Selasa, 01 November 2011

KAKEKKU JADI SILUMAN BUAYA KEPALA PUTIH

Kakek kami yang berbulan-bulan raib, ternyata diyakini oleh kaum supranaturalis sebagai orang yang tidak  mati, tapi  hidup sebagai manusia umum pun,  tidak lagi. Lha, jadi apa kakek kami? Alkisah, kakek kami diyakini oleh para praktisi supramistik sedang berada di alam megamaya yang hidup di tengah-tengah Ayunan Rahman, alam siluman yang tak pernah tersentuh oleh dunia logika dan akal sehat. Tapi kami cucu-cucunya, tetap menghargai dan menghormati kakek dengan rajin mengirim doa dan merasakannya telah menjadi almarhum.
Tapi di luar dugaan, sungguh suatu  hal yang mengejutkan kami, di mana pada suatu hari,  kakek kami tiba-tiba pulang dengan wujud yang lain. Bapak dari ibu ku itu tiba-tiba menjadi buaya berkepala putih. Lalu, kakek secara rutin muncul pada setiap bulan  purnama ke 14. Saat itu lah  kakek kami, Haji Fadlan Hanani, 75,  berubah wujud dalam bentuk buaya berkepala putih. Orang-orang Bandar Kepayang, kampung kami,  menyebut  kakek kami ini sebagai Siluman Buaya  Berpeci Haji, atau sebutan Uwak Haji Kepala Putih bahkan ada juga yang memanggilnya  Si Mbah Mahakam, penguasa sungai yang ditakuti dan disegani oleh bangsa buaya air tawar Sungai Mahakam. Kakek ku yang kupanggil dengan sebutan Gede Anang, memang penguasa tunggal ilmu buaya putih dan menjadi raja diraja kaum jin Kalimantan Timur.
Ketika  aku meraih  gelar sarjana dan jadi guru SMP Ksatria Tenggarong  tahun 1999 lalu, di luar dugaan, aku justru diminta  kakek untuk meneruskan ilmu buaya kakek ku itu.  Walau di luar keinginkan kami semua, karena aku yang satu-satunya cucu perempuan,  terpilih untuk menjadi pewaris tunggal ilmu buaya berkepala putih se-Kalimantan Timur. Aku dan keluarga pun menjadi sangat bingung. Ditolak salah, diterima pun salah.
Kalau cerita nabi Sulaiman AS yang punya karomah dapat bicara dengan ratusan jenis hewan, ternyata demikian pula halnya dengan apa yang dialami oleh  kakek kami, Haji Fadlan Hanani, yang mampu berdialog dengan buaya-buaya penghuni Sungai Mahakam. Kalau Nabi Allah Sulaiman mampu berdialog dengan ragam jenis hewan dan mampu memberdayakan kekuatan ribuan jin, tapi kakek kami hanya terbatas di lingkungan kecil, yaitu di dunia hewan khusus, yaitu hewan melata jenis alligator, yaitu buaya Kalimantan. Bahkan buaya-buaya Kalimantan itu  mampu ditundukkan dan sangat takut kepada kakek kami. Apabila diperintahkan untuk pergi, maka semua buaya akan pegi dari suatu tempat. Bila diperintahkan untuk datang, maka semua buaya-buaya itu akan datang dan menghormat kepada kakek kami. Begitu lah kelebihan dari  ilmu yang  kakek kami miliki, yang biasa kami panggil Gede Anang. Kakek kami adalah seseorang yang berciri fisik kurus, jangkung, rambut panjang, berkumis  dan berjenggot putih setengah meter.
Arus Sungai Mahakam tak pernah kering sepanjang tahun. Air sungai terbesar dan tepanjang di Indonesia ini selalu mengalir deras dan mengeluarkan nyanyian khas, bagaikan sonata alam dengan melodi mengharubiru, sebagai cirri khas nya suara arus arus air sungai yang ritmik saat ditiup oleh  kekuatan angina yang megabesar.
Di atas sungai inilah aku dilahirkan oleh ibuku, yaitu  pada tanggal 5 April tahun 1969. Sebagai anak keluarga yang tidak mampu, aku lahir melalui  tangan seorang dukun beranak, Ambik Kina, seseorang dari suku Dayak Ngaju.  Di sini pula aku dibesarkan oleh ayah dan ibuku dalam kehidupan yang serba keterbatasannya.   Rumah kami adalah rumah panggung dari kayu ulin yang bertiang delapan meter yang ditancapkan di atas aliran sungai yang selalu mengalir deras ke hulu lalu menembus laut Selat Makasar. Di sebelah rumah kami, adalah rumah kakek dan nenek, yang kurasakan sebagai rumah ku juga,  sebab aku dan kakak-kakakku sering juga tidur dan makan di rumah nenek dan kakek. Nenek selalu memanggang ikan patin dan lais yang didapatkan kakek dari kehidupan arus air  Sungai Mahakam.
Semasa keberadaannya di tengah kami, selain menjadi “orang pintar” alias paranormal yang handal dalam pengobatan ragam penyakit, kakek juga punya bekerjaan  khusus  sebagai nelayan Sungai Mahakam. Bahkan sering pula berminggu-minggu pergi ke laut, mencari ikan di Selat Makasar.  Kakek ku memiliki sebuah perahu kecil ukuran panjang hanya lima meter dan lebar satu meter. Bila melaut, kakek pergi   melaut di tengah malam, lalu pulang pagi sekiat jam sembilan dan  membawa ikan yang sangat banyak. Ikan-ikan yang banyak itu dijual kakek ke pasar ikan Manggar di Tenggarong dan Pasar Ikan Samarinda.  Sebelum menjual ikan-ikan itu, kakek terlebih dulu memberi ikan-ikan yang banyak kepada kami. Meman sebagai penduduk di atas sungai, makanan kami yang utama adalah ikan-ikanan. Nasi justru menjadi menu kedua, sebagai lauk pauk nya.
Pada saat aku  masih kecil, aku  tidak banyak tahu tentang ilmu kakek yang sangat besar di bidang supranatural dan dihormati banyak penduduk di Tenggarong itu.  Namun setelah aku dewasa, di mana aku banyak diberi tahu oleh para tetangga, bahwa kekekku yang sederhana, ternyata punya ilmu yang tinggi dalam hal supranatural, barulah aku banyak menyelidik dan penasaran ingin mengetahui inti karomah ilmunya itu.  Hingga akhirnya, aku sampai memaksa kakek untuk mengajakku melaut, mencari ikan di Sungai Mahakam hingga ke Selat Makasar. Sejak itulah, barulah aku tahu bahwa kakekku mempunyai teman-teman buaya yang banyak, yang dimanfaatkannya untuk mengambil ikan-ikan buat kehidupan kakek. Mulanya aku terkaget-kaget melihat buaya-buaya teman kakek yang berjumlah ratusan mengambang di permukaan air, tapi lama kelamaan, akhirnya aku menjadi biasa saja dan justru buaya-buaya itu sangat baik kepadaku.
Semua nelayan sekitar kampung Bandar Kepayang, kampung kami, tahu betul bahwa kakek kami memiliki ilmu saktimandraguna dalam hal menaklukkan  buaya. Mereka juga dibagi sedikit  ilmu agar gampang mendapatkan tangkapan ikan oleh kakekku.  Lalu buaya-buaya itu memberi persembahan ikan-ikan pula pada orang banyak , para murid-murid kakek, ratusan nelayan Kampung Bandar Kepayang. Selain menjadi nelayan profesional, kakek kami juga disebut oleh para tetangga adalah pengobat ampuh untuk beberapa penyakit. Terutama penyakit yang selalu menyerang bayi dan anak-anak. Bila anak-anak menderita demam panas, suhu panas tubuh  yang sangat tinggi, maka kakekku cukup mengoleskan air putih jampi-jampi ke perut Si Anak, lalu anak itupun akan sembuh total. Suhu panas dengan cepat turun dan Si Anak pun menjadi sehat dalam hitungan menit. Yang lebih mengagumkan, kakek kami juga bisa menemukan dan menyelamatkan orang-orang yang hilang misterius. Baik sengaj kabur dari rumah atau justru hilang karena disembunyikan oleh mahluk halus. Yang lebih pakar, kakekku mampu menyembuhkan para korban-korban serangan buaya se-Kalimantan Timur. Buaya yang sudah terlanjur memakan manusia, akan dihukum oleh kakek kami. Buaya yang memakan manusia, biasanya muncul perasaan bersalah pada buaya itu, lalu dia datang dengan airmatanya,  menyerahkan diri kepada kakek, lalu buaya itu  mati dengan sendirinya di depan kakek. Hal itu aku alamai sendiri saat aku diajak kakek pergi ke Sangata, di mana ada buaya superbesar memangsa dua anak remaja sekaligus di tepi laut Sangata, bibir barat Selat Makasar yang luas.
Apa yang kusaksikan kala itu,  apa yang telah  kulihat saat itu, di situlah aku baru mengagumi betapa hebatnya kakekku. Sekaligus juga, saat itu aku  makin menyadari bahwa betapa besarnya kasih sayang  Allah pada ummat-Nya, terutama pada kakekku, seorang laki-laki miskin yang diberi karuniah luar biasa besar, terutama dalam hal ilmu menjinakkan keperkasaan buaya-buaya besar. Allah telah  memberikan kemurahan rahmat-Nya kepada orang kecil bertubuh renta dan kurus  yang kebetulan kakek kandungku, ayah kandung dari ibuku tercinta. Kakek yang kebetulan pula  adalah seorang warga nelayan miskin yang kerempeng dan tua, tiba-tiba diberi suatu ilmu yang luar biasa dahsyatnya oleh Allah Azza Wajalla. Kakekku yang disebut pula oleh kiyai-kiyai setempat sebagai seorang pengamal Ilmu Ma’rifat dan dari dasar ilmu Allah itulah kakekku mendapatkan berkah dan karomah yang maha mulia. Allah telah memberikan kelebihan-kelebihan yang kelak dijadikan kakek sebagai senjata bersosial dalam membantu sesame.   Ilmu penakluk buaya sebesar dan sekokoh apapun, telah dipertontonkan secara tidak sengaja oleh kakekku di depan banyak orang dan semua warga yang menyaksikan kenyataan itu, memberi tabik dan respek kepada kakekku yang sangat sederhana dengan keseringannya merendah.  Di situ dengan mata kepala sendiri aku menyaksikan kakek memanggil buaya superbesar berat satu ton yang memakan dua anak kecil menyerahkan diri di bibir Selat Makasar. Buaya besar itu mengaku salah dan menyesal telah memakan manusia, sementara memakan manusia adalah hal yang sangat ditabukan  karena manusia sebagai mahluk yang sempurna di muka bumi ini.
Cerita kakekku, di kalangan bangsa buaya, memakan manusia adalah hal yang paling dipantangkan. Buaya boleh saja lapar karena sedang tidak ada makanan. Tapi bila memakan manusia, buaya itu akan kuwalat dan hukumnya adalah mati. Maka itu buaya yang telah makan dua anak tadi, kata kakek, telah melaksanakan eksekusi hukumnya, yaitu mati dengan tancapan jari telunjuk kakek ini ke kepala otaknya. Dia telah menerima perbuatannya yang salah dan telah mengakui kesalahan dan dosanya yang besar itu. Lalu, buya itu  secara konsekuen telah menerima hukumannya dengan ikhlas. “Dia telah mati secara sportif setelah dia mengakui semua kesalahan dan dosanya setelah memakan manusia!” desis Kakek. Memang buaya besar itu memasrahkan diri untuk dimatikan, lalu setelah mati buaya itu diangkat warga ke daratan dan dua bocah korban di perut buaya, lalu  dikeluarkan dan dimakamkan secara layak. Pemandangan yang kulihat betapa mengerikan, karena tubuh dua bocah sudah terpotong-potong, kaki telepas, tangan terlepas dan kepala pun terlepas dari batang leher. “Buaya itu buaya biadab dan kakek telah mewanti-wanti kepada selruh buaya dio Kalimantan Timur ini agar tidak lagi memangsa manusia!” imbuh Kakek.
Setelah menangani kasus buaya pemakan orang di Sangata, belakangan kakek ku tiba-tiba menghilang. Nenek dan ibuku beserta anak-anak dan cucu Kakek  yang lain, panik setelah selama dua bulan kakek kami tidak pulang.  Mulanya kami semua mengira kakek melaut untuk berburu ikan di sepanjang Sungai Mahakam dan Selat Makasar, tapi lama kelamaan, setelah dua bulan tidak pulang, sadarlah kami bahwa kakek kami itu meninggal dunia. “Kakek mungkin tenggelam di laut dan sudah saatnya umur kehidupannya berakhir!” lirih Nenek, sambil menghapus airmatanya yang jatuh di pipinya yang keriput.
Kami semua berusaha menemukan  jenazah kakek di sepanjang Sungai Mahakam. Kami menyewa kapal tongkang besar bersama polisi polsek  setempat untuk menemukan di mana kiranya jasad kakek kami berada. Setelah berhari-hari menyusuri sungai, kami lalu menyeberang ke laut lepas, kami juga mencari hingga ke Bontang dan Tarakan. Tapi jasad kakek kami tidak ditemukan juga. Maka itu, setelah 30 hari melakukan pencarian dan tidak menemukan, akhirnya keluarga  memutuskan, pasrah bahwa kakek kami dinyatakan raib. Bahkan kami telah membuat tahlilan, karena yakin bahwa kakek meninggal di tengah laut, yang mungkin saja jasadnya dimakan ikan hiu di Selat Makasar.
Setelah beberapa lama tanpa berita dan kami pasrah bahwa kakek kami sudah wafat, tiba-tiba saat bulan purnama ke 14, ada seekor buaya berkepala putih sandar di bawah rumah kami di Bandar Kepayang sekitar  pukul 23.00 waktu Indonesia bagian tengah. Ayah dan ibuku segera mengambil lampu tameng dan menyorot buaya besar yang ternyata berkepala warna putih, mirip topi seorang haji. Buaya itu disuruh pergi oleh ayahku dengan tongkat bambu. Tapi buaya itu tidak mau pergi dan tidak begeming sedikit pun. Kepalanya di angkat di atas permukaan air di kolong rumah kami dan dari matanya menunjukkan bahwa buaya itu bukan buaya biasa. Sebab dari kelopak matanya yang berwarna kuning, menggenang air kebiru-biruan yang dikatakan oleh banyak orang Kalimantan bahwa air biru itu adalah airmata buaya. “Buaya ini menangis dan merasakan kesedihan yang dalam. Buaya ini pasti bukanlah buaya biasa dan pasti ada hubungannya dengan keluarga kita!” kata Ayahku, yang disambut anggukan kepala oleh ibuku.
Setelah kami uji dengan pakaian kesukaan kakek semasa hidup, tiba-tiba buaya itu mengambil pakaian dan  memakainya. Padahal pakaian kakek itu tadinya ditujukan ayahku untuk menyuruh pergi Si Buaya. Setelah memakai pakaian dengan caranya, buaya itu mendekat kepada ibu dan aku, lalu kuusap bagian kepalanya dan buaya itu mengeluarkan suara seperti manusia. Suara yang keluar, walau tidak begitu jelas, tapi jenis suara yang keluar dari mulut buaya itu, persis sekali dengan suara kakek. Bahkan saat terbatuk, bunyi batuk itu 100 persen suara batuknya kakekku.
Beberapa kiyai yang kami undang, yakin betul bahwa Buaya Kepala Putih itu adalah buaya siluman, perwujudan dari kakek kami yang raib beberapa waktu lalu. Kakek kami itu diyakini tidak mati, tapi muksa, menghilang meraibkan dirinya lalu menjadi raja di tengah buaya-buaya Sungai Mahakam. Kata kiyai, atas ijin Allah, kakek kami belum meninggal sesungguhnya, tapi raib dan masuk ke alam buaya dan hidup di tengah bangsa jin air di Sungai Mahakam. Karena ilmu saktimandragunannya serta perjanjjian gaib yang pernah disepakati, maka sebelum wafat, kakek kami itu terlebih dahulu menjadi siluman buaya dan hadir ke keluarga pada setiap purnama ke 14. Kenapa para purnama 14 baru muncul? Sebab untuk semua bnagsa siluman, termasuk buaya, akan bisa berwujud dan menemui manusia yang hidup saat ternag bulan. Bulan telah menyinari dan memberikan energi besar bagi mahluk gaib dan setengah gaib untuk maujud dan menampakkan diri. Bulan ke 14 adalah rahasia yang belum terungkap hingga kini, di mana sinar bulan yang sedang terangbenderang mampu menghidupkan mahluk yang mati dan mampu mewujudkan mahluk halus menjadi nyata. Kuntilanak dan drakula pun, akan maujud saat bulan purnama terangbenderang di hari ke 14 pada setiap bulan.
Hingga kini kakek kami terus muncul setiap bulan pada saat purnama terang benderang. Kami selalu bersama bahkan buaya putih perwujudan kakek itu bisa masuk ke dalam rumah bersama kami. Bila menjelang subuh, kakek turun ke sungai dan raib kembali ke habitan gaibnya di tengah Sungai Mahakam. Kerinduan ku kepada kakek, akan selalu datang menggebu-gebu karena kakek  muncul hanya satu kali dalam sebulan dan berlangsung hanya beberapa jam saja.  Buaya berkepala putih yang kami yakini semua bahwa itu adalah kakek kami,  tiba-tiba menjadi begitu dekat dan kami semua merasa bahwa itulah kakek kami yang sejati.
Selama maujudnya kakek dalam bentuk buaya kepala putih, banyak peristiwa aneh yang keluarga kami  alami. Saat menjadi korban kecelakaan speedboat yang tenggelam di Selat Makasar, abang misan saya, Bang Hardi dan teman-teman, diselamatkan oleh buaya berkepala putih dengan digendong sampai ke daratan. Jika tidak pastilah enam orang pekerja tambang batubara itu, mati di tengah lautan luas dan sedang bergelombang besar. Buaya kepala putih itu adalah jelmaan kakek kami, Gede Anang yang sangat kami cintai. Lalu ketika kami kesulitan biaya, rumah kami penuh ikan yang diantarkan oleh buaya putih itu dan ikan itu bisa menghasilkan uang banyak setelah dijual ke pasar. Dari biaya menjual ikan-ikan pula, aku mendapatkan biaya pendidikan yang cukup, bisa samapi mendapatkan gelar  sarjana dan akhirnya menjadi pengajar SMP Ksatria kota Tenggarong. Berkat bantuan kakek yang terus menerus memberi ikan yang datang dengan sendirinya di perahu-perahu kami di kolong rumah, maka kami semua dapat bantuan biaya secara gaib.
Pada saat memberikan ikan-ikan,  tidak sekalipun kakek  terlihat bersama ikan-ikan itu.  Ikan ikan seakan datang dengan sendirinya memenuhi perahu-perahu dan jumlah ikan itu begitu banyak. Sebenarnya kakek yang datang membawa rejekih dari Allah SWT itu, tapi kakek  tak terlihat oleh mata kami yang telanjang. Tapi para muridnya, dapat melihat kakek dan berinteraksi secara langsung karena kemampuan ilmu yang dimiliki yang didapat dari kakek.  Kakek akan maujud berbentuk buaya hanya pada saat bulan purnama ke 14 dan semua keluarga dapat berkumpul dengannya.
Yang mengejutkan aku belakangan, ternyata kakek menjatuhkan sampur selendang lumut kepadaku. Arti dari selendang lumut berwarna hijau itu, adalah bahwa aku dinobatkan dan terpilih sebagai pewaris utama dari semua ilmu yang kakek miliki semasa hidup. Bila aku menolak, aku akan menyalahi aturan dari seorang kekek. Siapapun yang menolak, akan mengecewakan si pemberi, karena ilmu itu sangat saktimandraguna yang spesial. Sedangkan untuk menerima, aku juga berat, sebab sebagai wanita dan pengajar, rasanya lucu bila aku mengamalkan ilmu buaya lalu jadi pimpinan para buaya Sungai Mahakam. Pikirku, apa kata murid-murid bila mereka mengetahui bahwa ibu gurunya adalah raja buaya dan separuh hidupnya dihabiskan di tengah habitan buaya Kalimantan. Walau sekarang aku sudah menyatakan menerima ilmu itu, tapi dalam otakku terus terngiang, kenapa kakek justru memilih aku, satu-satunya cucu perempuan, bukan yang lain dari jenis kelamin laki-laki. Duh Gusti! ****
(Cerita ini didapat dari Tati Hartati, Istikhori menulis kisah ini untuk Majalah Misteri-Red)
Loading