendapat perintah dari
gurunya yakni Syekh Abdul Rauf Singkel (dari Kuala Aceh), untuk
mengembangkan agama Islam di Jawa Barat bagian selatan sekaligus mencari
tempat yang disebutkan dalam ilham dengan sebuah gua khusus sebagai
tandanya.
Setelah melalui perjalanan yang sangat panjang dan berat, pada suatu
hari ketika sedang asyik bertafakkur, memuji kebesaran Allah, Syech
Abdul Muhyi tiba-tiba menoleh ke arah tanaman padinya, yang didapati
telah menguning dan sudah sampai masanya untuk dipanen.
Konon, setelah dipanen, hasil yang diperoleh ternyata tidak kurang juga
tidak lebih atau hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Mengetahui
hal ini ia menjadi sangat terkejut sekaligus gembira, karena itu adalah
pertanda bahwa perjuangannya mencari gua sudah dekat.
Upaya pertama untuk memastikan adanya gua yang dicari dan ternyata
berhasil ini, dilanjutkan dengan cara menanam padi kembali di lahan
sekitar tempat tersebut. Sambil terus berdoa kepada Allah SWT upaya ini
pada akhirnya juga mendapatkan hasil. Padi yang ditanam, berbuah dan
menguning, lalu dipetik hasilnya, ternyata menuai hasil sama sebagaimana
yang terjadi pada peristiwa pertama. Hal ini semakin menambah keyakinan
Syech Abdul Muhyi bahwa di tempat itulah (di dalam gunung) terdapat gua
yang dicarinya.
Suatu hari ketika sedang berjalan ke sebelah timur gunung tersebut,
sambil bermunajat kepada Allah SWT, Syech Abdul Muhyi tiba-tiba
mendengar suara air terjun dan kicauan burung-burung kecil dari tempat
tersebut. Ia kemudian melangkah turun ke tempat di mana suara itu
berada, dan di sana ia melihat sebuah lubang besar yang ternyata sesuai
dengan sifat-sifat gua yang cirri-cirinya telah ditunjukkan oleh
gurunya.
Seketika itu juga terangkatlah kedua tangan Syekh Abdul Muhyi,
menengadah ke atas sambil mengucap doa sebagai tanda syukur kepada Allah
SWT, yang telah memberikan rahmat dan pertolongan pada dirinya dalam
upaya menemukan gua yang dicari.
Peristiwa penemuan gua ini terjadi pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, tahun
1111 H/1690 M, setelah perjuangan berat dalam mencarinya selama kurang
lebih 12 tahun. Usia Syech Abdul Muhyi sendiri pada waktu itu adalah
genap 40 tahun. Dan gua tersebut pada nantinya akan dikenal dengan nama
Gua Pamijahan.
Gua Pamijahan terletak di sebuah kaki bukit yang sekarang dikenal dengan
sebutan Gunung Mujarod (bukan Mujarob seperti yang pernah ditulis Idris
Nawawi dalam Majalah ini – Red). Nama ini diambil dari kata bahasa Arab
yang berarti “tempat penenangan” atau dalam bahasa Sunda disebut
sebagai; tempat “nyirnakeun manah”, karena Syech Abdul Muhyi sering
melakukan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) di dalam gua
tersebut.
Gua Pamijahan ini pada dasarnya memiliki makna khusus dalam perjalanan
dakwah dan spiritual Syech Abdul Muhyi. Penemuan dan keberadaan gua ini
seolah menjadi simbol yang menandakan bahwa perjalanan spiritual Syech
Abdul Muhyi telah mengalami puncaknya. Selain itu, selalu terdapat makna
dan fungsi khusus dalam setiap hal yang terhubung secara istimewa
dengan tokoh yang menjalaninya.
Hal ini bisa dipahami karena seperti yang diungkapkan oleh Martin Van
Bruinessen, bahwa para tokoh sejarah Islam di nusantara khususnya, biasa
melakukan pendekatan supranatural dalam rangka meningkatkan kharisma
mereka. Gua besar di Pamijahan (Tasikmalaya Selatan) sebagai tempat
Syech Abdul Muhyi melakukan ‘riyadhah spiritual’, dan salah satu pusat
penyebaran tarekat Syathariyah di Pulau Jawa adalah contoh dari hal
tersebut.
Para juru kunci di tempat ini bahkan menunjukkan sebuah lorong sempit
yang konon dilalui oleh Syech Abdul Muhyi untuk pergi ke Makkah setiap
Jum’at. Sementara itu di Cibulakan (Pandeglang-Banten) misalnya, juga
terdapat sebuah sumur yang konon berhubungan dengan sumber air zam-zam
di Makkah. Menurut riwayat, Maulana Mansyur, yang diyakini sebagai wali,
yang dimakamkan di Cikaduwen, pulang dari Makkah melalui sumber mata
air zam-zam dan muncul di sumur ini.
Ringkasnya, hingga saat ini masih ada “kyai” di Jawa, yang menurut para
pengikutnya yang paling fanatik, setiap Jum’at secara gaib pergi
sembahyang di Masjidil Haram. Semua ini juga menandaskan perihal lain,
yakni kuatnya peranan haji dan Makkah serta hubungannya dengan tradisi
spiritual sebagai legitimasi kekuasaan atau keilmuan seseorang, dalam
pandangan orang Jawa.
Di lingkungan kekeramatan Pamijahan sendiri terdapat beberapa kisah yang
mengandung pengertian di atas. Satu kisah yang sering beredar
menyebutkan bahwa, konon Syech Abdul Muhyi bersama Maulana Mansyur dan
Ja’far Shadiq sering shalat di Makkah bersama-sama lewat Gua Pamijahan.
Ketiga orang itu memang dikenal mempunyai ikatan persahabatan yang
sangat erat.
Kisah supranatural lain di lingkungan kekeramatan Pamijahan adalah kisah
yang menjadi muasal diharamkannya merokok di lingkungan tersebut.
Menurut kepercayaan masyarakat, pada suatu hari Syech Abdul Muhyi dan
Maulana Mansyur berada di Makkah hendak pulang ke tanah Jawa, keduanya
kemudian berunding tentang pemberangkatan bahwa siapa yang sampai lebih
dulu di Jawa, hendaklah menunggu salah seorang yang lain di tempat yang
telah ditentukan.
Lalu berangkatlah kedua sahabat tersebut dengan cara masing-masing,
yakni; Syeikh Maulana Mansyur berjalan di atas bumi sedangkan Syech
Abdul Muhyi di bawah bumi, keduanya sama-sama menggunakan kesaktiannya.
Namun, ketika Syech Abdul Muhyi sedang berada dalam perjalanan di bawah
laut, tiba-tiba ia merasa kedinginan, lalu berhenti sebentar. Sewaktu
hendak menyalakan api dengan maksud untuk merokok, tanpa disangka muncul
kabut yang membuat sekelilingnya jadi gelap. ia terpaksa berdiam diri
menunggu kabut tersebut menipis sambil merokok. Namun kabut itu ternyata
semakin menebal. Akhirnya ia teringat bahwa merokok itu perbuatan yang
makruh (dibenci Allah). Maka seketika itu juga ia merasa berdosa dan
segera bertaubat kepada Allah SWT. Bersamaan dengan itu kabut pun
menghilang, dan akhirnya ia bisa berangkat lagi meneruskan
perjalanannya.
Mulai saat itulah Syech Abdul Muhyi menjauhkan diri dari merokok, bahkan
bisa dikatakan mengharamkan rokok untuk dirinya. Sedang kepada keluarga
dan pengikutnya, ia hanya melarang mereka merokok sewaktu di dekat
dirinya.
Oleh karena itu, di daerah Pamijahan ada tempat tertentu yang dilarang
secara adat untuk merokok, khususnya tempat yang berada di sekitar makam
Syech Abdul Muhyi. Adapun batas-batas wilayah larangan merokok antara
lain: sebelah timur daerah Kaca-Kaca, sebelah barat jalan yang menuju ke
gua dimulai dari masjid Wakaf, sebelah selatan dimulai dari makam Dalem
Yudanagara (+ 300 m) dari makam Syech, sedang sebelah utara (±300 m)
dari makam Syech, yaitu jalan umum yang menuju ke Makam Eyang Abdul
Qohar di Pandawa.
Singkat kata, wilayah-wilayah dengan batasan yang telah ditentukan
tersebut adalah daerah larangan merokok menurut adat yang berlaku.
Kisah-kisah semacam ini tidak akan dibahas lebih jauh. Yang perlu
direnungi adalah hikmah yang berada di baliknya. Sebab, setiap cerita
yang ada pada dasarnya menunjukkan keluasan ilmu, keluhuran pribadi dan
kemuliaan pengabdian Syech Abdul Muhyi kepada masyarakat dalam
perjuangannya mengajarkan prinsip-prinsip Islam dan menjauhkan mereka
dari bentuk-bentuk kepercayaan yang sesat.
Pamijahan sendiri pada dasarnya adalah nama sebuah kampung yang letaknya
di pinggir kali, sehingga ia merupakan tempat yang menguntungkan karena
masyarakat sekitar dapat mengolahnya untuk mengembang-biakkan ikan,
akan tetapi kondisi ini juga bisa sebaliknya, yakni kadang-kadang
membawa bencana, seperti banjir yang melanda daerah tersebut beberapa
waktu yang lalu. Peristiwa ini membuat banyak rumah yang hanyut karena
tidak kuat menahan banjir. Oleh karena itu pula, bangunan-bangunan yang
sekarang masih ada dan terletak di tepi sungai harus dibuat permanen.
Pamijahan termasuk ibu kota Desa di Wilayah Kecamatan Bantarkalong,
Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Sebelum Syech datang ke
Pamijahan, sudah ada kampung yakni daerah Bojong, wilayah Sukapura,
terletak di sebelah Timur Laut dari kampung Pamijahan sekarang, yang
kini dikenal dengan nama Kampung Bengkok. Di sana terdapat makam Dalem
Sacaparana, mertuanya Syech Abdul Muhyi.
Adapun kata “Pamijahan” adalah nama baru, di masa hidup Syech Abdul
Muhyi sendiri nama tersebut belum dikenal. Wilayah ini disebut oleh
Syech Abdul Muhyi dengan istilah Safar Wadi. Nama ini diambil dari kata
Bahasa Arab, yakni: safar yang berarti “jalan” dan wadi yang berarti
“lembah”. Jadi, Safar Wadi adalah jalan yang berada di lembah. Hal ini
disesuaikan dengan letaknya yang berada di antara dua bukit di pinggir
kali.
Namun sekarang Safar Wadi dikenal juga dengan nama Pamijahan, karena
banyak orang yang berdatangan dari pelosok Pulau Jawa secara
berduyun-duyun, laksana ikan yang akan bertelur (mijah). Karena itu nama
Safar Wadi kemudian berganti menjadi Pamijahan, sebab mempunyai arti
yang hampir mirip dengan tempat ikan akan bertelur, dan bukan berarti
tempat “pemujaan”.
Goa Safarwadi merupakan salah satu tujuan utama peziarah yang berkunjung
ke Pamijahan. Panjang lorong goa sekitar 284 meter dan lebar 24,5
meter. Peziarah bisa menyusuri goa dalam waktu dua jam. Salah satu
bagian goa yang paling sering dikunjungi adalah hamparan cadas berukuran
sekitar 12 meter x 8 meter yang disebut sebagai Lapangan Baitullah.
Tempat itu dulu sering dipakai shalat oleh Syech Abdul Muhyi bersama
para santrinya.
Di samping lapangan cadas itu terdapat sumber air Cikahuripan yang
keluar dari sela-sela dinding batu cadas. Mata air itu terus mengalir
sepanjang tahun. Oleh masyarakat sekitar, air itu dipopulerkan sebagai
air “zam-zam Pamijahan.” Air ini dipercaya memiliki berbagai khasiat.
Menjelang Ramadhan, para peziarah di Pamijahan tak lupa membawa botol
air dalam kemasan, bahkan jerigen, untuk menampung air “zam-zam
Pamijahan” itu. Dengan minum air itu, badan diyakini tetap sehat selama
menjalankan ibadah puasa.
Syech Muhyi ini disebut juga oleh bangsa wali lainnya dengan gelar
A’dzomut Darojat, yang artinya “orang yang mempunyai derajat agung.”
Bercerita tentang derajat kewaliyan, tentu kita hanya paham atau
mengerti secara sepintas, bahwa yang disebut derajat seperti ini hanya
ada di zaman Wali Songo. Sebenarnya pemahaman seperti ini tidak benar,
karena derajat Waliyulloh akan terus mengalir hingga sampai pada akhir
zaman sebagai sunnaturrosul.
Syech Abdul Muhyi dalam sejarah hidupnya adalah seorang yang zuhud,
pintar, sakti dan terkenal paling berani dalam memerangi musuh Islam.
Namun semua itu adalah masa lalu dan kini hanya tinggal kenangan belaka.
Hanya saja walau ia sudah ratusan tahun telah tiada, namun rohmat serta
kekeramatannya masih banyak diburu, terutama oleh para peziarah yang
minta berkah lewat wasilahnya.