Sebuah kisah mistis
yang fenomenal yang dialami oleh seorang anggota kepolisian yang kini
telah pensiun. Suatu ketika dia didatangi sesosok arwah yang melaporkan
kasus pembunuhan yang menimpanya....
Aku sedang bertugas
malam ketika hujan turun dengan lebatnya. Di luar Pos Resort Kepolisian
tempatku bekerja malam itu, keadaan gelap gulita. Udara pun terasa
sangat dingin.
Untuk sekedar membuang kantuk, sudah bergelas-gelas
kopi pahit kuteguk. Sementara itu, Kopral Harun, rekan anggota yang juga
bertugas piket dengannku belum juga muncul. Padahal dia tadi meminta
izin hanya sebentar ke luar, dengan alasan hendak membeli rokok dan
makanan ringan.
Ketika aku tengah mengenakan jaket untuk sekedar
menghangatkan tubuh, tiba-tiba pintu depan diketuk seseorang. Dengan
sigap aku berteriak mempersilakan tamu itu masuk. Sejurus kemudian,
seorang tua dengan wajah basah terkena air hujan, muncul di hadapanku.
Dia berdiri beberapa langka di depan mejaku. Dia memperknelakan namanya,
dan mengaku hendak melaporkan terjadinya suatu pembunuhan.
"Apa? Pembunuhan?" tanyaku kepada Sarman, nama lelaki tersebut.
"Ya!" sahut bapak tua itu singkat.
"Apakah Bapak menyaksikannya sendiri?" selidikku.
Sarman
menganggukan kepalanya. Lalu dia menceritakan bahwa seorang pelayan
yang telah belasan tahun bekerja pada seorang pengusaha kaya, telah
dibunuh oleh si penguasaha itu sendiri di bungalow miliknya, tanpa
seorang pun yang mengetahuinya. Dan mayat korbannya telah dikuburkan
secara rahasia di salah satu sudut pekarangan bungalow itu. Setelah
dikuburkan, kemudian di atas kuburan yang tanpa batu nisan itu ditanamai
pohon rambutan cangkokan.
"Bagaimana mungkin Bapak tahu persis semua detil persoalan itu?" tanyaku.
"Sebab saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri, Pak!" ujarnya.
"Kapan?" desakku.
"Kira-kira satu jam yang lalu," jelasnya.
Ah,
ini benar-benar gila! Batinku. Bagaimana mungkin Pak Tua ini bisa
mengetahi sedemikian detil sebuah kasus pembunuhan? Atau mungkin, dia
hanya bicara ngawur?
"Baiklah, Pak Sarman," ujarku kemudian. "Laporan
Bapak sudah saya terima. Dan sudah saya catat seperlunya. Kami akan
melakukan penyelidikan dengan seksama."
Ketika Sarman bangkit dan keluar meninggalkan mejaku, muncul Kopral Harun.
"Ada orang yang memberikan pengaduan, rupanya?" tanya Harun ketika dilihatnya aku sedang membaca catatan.
"Ya," sahutku tanpa menoleh. "Apakah kau tidak bertemu dengan orang itu?"
"Di mana?" tanya Harun sambil celingukan.
"Dia baru saja keluar," sahutku.
Harun menggeleng.
"Jadi, kau tidak berpapasan dengannya?" tegasku.
"Tidak!" sahut Harun sambil memandangku dengan penuh keheranan.
"Kusangka
dia akan berpapasan denganmu tadi, karena baru beberapa langkah dia
meninggalkan mejaku, lalu kau muncul. Bagaimana mungkin kau tidak
bertemu dengannya. Bukankah hanya ada satu pintu keluar di kantor kita
yang kecil ini?" kataku.
"Aku tidak bohong. Aku memang tidak melihat
siapapun ke luar dari sini," sahut Harun. "Kalau memang ada orang,
tentunya dia bertemu denganku," balas Harun
Aku mengangkat wajah dan
memandang Kopral Harun. Lalu aku menarik napas panjang. Tak terasa bulu
kudukku berdiri meremang. Dan aku mulai berpikir sesuatu yang sama
sekali jauh dari jangkauan akal sehat.
"Barangkali, dia lebih cepat
menghindar, karena takut ketahuan orang. Kau pun tahu, rata-rata pelapor
kasus pembunuhan merasa takut diketahui oleh orang lain," ujarku
kemudian sambil coba menenangkan perasaan.
Kopral Harun duduk di kursi di depan mejaku, tempat di mana Sarman tadi duduk memberikan laporannya.
"Ya,
suatu laporan pembunuhan," kataku lagi. "Orang yang memberikan laporan
itu, menyaksikan sendiri pembunuhan tersebut," tambahku
Kopral Harun
mengangkat telepon. Tanpa kuminta, dia menghubungi pos jaga dan
menanyakan, apakah tadi ada seseorang yang telah meninggalkan pekarangan
kantor kepolisian.
"Tidak ada, Kopral," sahut Prajurit Tarigan yang dihubungi.
"Tidak ada?" tanya Kopral Harun lagi penasaran.
"Hujan lebat sekali, siapa yang datang kalau bukan Kopral sendiri tadi?"
Mendengar
percakapan tersebut, aku terlonjak dari dudukku. Bulu kudukku semakin
berdiri tegak, jantungku berdegup kencang. Kudekati Kopral Harun.
"Aneh
sekali kalau begitu," desisku. "Aku yakin ada seorang yang datang
melapor tadi. Dan aku telah mencatat laporannya. Tapi bagaimana mungkin
petugas jaga sampai tidak menyaksikan ada orang masuk dan keluar
barusan?" aku menggelengkan kepala. Wajahku pasti keliahatan sangat
tegang.
"Mungkin hantu!" seloroh Kopral Harun. "Atau, Sersan mungkin sedang menghayal?"
Aku
menarik napas panjang. "Tidak mungkin hantu, atau aku sedang melamun,
Harun," kataku memastikan. "Jelas sekali orang tua itu datang kehujanan.
Dia basah kuyup dan wajahnya basah oleh air hujan. Malah kuperhatikan,
wajahnya pucat pasi. Mungkin dia ketakutan sekali, karena telah
menyaksiakn pembunuhan itu."
Kopral Harus tidak menanggapi apa yang kukatakan itu. Dia kemudian duduk di kursi, menghadap meja tulisnya sendiri.
Hingga
beberapa lama aku pun hanya ikut terdiam. Dan entah mengapa, tiba-tiba
perutku terasa agak sakit, ingin buang air besar. Kukatakan pada Harun,
bahwa aku akan ke kamar mandi.
Belum beberapa lama aku berada di
kamar mandi, tiba-tiba aku mendengar ketukan pintu. Suara Harun yang
keras bagai berteriak, memanggilku.
"Sersan, orang tua yang bernama Sarman itu datang," katanya.
"Mau apa lagi dia?" tanyaku dari dalam.
"Dia
mendesak agar segera dilakukan pemeriksaan terhadap laporan pembunuhan
yang dilaporkannya pada Sersan tadi," jawab Harun dari luar pintu kamar
mandi.
"Ya, terima sajalah laporannya!" sahutku.
Dan kemudian
Kopral Harun pergi. Tak lama, aku juga selesai buang hajat dan keluar
dari kamar mandi. Kutemui Harun di kamar kerja kami. Aneh, wajah Harun
tampak sangat pucat.
"Ada apa?" tanyaku.
"Aneh sekali!" kata
Harun. "Ketika aku kembali, sesudah melaporkan bahwa Pak Sarman datang
kepada Sersan, lelaki tua itu sudah tidak ada lagi."
"Lantas, apa saja yang dikatakannya padamu?" tanyaku lagi.
"Dia
mendesak, agar segera dilakukan pemeriksaan. Katanya, orang yang
melakukan pembunuhan itu esok siang akan terbang ke Singapura!" jawab
Kopral Harun.
Aku terdiam, tak tahu apa yang harus diperbuat. "Jadi dia datang lagi, bukan?" ujarku kemudian bagai berkata pada diri sendiri.
"Begitulah
kenyataannya," kata Harun. "Dan aku sudah mengecek pada Tarigan, yang
bertugas jaga di pintu gerbang kantor. Katanya, lagi-lagi, tidak ada
seorang pun yang masuk. Malah tidak ada seorangpun yang melintas rumah
jaga yang dikawalnya. Aneh, bukan? Besar kemungkinan, hantu atau arwah
yang menjelma, yang melaporkan kejadian pembunuhan itu."
"Entahlah," sahutku dengan bulu kuduk berdiri meremang.
"Lantas, apa tindakan kita?"
"Besok kita laporkan pada komandan."
Namun,
Kopral Harun ternyata tidak menyetujui keputusanku. Dia mendesak agar
malam itu juga kami melakukan pemeriksaan. Akupun menyetujui usulan ini.
Akhirnya,
tanpa perduli pada hujan yang masih turun sedemikian deras, bersama
satu regu anggota, kami segera meluncur ke lokasi yang ditunjukkan
Sarman, sesuai laporannya.
Aneh, ternyata apa yang dikatakan Sarman
memang benar. Di salah satu sudut bungalow yang ditunjukkan Sarman, di
bawah pohon rambutan, kami menemukan sesosok mayat yang masih baru.
Mayat Sarman! Berdasarkan temuan itu, kami segera menyergap Hendarto,
pelakunya.
Dalam pemeriksaan, Hendarto mengakui, memang dialah yang
membunuh Sarman. Dan pembunuhan itu dilakukan ketika hujan sedang
lebat-lebatnya. Dia melakukan perbuatan keji itu karena Sarman terlalu
banyak tahu dengan urusannya. Dan Hendarto pun mengakui, setelah
dilakukan penggeledahan dan ditemukan bubuk-bubuk heroin, bahwa dia
selama ini melakukan perdagangan barang haram tersebut.
Karena tidak
ingin rahasianya bocor, akhirnya dia membunuh Sarman. Sarman sendiri
adalah pelayan pribadi di rumahnya. Dia mengajak Sarman ke bungalow, dan
kemudian memukul kepalanya dengan benda keras.
"Aneh sekali!" bisik
batinku. "Roh dari orang yang barus saja mati, datang sendiri memberikan
laporan tentang pembunuhan atas dirinya."
Kini, kisah mistis yang
cukup misterius itu sudah lama berlalu, dan aku sendiri sudah pensiun.
Namun kedatangan Sarman dengan wajah pucat pasinya saat melaporkan
pembunuhan atas dirinya itu, tidak pernah hilang dari pikiranku.
Terserah Anda untuk percaya atau tidak terhadap kisah mistis yang
kualami ini.