Astaga, aku memekik terkejut. Dalam lumpur itu ditemukan sebuah paku berkarat, trisula kecil dan empat buah jarum....
Setelah
malang melintang mencari kerja, akhirnya nasib membawaku ke Perhutani.
Di Perhutani aku bekerja sebagai pengawas, jadi kerjaku sering kali
terjun ke lapangan. Lapangan yang dimaksud tentu bukan seperti lapangan
pekerja lain, hampir setiap hari aku berada di pos hutan. Bekerja di
hutan selain sering dihinggapi jenuh, bahaya juga kerap mengancam. Para
pencuri kayu sering nekad bila dihalangi. Meski telah dibekali sedikit
ilmu beladiri, rasa was-was tak bisa dihindari.
Hingga pada suatu
hari ada kejadian yang sungguh membuatku amat menyesal. Siang itu ketika
di hutan, aku memergoki seorang pencuri kayu. Karena ia hanya sendiri
dan cukup tua pula, maka aku dan temanku tak takut sedikit pun
meringkusnya. Aku ambil kayu dan sepedanya yang telah berkarat di sana
sini. Bahkan aku sempat memakinya pula.
Tak pernah kusangka kejadian
itu merupakan awal malapetaka yang menimpa istriku. Entah kenapa istriku
yang menjadi korban ilmu hitam itu. Ada dugaan santet yang dikirim
orang itu salah sasaran. Namun melihat penderitaan istriku tak urung
kabut kesedihan selalu menyelimutiku.
Tepatnya pada pertengahan 2002,
istriku merasakan gatal-gatal di seluruh tubuhnya. Terkadang disertai
panas yang sangat hingga ia sering menjerit dan meraung-raung kesakitan.
Aku langsung membawa istriku ke rumah sakit, ia pun menjalani rawat
inap atau opname. Berhari-hari dokter dan perawat memberi perawatan pada
istriku hingga hampir sebulan tak ada tanda-tanda membaik pada
penyakitnya. Justru penyakitnya semakin parah saja.
Suatu sore
seorang dokter menemuiku, ia berkata bahwa wajah istriku sering
berubah-ubah. Kadang terlihat seperti harimau, atau kadang sama sekali
bukan seperti wajah dirinya. Dokter itu pun mencoba menyimpulkan bahwa
sepertinya medis tidak akan sanggup menanganinya. Hanya mencoba ke orang
pintar mungkin satu-satunya yang harus di tempuh. Demikian ungkap sang
dokter.
Esok harinya aku pun membawa pulang istriku, penyakitnya
memang tidak wajar. Setelah itu aku mencoba mencari tahu di mana saja
ada orang pintar. Atas saran seorang sahabatku, aku meluncur ke desa
Puger. Karena
katanya di sana ada orang pintar yang telah berpengalaman
dalam menangani ilmu klenik.
Setiba di Puger, istriku segera
diteropong secara gaib. Orang pintar itu seperti mendeteksi misteri apa
yang ada dibalik penyakit istriku. Tak lama ia pun memberi kesimpulan.
Secara pasti ia memaparkan bahwa istriku memang sedang di guna-guna.
Sayangnya orang Puger itu hanya bisa mendeteksi. Penyembuhan yang coba
ia berikan sama sekali tidak berpengaruh, istriku tetap menderita.
Bahkan kini kulit-kulit istriku seperti mengelupas. Persis seperti ular
yang sedang ganti kulit. Rambutnya banyak yang rontok sehingga istriku
pun botak.
Lalu aku membawa istriku ke orang pintar di Banyuwangi.
Namun tetap saja tidak ada hasil. Lalu aku bawa lagi ke Bondowoso,
Probolinggo, dan entah berapa tempat lagi. Menurut orang pintar yang
pernah aku temui, santet yang menyerang istriku terlalu tangguh. Hingga
akhirnya istriku di bawa ke Wonosobo. Di sana istriku segera diteropong
secara gaib dan seperti kesimpulan orang pintar lain, ia terkena
guna-guna. Lebih jauh orang pintar itu mengatakan bahwa yang menyerang
istriku adalah ilmu Santet Sanca Geni. Selain gatal santet ini akan
menimbulkan panas yang terus menyiksa.
Orang Wonosobo yang melarang
untuk disebutkan namanya itu kemudian mengambil sehelai tissue. Dengan
mulut komat-kamit ia meletakkan tissue aneh, tissue yang dipegangnya
tiba-tiba penuh lumpur. Dan di dalam lumpur itu ia kemudian memunguti
benda-benda kecil. Astaga, aku memekik terkejut. Dalam lumpur itu
ditemukan sebuah paku berkarat, sebuah trisula kecil dan empat buah
jarum.
Kemudian aku diberi saran untuk sementara tidak menggunakan
sumur di rumahku. Karena menurutnya ada sesuatu yang tidak beres di
sumur itu. Sebelum pulang aku mencoba bertanya siapa sebenarnya yang
telah berlaku kejam pada istriku. Dengan ilmu kedigjayaannya aku
diijinkan melihat telapak tangan orang itu. Samar namun jelas kulihat
wajah orang yang mengirim sanca geni itu.
Sesampainya di rumah, sumur
itu berbau sangat busuk. Rupanya ini yang dimaksud orang Wonosobo itu.
Bila teringat orang dalam telapak tangan itu, amarahku selalu meluap.
Pernah aku ingin mencoba mencari keberadaan orang itu untuk aku bunuh.
Namun istriku yang tabah selalu melarangku. Dan lagi mungkin cobaan ini
adalah ujian bagi kami.
Begitulah santet jahat yang telah mewarnai
keluargaku. Kini istriku telah pulih seperti sedia kala. Sejak itu kami
semakin rajin mengingat Allah. Baik dengan sholat wajib, shalat sunnah
atau ibadah lain. Dan aku kini mendapat jabatan yang lumayan lebih baik,
yaitu menjadi sopir. Syukurlah karena resiko bahaya seperti di hutan
tidak ada lagi.