Kisah mistis ini diadaptasi dari sebuah
kejadian nyata yang berlangsung di daerah pinggiran Sukabumi. Bercerita
tentang seorang wanita kemaruk harta yang bersekutu dengan Siluman Buaya
Putih....
Hanya karena kecewa usaha butiknya tak maju dan
tak berkembang, Setiowati nekad ingin melakukan pesugihan. Dia bernafsu
melakukan ini agar usahanya maju kembali dan ingin cepat-cepat kaya.
Ringkasan
cerita, setelah bertanya ke beberapa dukun aliran sesat, Setiowati
akhirnya menjatuhkan pilihan dengan memuju Raja Siluman Buaya Putih.
"Berjalanlah
menyusuri aliran Sungai Ciliwung. Ketika kau temukan sebuah pohon
beringin besar, maka berhentilah di sana. Lakukanlah semua petunjuk yang
telah aku berikan padamu!" kata sang dukun, memberi petunjuk mistis.
Ya,
pada hari yang ditentukan, wanita yang penuh dengan ambisi duniawi ini
akhirnya berjalan menyusuri bantaran Sungai Ciliwung di wilayah Bogor.
Dia ingin secepatnya menemukan tempat yang tepat, dimana Raja Siluman
Buaya Putih itu bercokol, dengan ciri seperti yang dijelaskan oleh dukun
yang memberinya petunjuk, dan telah dia bayar dengan jumlah uang yang
sangat besar. Karena itu, dia bertekad untuk tidak akan gagal.
Setelah
seharian mencari, akhirnya dia menemukan juga. Tempat itu begitu sepi
dan berada di pinggiran sungai yang banyak ditumbuhi pohon besar.
Barangkali, tak banyak orang yang pernah menjamah wilayah ini. Di sana
juga terdapat sebuah pohon beringin yang usianya diperkirakan sudah
sangat tua. Setiowati merasa yakin, tempat inilah yang dimaksud oleh si
dukun.
Setelah malam tiba, Setiowati langsung duduk bersimpuh di sisi
pohon beringin tua yang berada di pinggiran sungai. Angin semilir yang
menerpa rambutnya tak lagi dihiraukan. Begitu juga cahaya rembulan yang
temaram tak dihiruakannya, meski sepertinya penuh dengan misteri. Dia
coba berkonsentrasi. Namun, pikirannya kacau balau, sehingga terus
mengembara memikirkan usahanya yang telah kandas.
Ya, usaha butik
peninggalan almarhum suaminya itu kini telah bangkrut. Padahal
dulu
semasa suaminya masih hidup usaha ini cukup berkembang. Namun semenjak
suaminya meninggal, sedikit demi sedikit usahnya itu mengalami
kehancuran.
"Ah...aku tak boleh terus
larut dalam kesedihanku. Aku ingin bangkit kembali, walau ini jalan
sesat yang harus kutempuh!" batin Setiowati.
Dengan tangan gemetar,
wanita yang terbiasa hidup dalam gelimang harta ini mulai membakar
kemenyan di atas pedupaan yang telah dipersiapkannya. Bau tajam kemenyan
menebar ke sekeliling, menerobos kimbunan pepohonan. Hembusan angin
seakan membuat bulu kuduk merinding. Namun, Setiowati telah bertekad
bulat dengan ambisinya. Karena itu, dengan sekuat hati dia berusaha
menghilangkan perasaan takutnya.
Hatinya telah mantap untuk memanggil
Raja Siluman Buaya Putih. Sesuai dengan petunjuk sang dukun, dengan
perlahan bajunya dilepas satu persatu sambil mulutnya terus merapal
sebuah mantera. Tak lama kemudian, da pun telanjang bulat. Sambil terus
merapal mantera, tubuhnya yang tampak berkilat diterpa cahaya bulan yang
tengah purnah, bergerak mengitari pedupaan.
Setelah tujuh kali
putaran, tanpa peduli pada udara dingin dan rasa takut sedikitpun, dia
pun menceburkan dirinya ke sungai. Mulai kaki, perut, dada sampai ujung
rambutnya dia tenggelamkan ke dalam air sungai yang tenang itu.
Persis
seperti yang dikatakan sang dukun kepadanya. Beberapa menit kemudian
keanehan memang terjadi. Tiba-tiba dari kedalaman air sungai, sebuah
suara terdengar memanggil-manggil namanya.
"Setiowati...Setiowati! Aku telah menerima kehadiranmu!" demikian kata suara itu.
Aneh,
setelah suara itu sayup-sayup menghilang dari pendengaran Setiowati,
lalu muncullah seorang pria tampan dengan pakaian kebesarannya. Di atas
kepalanya terdapat mahkota bertatahkan intan berkilauan. Ah, penampilan
si pria misterius ini sungguh sangat mempesona. Dia tak hanya tampan,
tapi juga sangat gagah. Jauh dengan figur suami Setiowati yang kurus
kerempeng akibat hampir sepanjang hidupnya digerogoti penyakit TBC.
"Ada keperluaan apa, kamu memanggilku?" tanya pria tampan itu dengan suara berwibawa.
Agak tergagap Setiowati menjawab, "Saya ingin kaya, dan usaha butik saya ingin kembali maju!"
"Baiklah...saya akan mengabulkan permintaanmu, namun dengan satu syarat. Apakah kau sanggup?"
"Syarat apakah gerangan itu?" tanya Setiowato, takjim.
"Setiap malam Jum'at kamu harus bertemu denganku dan mau melayaniku. Karena itu, kau harus menyediakan kamar khusus untukku."
"Baiklah, aku menyanggupi syarat itu!"
"Ingat, jika kamu ingkar janji, maka harta dan jiwamu jadi taruhannya. Apa kamu sanggup menaati permintaanku ini?"
"Saya sanggup menaatinya!"
"Baiklah, kalau begitu kau sekarang ikut aku!"
Singkat
cerita, Setiowati dibawa masuk ke alam gaib yang terdapat di dalam
aliran Sungai Ciliwung. Sepanjang perjalanan menuju istana Siluman Buaya
Putih, Setiowati banyak melihat hal-hal aneh yang membuat dirinya
kagum sekaligus takjub. Misalnya saja, dia melihat bangunan yang indah
dan megah disertai para penjaga kerajaan yang gagah. Sesekali pula
Setiowati memandangi para penjaga itu. Aneh, mereka sama sekali tidak
mempunyai bibir bagian atas. Antara hidung dan bibir bawahnya langsung
bertemu. Begitu pula dengan jari tangan dan jari kaki mereka tersambung.
Ya, sungguh tak ubahnya bagaikan jari buaya.
Setelah sampai di suatu
tempat yang indah, Setiowati dipersilahkan duduk di sebuah bangku yang
bertahtakan bulu-bulu yang sangat indah. Sesaat lamanya, dia termenung
mengagumi keindahan tempat itu.
Tanpa diketahui dan disadarinya,
tiba-tiba di hadapan Setiowati telah berdiri sesosok lelaki dengan
pakaian kebesaran sebperti layaknya seorang raja. Lelaki itu begitu
tampan, tubuhnya atletis, tegap dan gagah. Kulitnya yang kuning langsat
menambah penampilannya yang gagah itu sehingga terlihat semakin menawan.
Lelaki
gagah itu segera menyalami Setiowati. Meski sedikit gugup, disambutnya
uluran tangan itu sambil harap-harap cemas. Aneh, tangan itu begitu
dingin, persis tangan mayat.
Namun keheranan Setiowati segera sirna
saat aroma bunga melati menerpa hidugnnya. Bagaikan terangsang oleh
wewangian aroma therapi, gairah birahinya mendadak begitu memuncak,
terlebih di saat lelaki tampan itu menebar senyumnya. Ya, gejolak
nafsunya yang selama ini terpendam sejak kepergian sang suami,
meledak-ledak begitu lelaki tampan itu menyentuh bagian terlarang
miliknya yang sangat pribadi.
Tak lama kemudian, mereka telah
terlibat dalam sebuah adegan yang begitu menggairahkan. Tangan lelaki
itu kian nakal dan berani memegang benda sensitifnya. Gairah asmara
Setiowati yang tak pernah kesampaian kini ditumpahkan kepada lelaki
tersebut, meski dia sebenarnya tak pernah tahu jatidiri pria itu yang
sebenarnya.
Dengan mata terpejam dia menikmati permainan binal
tersebut. Di tengah pergumulan, tanpa sengaja tiba-tiba kaki Setiowati
terasa menyentuh sesuatu yang aneh. Sesuatu itu terasa sangat kasar
mirip sebuah gergaji. Setiowati segera membuka matanya dan menatap ke
arah benda tersebut. Betapa kagetnya Setiowati, ternyata benda itu
adalah ekor buaya. Yang lebih membuat dia histeris, ternyata dia kini
tak lagi bergemul dengan seorang pria tampan tapi dengan seekor buaya
putih yang sangat besar.
Dengan rasa takut, dia coba meronta,
melepaskan diri dari tindihan makhluk siluman itu. Namun siluman itu
berteriak dengan nada marah, "Awas, kamu jangan mengingkari kesepakatan
yang telah kita buat. Apa kamu ingin tetap hidup dalam kemiskinan?"
Mendengar
kata "kemiskinan" hati Setiowati kembali terenyuh. Ya, sungguh dia tak
ingin kembali hidup dalam kemiskinan, sebab itu semua sungguh sangat
meyakinkan. "Biarlah tubuhku dinikmati siluman buaya, yang penting aku
bisa kaya raya," batinnya.
Sekuat hati dia coba untuk tabah. Walau
terasa menyakitkan, dia biarkan sesuatu mengoyak miliknya yang paling
pribadi itu. Tak ada kenikmatan yang dirasakannya. Yang dia peroleh
hanya kegetiran. Namun hal ini seakan tak berarti manakala terbayang di
dalam perlupuk matanya limpahan harta yang akan dia peroleh.
Usai
melayani nafsu Siluman Buaya Putih yang sangat bergairah, Setiowati
merasakan sangat lelah yang luar biasa, hingga tanpa terasa dia tertidur
dengan pulas. Aneh, begitu terbangun dia mendapati tubuhnya yang
telanjang bulat telah berada di pinggir sungai. Ya, di dekat pohon
beringin keramat itu.
Sotiowati merasakan ketakutan yang teramat
sangat. Namun, perasaan ini segera sirna manaka di sekitar tubuhnya dia
mendaparkan intan, berlian, serta perhiasan mewah lainnya yang nampak
berserakan. Betapa senangnya hati Setiowati, dan dia tersenyum penuh
kemenangan.
"Selamat tinggal kemiskinan!" bisik batinnya. Dan, dia segera merapikan dirinya untuk pergi meninggalkan tempat keramat itu.
***
Beberapa
hari setelah kejadian itu, Setiowati langsung membuka kembali usaha
butiknya. Dan, dalam waktu yang tak begitu lama usahanya yang nyaris
bangkrut kembali berkembang dengan pesat. Apa yang dikerjakannya selalu
lancar, kekayaannya pun bertambah dan berlimpah ruah.
Kurang dari
setahun, toko tempat usahanya diperluas, rumahnya pun dipugar dan
ditingkat. Perabotan rumah tangganya seluruhnya diganti dengan yang
mahal-mahal. Belum lagi mobil sedan yang kini telah terparkir di
garasinya.
Namun, dibalik itu semuanya sifat dan tabiatnya mulai
berubah. Dulu dia dikenal ramah dan murah senyum dengan para tetangga.
Namun kini setelah dia kaya raya, tak ada lagi senyuman di bibirnya. Dia
pun mulai pelit terhadap orang yang meminta sumbangan kepadanya.
Walau
kekayaan telah diraihnya, dan usaha butiknya telah tumbuh dengan pesat,
namun di dalam hatinya yang sangat dalam mulai muncul resah dan
gelisah. Karena itu wajahnya yang cantik sering terlihat kusut. Bahkan,
wajah itu kuan kusam tak beraura karena setiap malam Jum'at dia harus
melayani nafsu buas Siluman Buaya Putih.
Ya, bila malam keramat itu
tiba, maka sejak malam hari hingga menjelang subuh, dia harus rela
tubuhnya dinikmati oleh Siluman Buaya Putih yang memberikan kekayaan
terhadapnya. Terkadang dia menangis dan menahan rasa jijik jika tengah
bergumul dengan siluman itu. Tak hanya wujudnya yang menjijikan, tapi
nafsu seks makhluk itu juga sama menjijikannya. Dia begitu buas, hingga
dalam sekali pertemuan bisa minta dilayani beberapa kali.
Tak hanya
itu yang membuat Setiowati kian sirna gairah hidupnya. Yang lebih
membuatnya tertekan ialah dia tak boleh menikah dengan pria lain. Kalau
ini dilanggar, maka nyawalah yang jadi taruhannya.
Yang namanya
penyesalan, memang selalu terjadi di belakang hari. Begitu pula dengan
Setiowati. Dia merasa menyesal sebab telah bersekutu dengan Siluman
Buaya Putih. Dia baru menyadari kalau ternyata kekayaan yang dimilikinya
tetap tak membuatnya baghagia, malah membuatnya tambah menderita. Kini,
terbesit di dalam hatinya untuk lari dari perjanjian gaib dengan
siluman itu.
Pada suatu malam, dia berkemas seadanya. Tujuannya
adalah ingin pulang ke kampung halamannya di daerah Sukabumi. Namun,
belum lagi dia sempat membuka pintu, Siluman Buaya Putih itu telah
muncul di hadapannya. Wajah makhluk itu kelihatan sangat marah, seakan
hendak menelan bulat-bulat tubuh Setiowati.
"Setiowati...mau kemana kau. Kau hendak ingkar janji kepadaku hah...?!" bentaknya.
"Siluman
Buaya Putih, aku ingin bertobat dan lepas dari cengkeraman buasmu.
Biarkan aku pergi tanpa sepeser pun harta pemberianmu!"
"Tidak bisa.
Enak saja kau meninggalkanku setelah kau menikmati harta pemberianku.
Kau harus tetap bersamaku dan menemaniku di neraka nanti!"
Merasa tak
mampu melepaskan diri dari cengkeraman iblis itu, Setiowati berusaha
berteriak sekencang-kencangnya untuk meminta pertolongan. Siluman Buaya
Putih kian murka. Dengan kekuatan gaibnya dia membakar rumah megah milik
setiowati beserta isinya.
Sementar itu, para tetangga yang mendengar teriakan Setiowati berusaha memadamkan kobaran api. Sebagian lagi mencari Setiowati.
Beberapa
jam kemudian kebakaran dapat diatasti, dan Setiowati dapat ditemukan
warga dalam keadaan selamat. Namun, walau Setiowati telah ditolong
warga, dia tetap saja berteriak ketakutan. Wajahnya memendam rasa takut
dan kengerian luar biasa. Warga yang merasa kasihan membawanya ke rumah
sakit, namun tetap saja tak ada perubahan. Dia selalu kalap seperti
orang gila.
Sampai saat ini Setiowati sering berteriak sendirian
seperti orang gila, dan memang kini dia telah gila. Di tengah jalan, di
tengah kerumunan orang banyak, maupun di tengah pasar, dia selalu
berteriak ketakutan. Namun, kadangkala dia menangis sesenggukan. Ya, dia
gila akibat perjanjiannya dengan Siluman Buaya Putih.
Semoga cerita
ini bisa diambil hikmahnya. Walau bagaimanapun bersekutu dengan setan,
apapun jenisnya, tetap tak membawa keuntungan. Malah kerugian yang kita
dapati. Dan yang pasti nerakalah tempatnya.