Tiba-tiba sebuah sinar biru melesat
dari dasar liang. Kulihat jelas seperti mata harimau, berputar-putar dan
beberapa kali menyerangku.....
Kuburan itu tidak terkesan
angker atau menyeramkan. Lokasinya berada di luar areal TPU seluas
lebih kurang dua hektar, di atas bukit Cikundul, Cikalong Wetan,
Cianjur, Jawa Barat. Namun, dalam situasi hujan badai di tengah malam,
kondisinya menjadi sangat berbeda sekali dibanding siang hari ketika
kami melakukan riset untk sebuah hasrat.
Dahan kamboja putih yang
meliuk ke kanan dan ke kiri mengiktui irama angin diantara petir yang
terus meyambar, seolah berubah laksana tangan-tangan hantu gentayangan.
Menggapai-gapai seperti hendak mencekik. Tapi sesekali dahan yang
terlihat selintas dalam kilatan petir itu seperti menggapai minta
pertolongan. Tak ubahnya arwah manusia yang minta disempurnakan,
sehingga mendapat tempat layak di alam kelanggengan.
"Gimana kang, bisa dimulai?" Giman minta pendapat kang Narma.
"Sebentar,
saya mau cek sekali lagi," jawab Narma. Kemudian ia memejamkan mata,
mengangkat kedua tangannya sebagaimana layaknya berdoa.
Mulutnya
komat-kamit merapal mantera-mantera yang sudah disiapkan sebelum
melakukan perburuan edan ini. Kenapa kusebut perburuan edan? Karena
malam ini kami akan membongkar kuburan seseorang. Aku tidak tahu jenazah
siapa yang ditanam di situ. Aku pun tidak tahu apakah mayat tersebut
masih utuh terbungkus kain kafan atau sudah menjadi tengkorak. Begitu
pula apa yang akan terjadi selanjutnya, apakah mayat itu akan diam saja
seperti gedebong pisang, atau melakukan perlawanan karena tempat
tinggalnya telah kami bongkar tanpa santun. Bagiku ketika itu, apa yang
akan terjadi, terjadilah. Yang penting misi ini harus sukses! Begitu
target kami bertiga.
Atas perintah Narma, penggalian pun dimulai.
Giman mengayun cangkul, sementara Narma menyambutnya dengan sekop. Aku
berdiri pada posisi yang lebih tinggi. Ini sengaja kulakukan demikian
atas kesepakatan kami bertiga agar aku dapat melihat lebih leluasa bila
ada sesuatu hal yang tidak kami kehendaki, entah dari manusia maupun
dari makhluk gaib sebangsa jin, setan dan genderuwo. Sebab,
bukan
mustahil pekerjaan kami sudah sejak tadi diawasi oleh puluhan pasang
mata.
Satu jam berselang, penggalian dihentikan sementara. Juga atas
perintah Narma. Aku melihat liang itu telah menganga lebar, sesosok
tubuh putih terbaring di dasar sana, basah disiram hujan. Spontan,
kewaspadaanku makin kutingkatkan, karena aku yakin akan terjadi sesuatu.
Dulu,
sewaktu aku masih di Pondok Pesantren, Kyai Hasbullah pernah berpesan
wanti-wanti. "Untuk tujuan apa pun, jangan sekali-kali berbuat nekad
dengan gegabah membongkar kuburan seseorang kalau kamu tidak siap
bertarung melawan arwah yang bangkit dari liang kubur itu. Kecuali
apabila kamu sudah betul-betul menguasai ilmunya. Ingat itu baik-baik,
Yu." Begitu peringatan Kyai yang masih terngiang di telingaku.
Pesan
itu ternyata menjadi kenyataan. Mayat itu benar-benar bangkit dari tidur
panjanganya. Ia berdiri dengan sikap menantang, lalu berkata dengan
suara lantang. Suara perempuan tua. "Kenapa kalian berani membongkar
rumah saya dan mengganggu tidur saya, ha! Apa yang kalian cari di sini?
Ini rumahku. Sudah puluhan tahun aku disini. Jadi, Jangan coba-coba
mengusikku, apalagi berani mengusirku dari rumahku sendiri. Kalian
dengar itu?!"
Narma dan Giman serentak mundur beberapa langkah,
bersiaga penuh. Aku malah maju mendekati mereka dengan sebatang bambu
kuning runcing. Ujung linggis Narma siap diarahkan ke jantung si mayat.
Cangkul Giman siap diayunkan ke lehernya. Sedangkan aku akan menikamkan
bambu ini ke bokongnya.
"Kalau tidak mau diganggu, sebaiknya lekas
pergi dari sini!" Bentak Narma. "Kami tidak akan mengganggu kalau kamu
sendiri tidak mengganggu. Makanya pergilah secepatnya dari sini!"
Si mayat tertawa mengikik, mirip ringkikkan kuda jantan mau kawan. "Kalau aku tidak mau pergi?"
"Aku akan paksa!"
"Kalau saya melawan?"
"Akan saya buat kamu lebih sengsara dan menderita. Mana yang kamu pilih?"
Si
mayat meringkik lagi. Kali ini lebih panjang, lebih melengking, lebih
mendirikan bulu tengkuk, meski sekujur tubuh kami sudah kuyup. Aku mulai
menggigil. Tapi kutahan. Pertarungan baru akan dimulai. Atau,
sebaliknya.......?
Si mayat ternyata memilih kabur setelah sebelumnya
berteriak-teriak kepanasan dan minta diampuni. Aku maklum, dia pasti
tak kuat menahan ' serangan' Narma. Narma bukan sembarangan orang, sudah
terlalu biasa baginya kalau hanya menghadapi jin dan sebangsanya. Dia
sendiri bahkan pernah dikubur selama dua tahun, dan terbukti masih hidup
seperti manusia normal lainnya.
Namun begitu, bukan berarti
perburuan telah selesai. Karena si mayat hidup tadi memang bukan sasaran
target kami malam ini. Yang kami cari justru bungkusan besar yang
dijadikan alas tidur si mayat. Kalau bukan disebabkan isi bungkusan
tersebut manalah mungkin kami bertiga nekad melakukan perburuan edan
seperti ini. Selain telah lancang memasuki wilayah orang lain tanpa
prosedur, juga telah menghabiskan dana jutaan rupiah serta proses waktu
yang panjang.
Isi bungkusan tersebut, menurut Haji Topik sebulan
lalu, adalah uang sebesar 10 milyar rupiah. Bayangkan, 10 milyar rupiah!
Siapa orang yang tidak merasa tergiur? Siapa pula yang tidak gelap
mata. Apalagi tanpa harus merampok, menganiaya dan membunuh seseorang.
Maka kukira, wajar-wajar saja dalam menghadapi situasi krisis seperti
sekarang, jangankan yang halal, yang haram saja sudah bukan kepalang.
Cerita
tentang uang tersebut memang panjang sekali dan berliku. Tapi intinya
antara lain, bahwa uang tersebut merupakan hasil kerja bareng Haji Topik
bersama sejumlah orang pintar. Bahan baku yang digunakan pada awal
pekerjaan mereka adalah PL sejumlah Rp 10 juta. PL adalah istilah lain
untuk menyebut uang kertas ratusan merah bergambar perahu layar, yang
diproduksi Peruri pada tahun 1992.
Melalui suatu upacara ritual
lengkap dengan sarana yang diperlukan, dan dengan menggunakan ilmu
tertentu yang hanya dimiliki oleh orang-orang terntentu pula, selama 41
malam berzikir, PL itu pun berubah wujud menjadi lembaran ratusan ribu
rupiah. Aneh memang. Media apa yang mereka gunakan ketika itu? Tetapi
demikian realitanya.
Masih menurut Haji Topik, mereka menggunakan
bantuan Batara Karang (sejenis jenglot, tapi lebih mumpuni) dengan
menjanjikan akan memehuni apa saja yang diminta si Batara Karang.
"Tetapi, begitu kita ambil selembar, kemudian dibelikan rokok, kopi,
gula dan sejumlah makanan kecil, ternyata bau bangkai. Rokok yang kita
hisap bau bangkai, kopi yang kita minum bau bangkai, dan makanan pun
demikian. Kita sendiri bingung waktu itu, karena bisa begini. Apa yang
salah, apa yang kurang?" Ujar Haji Topik menjelaskan keanehan yang
terjadi. Dan hingga disitu semua buntu, tak seorangpun dari kelompok
mereka yang berhasil memecahkan masalah tersebut. Mereka hanya saling
bertanya keheranan.
Semakin hari bau busuk itu terus menyengat. Satu
dua tetangga Haji Asep, salah seorang rekan terdekat Haji Topik, mulai
mengendus adanya bau busuk tadi. Haji Asep cemas karenanya. Bahkan
setelah semakin santer, ia didatangi seorang reserse yang menanyakan
asal muasal datangnya bau busuk itu. Tapi ia berhasil dinetralisir
secara santun, toh hasilnya tetap sama. Ia paling takut berurusan dengan
polisi. Kemudian atas kesepakatan bersama, Haji Asep kebagian tugas
untuk mengamankan uang tersebut. Haji Asep lantas memilih bukit Cikundul
sebagai satu-satunya tempat paling aman untuk menyimpan uang tersebut.
Dan
aku adalah orang pertama yang dimintai bantuan oleh Haji Topik untuk
menyempurnakan uang tersebut. Dengan cara gaib, tentunya. Maka beberapa
hari setelah kupelajari secara detil, aku pun segera menyampaikan hal
tersebut kepada orang tuaku di Majalengka. Pak Nurdin Ramanda, namanya.
Hasilnya?
Ternyata tak semudah yang kubayangkan. Sewaktu Narma dan Giman
mencongkel dan bermaksud mengangkat bungkusan itu, tiba-tiba ada sebuah
sinar biru melesat dari dasar liang. Bungkusan terlepas. Keduanya
tersandar pada dinding liang. Aku berusaha menghindar sebisaku ketika
sinar tadi menyerang ke arahku. Kulihat jelas seperti mata harimau,
berputar-putar dan beberapa kali menyerangku.
Tak lama kemudian sinar
itu menyerang Narma. Narma berkelit, terjatuh. Sebelum mampu berdiri
tegak, Giman sudah diserang terlebih dahulu sehingga ia terpelanting ke
belakang. Bokongnya disambut pohon perdu berduri. Ia terluka, berdarah,
meringis kesakitan. Namun tak lama kemudian bangkit lagi sambil memasang
kuda-kuda yang lebih kukuh.
"Awas, ini batara karang. Berbahaya.
Hati-hati!" Teriak Narma dalam guyuran hujan yang bertambah deras. Saat
itu kuperhatikan sekitar pukul satu lewat. Saat itulah kupingku
menangkap sebuah suara lembut tapi jelas. "Sebaiknya kalian bertiga
mundur saja. Resikonya sangat besar. BK (batara karang) itu tidak akan
membiarkan siapa pun mengambil dan mempergunakan uang tersebut sebelum
yang bersangkutan dalam urusan ini menepati janjinya. Kalau kalian
memaksa juga, tumbalnya adalah nyawa. Bukan cuma nyawa kalian saja,
melainkan nyawa anak istri dan keluarga serta siap saja yang menikmati
uang itu."
"Terima kasih Eyang. Tapi ini siapa?" Tanyaku memberanikan
diri. Padahal sekujur tubuhku kian menggigil antara kedinginan dan
ketakutan.
"Aku adalah saudara kembarmu. Assalamulaikum......."
"Wa'alaikum salam...." jawabku.
Aku
menoleh sekeliling. Astaga, dari areal TPU kulihat bayangan putih
bermunculan dari liang kubur masing-masing. Kian lama kian bertambah
jumlahnya. Menurut perhitunganku, sekuat apa pun tenaga kami bertiga
melakukan perlawanan, kekalahan akan berpihak pada kami. Maka aku segera
memberi isyarat kepada Narma dan Giman agar selekasnya menghentikan
perburan, kemudian mengambil langkah penyelamatan.
Terseok-seok kami
bertiga menuruni bukit sambil tetap menghindari serangan si BK. Aku dan
Narma selamat. Tapi Giman terpelanting ke sungai sementara si BK terus
memburu. Untunglah Narma bertindak cepat. Giman berhasil diselamatkan.
Kami terus berlari menuju kendaraan yang sengaja kusembunyikan dibalik
rumpun bambu. Namun apa yang kulihat betul-betul tak masuk akal. Espass
itu sudah dalam keadaan terbalik. Siapa lagi pelakunya kalau bukan si
BK, pikirku. Setelah berhasil mengatasi kendala tersebut, meski dengan
susah payah, kami memutuskan untuk menghentikan perburuan. Kami
menyerah, tapi bukan berarti kami kalah. Perburuan masih belum selesai.
Suatu saat nanti kami pasti akan kembali lagi ke bukit Gundul untuk
mengambil uang tersebut. Merebut kembali dari tangan si BK. Tentu saja
dengan satu catatan, apabila Haji Topik bersama rekannya sudah menepati
apa yang pernah mereka janjikan kepada si BK terkutuk itu.
Itulah
kisah mistis yang kualami, kurasakan dan kunikmati suka dukanya
bertarung melawan BK, pada Desember 2003 lalu. Di Cikundul, yang bernama
asli Raden Aria Wiratanu Datar. Dimana nama ini sampai sekarang
diabadikan sebagai nama salah satu jalan utama di kawasan Cianjur.
Kalau
bukan lantaran uang 10 milyar, sumpah mampus aku tak sudi membongkar
kuburan seseorang. Seumur hidupku, baru sekali itu aku edan-edanan.
Apakah aku memang sudah edan? Tergantung bagaimana cara pembaca
menyikapinya. Yang jelas dan pasti, aku tak akan pernah lagi mencetak
angka 2. Mudah-mudahan sampai aku kembali ke pangkaun Sang Pencipta,
Yang Maha Mengetahui atas segala perbuatan makhluknya.