Selasa, 01 November 2011

Mariana Tundang: AKU PEWARIS ILMU KUYANG

Biasanya, orang yang mendapat warisan tentu sangat bahagia. Namun, siapa yang dapat bahagia bila mendapat warisan ilmu hitam yang sangat mengerikan. Ya, ilmu hitam yang ditakuti oleh hampir semua orang di pedalaman Kalimantan Tengah, bahkan mungkin di seluruh jagat ini. Apalagi, Mariana Tundang, sang pewaris, tak pernah berharap mengenal, apalagi menguasai ilmu yang sangat jahat itu.
“Kenyataan ini sungguh bagaikan sebuah lingkaran roda nasib yang sangat buruk. Meski aku berusaha untuk menolaknya, namun ilmu itu tetap juga hadir di dalam tubuhku. Inilah kenyataan pahit yang aku alami,” tutur Mariana dengan pandangan jauh menerawang.
Ilmu Kuyang, itulah yang diwarisi oleh Mariana Tundang. Dia seorang gadis muda cantik yang berprofesi sebagai bidan. Gadis cantik ini bekerja di Rumah Sakit Pemerintah di Banjarmasin.
Bagaimanakah kisah selengkapnya? Berikut ini adalah ringkasan kesaksian Mariana Tundang, seorang Bidan di Banjarmasin, yang dituturkan langsung kepada Misteri beberapa waktu yang silam….
Waktu itu usiaku memang relatif sangat belia. Selepas SMU aku memilih untuk masuk Sekolah Kebidanan. Bidan adalah profesi yang sangat mulia, menurut pendapatku. Penolong para wanita yang akan menjadi ibu. Penolong proses kelahiran seorang bayi yang hadir di dunia ini. Penolong ibu-ibu yang jauh dari dokter, rumah sakit, atau Puskesmas.
Kehadiran bidan di pedalaman memang sangat berarti bagi mereka yang tinggal jauh dari kota. Apalagi di Kalimantan banyak keluarga yang tinggal di tepi-tepi hutan, bahkan berada di dalam hutan belantara. Sebab, mengandalkan para dukun beranak tidak akan menyelesaikan masalah. Jumlah dukun beranak tidaklah memadai. Sangat tidak mencukupi bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang memerlukan pertolongan.
Begitu aku lulus dari Sekolah Kebidanan ternyata aku ditempatkan di Rumah Sakit ULIN di Banjarmasin. Menurut Direktur Rumah Sakit itu, aku dipilih karena aku punya prestasi. Aku adalah lulusan terbaik.
Terus terang, sebenarnya aku lebih senang kalau ditempatkan di Puskesma di pedalaman. Aku lebih suka berada di tengah-tengah orang-orang sederhana, tempat dari mana aku berasal.
Aku bukan tipe gadis yang suka hura-hura. Aku bukan pengunjung diskotik, gedung bioskop atau mal-mal. Waktuku kuhabiskan di kamar kost untuk membaca. Di kamarku banyak bacaan. Ada novel-novel, majalah, tabloid, dan yang paling sering kubaca adalah kitab suci. Karena dengan membaca kitab suci akan timbul motivasi dalam diriku untuk mengabdikan diri kepada sesama, dan dia juga adalah sumber kekuatanku, sumber pengharapanku yang sebenarnya.
Sampai pada suatu hari, datang malapetaka yang membuatku tiba-tiba harus terhempas ke dalam jurang kenistaan. Jangan salah paham. Kenistaan yang menimpaku bukan karena kehilangan kegadisan, bukan ternoda karena perbuatan tercela lain. Yang menimpaku jauh lebih mengerikan. Tidak akan terbayang oleh siapapun yan tidak memahami kondisi pedalaman Kalimantan Tengah, tempat kelahiranku.
Hari itu sebenarnya tidaklah begitu panas. Apalagi saat itu hujan baru saja mengguyur Kota Banjarmasin. Sangat lebat, dan turun sejak sore tadi. Saat itu hujan belum reda. Tidak begitu lebat, tetapi membuat orang enggan untuk keluar rumah.
Tetapi mengapa cuaca yang sejuk itu membuat aku tiba-tiba sangat kehausan. Ya, aku merasa ada rasa haus yang sangat aneh mendera diriku. Telah kuminum beberapa gelas air putih dari dispenser, tetapi rasa hausku tidak juga hilang. Sepertinya, dahagaku bukan karena ingin menggak air. Ya, Aku ingin minum sesuatu tetapi bukan air. Entah apa?
Aku coba mengendalikan diri. Jarum jam telah menunjukkan pukul14.00. Kebetulan hari ini aku sedang off, tidak giliran jaga. Besok aku baru masuk pada jam delapan pagi.
Entah apa yang mendorongku, aku meninggalkan kamar, dan berjalan menuju ke bangsal Rumah Sakit. Kutelusuri lorong-lorong yang panjang itu menuju ke suatu tempat yang aku sendiri tidak tahu di mana. Aku berjalan tak ubahnya seperti robot, sebab memang kekuatan laten itu yang mendorongku terus melangkah. Sapaan beberapa orang teman yang berpapasan denganku tidak kujawab. Mereka heran sebab, aku dikenal sebagai gadis yang ramah, mudah bergaul dan tentu saja banyak teman.
Aneh, tiba-tiba saja aku berhenti di depan sebuah kamar yang khusus disediakan untuk mereka yang melahirkan. Aku mencium bau yang sangat harum. Bau khas yang belum pernah kurasakan. Bersamaan dengan itu, rasa hausku semakin menjadi-jadi. Ingin rasanya aku segera mereguk minuman yang menebarkan bau harum tadi.
Kubuka pintu kamar itu. Kulihat ada seorang wanita yang tengah berjuang keras melaksanakan tugasnya sebagai ibu. Dia ditolong oleh seorang dokter dan dua orang bidan.
Entah Iblis apa yang merasukiku. Kudorong dokter itu kesamping, dan kuraih kedua kaki wanita itu. Aku mencium bau yang begitu harum dari sela-sela kedua paha wanita itu. Rasa hausku semakin kuat. Aku hendak mereguk cairan merah bercampur lendir atau air ketuban yang mengalir.
Dengan sigap kedua bidan yang ada di kanan dan kiri pasien menubrukku. Sekuat tenaga mereka menyeretku keluar. Namun kekuatan kedua orang itu tidak mampu menyamai kekuatanku. Mereka kubuat terpental. Lalu, muncul tiga orang perawat laki-laki yang membantu kedua bidan untuk menyeretku.Tetapi tetap saja mereka tidak mampu menandingi kekuatanku.
Melihat keadaan itu, salah seorang bidan lalu melepaskanku. Dengan tergesa-gesa dia mencopot kalung yang tergantung di lehernya. Kalung perak dengan leontin salib itu dikalungkannya ke leherku. Begitu kalung itu tergantung di leherku, aku langsung pingsan.
Ketika aku sadar, aku telah berada di tempat tidurku. Beberapa orang kerabat ada di sekelilingku. Tidak ketinggalan Uwakku yang tinggal di jalan Veteran, di belakang Rumah Sakit Ulin.
“Untung kau segera mengalungkan kalung itu di lehernya,” kata Uwakku kepada bidan yang pada saat kejadian mengalungkan kalung tersebut.
“Entah dari mana aku bisa ingat untuk memakaikan kalungku,” jawab Rosma, sepupuku yang juga seorang bidan di rumah sakit yang sama.
“Untung pula tanda di lehernya belum muncul!” kata Gondan, pamanku.
“Mengapa kalian semua ada di sini?” tanyaku heran.
“Kau sedang sakit,” jawab Rosma.
“Sakit? Sakit apa? Rasanya aku sehat-sehat saja!” jawabku setengah tidak percaya.
Uwak kemudian menceritakan kepadaku, bahwa aku mewarisi ilmu almarhumah ibuku. Kuyang! Aku bergidik mendengarnya. Sulit dibayangkan kalau aku bisa menjadi Kuyang, makhluk pemakan darah.
“Tetapi baru tahap awal,” kata uwakku.
Ya, ini karena tanda di leherku belum muncul. Orang yang telah matang menjadi Kuyang di lehernya ada tanda lingkar hitam seperti kalung dari tatoo. Yang telah matang ilmunya, kepala orang itu dapat lepas dari tubuhnya berikut isi perutnya. Kepala yang lepas itu terbang mencari mangsa, yaitu perempuan yang baru saja melahirkan untuk diisap darahnya. Biasanya hal itu terjadi di malam hari ketika bulan purnama.
Aku sendiri sangat heran. Ibuku tidak pernah menurunkan ilmu itu kepadaku. Itulah sebabnya aku tidak menyadari kalau ilmu mengerikan itu mengeram di dalam diriku.
Tahap awal dari ilmu itu adalah perasaan haus yang luar biasa. Sebenarnya rasa haus biasa berbeda dengan rasa haus ingin minum darah. Tetapi aku belum dapat membedakan. Maka ketika rasa haus muncul aku minum air putih berkali-kali. Dan tetap saja rasa haus itu tidak hilang.
“Apakah aku bisa terbebas dari ilmu terkutuk ini, Wak?” tanyaku kepada Uwakku.
“Bisa! Kemauan yang kuat dan usaha yang bersungguh-sungguh akan dapat membebaskanmu dari warisan yang tidak kauinginkan itu,” jawab Uwakku.
Beberapa hari kemudian Uwakku memberiku kalung yang bahannya dari besi putih. Demikian juga liontin yang berbentuk salib terbuat dari besi putih.
“Jangan kaulepaskan kalung ini dalam keadaan bagaimanapun juga. Selain itu, rajin-rajinlah berdoa. Jangan lupa memohon kepada Tuhan agar kau dilepaskan dari ikatan jahat itu,” nasehat Uwak.
Setelah peristiwa itu aku terpaksa berhenti bekerja dari RSU. ULIN. Untunglah, pacarku bisa mengerti keadaanku. Walaupun dia orang Jawa tetapi memahami betul apa yang sedang terjadi atas diriku. Demikian juga para dokter, perawat, bidan serta pegawai lainnya.
Kini aku hidup bahagia bersama suamiku dan tinggal di Jawa. Kenangan buruk itu telah sirna. Dan ilmu warisan itu tidak menguasaiku lagi. Sekarang aku bekerja sebagai bidan lagi di sebuah rumah sakit swasta di Yogyakarta. Untunglah tidak ada yang tahu masa laluku.
Loading