Kisah mistis ini diceritakan secara
lengkap oleh Embong Slamet. Gara-gara ilmu trawangan senjatanya menjadi
loyo, akibat seringnya melihat wanita cantik berbugil ria....
Pada
mulanya aku hanya coba-coba. Aku sering membayangkan, betapa enaknya
bisa tembus pandang, meskipun dalam jarak jauh dengan radius ratusan
meter. Tentu saja bisa dibayangkan, betapa nikmatnya bisa melihat tubuh
wanita yang mulus di depan mata. Apalagi bila berdekatan dengan artis
top ibu kota, bisa kelihatan luar dalamnya. Belum lagi orang-orang yang
sedang mandi di kamar-kamar hotel. Tentu sebuah pemandangan yang
benar-benar langka dan tak bisa dibayangkan. Bisa dikata, itu adalah
sebuah perjalanan surgawi tersendiri yang tiada bandingnya.
Dari
banyak keinginan yang aneh-aneh itulah akhirnya aku berani menanyakannya
pada Mbah Warso. Sebab di kampungku, hanya dialah yang dikenal memiliki
ilmu langka tersebut. Meski usianya masih muda, namun orang-orang
kampungku sudah memanggilnya dengan sebutan Mbah, sebab ilmunya dikenal
sebagai ilmu tua. Selain itu penampilannya juga seperti seorang Mbah.
Memelihara jenggot dan kumis panjangnya, plus rambut panjang dikuncir ke
belakang. Gaya ngomongnya pun tak ubahnya seperti seorang Mbah, pelan
dan sangat hati-hati.
Karena dikenal
memiliki ilmu trawangan, Mbah Warso semakin dijauhi wanita. Kabar yang
beredar, mereka tidak berani datang ke tempat Mbah Warso karena malu
tubuhnya bisa dilihat secara jelas, meski mengenakan pakaian lengkap
sekalipun. Padahal sebenarnya banyak wanita yang menaruh hati padanya.
Namun karena perasaan malu lebih besar, mereka suka menjauhi. Oleh
karena itulah Mbah Warso tetap membujang meski usianya sudah menginjak
kepala empat.
Nasib baik rupanya berpihak kepadaku.
Beberapa
orang yang meminta diajari ilmu tersebut tak pernah diberi. Meski
dengan berbagai dalih dan sedikit ngeyel, namun Mbah Warso lebih memilih
diam. Bahkan bila dipaksa sekalipun, dia akan lebih memilih ribut
daripada harus mengajarkan ilmunya pada orang yang tidak dikehendaki.
Seakan ada tanda tersendiri pada calon murid yang bisa diajarkan ilmu
tersebut.
Tapi lain halnya dengan aku. Ketika aku minta diajari, dia
langsung legowo (menerima-Red). Bahkan langsung menanyakan kesiapanku
untuk mempelajarinya. Jawaban itulah yang sempat membuatku setengah tak
percaya. Kok begitu mudah bagiku? Padahal yang lain sulitnya setengah
mati. Bahkan sampai mati sekalipun, belum bisa mendapatkannya. Kata
orang, garis tanganku menakdirkan akulah salah seorang yang akan mampu
menerima ilmu trawangan tersebut. Syukurlah kalau memang begitu. Ini
memang rejekiku, pikirku saat itu.
Dalam waktu tidak begitu lama aku
sudah berhasil menguasainya. Ternyata ritualnya tidak sesulit yang aku
bayangkan sebelumnya. Hanya dengan berpuasa patigeni beberapa hari saja,
plus lelaku yang tak seberapa berat, keinginanku sudah tercapai. Dalam
hitungan jari tangan, aku sudah bisa menerawang ke beberapa tempat,
meski terhalang tembok tebal. Benar-benar gila! Betapa mulusnya tubuh,
Dian, Sari, Hilda dan Siska. Padahal sejak dulu aku mau mengintip waktu
mandi saja susah minta ampun. Takut kepergok orang kampung.
Sejak
mulai menguasai ilmu trawangan, aku memilih hobi baru. Setiap hari
selalu kusempatkan diri untuk menjajal ilmuku. Hampir seluruh wanita di
kampungku, semuanya sudah pernah kulihat tubuhnya, meski dengan
kelebihan ilmu yang diberi¬kan kepadaku. Bahkan isteri kepala desaku
yang bekas foto model, sudah puas aku memandanginya.
Tak puas hanya
dengan memandangi seluruh gadis-gadis, ibu dan janda di kampungku jadi
sasaran. Akhirnya, aku mengembangkan ‘bakat alamku’ ke kota. Setiap
memasuki terminal bus, aku selalu menyempatkan untuk merapal ilmuku
lebih dulu. Jadinya, mereka yang ada di sekitar tempat itu seperti tak
mengenakan pakaian sedikit pun. Luar biasa! Enak benar. Terasa seperti
hidup di alam lain saja.
Tidak hanya tubuh wanita yang mulus saja
yang bisa kulihat, tapi juga orang-orang yang sedang melakukan hubungan
intim di kamarnya. Lewat ilmu trawangan, aku bisa melihatnya dengan
jelas setiap gerakan mereka. Beberapa temanku yang sempat kuceritakan
detik demi detik permainan seorang tetangga hanya bisa ngiler
mendengarnya.
“Ayo dong, ajari aku!” itulah ujungnya setiap aku menceritakan sesuatu pada mereka.
Akibat
ilmu tersebut, aku tak suka lagi nonton vcd porno. Bagiku, melihat
langsung akan lebih bagus ketimbang hanya melihat di layar televisi.
Lagian, dengan ilmu warisan leluhur itu aku tak usah mengeluarkan biaya
sedikitpun. Hanya dengan modal konsentrasi dan sedikit waktu untuk
merapal mantra, aku sudah bisa menikmatinya dengan leluasa. Aku
benar-benar leluasa untuk bisa melihat apapun yang berada di balik
pakaian seseorang. Termasuk untuk mengukur besar, kecil, kencang dan
kendur milik seseorang. Aku hapal benar “barang-barang” mereka.
Namun
ada satu dampak yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Padahal dampak
itu amat fatal bagiku. Mbah Warso juga tak pernah memberitahu aku
sebelumnya. Ternyata, sejak aku menguasai ilmu pemberian Mbah Warso,
senjataku tak pernah lagi berdiri tegak. Padahal secara nyata, pancingan
yang diberikan mataku sudah benar-benar maksimal. Apapun yang
kuinginkan, aku bisa melihatnya dengan jelas. Tapi anehnya, meski kedua
mataku bisa melihat segala sesuatu dengan leluasa, namun aku tak pernah
bernafsu. Semuanya terasa biasa. Tak ada yang istimewa dan perlu
dihayati.
Yang juga amat kusesali, ternyata aku sudah terlambat
mengetahuinya. Ketika aku sudah puas dengan melihat segala macam wanita
yang kuinginkan, dan aku mulai ingin menikah dan hidup normal. Saat
itulah aku baru tahu, ternyata senjataku tak berfungsi lagi. Beberapa
kali aku mencoba untuk mereparasi ke beberapa tukang obat kuat, namun
belum juga membuahkan hasil yang maksimal. Bahkan saking gusarnya sempat
aku datangi kios pengobatan India khusus lemah syahwat, namun belum
juga berhasil. Padahal saat itu, si pengobatnya wanita India yang
benar-benar cantik plus bahenol. Berpakaian minim lagi. Sebagai seorang
lelaki normal, melihat saja (tanpa menyentuh), bisa membuat lelaki yang
lemah syahwat langsung bergairah. Jantan kembali. Tapi aku benar-benar
lain. Disentuh beberapa kali pun tak juga mau bergerak.
Aku mulai
panik. Kudatangi Mbah Warso, lalu kusampaikan keluhanku kepadanya.
Pikirku, hanya dialah yang tahu penawarnya karena dia juga yang
memberikan ilmu itu padaku. Namun apa yang terjadi kemudian, sungguh di
luar dugaanku. Orang itu malah tertawa terbahak-bahak.
“Bukan cuma kamu yang merasakan hal itu, aku sendiri juga sangat menyesal,” jawabnya dengan enteng.
Saat itu darah mudaku langsung naik ke ubun-ubun. Tanpa terkendali, kupegang krah bajunya lalu kuangkat.
“Dasar
guru bajingan!” bentakku, diiringi bogem mentah yang langsung mendarat
di bibirnya. Lelaki itu terjerembab ke tanah sambil meratap minta ampun.
Tetapi
secara diam-diam, aku merasa kasihan juga kepadanya. Tak kuat dengan
batinku yang semakin memberontak, kutinggalkan Mbah Warso sendirian. Tak
lupa aku memohon maaf atas kekasaranku. Namun tetap dengan jawaban
semula, ia mengaku belum tahu penangkalnya. Ia sendiri sebenarnya juga
kepingin bisa memiliki senjata normal layaknya seorang lelaki biasa.
Setiap
menjelang tidur aku selalu merenungi dosa-dosa yang telah kuperbuat.
Bukankah mengamalkan ilmu semacam itu dilarang Tuhan karena bisa
mempermalukan orang? Kenapa aku melakukannya? Bukan salah Mbah Warso
kalau aku sekarang dihukum. Toh, kesalahan sudah aku lakukan dalam
beberapa lama. Beruntung aku masih diberi kesempatan untuk bertobat.
Jika tidak, maka aku akan menyesali lebih lama lagi nantinya.
Setelah
merenung untuk beberapa lama, aku mulai menemukan jalan keluarnya. Aku
semakin senang dengan puasa Senin-Kamis, lalu membaca syahadat sebanyak
41 kali setiap usai sahalat Maghrib. Sementara mantra ilmu trawangan
kusingkirkan jauh-jauh. Tak pernah lagi kuamalkan. Bahkan kulupakan
sebisa mungkin. Beberapa pantangannya malah sengaja kulanggar.
Rupanya
usahaku tak sia-sia. Beberapa kali aku merasakan aliran hangat merambat
dari pusarku menuju alat vitalku. Saat itu pula aku merasa optimis
untuk bisa hidup normal seperti dulu lagi. Namun semuanya tetap
kuserahkan kepada-Mu, Tuhanku yang Maha Pengampun.