Malam selasa pon, awal Mei 2001 itu cukup cerah di kampung kami.
Tidak ada gerimis apalagi hujan sebagaimana beberapa hari belakangan
ini. Dari beranda depan rumahku, aku melihat pepohonan yang menghitam
karena kegelapan malam. Sementara itu bulan purnama ke 14 membiaskan
sinarnya ke persawahan dan bukit-bukit sebatas pemandanganku. Tepat
pulul 23.00 menjelang tengah malam, posisi bulan itu tepat di atas
rumah kami.
Kupandangi wajah bulan itu dengan hati yang sendu. Terlihat peta
warna keabu-abuan di dalamnya. Perasaanku sangat gamang dan gulana
menyaksikan betapa wingitnya bulan itu. Sebab dia hadir bagaikan tampah
berwarna kuning tua di tengah kesunyian malam. Tak ada seorang manusia
pun di desa kami malam itu, kecuali aku yang sedang menikmati tengah
malam buta. Ya, hanya aku yang belum tidur sedangkan warga kampung kami
yang lain, telah terlelap di peraduan masing-masing. Maklum semua petani
diguyur rasa lelah karena siang harinya semua sibuk memanen padi ribuan
hektar di Ketawang, Kutoarjo, Purworejo, Jawa Tengah, kampung kami yang
damai.
Malam itu mataku sulit dipejamkan. Walau pada siang harinya aku sangat
sibuk bekerja di Bank Pasar Pertiwi di Kutoarjo Kota, sekitar 14 kilo
dari tempat tinggalku di Ketawang. Mungkin karena otakku terusmenerus
memikirkan keadaan Mas Hartijo di alam kuburnya, maka mataku sangat
sulit dipejamkan. Untuk itulah aku keluar rumah dan duduk di beranda,
tempat di mana aku dan suamiku duduk-duduk ngobrol sebelum tidur. Kami
biasa ngopi di situ dan menyantap pisang goreng atau singkong rebus
hasil tanaman Mas Hartijo di tanah perkebunan di belakang rumah kami.
Hingga kini tanaman itu masih ada, bahkan buah pisang semakin banyak.
Sedangkan singkong, saya berikan pada Mbah Sukiyem, janda tua yang
rumahnya tak jauh dari rumahku, yang sangat membutuhkan hasil bumi itu
untuk sarapannya. Bahkan Mbah Sukiyem sekarang aku percayakan untuk
mengelola kebun itu karena fisiknya masih kuat walau umurnya sudah
delapan puluh tahun. Mbah Sukiyem meneruskan usaha Mas Hartijo karena
jujur saja aku tak kuat bercocok tanam. Selain sensitif terhadap sinar
matahari tapi juga walau usiaku cukup muda, tapi aku terkena penyakit
asam urat yang tinggi dan reumatik. Jangankan berjam-jam mencangkul,
lima menit saja menggarap tanah, kaki dan tanganku langsung keram.
Belakangan Mbah Sukiyem menjadi orangtua tempatku bercurhat. Bila aku
sangat merindukan Mas Hartijo, Mbah Sukiyem menyambut curhatku dan dia
melayani aku bercerita. Mbah Sukiyem memang salah seorang dari banyak
warga yang mengagumi sifat Mas Hartijo yang santun, ramah dan sangat
rendah hati. Lain dari itu,Mas Hartijo disenangi banyak orang karena
ringan tangan dalam membantu urusan orang lain. Jangankan kepada warga
yang terkena musibah atau kemalangan, kepada warga yang mau menikahkan
atau menghitan anakpun, Mas Hartijo sangat perhatian. Selain tenaga,
suamiku juga ringan mengeluarkan uang dari koceknya untuk membantu
pembiayaan. “Rasanya tidak ada lagi warga di daerah kita ini yang sebaik
Hartijo suamimu. Mungkin karena kebaikannya itulah maka dia sisayang
Gusti Allah hingga dia cepat diambil, karena Allah tidak mau Hartijo
menambah banyak dosa bila umurnya dipanjangkan. Kau sangat beruntung
mendapatkan suami sebaik Hartijo itu. Tapi sayang, hidupmu hanya
beberapa tahun saja bersama dia. Tapi Mbah yakin, hal itulah yang
terbaik bagi Gusti Allah, walau bagimu sementara ini dianggap tidak
baik!” desis Mbah, kepadaku, sambil memelintir sirih, tembakau dan kapur
di tangannya.
Bagiku kematian Mas Hartijo terlalu cepat. Terkadang ada perasaan ingin
protes kepada Gusti Allah, mengapa suamiku itu buru-buru diambil, hanya
delapan tahun, satu windu saja besamaku. Bahkan, yang kusesali juga,
mengapa Gusti Allah tidak memberikan anak kepada kami. Bila kami punya
anak, batinku, pastilah ada seseorang yang bisa menggantikan Mas
Hartijo, apalagi bila anak kami itu laki-laki. Pastilah anak kami itu
mukanya seperti Mas Hartijo, ganteng, jangkung, atletis dan wajahnya
mirip aktor Drg.Fadli, sebagaimana wajah Mas Hartijo yang selalu
diidentikkan dengan pemain film dan sinetron asal Kalimantan Timur itu.
Pikiranmu malam itu melayang jauh kepada Mas Hartijo. Aku mengenang
saat-saat kami jatuh cinta pada pandangan pertama kami. Kala itu aku
masih SMA Negeri Satu Kutoarjo kelas dua. Sedangkan Mas Hartijo pelajar
yang baru pindah ke sekolahan kami dari SMA di Surakarta, yaitu SMA
Muhammaddiyah Pecinan dan duduk di bangku kelas tiga. Karena otaknya
yang cerdas dan setiap test yang dilakukan lulus, maka Mas Hartijo
diterima di SMA Negeri walau tadinya dia dari SMA swasta yang lebih
rendah. Mas Hartijo diterima di kelas tiga dan dia menjadi kakak
kelasku. Pada saat aku pulang sekolah, aku naik sepeda melewati jalan
berbatu dan sepedakupun pecah di tenagh jalan yang buruk. Mas Hartijo
dengan tulus membantu meminjamkan pompa yang ada di sepedanya lalu dia
memompa ban belakang yang sepedaku yang pecah. Begitu dipompa, ban itu
ternyata rusak di bagian pentil. Karet pentil rusak parah dan untuk
mengganti karet itu tidak mudah karena jarak kejadian itu dengan bengkel
sangat jauh.
Tiba-tiba Mas Hartijo masuk ke dalam sawah dan mencari pacet, lintah
darat penghisap darah. Lintah itu didapatkannya dan disuruhnya memakan
betisnya yang berdaging tebal. Pacet itu tiba-tiba menjadi gemuk stelah
menghisap darah Mas Hartijo. Aku agak ngeri melihat pemandangan yang
agak unik itu. Pikirku, buat apa Mas Hartijo memelihara pacet itu hingga
menjadi gemuk karena menghisap darahnya. Aku memperhatikan ulah aneh
itu sebelum aku tahu apa yang akan diperbuatnya. Setelah gemuk, lintah
itu dicabut dari kakinya dan dipotongnya dari ujung ke ujung. Setelah
darah yang dimakan lintah itu muncrat, Mas Hartijo lalu memasukkan
pintah itu di pentil dan banpun dipompanya dengan sukses. Akhirnya ban
sepedaku kembali normal dan aku pun melanjutkan perjalan menuju pulang
ke Ketawang, kampung kami. Namun sebelumnya aku mengucapkan terima kasih
sebesar-besanya atas bantuan pelajar baru itu, bahkan sampai
mengorbvankan darahnya untuk membantuku.Mas Hartijo menerima ucapan
terima kasihku sambil tersenyum tulus, lalu dia dengan sepedanya menuju
timur sedangkan aku meneruskan perjalanan menuju selatan.
Pada malam hari setelah itu, bayanganku terus menerus tertuju kepada Mas
Hartijo yang baik. Aku ingat betul bagaimana perhatian dan ketulusan
hatinya dalam membantu sesama pelajar seperti kepadaku. Bahkan aku kagum
dengan otaknya yang cerdas, bagaimana dia menggunakan binatang seperti
lintah untuk menggantikan karet pentil sepeda yang rusak. Mas Hartijo
pastilah memiliki ilmu aplikasi alam yang sangat ampuh karena
pengalaman pribadinya sebagai anak kampung sawah di Masaran, 15
kilometer timur kota Solo. Atau, pikirku, Mas Hartijo juga punya
pengalaman dari melihat warga lain di lingkungan kampungnya. Dia tahu
menggunakan lintah sebagai pengganti karet pentil sepeda dan hal itu
umum dilakukan di Masaran.
Mas Hartijo pindah ke sekolah kami dari Solo karena kedua orangtuanya
meninggal. Karena tidak ada siapa-siapa di desanya, maka lalu diambil
oleh Pakdenya, Pak Musrid Hadi, pengusaha desa Grabag yang mempunyai
usaha pembuatan genteng dan batubata di daerah Kutoarjo. Pakde Musrid
Hadi lah yang mengambil alih orangtua Mas Harjito yang meninggal untuk
menanggulangi biaya sekolah anak pelajar cerdas itu supaya tetap bisa
menlanjutkan ke perguruan tinggi. Tapi sepulang sekolah, Mas Harjito
bisa membantu usaha Pakdenya seperti membakar lempung hingga menjadi
batubata dan genting. Pembakaran yang menggunakan kayu dan jerami itu
dilakukan Mas Harjito bersama puluhan pekerja lain yang tua-tua. Bahkan
hanya Mas Harjito sendiri yang berusia muda dan masih jadi pelajar
lagi. Sebenarnya Pakde Musrid Hadi tidak mau melibatkan Harjito sebagai
pekerja pembakaran. Tapi Mas Harjito punya kehendak membantu karena dia
sadar, bahwa Pakdenya terlalu baik dan dia mesti membalas jasa Pakdnya
itu dengan bekerja keras membantu perusahaan.
Pakde nya tentu saja senang melihat sikap manis Mas Harjito ini. Untuk
itulah Mas Harjito dibiayai hingga ke perguruan tinggi dan menjadi
sarjana. Karena kebiasaan bekerja keras sejak kecil inilah maka Mas
Harjito cepar meraih sukses di masa dewasanya. Saat dia bekerja sebagai
staf pabrik makanan kaleng di daerah kami, kariernya dengan cepat
menanjak hingga dipercaya menjadi manager produksi. Bahkan terakhir
suamiku itu menjai general manager di perusahaan joint verture antara
Indonesia dan Korea Selatan itu.
Mas Harjito melamarkan saat aku lulus kuliah. Orangtuaku langsung
menerimanya dan kami menikah dengan resepsi yang sangat meriah di kota
Kutoarjo. Mas Harjito memberikan surprise sebuah rumah yang sangat
nyaman beserta sawah dan kebun yang kami tempati saat ini. Kami hidup
berbahagia dan seakan setiap hari merasakan sebagai hari-hari berbulan
madu. Mas Harjito sangat berlaku lembut dan dia menghadapiku dengan
penuh kasih sayang. Namun satu hal yang akhirnya membuat kami gundah
gulana. Setelah beberapa tahun kami menikah, aku tidak bisa hamil-hamil
juga. Setelah diperiksa ke dokter ternyata rahimku baik dan kandunganku
terhitung subur. Dokter Gunawan Wibisono yang memeriksa secara intensif,
ternyata menemuka kelemahan Mas Harjito sebagai pria. Sperma suamiku
itu tidak subur dan kapasitornya sangat lemah sehingga sampai kapanpun
tak akan membuahiku.
Walau dinyatakan lemah, namun kami tidak pernah berputus asa. Kami
sepakat untuk berobat ke alternatif dengan energi nabati. Hasilnya aku
mengandung beberapa bulan. Namun sayang, janin di dalam rahimku tidak
kuat, akhirnya keguguran. Janin itu telah menjadi segumpal daging tanpa
roh. Dan anak kami itu kami makamkan secara layak di belakang rumah
kami. Seorang bayi laki-laki yang jelas terlihat dari bentuk fisiknya
yang menunjukkan anak malang itu sebagai laki-laki. “Kita berobat terus
dan aku tak akan berhenti berobat hingga kita mempunyai anak!” desis Mas
Harjito, beberapa hari setelah pemakaman janin kami itu. Benar saja,
ada aku ataupun tanpa aku, Mas Harjito terus berobat untuk memacu
kesuburannya hingga bisa membuahiku. Beberapa bulan kemudian, aku hamil
lagi. Namun sayang, janin itu meninggal pula di dalam perutku. Dokter
bilang bahwa janin itu tidak subur dan tidak kuat di dalam rahimku
karena suatu bibit yang tidak begitu baik. Akhirnya, sampai tiga kali
aku mengandung dan tiga kali pula keguguran. Tak ayal, makam anak kami
pun menjadi tiga pusara di belakang rumah kami. Bahkan tidak lama
setelah keguguran ke tiga, suamiku yang sangat aku cintai itu meninggal
dunia secara mendadak karena suatu penyakit yang mematikan. Duh Gusti!
Malam semakin larut dan mataku tidak mengantuk juga. Bayanganku tertuju
kepada Mas Harjito setelah berulang kali aku mengirimkan doa dan surat
Al Fatihah untuknya di alam barzah sana. Tepat pukul 02.00 aku melihat
sinar bulan memancarkan sentral sinarnya ke pohon angsana di depan
rumahku. “Oh Tuhan, sinar apakah itu? Kenapa sinar bulan itu terpusat ke
pohon angsana itu?” batinku. Aku terhenyak lalu berdiri keluar beranda.
Aku menyaksikan betapa indahnya sinar itu dan betapa anggunnya pohon
angsana yang diterpa sinar yang begitu terang benderang. Kucubit kulit
lenganku dengan keras dan aku mersakan sakit sekali akibat cubitan itu.
Dengan begitu berarti aku sedang menghadapi alam nyata, bukan sedang
dibuai mimpi. Yang lebih mengherankanku, tiba-tiba dari pohon itu
terlihat bayangan empat manusia yang terbang ke arahku. Duh Gusti,
mahluk apakah yang datang kepadaku ini? Tanyaku, dengan jantung yang
berdetak hebat.
Keajaiban dunia sedang terjadi dan benar-benar kuhadapi dinihari itu.
Empat manusia yang datang itu adalah seorang laki-laki dewasa dan tiga
laki-laki berusia bocah. Laki-laki dewasa itu ternyata Mas Harjito,
arwah suamiku yang kembali ke bumi di malam selasana pon, malam anggoro
kasih bagi masyarakat Jawa, malam kasih sayang serba berselimut cinta.
Sedangkan tiga bocah adalah anak kami yang meninggal dalam janinku. Mas
Harjito memelukku dan aku memeluknya. Setelah Mas Harjito menyebut
nama-nama anak kami itu, aku pun menggendong mereka satu persatu. Nama
anak kami pemberian Mas Harjito itu adalah Arjuna, Janoko dan Krisna
Murti. Sungguh sesuatu nama pria yang indah yang diambil suamiku dari
pewayangan. Kami melepaskan rindu dan aku bersyukur dapat bertemu arwah
suami dan arwah ke tiga anakku. Namun sayang, pertemuan itu hanya sampai
menjelang fajar. Begitu matahri mulai menyingsir di timur rumah kami,
Mas Harjito dan ke tiga anak kami raib kembali, yang kurasakan pergi ke
alam asalnya, yaitu alam barzah. Alam rahasia Allah yang tidak ada
seorang manusia pun tahu di ana keberadaan alam itu.
Keajaiban, ya keajaiban yang Maha Besar diturunkan Allah untuk
menghiburku malam itu. Kenyataan ini mungkin sangat sulit dipercaya,
tapi sebagai pelaku, aku benar-benar mengalami hal itu dan aku bersumpah
bahwa begitulah keadaannya. Aku yakin betul bahwa karena keinginanku
yang begitu besar bertemu arwah suami, maka Allah, dengan kekuasaan dan
kekuatan-Nya, mencurahkan rahmat-Nya malam itu, paling tidak untuk
menghibur hidupku yang sangat merana, suatu ciptaan-Nya yang lain, yang
begitu lemah di dunia ini. Seperti aku yang super lemah, di mana di
malam selasa pon itu penuh kerinduan kepada suami yang sudah tiada.
Karena kasih sayang-Nya, aku diberi Allah kesempatan bertemu, dengan
diturunkannya empat manusia dari sinar bulan yang anggun yang juga
dalam kekuasaan-Nya. Puji Tuhan!
Hingga tahun 2011 ini, arwah suamiku itu tak pernah lagi muncul. Begitu
juga dengan ke tiga anakku yang meninggal di dalam kandungan itu.
Mereka tak lagi muncul walau aku menunggu di beranda pada malam Selasa
Pon di bulan purnama pada setiap bulan. Dalam mimpiku Mas Harjito
datang. Dia muncul dengan busana serba putih dengan mata yang berbinar
ceria. Dia katakan bahwa dia tidak akan muncul lagi untuk selamanya. Dia
bersama tiga anak kami sudah tenang di alam barzah dan dia minta doaku.
Doa yang terus menerus dan diharapkan jangan sampai putus sampai
kapanpun. Karena doa yang tulus dariku itulah diharapkan agar dia
senantiasa tenang di alamnya, di pangkuan Tuhan Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang. “Bila kau merindukanku, kirimilah aku doa dan karena doa
mu yang tulus dan penuh konsentrasi itulah maka kami akan bahagia. Dan
saat doa tulus itu diluncurkan, saat itu pulalah aku melihat dirimu dan
sebenarnya kita sedang dalam keadaan bertemu. Karena perbedaan dunia,
maka kita tidak lagi dapat bersentuhan!” bisik Mas Harjito, dalam
mimpiku itu.***