Kamis, 03 November 2011

DIDATANGI ARWAH SUAMI PADA MALAM ANGGARA KASIH

Malam selasa pon, awal Mei 2001 itu cukup cerah di kampung kami. Tidak ada gerimis apalagi hujan sebagaimana beberapa hari belakangan ini. Dari beranda depan rumahku, aku melihat pepohonan yang menghitam karena kegelapan malam. Sementara itu bulan purnama ke 14 membiaskan sinarnya ke persawahan dan bukit-bukit sebatas pemandanganku. Tepat pulul 23.00 menjelang tengah malam,  posisi bulan itu tepat di atas rumah kami.
Kupandangi wajah bulan itu dengan hati yang sendu. Terlihat peta warna keabu-abuan di dalamnya. Perasaanku sangat gamang dan gulana menyaksikan betapa wingitnya bulan itu. Sebab dia hadir bagaikan tampah berwarna kuning tua di tengah kesunyian malam. Tak ada seorang manusia pun di desa kami malam itu, kecuali aku yang sedang menikmati tengah malam buta. Ya, hanya aku yang belum tidur sedangkan warga kampung kami yang lain, telah terlelap di peraduan masing-masing. Maklum semua petani diguyur rasa lelah karena siang harinya semua sibuk memanen padi ribuan hektar di Ketawang, Kutoarjo, Purworejo, Jawa Tengah, kampung kami yang damai.
Malam itu mataku sulit dipejamkan. Walau pada siang harinya aku sangat sibuk bekerja di Bank Pasar Pertiwi  di Kutoarjo Kota, sekitar 14 kilo dari tempat tinggalku di Ketawang. Mungkin karena otakku terusmenerus memikirkan keadaan Mas Hartijo di alam kuburnya, maka mataku sangat sulit dipejamkan. Untuk itulah aku keluar rumah dan duduk di beranda, tempat di mana aku dan suamiku duduk-duduk ngobrol sebelum tidur. Kami biasa ngopi di situ dan menyantap pisang goreng atau singkong rebus hasil tanaman Mas Hartijo di tanah perkebunan di belakang rumah kami. Hingga kini tanaman itu masih ada, bahkan buah pisang semakin banyak. Sedangkan singkong, saya berikan pada Mbah Sukiyem, janda tua yang rumahnya tak jauh dari rumahku, yang sangat membutuhkan hasil bumi itu untuk sarapannya. Bahkan Mbah Sukiyem sekarang aku percayakan untuk mengelola kebun itu karena fisiknya masih kuat walau umurnya sudah delapan puluh tahun. Mbah Sukiyem meneruskan usaha Mas Hartijo karena jujur saja aku tak kuat bercocok tanam. Selain sensitif terhadap sinar matahari tapi juga walau usiaku cukup muda, tapi aku terkena penyakit asam urat yang tinggi dan reumatik. Jangankan berjam-jam mencangkul, lima menit saja menggarap tanah, kaki dan tanganku langsung keram.
Belakangan Mbah Sukiyem menjadi orangtua tempatku bercurhat. Bila aku sangat merindukan Mas Hartijo, Mbah Sukiyem menyambut curhatku dan dia melayani aku bercerita. Mbah Sukiyem memang salah seorang dari banyak warga yang mengagumi sifat Mas Hartijo yang santun, ramah dan sangat rendah hati. Lain dari itu,Mas Hartijo disenangi banyak orang karena ringan tangan dalam membantu urusan orang lain. Jangankan kepada warga yang terkena musibah atau kemalangan, kepada warga yang mau menikahkan atau menghitan anakpun, Mas Hartijo sangat perhatian. Selain tenaga, suamiku juga  ringan mengeluarkan uang dari koceknya untuk membantu pembiayaan. “Rasanya tidak ada lagi warga di daerah kita ini yang sebaik Hartijo suamimu. Mungkin karena kebaikannya itulah maka dia sisayang Gusti Allah hingga dia cepat diambil, karena Allah tidak mau Hartijo menambah banyak dosa bila umurnya dipanjangkan. Kau sangat beruntung mendapatkan suami sebaik Hartijo itu. Tapi sayang, hidupmu hanya beberapa tahun saja bersama dia. Tapi Mbah yakin, hal itulah yang terbaik bagi Gusti Allah, walau bagimu sementara ini dianggap tidak baik!” desis Mbah, kepadaku, sambil memelintir sirih, tembakau dan kapur di tangannya.
Bagiku kematian Mas Hartijo terlalu cepat. Terkadang ada perasaan ingin protes kepada Gusti Allah, mengapa suamiku itu buru-buru diambil, hanya delapan tahun, satu windu saja besamaku. Bahkan, yang kusesali juga, mengapa Gusti Allah tidak memberikan anak kepada kami. Bila kami punya anak, batinku, pastilah ada seseorang yang bisa menggantikan Mas Hartijo, apalagi bila anak kami itu laki-laki. Pastilah anak kami itu mukanya seperti Mas Hartijo, ganteng, jangkung, atletis dan wajahnya mirip aktor Drg.Fadli, sebagaimana wajah Mas Hartijo yang selalu diidentikkan dengan pemain film dan sinetron asal Kalimantan Timur itu.
Pikiranmu malam itu melayang jauh kepada Mas Hartijo. Aku mengenang saat-saat kami jatuh cinta pada pandangan pertama kami. Kala itu aku masih SMA Negeri Satu Kutoarjo kelas dua. Sedangkan Mas Hartijo pelajar yang baru pindah ke sekolahan kami dari SMA di Surakarta, yaitu SMA Muhammaddiyah Pecinan dan duduk di bangku kelas tiga. Karena otaknya yang cerdas dan setiap test yang dilakukan lulus, maka Mas Hartijo diterima di SMA Negeri walau tadinya dia dari SMA swasta yang lebih rendah. Mas Hartijo diterima di kelas tiga dan dia menjadi kakak kelasku. Pada saat aku pulang sekolah, aku naik sepeda melewati jalan berbatu dan sepedakupun pecah di tenagh jalan yang buruk. Mas Hartijo dengan tulus membantu meminjamkan pompa yang ada di sepedanya lalu dia memompa ban belakang yang sepedaku yang pecah. Begitu dipompa, ban itu ternyata rusak di bagian pentil. Karet pentil rusak parah dan untuk mengganti karet itu tidak mudah karena jarak kejadian itu dengan bengkel sangat jauh.
Tiba-tiba Mas Hartijo masuk ke dalam sawah dan mencari pacet, lintah darat penghisap darah. Lintah itu didapatkannya dan disuruhnya memakan betisnya yang berdaging tebal. Pacet itu tiba-tiba menjadi gemuk stelah menghisap darah Mas Hartijo. Aku agak ngeri melihat pemandangan yang agak unik itu. Pikirku, buat apa Mas Hartijo memelihara pacet itu hingga menjadi gemuk karena menghisap darahnya. Aku memperhatikan ulah aneh itu sebelum aku tahu apa yang akan diperbuatnya. Setelah gemuk, lintah itu dicabut dari kakinya dan dipotongnya dari ujung ke ujung. Setelah darah yang dimakan lintah itu muncrat, Mas Hartijo lalu memasukkan pintah itu di pentil dan banpun dipompanya dengan sukses. Akhirnya ban sepedaku kembali normal dan aku pun melanjutkan perjalan menuju pulang ke Ketawang, kampung kami. Namun sebelumnya aku mengucapkan terima kasih sebesar-besanya atas bantuan pelajar baru itu, bahkan sampai mengorbvankan darahnya untuk membantuku.Mas Hartijo menerima ucapan terima kasihku sambil tersenyum tulus, lalu dia dengan sepedanya menuju timur sedangkan aku meneruskan perjalanan menuju selatan.
Pada malam hari setelah itu, bayanganku terus menerus tertuju kepada Mas Hartijo yang baik. Aku ingat betul bagaimana perhatian dan ketulusan hatinya dalam membantu sesama pelajar seperti kepadaku. Bahkan aku kagum dengan otaknya yang cerdas, bagaimana dia menggunakan binatang seperti lintah untuk menggantikan karet pentil sepeda yang rusak. Mas Hartijo pastilah memiliki  ilmu aplikasi alam yang sangat ampuh karena pengalaman pribadinya sebagai anak kampung sawah di Masaran, 15 kilometer timur kota Solo.  Atau, pikirku, Mas Hartijo juga punya pengalaman dari melihat warga lain di lingkungan kampungnya. Dia tahu menggunakan lintah sebagai pengganti karet pentil sepeda dan hal itu umum dilakukan di Masaran.
Mas Hartijo pindah ke sekolah kami dari Solo karena kedua orangtuanya meninggal. Karena tidak ada siapa-siapa di desanya, maka lalu  diambil oleh Pakdenya, Pak Musrid Hadi,  pengusaha desa Grabag yang mempunyai usaha pembuatan genteng dan batubata di daerah Kutoarjo. Pakde Musrid Hadi lah yang mengambil alih orangtua Mas Harjito yang meninggal untuk menanggulangi biaya sekolah anak pelajar cerdas itu supaya tetap bisa menlanjutkan ke perguruan tinggi. Tapi sepulang sekolah, Mas Harjito bisa membantu usaha Pakdenya seperti membakar lempung hingga menjadi batubata dan genting. Pembakaran yang menggunakan kayu dan jerami itu dilakukan Mas Harjito bersama puluhan pekerja lain yang tua-tua. Bahkan hanya  Mas Harjito sendiri yang berusia muda dan masih jadi pelajar lagi. Sebenarnya Pakde Musrid Hadi tidak mau melibatkan Harjito sebagai pekerja pembakaran. Tapi Mas Harjito punya kehendak membantu karena dia sadar, bahwa Pakdenya terlalu baik dan dia mesti membalas jasa Pakdnya itu dengan bekerja keras membantu perusahaan.
Pakde nya tentu saja senang melihat sikap manis Mas Harjito ini. Untuk itulah Mas Harjito dibiayai hingga ke perguruan tinggi dan menjadi sarjana. Karena kebiasaan bekerja keras sejak kecil inilah maka Mas Harjito cepar meraih sukses di masa dewasanya. Saat dia bekerja sebagai staf pabrik makanan kaleng di daerah kami, kariernya dengan cepat menanjak hingga dipercaya menjadi manager produksi. Bahkan terakhir suamiku itu menjai general manager di perusahaan joint verture antara Indonesia dan Korea Selatan itu.
Mas Harjito melamarkan saat aku lulus kuliah. Orangtuaku langsung menerimanya dan kami menikah dengan resepsi yang sangat meriah di kota Kutoarjo. Mas Harjito memberikan surprise sebuah rumah yang sangat nyaman beserta sawah dan kebun yang kami tempati saat ini. Kami hidup berbahagia dan seakan setiap hari merasakan sebagai hari-hari berbulan madu. Mas Harjito sangat berlaku lembut dan dia menghadapiku dengan penuh kasih sayang. Namun satu hal yang akhirnya membuat kami gundah gulana. Setelah beberapa tahun kami menikah, aku tidak bisa hamil-hamil juga. Setelah diperiksa ke dokter ternyata rahimku baik dan kandunganku terhitung subur. Dokter Gunawan Wibisono yang memeriksa secara intensif, ternyata menemuka kelemahan Mas Harjito sebagai pria. Sperma suamiku itu tidak subur dan kapasitornya sangat lemah sehingga sampai kapanpun tak akan membuahiku.
Walau dinyatakan lemah, namun kami tidak pernah berputus asa. Kami sepakat untuk berobat ke alternatif dengan energi nabati. Hasilnya aku mengandung beberapa bulan. Namun sayang, janin di dalam rahimku tidak kuat, akhirnya keguguran. Janin itu telah menjadi segumpal daging tanpa roh. Dan anak kami itu kami makamkan secara layak di belakang rumah kami. Seorang bayi laki-laki yang jelas terlihat dari bentuk fisiknya yang menunjukkan anak malang itu sebagai laki-laki. “Kita berobat terus dan aku tak akan berhenti berobat hingga kita mempunyai anak!” desis Mas Harjito, beberapa hari setelah pemakaman janin kami itu. Benar saja, ada aku ataupun tanpa aku, Mas Harjito terus berobat untuk memacu kesuburannya hingga bisa membuahiku. Beberapa bulan kemudian, aku hamil lagi. Namun sayang, janin itu meninggal pula di dalam perutku. Dokter bilang bahwa janin itu tidak subur dan tidak kuat di dalam rahimku karena suatu bibit yang tidak begitu baik. Akhirnya, sampai tiga kali aku mengandung dan tiga kali pula keguguran. Tak ayal, makam anak kami pun menjadi tiga pusara di belakang rumah kami. Bahkan tidak lama setelah keguguran ke tiga, suamiku yang sangat aku cintai itu meninggal dunia secara mendadak  karena suatu penyakit yang mematikan. Duh Gusti!
Malam semakin larut dan mataku tidak mengantuk juga. Bayanganku tertuju kepada Mas Harjito setelah berulang kali aku mengirimkan doa dan surat Al Fatihah untuknya di alam barzah sana. Tepat pukul 02.00 aku melihat sinar bulan memancarkan sentral sinarnya ke pohon angsana di depan rumahku. “Oh Tuhan, sinar apakah itu? Kenapa sinar bulan itu terpusat ke pohon angsana itu?” batinku. Aku terhenyak lalu berdiri keluar beranda. Aku menyaksikan betapa indahnya sinar itu dan betapa anggunnya pohon angsana yang diterpa sinar yang begitu terang benderang. Kucubit kulit lenganku dengan keras dan aku mersakan sakit sekali akibat cubitan itu. Dengan begitu berarti aku sedang menghadapi alam nyata, bukan sedang dibuai mimpi. Yang lebih mengherankanku, tiba-tiba dari pohon itu terlihat bayangan empat manusia yang terbang ke arahku. Duh Gusti, mahluk apakah yang datang kepadaku ini? Tanyaku, dengan jantung yang berdetak hebat.
Keajaiban dunia sedang terjadi dan benar-benar kuhadapi dinihari itu. Empat manusia yang datang itu adalah seorang laki-laki dewasa dan tiga laki-laki berusia bocah. Laki-laki dewasa itu ternyata Mas Harjito, arwah suamiku yang kembali ke bumi di malam selasana pon, malam anggoro kasih bagi masyarakat Jawa, malam kasih sayang serba berselimut cinta. Sedangkan tiga bocah adalah anak kami yang meninggal dalam janinku. Mas Harjito memelukku dan aku memeluknya. Setelah Mas Harjito menyebut nama-nama anak kami itu, aku pun menggendong mereka satu persatu. Nama anak kami pemberian Mas Harjito itu adalah Arjuna, Janoko dan Krisna Murti. Sungguh sesuatu nama pria yang indah yang diambil suamiku dari pewayangan. Kami melepaskan rindu dan aku bersyukur dapat bertemu arwah suami dan arwah ke tiga anakku. Namun sayang, pertemuan itu hanya sampai menjelang fajar. Begitu matahri mulai menyingsir di timur rumah kami, Mas Harjito dan ke tiga anak kami raib kembali, yang kurasakan pergi ke alam asalnya, yaitu alam barzah. Alam rahasia Allah yang tidak ada seorang manusia pun tahu di ana keberadaan alam itu.
Keajaiban, ya keajaiban yang Maha Besar diturunkan Allah untuk menghiburku malam itu. Kenyataan ini mungkin sangat sulit dipercaya, tapi sebagai pelaku, aku benar-benar mengalami hal itu dan aku bersumpah bahwa begitulah keadaannya.  Aku yakin betul bahwa karena keinginanku yang begitu besar bertemu arwah suami, maka Allah, dengan kekuasaan dan kekuatan-Nya, mencurahkan rahmat-Nya malam itu, paling tidak untuk menghibur hidupku yang sangat merana,  suatu ciptaan-Nya yang lain, yang begitu lemah di dunia ini. Seperti aku yang super lemah, di mana di malam selasa pon itu penuh kerinduan kepada suami yang sudah tiada. Karena kasih sayang-Nya, aku diberi Allah kesempatan bertemu, dengan diturunkannya empat manusia dari sinar bulan yang anggun yang  juga dalam kekuasaan-Nya. Puji Tuhan!
Hingga tahun 2011 ini, arwah suamiku itu tak pernah lagi muncul. Begitu juga dengan ke tiga anakku yang  meninggal di dalam kandungan itu. Mereka tak lagi muncul walau aku menunggu di beranda pada malam Selasa Pon di bulan purnama pada setiap bulan. Dalam mimpiku Mas Harjito datang. Dia muncul dengan busana serba putih dengan mata yang berbinar ceria. Dia katakan bahwa dia tidak akan muncul lagi untuk selamanya. Dia bersama tiga anak kami sudah tenang di alam barzah dan dia minta doaku. Doa yang terus menerus dan diharapkan jangan sampai putus sampai kapanpun. Karena doa yang tulus dariku itulah diharapkan agar dia senantiasa tenang di alamnya, di pangkuan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. “Bila kau merindukanku, kirimilah aku doa dan karena doa mu yang tulus dan penuh konsentrasi itulah maka kami akan bahagia. Dan saat doa tulus itu diluncurkan, saat itu pulalah aku melihat dirimu dan sebenarnya kita sedang dalam keadaan bertemu. Karena perbedaan dunia, maka kita tidak lagi dapat bersentuhan!” bisik Mas Harjito, dalam mimpiku itu.***
Loading