Putri Amir Hamzah satu-satunya yang tak begitu ingat wajah ayahandanya, yang pergi dan tak pernah kembali, selalu dihibur oleh bundanya, kalau ayahandanya pergi bekerja di tempat yang sangat jauh sekali. Sampai Tengku Tahura beranjak remaja, dan dia diundang untuk menerima anugerah Pahlawan pada ayahandanya itu, barulah Tengku Tahura sadar, kalau ayahandanya yang samar di benak ingatannya telah mangkat dengan cara yang sangat sadis. Ini terjadi dikarenakan revolusi sosial melanda kerajaan Langkat.
Kini Tengku Tahura pun telah tiada. Wanita ini melahirkan dua orang cucu untuk ayahandanya, Tengku Amir Hamzah. Ayah dan anak itu kini telah tinggal di alam barzah, alam gaib yang menjanjikan berjuta kenikmatan buat hamba-hamba Allah yang berperilaku baik selama hidup di dunia.
Biasanya, selesai sholat di mesjid Azizi, Tanjung Pura, imam terus memanjatkan doa kepada mereka yang terdahulu, termasuklah doa itu ditujukan buat raja penyair yang tewas di sembelih seorang algojo sadis yang tak pernah tahu bahwa perjuangan Amir Hamzah di tanah Jawa, jauh lebih berjasa dengan yang dilakukan si algojo.
Beberapa waktu lalu, tepatnya Maret 2008, aku dan beberapa orang teman, datang menziarahi makam raja penyair yang bergelar Pahlawan Nasional itu. Kuburannya tepat di sebelah barat mesjid Azizi. Mesjid besar dan megah ini adalah mesjid yang dibangun oleh raja Langkat yang tidak lain adalah ayah mertua Amir Hamzah.
Karena aku enggan melepaskan sepatu untuk masuk ke kompleks perkuburan, aku menunggu di luar. Aku hanya memperhatikan teman-teman berdoa dari jarak yang tidak begitu jauh. Aku duduk memperhatikan dari atas sepeda motor yang kami parkir tepat di sisi makam.
Waktu kala itu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Sebentar lagi magrib. Ada sesuatu yang menarik bagiku. Di antara teman-teman yang sedang memanjatkan doa, aku melihat ada sosok laki-laki berpakaian teluk belanga ikut menadahkan tangan. Pecinya yang model fesen menghingatkan aku pada sosok Tengku Amir Hamzah yang fotonya pernah kulihat di buku kumpulan puisi Nyanyi Sunyi. Tidak salah. Berkali-kali aku menggosok mata. Memang, bayangan Pangeran dari seberang itu jelas hadir di antara teman-teman yang sedang berdoa.
Karena penasaran, aku bergegas masuk. Aku tak lagi ingat untuk membuka sepatuku. Sosok berpakaian teluk belanga serba kuning gemerlapan itu aku dekati. Dia tersenyum. Aku membalasnya. Belum sempat aku bertanya, dia lebih dulu memberi isyarat agar aku membuka sepatuku. Aku cepat-cepat membuka sepatuku dan ikut berdoa.
Entah mengapa, ketika itu aku bisa berdoa khusuk sekali. Sepertinya ada sesuatu yang berlangsung di luar kesadaranku. Buktinya, begitu aku membuka mata, aku sudah tak melihat sosok yang aku yakin itu adalah bayangan gaib dari Tengku Amir Hamzah. Memang terasa aneh. Tapi sekali lagi, aku meyanikinya demikian!
Sepulangnya dari Tanjung Pura, apa yang aku alami kuceritakan pada kawan-kawanku. Tak ada yang tidak percaya dengan ceritaku. Bahkan, semuanya mengatakan aku adalah orang yang paling beruntung sebab dapat melihat sosok bayangan gaib Amir Hamzah dan berhasil berkomunikasi walau hanya dengan bahasa isyarat.
Malam hari setelah kejadian aneh itu, aku memang tak bisa tidur. Pikiranku terus saja teringat kepada bayangan laki-laki gagah yang berpakaian teluk belangan kuning keemasan itu.
Karena penasaran atas peristiwa aneh ini, aku sengaja menemui Pak Budin, orang pintar kenalanku. Kata Pak Budin, yang kulihat itu bukan Amir Hamzah. Tapi jin yang menyerupainya. Menurut orang pintar ini, semua orang yang sudah mati tidak lagi dapat hadir ke dunia ini. Mereka kekal di alam barzah menunggu hari kiamat.
“Amir Hamzah kini sudah tenang di alamnya. Semua dosa-dosanya selama hidup di dunia, berpindah kepada algojo yang memancung leher Amir Hamzah,” ujar Pak Budin.
Aku percaya. Penyair Amir Hamzah memang sudah tenang di alam sana. Dia sudah ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional. Pangeran dari seberang ini, yang pernah menjalin cinta dengan dara manis bernama Ilik Sindari, kini telah terbaring di alamnya yang damai, disamping mesjid azizi Tanjung Pura. Sementara algojo yang memancung lehernya mungkin harus menerima siksa Tuhan yang pedih.
Malam itu suasana diramaikan dengan gemuruh hujan, petir dan angin yang mendayu-dayu. Pikiranku terus teringat pada sosok yang memberi isyarat agar membuka sepatuku sewaktu berziarah ke kuburan Amir Hamzah. Dalam hati aku berkata, “Kalaupun kau itu bukan sosok Amir Hamzah yang penyair, tapi jin yang menyerupainya, tolong, hadirkan kembali wujud bayanganmu ke hadapanku malam ini.”
Aneh! Begitu aku selesai berkata dalam hati seperti itu, telingaku seperti mendengar suara yang sangat dekat sekali di sebelah kiriku. Begitu aku menoleh ke kiri, satu bayangan hitam yang tak kelihatan wajahnya memang telah berdiri di dekatku. Seiring dengan hadirnya bayangan itu, suara petir terdengar menggelegar di atas atap rumahku. Bayangan hitam yang menyeramkan itu pun seketika sirna.
Esok harinya, aku kembali menemui Pak Budin dan menceritakan kejadian ini. “Itulah jin!” Tandas pak Budin. Panjang lebar dia menjelaskan, “Jin dapat merubah-rubah wujudnya. Jin yang kau lihat seperti almarhum Amir Hamzah itu, bisa jadi adalah jin yang melihat langsung semua kejadian yang menimpa Tengku Amir Hamzah.
Kata Pak Budin pula, jin yang aku lihat itu dapat memutar ulang semua kejadian yang dia lihat. Jin juga mampu menciptakan rekaman seperti video karena matanya adalah mata gaib yang dapat memancarkan kembali semua peristiwa yang dia lihat puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan tahun lalu.
Aku percaya dan aku semakin tertarik dengan cerita Pak Budin itu. Aku jadi tertarik begitu mendengar perkataan Pak Budin bahwa jin itu dapat memproyeksikan kembali semua yang dia lihat, bahkan ribuan tahun silam. Wah, bagiku ini jadi fenomena yang menarik bila dapat diungkapkan. Bayangkan saja, algojo yang memancung leher Amir Hamzah belum seratus tahun. Kematian Soekarno presiden pertama RI juga belum seratus tahun. Kalau saja aku dapat mengundang jin yang hidup di zaman Amir Hamzah atau jin yang hidup semasa Soekarno, ini baru kejadian luar biasa. Setidaknya, aku akan bisa melihat kembali sejarah masa lalu dari orang-orang hebat itu di layar video jin!
“ Tapi itu tidak mudah,” sergah Pak Budin kita kuutarakan keinginan itu. “ Antara jin dan manusia harus ada kata sepakat dulu. Harus ada perjanjian. Hanya kepada manusia yang mau tunduk kepada jin, atau yang mau menjadi hamba sahayanya sajalah baru jin mau memperlihat rahasia tabir kegelapan masa lalu di hadapan para pengikutnya…..”
“ A…aku mau jadi pengikutnya, Pakcik!” Ujarku. Pak Budin menatap biji mataku dengan tajam.
“Kau mau menjadi hamba sahaya jin? “ Tanyanya dengan nada kurang senang. Tanpa pikir panjang, aku malah mengangguk.
“Jangan! Kalau kau mau menjadi pengikut jin, itu artinmya kau sudah menjadi orang yang ingkar. Kau sudah menjadi kafir. Dosa kau adalah dosa yang tidak terampunkan karena kau sudah mensekutukan Allah,” ujar Pak Budin, menjelaskan.
Bulu kudukku berdiri meremang. Aku cepat-cepat Istigfar. Jelas saja, aku tidak mau menjadi orang yang ingkar, sebab nerakalah tempatku nanti. Tapi bagaimana, aku ingin sekali mengundang jin agar jin-jin itu mau memutar video masa lalu yang pernah dia saksikan di hadapanku?
Karena aku terus mendesaknya, Pak Budin, akhirnya memberikan solusi. Katanya, jin-jin itu tidak perlu membentangkan layar video gaibnya di hadapanku, tapi cukup dengan meniup biji mataku. Maka setelah itu aku akan dapat melihat apa saja yang ingin kulihat di masa lalu, bahkan kalau memukingkan aku juga bisa melihat apa yang akan terjadi di masa mendatang. Hebat! Luar biasa!
“ Apakah jin-jin itu bisa mempertemukan saya dengan Amir Hamzah atau dengan Soekarno, Sahrir, Hatta atau bahkan dengan Jengis Khan, Pakcik?“ tanyakum, naif.
Pak Budin menarik nafas panjang. Dia tersenyum penuh makna. “Dapat! Jin dapat mempertemukan kau dengan siapa saja! Bahkan jin dapat mengajak kau ke tempat nenek moyang kau di neraka atau di surga. Tapi, semua yang dia perlihatkan pada kau itu, palsu! Jin kafir dapat dalam sekejap menjelmakan dirinya menjadi Amir Hamzah, Soekarno, Soeharto, Hatta atau menjadi siapa saja yang dia suka. Contoh saja, yang kau lihat di makam Amir Hamzah itu sebenarnya bukanlah sosok Amir Hamzah yang penyair. Tapi yang kau lihat itu adalah jin yang sedang menyerupai Amir Hamzah,” papar Pak Budin dengan nada agak jengkel. Aku hanya diam.
Malam berikutnya, aku tercenung dipermainkan perasaanku sendiri. Di saat yang sama, hujan dan angin diluar rumah masih terus menggila. Di kamarku yang sempit tiba-tiba terjadi perubahan. Kamarku menjadi ramai. Aku terkejut, bahkan nyaris saja pingsan. Ya, bagaimana tidak! Di tempat tidurku yang reot nampak duduk sosok menyerupai Soekarno. Dia memakai peci yang persis kulihat di fotonya. Ada juga Bung Hatta, Syahrir, Amir Hamzah dan Aidit! Ya, Aidit! Tokoh PKI itu ada di dalam kamarku yang sempit! Aidit menatapku dingin. Selama ini aku mengenal nama Aidit dari buku sejarah.
Soekarno kulihat bangkit mendekati Aidit. Sorot matanya yang tajam kulihat seperti sangat marah kepada Aidit. Bung Hatta dan Syahrir tersenyum-senyum saling pandang.
“Gara-gara kamu! Ya, gara-gara kamu Republik ini hancur lebur! Korban dalam revolusi itu memang biasa! Tapi korban itu aku! Presidenmu! Amir Hamzah saja sudah diberi gelar pahlawan. Aku? Aku masih dianggap sebagai antek-antekmu, Dit! Padahal aku bukan PKI. Aku Nasakom! Aku mengharagai semua idelogi! Tapi karena ulahmu, karena ambisimu, negeri ini jadi sarang korupsi di mana-mana! Brengsek kami, Dit!“ Hardik Soekarno.
Aidit tak menjawab. Dia terguling dan jatuh dari atas tempat tidur. Sebuah lubang peluru bundar memuncratkan darah dari keningnya. Aidit tewas. Aneh, seketika keadaan kemudian menjadi gelap. Aku menggigil ketakutan. Aku tak mengerti mengapa fenomena aneh ini terjadi di depan mataku. Apakah ini karena obsesiku selama ini yang selalu ingin bisa berhubungan dengan bangsa jin? Entahlah! Hanya sang waktu yang akan menjawabnya.
?