Selama seminggu dia tak sadarkan diri
setelah tubuhnya ditemukan di atas kuburan. Pengalaman bertemu hantu itu
membuatnya kembali ke jalan Allah....
Banyak orang yang
tidak percaya adanya makhluk halus seperti Genderuwo, Kuntilanak, Jin
dan sejenisnya. Tapi banyak pula orang yang percaya dan yakin bahwa
mereka itu ada. Dan salah satu orang yang percaya adanya makhluk halus
itu adalah aku (Penulis)).
Dulunya, aku tidak percaya sama sekali
tentang kisah-kisah berbau hantu. Namun hal itu berubah setelah aku
sendiri mengalami sebuah peristiwa yang sangat menyeramkan, sekaligus
mengerikan. Pengalaman ini pula yang sekaligus memberiku hidayah untuk
kembali menjalankan segala perintah Allah SWT. Ya, sejak peristiwa ini
aku kembali rajin menjalankan sholat baik wajib maupun sunnat, padahal
sebelumnya aku termasuk pemuda yang berandalan. Karena pengalaman ini
pula setiap malam aku kian rajin membaca Al Qur'an.
Kisah mistisku
ini terjadi di bulan Mei tiga tahun silam. Tepatnya malam Minggu Kliwon,
tanggal 23 Mei 2004 yang lalu. Dan sampai sekarang kejadian ini masih
membekas jelas di ingatanku. Mungkin ini akan menjadi sebuah pengalaman
mistis yang menakutkan sepanjang hidupku.
Sebagai pemuda yang masih
lajang, setiap malam Minggu, aku paling suka menonton hiburan dangdutan,
yang ditanggap orang yang sedang mengadakan pesta hajatan. Baik itu di
kampungku ataupun di kampung-kampung tetangga. Selain sekedar mencari
hiburan, siapa tahu ada gadis yang mau denganku untuk kujadikan pacar.
Biasanya kami selalu pergi berombongan dengan mengendarai sepeda motor.
Ceritanya,
malam itu terpaksa aku pulang sendirian dari menonton acara dangdutan
di kampung seberang. Jarak kampungku dengan kampung seberang kurang
lebih 2 Km. Jalan penghubung satu-satunya dari kampungku ke kampung
seberang harus melalui perkebunan karet.
Entah mengapa kampung itu
disebut kampung seberang. Menurut orang-orang tua, di kampungku karena
letaknya di seberang sungailah, maka disebut kampung seberang.
Semua
teman-temanku malam itu sudah pulang duluan. Sebenarnya salahku sendiri,
karena sebelumnya kami sudah sekapat, jam setengah dua belas malam
harus sudah berkumpul di satu tempat yang sudah disepakati untuk pulang
bersama-sama. Karena keasyikan menonton acara dangdutan, hingga aku lupa
pada kesepakatan itu. Mungkin, karena ditunggu-tunggu sampai pukul dua
belas aku belum muncul juga, akhirnya teman-temanku memutuskan untuk
pulang saja. Semua teman-temanku mengira, aku sudah pulang duluan.
Sialnya, malam itu aku tidak membawa kendaraan sendiri. Sewaktu pergi tadi, aku dibonceng sepeda motor temanku.
Dengan
perasaan jengkel, kuputuskan pulang sendirian saja dengan berjalan
kaki. Apalagi jarak kampungku tidak begitu jauh. Perasaan takut tak jadi
masalah bagiku. Dari kecil aku tak pernah kenal dengan yang namanya
takut. Apalagi dengan hantu, aku sama sekali tidak mempercayainya.
Suara
jangkrik mengiringi langkahku menyusuri jalanan yang sunyi. Sesekali
suara burung hantu terdengar di kejauhan. Pohon-pohon karet berdiri
membisu berjajar di kiri-kanan jalan. Untung saat itu bulan sedang
purnama, hingga keadaan jalan tidak begitu gelap.
Untuk mengusir
kesunyian, sengaja aku bersiul-siul menyanyikan lagu kegemeranku.
Anehnya, begitu sampai di tengah-tengah perkebunan karet, entah mengapa
tiba-tiba saja badanku merinding. Kulihat jam di tanganku menunjukkan
pukull satu malam.
Tiba-tiba sebatang cabang kayu yang cukup besar jatuh tepat di depanku. Suaranya mengejutkanku hingga jantungku hampir copot.
"Satu langkah lagi, habislah aku," batinku.
Karena
menghalangi jalan, kucoba untuk menyingkirkan cabang kayu itu
kesamping. Belum lagi cabang kayu itu berhasil kusingkirkan, tiba-tiba
terdengar suara tawa cekikikan. Nyaring sekali. Hati kecilku berkata,
"jangan-jangan ini Kuntilanak!"
Kuperhatikan sekelilingku tetapi
tidak ada apa-apa. Kembali suara tawa cekikikan itu terdengar.
Kuperhatikan kembali sekelilingku. Tapi tetap tidak ada apa-apa. Hanya
pepohonan karet yang berdiri mematung tertimpa cahaya bulan.
Lagi-lagi
suara tawa cekikikan itu terdengar. Kali ini malah lebih keras dan
berulang-ulang. "Benar ini pasti Kuntilanak!" kataku dalam hati.
Karena
suara tawa itu terus saja terdengar, bukanya takut malah timbul rasa
jengkelku. Dengan penuh emosi, aku berteriak menantang.
"Heiii...Kuntilanak!
Jangan ganggu aku. Kalau berani jangan sembunyi-sembunyi, tunjukkan
wujudmu. Kau pikir aku takut, dasar setan. Keluar kau!"
Begitu aku
selesai berteriak, suara tawa itu pun berhenti. Karena dari kecil aku
dikenal sebagai anak yang pemberani menghadapi keadaan seperti ini,
tidak ada setitik pun rasa takut di benaku. Malah timbul rasa
penasaranku. Seperti apa sih Kuntilanak itu. Kutunggu beberapa saat,
tapi suara tawa itu tidak terdengar lagi.
Dengan perasaan jengkel
kembali aku bermaksud melangkahkan kakiku. Tapi belum sempat kakiku
melangkah, tiba-tiba bahuku ada yang menepuk dari belakang, diiringi
sapaan suara perempuan. "Baaang!"
Dengan terkejut, buru-buru kuputar badanku menghadap kebelakang.
Seorang
perempuan dengan wajah tertunduk berdiri tepat di belakangku. Entah
darimana datangnya. Buru-buru aku mundur beberapa langkah ke belakang,
sambil terus memperhatikan perempuan itu. Kulihat baju putih panjangnya
menutupi kaki dan tangannya.
Dan tiba-tiba saja tercium bau bunga
kantil. Belum sempat aku bertanya pada perempuan itu, tiba-tiba dengan
berlahan-lahan perempuan itu menengadahkan mukanya. Di keremangan malam,
kulihat wajah perempuan itu pucat sekali. Kedua matanya bolong. Dan
dari kedua lubang matanya, memancar sinar merah. Rambutnya acak-acakan.
Spontan
rasa takut menyergapku. Baru kali ini aku merasakan ketakutan.
Jantungku berdebar kencang manakala secara tiba-tiba perempuan itu
tertawa cekikikan sambil memperlihatkan taringnya. Lalu kedua tangannya
diacungkan padaku, seolah ingin mencekikku. Kembali aku dibuat terkejut.
Ternyata jari-jari tangannya tinggal tulang semua.
"Kun...Kun...Kuntilanak!!" teriakku dengan tergagap. Tanpa pikir panjang lagi kuambil langkah seribu.
Melihat
aku lari, Kuntilanak itupun ikut berlari mengejarku. Sekilas dapat
kulihat tubuhnya melayang-layang terbang, dengan suara cekikikannya yang
mengerikan.
Dengan sekuat tenaga kupercepat lariku. Tapi Kuntilanak
itu terus saja mengejarku dengan disertai suara tawanya yang menakutkan.
Sementara rasa takut yang kurasakan, semakin menjadi-jadi. Baru kali
ini aku merasakan takut yang teramat sangat.
Di saat genting itu,
tiba-tiba ada cahaya lampu dari depanku. Begitu ada cahaya lampu, suara
tawa Kuntilanak itupun hilang. Dengan terengah-engah kuhentikan lariku.
Kulihat ke belakang ternyata benar Kuntilanak itu sudah menghilang.
Mungkin karena takut dengan cahaya lampu itu, pikirku.
Sambil
mengatur nafas, kutunggu cahaya lampu yang kukira lampu sepeda motor itu
mendekat. Kupikir mungkin salah seorang temanku yang ingin menjemputku.
Tapi semakin dekat cahaya lampu itu ke arahku, ternyata bukan suara
sepeda motor yang terdengar. Justru bau kemenyan dan bunga kantil yang
menusuk hidung. Kembali rasa takut mulai menjalariku.
Begitu cahaya
lampu itu tiba di depanku, aku pun nyaris pingsan dibuatnya. Astaga!
Ternyata cahaya itu adalah rombongan hantu pengusung keranda mayat.
Mereka berjalan tanpa menginjak tanah. Badanku seolah tidak berdarah
lagi. Jantungku berdegup kencang.
Keberanian yang dulu
kubangga-banggakan hilang sudah. Dengan amat jelas kulihat satu orang
tanpa kepala dengan leher berlumuran darah, membawa lampu berupa bulatan
cahaya yang sangat terang.
Empat orang pengusung keranda mayat,
mukanya hancur semua. Dengan badan dipenuhi bercak-bercak darah di
sana-sini. Sementara orang-orang yang mengiringi di belakang, tubuhnya
juga tidak ada yang utuh.
Mataku melotot tidak bisa dikedipkan. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat mengerikan sekali.
Tiba-tiba,
rombongan pengusung keranda mayat itu berhenti saat lewat di depanku.
Lalu secara serentak makhluk-makhluk mengerikan itu memalingkan wajahnya
dan menatap ke arahku.
Rasa takut yang kurasakan semakin
menjadi-jadi. Nafasku memburu karena menahan takut. Wajah-wajah makhluk
itu sangat mengerikan. Mereka menatapku dengan tajam. Lalu salah seorang
datang mendekatiku. Wajah berlumuran darah mengerikan. Salah satu
matanya menggantung keluar hampir copot. Isi perutnya terburai keluar.
Dengan jalannya yang seperti robot, makhluk itu mendekatiku.
Ingin
rasanya aku lari, tapi kedua kakiku tidak dapat digerakkan. Lalu dengan
cepat tangan makhluk itu mencengkeram bahuku. Kucoba meronta melepaskan
cengkeramannya. Tapi tidak berhasil. Tenaga makhluk itu sangat kuat
sekali. Tubuhku diangkatnya dengan mudah. Lalu dengan cepat tubuhku
dilemparkan kearah keranda mayat.
Tubuhku melayang menuju keranda.
Dengan tiba-tiba pula, penutup keranda itu terbuka sendiri. Lalu dengan
telak tubuhku jatuh ke dalam keranda itu. Dengan cepat penutup keranda
itupun menutup kembali.
Aku sudah di dalam keranda, meronta-ronta
kesana kemari. Dengan sekuat tenaga kucoba membuka penutup keranda itu.
Tapi sungguh sangat sulit.
Aku coba berteriak meminta pertolongan.
Tapi tak ada satu katapun yang bisa keluar dari mulutku. Bagai tikus
terkena perangkap, aku terus saja meronta-ronta kesana-kemari. Sambil
terus berusaha membuka penutup keranda, tapi usahaku sia-sia.
Lalu
dengan bersamaan, makhluk-makhluk itu tertawa mengerikan. Kemudian
mereka mulai lagi berjalan dengan membawaku, yang terus meronta-ronta.
Karena dicekam rasa takut yang teramat sangat, ditambah tenagaku yang
semakin lemah, akhirnya aku pun jatuh pingsan. Setelah itu aku tak ingat
apa-apa lagi.
***
Sayup-sayup kudengar suara orang membaca
ayat-ayat suci Al-Qur'an. Sesekali diiringi suara orang
memanggil-manggil namaku. Dengan berlahan-lahan kucoba membuka mataku.
Kulihat disamping kananku ada Pak Haji Ismail yang tengah khusuk membaca
Al-Qur'an. Sementara di samping kiriku, kulihat Ibuku yang tengah
memandangiku dengan kedua matanya yang sembab, menandakan kalau Ibuku
habis menangis.
Begitu melihat aku membuka mata, langsung Ibuku memelukku dan menciumi pipiku sambil terus menangis.
"Alhamdulillah Ya Allah, kau sudah sadarkan diri, Anakku. Terima kasih ya Allah," ratap Ibuku berkali-kali.
Ayahku
yang duduk di samping Ibuku, segera menenangkan Ibuku yang terus
menangis memelukku. Sementara aku hanya diam. Aku bingung, apa
sebenarnya yang telah terjadi denganku.
Pak Haji Ismail yang sedari
tadi duduk di sampingku membaca Kalam Illahi, dengan senyumnya yang
teduh menyuruhku meminum segelas air putih yang sudah disediakan.
"Sudah satu minggu kamu pingsan, Mat! Kamu ditemukan tergeletak pingsan di tengah kuburan." kata Pak Haji menjelaskan.
Mendengar
kata kuburan, aku teringat kembali pada kejadian yang menimpaku. Dengan
perasaan yang masih diliputi rasa takut, kuceritakan semua kejadian
yang kualami dari awal sampai akhir. Semua orang yang hadir di ruangan
itu bergidik ngeri mendengarkan ceritaku.
Sejak kejadian itu hingga
sekarang, aku kian rajin mendekatkan diri pada Allah SWT. Kukerjakan
lagi sholat, setelah sekian lama kutinggalkan. Kubuka lagi kitab suci
Al-Qur'an, setelah sekian lama tidak pernah kubaca. Walaupun kejadian
itu masih membuatku trauma pada kesunyian, namun aku kian menyadari
bahwa memang ada dimensi kehidupan lain yang diciptakan Allah SWT di
samping kehidupan manusia yang nyata ini.
Semoga pembaca semua dapat mengambil hikmah dari peristiwa yang kualami ini.