Sesungguhnya, kemiskinan yang menimpa hidup manusia adalah bagian dari
cobaan dan ujian. Karena itu kita tidak perlu merasa sedih dan putus
asa. Yang terpenting adalah menghadapinya dengan penuh kesabaran dan
tetap berikhtiar atau berusaha melalui jalan yang diridhoi Tuhan.
Ingatlah, tak ada makhluk di dunia ini yang tidak dijamin rejekinya oleh
Allah. Lagi pula Allah juga tidak akan membebani manusia dengan
kesuliatan hidup yang melebihi kemampuannya. Berusaha dengan
sungguh-sungguh disertai dengan doa yang khusuk kepada Allah niscaya
akan diberikan jalan kelapangan dan kemudahan.
Mungkin itulah yang seharusnya dilakukan oleh Sugiyanto saat dibelit
kesulitan ekonomi yang memberatkan hidupnya. Tapi sayang, akalnya yang
pendek, ditambah dengan keimanannya yang lemah, membuat dia nekad
menemui seorang dukun sesat. Nah, dari sinilah kisah menyedihkan,
sekaligus mengerikan dijalani oleh Sugiyanto.
Bagaimanakah kisah selengkapnya? Kepada Misteri Sugiyanto menceritakan pengalamannya yang terjadi beberapa tahun silam itu…
Pengalaman yang sangat mencekam dan seumur-umur tidak akan pernah bisa
dia lupakan ini sunggu tak ingin diulanginya lagi. Bila mengingatnya,
Sugiyanto jadi merinding dan ngeri bukan main. Rasa penyelasan begitu
berat menyelimuti hatinya. Ucapan istigfar tak henti-hentinya terucap
dari bibirnya yang kering.
Ya, masih terbayang dalam ingatannya adegan sadis dan menyeramkan yang
terpampang di hadapan matanya itu. Dengan mata kepala sendiri dia
menyaksikan perempuan tua itu memotong-motong tubuh bayi yang masih
merah, lalu dengan rakus memakan dagingnya. Dimulai dari kaki, tangan,
sampai jantung si bayi yang hanya sebesar buah sawo.
Begitu lahapnya dukun tua itu menyantap tiap bagian tubuhnya, sehingga
tak ubahnya seperti sedang menikmati daging ayam goreng. Apakah
perempuan tua itu seorang kanibal?
Sugiyanto pernah mendengar tentang kasus mutilasi yang terjadi di tengah
masyarakat. Tapi baru kali ini dia melihatnya secara langsung. Bahkan
rasanya ini lebih sadis dan tak berperikemanusiaan. Bayangkan, daging
bayi dijadikan santapan lezat.
Huak! Sugiyanto sampai tak kuat melihatnya dan ingin muntah. Tapi dia
mencoba untuk menahan diri dan tetap diam. Dia hanya bisa menelan rasa
jijik itu.
Tiba-tiba, sebuah perasaan bersalah dan berdosa menghujami dadanya. Dia
sadar, apa yang telah diperbuatnya ini telah melanggar hukum negara.
Lebih dari itu, mengingkari norma agama yang dianutnya.
Tapi apa boleh buat. Sebuah tuntutan, atau lebih tepatnya keterdesakan
membuat dia tak punya pilihan lain. Hutangnya yang menumpuk dan telah
jatuh tempo harus segera dia lunasi. Bahkan, salah seorang rentenir
lewat debt kolektornya mengancam akan menghabisi nyawanya bila dia tak
segera melunasi hutangnya.
Dalam keadaan bingung, kacau, putus asa, dan tertekan, Sugiyanto
kemudian lari kepada seorang dukun sakti yang konon bisa membantu
kesulitannya.
Ssebelumnya, dia memperoleh informasi dari salah seorang kenalannya
bahwa di tengah hutan Sonoloyo yang terkenal angker dan wingit, tinggal
seorang perempuan tua sakti bernama Nyi Saketi. Konon, siapa saja yang
bertemu dengannya dan meminta bantuannya maka bakal dikabulkan. Dengan
catatan, mau menjalankan segala apa yang diperintahkannya.
Setelah menempuh perjalanan yang sangat berat dan melelahkan, akhirnya
Sugiyanto berhasil bertemu Nyai Saketi. Perempuan tua itu tinggal
sendirian di sebuah gubuk reot di tengah hutan.
Begitu sampai di hadapannya Sugiyanto langsung mengutarakan maksud
kedatangannya. Nyai Saketi mengangguk-angguk. Dia lalu mengemukakan
sebuah syarat kepada Sugiyanto untuk membawakan bayi merah yang masih
hidup atau baru saja mati. Bayi itu nantinya akan dijadikan tumbal untuk
memenuhi permintaan Sugiyanto.
Sebenarnya, sangat berat bagi Sugiyanto memenuhi perimintaan itu. Tapi
karena tak ada pilihan lain akhirnya dia menyanggupi. Dia lalu kembali
ke kota dan berusaha mencari bayi seperti yang diminta Nyai Saketi.
Agar memudahkan usahanya, Sugyanto hilir mudik di sekitar rumah sakit
bersalin. Sempat ada niat untuk menculik bayi yang baru dilahirkan biar
lebih cepat, tapi dia mengurungkan niatnya. Dia takut ketahuan dan
dipenjara. Lagi pula kasihan orang tua si bayi.
Secara kebetulan di sebuah klinik bersalin ada seorang ibu melahirkan
bayinya dan mati. Dengan pura-pura sebagai kerabatnya, Sugiyanto
mengambil bayi yang telah meninggal itu. Dia membungkus bayi itu dengan
kain dan memasukkannya dalam tas. Pikirnya, orang tua sang bayi tak akan
begitu kehilangan sebab bayinya sudah meninggal. Lagi pula, Nyai Saketi
sendiri tak keberatan menerima bayi yang sudah meninggal.
Saat itu Sugiyanto merasa tidak bersalah. Dia kembali ke gubuk Nyai
Saketi dan menyerahkan mayat bayi yang baru berusia beberapa jam itu.
Tadinya Sugiyanto berpikir, mayat bayi itu hanya akan dijadikan sesaji
dan kemudian dikubur. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh membuat
Sugiyanto terkejut, tertegun, sekaligus ngeri. Bayangkan, tanpa banyak
kata Nyai Saketi memotong-motong tubuh bayi yang masih merah itu dan
memakan tiap potongnya seperti layaknya memakan ayam goreng.
Perut Sugiyanto jadi mual dan eneg. Tapi dia hanya bisa terdiam dan tak
berusaha mencegah perbuatan Nyai Saketi. Tampak mulut Nyai Saketi
berselemotkan darah.
Mungkin karena sudah kekenyangan, Nyai Saketi tidak memakan semua tubuh
sang bayi. Dia hanya memakan tangan, kaki, dan jantungnya. Selebihnya
dia meminta Sugiyanto untuk mengubur jasad sang bayi.
Dengan tangan gemetar dan perasaan bercampur aduk tak karuan, Sugiyanto
mengubur tubuh mungil itu. Dia masih belum mengerti, apa maksud dari
tindakan Nyai Saketi dengan memakan mayat bayi.
Ya, Sugiyanto hanya bisa memendam perasaan tidak mengerti itu dalam
hatinya. Dia mencoba tak memusingkan hal itu. Yang lebih penting adalah
realisasi dari janji Nyai Saketi yang akan membantu kesulitan hidupnya.
“Lalu, bagaimana dengan permintaan saya, Nyai?” tanya Sugiyanto memberanikan diri.
“Pulanglah! Apa yang kamu inginkan sudah terpenuhi. Hutang-hutangmu
bakal lunas dan kamu akan mendapatkan kekayaan!” jawab Nyai Saketi.
Sugiyanto sempat bingung dan tak mengerti. Tapi akhirnya dia pulang juga
ke rumah. Dan ketika sampai di rumah, dia sangat terkejut mendengar
kabar menggembirakan dari sang isteri.
“Syukur kepada Tuhan, Mas! Aku sudah dapat hadiah seratus juta rupiah
dari undian sabun! Wah, hutang-hutang kita bakal bisa dilunasi semua.
Kita tak jadi gembel jalanan,” seru Haryati, girang bukan main.
Sugiyanto jadi tersenyum senang. Dia yakin, rejeki nomplok yang diterima
keluarganya ini, merupakan buah dari kesaktian Nyai Saketi. Dukun sakti
itu benar-benar ampuh. Belum lama dia memberikan tumbal mayat bayi,
permintaannya langsung terkabul.
Tapi Sugiyanto tak ingin menceritakan tentang Nyai Saketi kepada
isterinya. Biar ini menjadi rahasia pribadinya. Yang penting isteri dan
anak-anaknya hidup bahagia.
Selanjutnya hidup Sugiyanto seperti ketiban pulung. Rejeki mengalir
terus tak henti. Ada saja keberuntungan yang didapat olehnya. Mulai dari
dapat pekerjaan dengan posisi mapan, nembus undian, dikasih objekan
basah dari teman, sampai dapat komisi jutaan rupiah.
Pokoknya hidup Sugiyanto berubah seratus delapan puluh derajat. Kini dia
dan keluarga tidak lagi tinggal di rumah kontrakan yang sempit dan
kumuh, tapi sudah punya rumah sendiri yang besar dan mewah.
Dia bisa membeli perabotan luks, ponsel, mobil, dan barang-barang serba
mewah lainnya. Pendeknya, kesejahteraan keluarganya terjamin.
Kebahagiaan yang dirasakan Sugiyanto menjadi bertambah ketika isterinya
hamil lagi. Berarti dirinya akan memiliki anak ke-3. Tak ada perasaan
risau dan khawatir kelak anaknya akan hidup sengsara, karena kekayaannya
bisa untuk menghidupi tujuh turunan.
Dengan penuh perhatian dan kasih sayang Sugiyanto menjaga isteri yang
sedang hamil. Hingga akhirnya tiba masa persalinan. Sugiyanto menunggui
proses kelahiran itu. Namun betapa terkejut dan terpukul batinnya saat
anak yang ditunggu telah lahir, wujudnya sungguh sangat memprihatinkan
dan mengerikan. Selain tidak memiliki kedua tangan dan kaki, jantung
bayi juga mengalami kelainan. Tak terbayangkan betapa shock, sedih, dan
terpukul Sugiyanto mendapati anaknya yang cacat itu.
Tiba-tiba Sugiyanto teringat dengan Nyai Saketi. Jangan-jangan apa yang
terjadi ini buah dari perbuatan Nyai Saketi dulu yang pernah memakan
mayat bayi. Sesungguhnya, tumbal yang dimaksud Nyai Saketi tak lain
adalah anaknya sendiri.
Tidak terima dengan kenyataan ini, Sugiyanto segera ke hutan Sonoloyo
untuk mencari Nyai Saketi. Selain ingin meminta bantuan memulihkan
keadaan bayinya, Sugiyanto juga berharap Nyai Saketi menarik syarat
tumbalnya.
Tapi, sesampainya di tengah hutan Sonoloyo, Sugiyanto tak mendapati
gubuk milik Nyai Saketi. Wanita tua itu seperti lenyap ditelan bumi.
Ketika Sugiyanto bertanya kepada penduduk sekitar daerah itu, mereka
tidak ada yang tahu dan kenal dengan Nyai Saketi.
Dalam keadaan sedih, putus asa, dan kecewa, tiba-tiba Sugiyanto bertemu
dengan seorang laki-laki tua berambut putih dan berpakaian sederhana.
Orang tua itu sepertinya bisa membaca kesusahan hati Sugiyanto.
“Ketahuilah, Nak. Sesungguhnya Nyai Saketi yang pernah kamu temui itu
bukanlah manusia. Dia adalah penjelmaan setan. Dia tak pernah berusaha
untuk membantu kesulitanmu, melainkan justru ingin menghancurkan dan
menjerumuskan hidupmu. Mumpung belum terlambat, kembalilah kepada Allah
dan bertobat nashuha. Gantungkan sepenuh hidupmu kepada Allah. Niscaya
kamu dan keluargamu akan selamat dunia maupun akherat!”
Setelah memberikan wejangan orang tua yang arif dan bijaksana itu
kemudian pergi. Seperti mendapat kesadaran baru, Sugiyanto tiba-tiba
menangis tergugu. Dia menyadari bahwa semua yang terjadi ini adalah buah
dari kesalahannya sendiri.
Sugiyanto segera bersujud dan memohon ampun kepada Allah. Dia berjanji
tidak akan mengulangi perbuatan sesatnya lagi. Dia akan berusaha
menghapus dosa-dosanya dengan banyak melakukan amal kebajikan.
Meski terasa pedih dan berat, Sugiyanto berusaha menerima kenyataan
pahit ini. Dia akan tetap merawat dan memelihara anaknya yang cacat.
Karena bagaimanapun anak itu adalah amanah dari Allah.
Sugiyanto lalu mengajak keluarganya untuk lebih menekuni sholat dan
ibadah yang disyariatkan agama. Dia tidak peduli kekayaannya akan habis
guna mengobati dan merawat anaknya yang cacat. Baginya, harta duniawi
sudah tidak ada artinya lagi, karena semua itu tak akan dibawa bila
dirinya mati.
Setelah berjalan dua tahun, anaknya yang cacat itu dipanggil Yang Maha
Kuasa. Meski terasa sedih dan berat, namun Sugiyanto mengikhlaskannya.
Mungkin itu lebih baik daripada anaknya harus menderita bila tumbuh
dewasa.
Dia sendiri tidak menyesal bila hidup keluarganya kembali jatuh miskin
seperti dulu. Dia menerima dengan penuh keridhoan. Dia justru merasa
bahagia dan tenang dengan keadaannya yang sekarang. Karena dalam keadaan
hidup yang pas-pasan, dia bisa lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan.
Sugiyanto kini berubah menjadi orang yang rajin dan tekun beribadah.
Bila kemudian dia berkenan menceritakan pengalamannya ini kepada
Misteri, semata untuk peringatan dan pelajaran agar kita semua tidak
mengikuti jalan sesat yang pernah ditempuhnya dahulu.