Bagaimana penis
bisa disandera? Bukankah onderdil ini selalu melekat di tempatnya. Kalau
disandera, berarti harus dilepas. Bagaimana mungkin bisa terjadi? Kisah
mistis ini pernah menimpa seorang pria di Kalimantan. Pelaku peristiwa
menuturkannya....
Saya adalah seorang sopir. Penghasilan
saya sewaktu bekerja di Jawa kurang memuaskan. Walau saya masih
bujangan, kebutuhan hidup saya cukup besar. Apalagi saya masih mempunyai
tanggungan empat orang adik yang harus saya biayai sekolahnya.
Ayah
sudah meninggal, sedangkan ibu hanyalah seorang buruh tani. Maka ketika
ada tawaran bekerja di Sumatera dengan gaji yang cukup tinggi, saya
tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
Empat tahun di Sumatera
saya rasakan hasil jerih payah saya. Sawah yang tergadai sewaktu ayah
sakit dapat kami tebus. Saya merasa betah bekerja sebagai pengemudi
loging truck. Selain hasilnya lumayan, saya tidak pernah berurusan
dengan polisi. Jauh berbeda bila dibandingkan ketika bekerja sebagai
sopir bus.
Ketika perusahaan membuka areal baru di Kalimantan Tengah,
saya termasuk salah satu karyawan yang dengan sukarela pindah ke sana.
Menurut perhitungan saya, areal baru penebangan tentu kayunya masih
cukup banyak sehingga hasil yang saya peroleh pasti juga cukup besar.
Selain itu jarak antara tempat penebangan dengan tempat penampungan kayu
masih sangat dekat. Minimal dua belas rit sehari bisa saya angkut,
dengan demikian penghasilan akan berlipat ganda.
Saya termasuk anak
muda yang pandai bergaul. Buktinya, tidak lama tinggal di camp baru,
tepatnya di Kampung Rantau Asem yang berada di hulu sungai Katingan,
saya telah banyak kenal sesama anak muda penduduk setempat. Salah
satunya adalah Emi, gadis Dayak Ngaju yang menurutku cantik jelita,
dengan kulitnya yang khas, kuning langsat.
Emi memang begitu
menggodaku. Karena itu, tidak perlu berlama-lama pacaran, saya dan Emi
memutuskan untuk segera menikah. Lamaran dilakukan oleh Manager Camp,
yang mewakili keluargaku
yang tidak dapat hadir. Maklumlah, Ibuku sudah
terlalu tua untuk melakukan perjalanan jarak jauh, sedangkan adik-adikku
semuanya sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.
Seperti
kebiasaan adat penduduk setempat pada waktu itu, aku harus menyerahkan
barang-barang elektronik seperti radio, tape recorder dan peralatan
dapur sebagai mas kawin.
Pesta pernikahan cukup meriah walaupun
sangat sederhana menurut ukuran penduduk setempat pada umumnya. Aku
sangat bahagia dapat menyunting gadis Dayak Ngaju yang menjadi incaran
banyak pemuda di kampungnya.
Setelah menikahi Emi, hari-hariku penuh
madu kemesraan. Dari pagi sampai sore aku bekerja mengangkut kayu dari
hutan ke Log-pond (tempat penumpakan kayu). Dan malam harinya kuhabiskan
waktuku bersama Emi.
Sebagai lelaki muda, aku banyak pengalaman
dengan gadis-gadis di kota. Tetapi bila dibandingkan dengan Emi,
isteriku, mereka bukanlah tandingannya. Emi menyimpan daya seks yang
luar biasa.
Kalau saja aku tidak rajin minum air pasak bumi, mungkin
aku sudah terkapar lemas setiap pagi. Bayangkan, hampir setiap malam
kami selalu bercinta dan bercinta. Nyaris sepanjang malam.
Waktu
berputar begitu cepat. Tidak terasa sudah lima tahun aku menikah dengan
Emi. Tetapi sampai saat itu kami belum dikaruniai momonngan. Aku dan Emi
tidak mempermasalahkan hal ini.
Kami menikmati saja hari-hari yang
ada. Sampai akhirnya datang malapetaka itu. Pada suatu hari datang
sepucuk surat dari Jawa. Persisnya dari Ibuku. Tentu saja yang menulis
bukan Ibuku, tetapi adik perempuanku yang masih tinggal bersamanya,
sebab adikku yang lain mengikuti suaminya masing-masing di lain kota.
Surat
berbahasa Jawa itu isinya meminta agar aku segera pulang ke Jawa. Aku
akan dinikahkan dengan gadis pilihan Ibu dengan maksud agar dapat
mempunyai keturunan.
"Gadis Dayak itu tidak dapat memberimu anak. Sedangkan Ibu sangat ingin untuk menimang cucu darimu," kata Ibu dalam surat itu.
Aku
sangat bingung. Ada perang batin yang begitu dahsyat berkecamuk dalam
dadaku. Di satu sisi aku sangat mencintai Emi, dan di sisi lain aku juga
sangat sayang serta hormat kepada Ibuku. Aku tidak mampu memilih.
Itulah sebabnya aku meminta pendapat Pak Slamet, Manager Camp.
"Memang
tidak mudah untuk mengambil keputusan dalam kasusmu ini. Yang saya
herankan, mengapa Ibumu begitu mudah membuat keputusan untuk mengawinkan
kamu dengan gadis pilihannya. Bagaimana seandainya hal seperti itu
menimpa dia pada waktu mudanya," kata Pak Slamet.
"Saya sangat
mencintai Ibu saya. Tetapi saya juga mencintai Emi. Ibu sangat dekat
dengan saya. Walau anaknya lima tetapi saya yang menjadi anak
kebanggaannya. Tetapi seharusnya ibu musyawarah dulu dengan saya sebelum
mengambil keputusan," kataku menggumam seperti berbicara dengan diri
sendiri.
"Emi tahu tentang ini?" tanya Pak Slamet.
"Tidak, Pak. Saya tidak mempunyai keberanian untuk berterus terang kepadanya," jawabku.
"Bagus. Tidak ada perempuan yang mau dimadu. Apalagi dicerai. Sebaiknya Emi jangan tahu."
"Lalu, apakah saya tidak usah pulang?"
"Pulanglah.
Kau harus menjadi anak yang berbakti. Berilah Ibumu pengertian. Yang
menentukan kita punya anak atau tidak itu adalah Tuhan. Kapan kita punya
anak, rizki kita, bahkan ajal kita. Hanya Allah yang berhak
menentukan."
"Alasan apa yang harus kusampaikan kepada Emi, Pak?"
"Banyak alasan. Bilang saja ada keluarga yang sakit, meninggal, menikah atau apa saja."
"Kalau dia mau ikut?"
"Bilang saja kamu tidak punya biaya. Lagipula kamu harus buru-buru sebab cutimu cuma seminggu."
"Baiklah. Saya akan coba!"
Aku meninggalkan ruangan Pak Slamet dengan masih diliputi berbagai persoalan.
Sore harinya, ketika sampai di kamarku, Emi menangkap kemurungan wajahku. Kegundahanku tidak dapat kusembunyikan.
"Ada persoalan apa, Mas?" tanya Emi lembut sambil membelai rambutku.
"Aku dapat surat dari Jawa!" jawabku.
"Lho, cuma surat saja kok dibuat sedih."
"Aku disuruh pulang karena ada yang sakit. Aku tidak punya uang."
"Simpanan kita tidak cukup?"
"Cukup kalau untuk aku sendiri."
"Kalau begitu, Mas pulang sendiri saja," kata Emi, sekaligus membuat batinku lega.
Namun, rupanya Emi curiga ada sesuatu yang tidak beres. Begitu aku berangkat, Emi membawa surat itu ke Pak Slamet.
"Surat ini isinya apa, Pak?" tanya Emi.
"Baca saja. Kamu kan bisa membaca," jawab Pak Slamet.
"Saya bisa membacanya, tetapi tidak mengerti maksudnya," jawab Emi.
"Mengapa?"
"Tidak tahu bahasanya. Pakai Bahasa Jawa, ya?"
Pak
Slamet pura-pura membaca. Kemudian dia mengatakan kepada Emi bahwa ada
keluargaku di Jawa yang sakit. "Kamto disuruh pulang karena ada yang
sakit." begitu bohong Pak Slamet.
Emi rupanya tidak puas dengan
jawaban Pak Slamet. Kemudian dia meminta tolong kepada salah seorang
isteri karyawan yang lain, entah siapa sampai sekarang aku tidak tahu.
Di situlah Emi tahu kalau aku akan dikawinkan dengan perempuan lain
karena Emi dianggap tidak mampu memberiku keturunan.
Emi memang
pemain watak nomor satu. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda cemburu.
Keberangkatanku diantar dengan senyum manisnya. Perlu juga saya
sampaikan kepada pembaca, bahwa malam sebelum keberangkatanku kami
bercinta hampir sepanjang malam, Emi menunjukkan gairahnya yang luar
biasa.
Setiba di Banjarmasin saya naik pesawat menuju Surabaya. Di
Juanda inilah aku mengetahui kalau "Burung" ku lenyap. Waktu itu aku
ingin buang air kecil. Sudah sejak ada di atas pesawat kutahan hajat
ini.
Begitu aku berada di kamar kecil dan aku membuka celanaku, aku
tidak melihat "burung" kesayanganku itu. Tentu saja aku panik. Kemana
gerangan? Aku tak habis pikir.
Agar cepat sampai, aku memilih menyewa taksi ketimbang naik bus menuju Jawa Tengah. Tepatnya di Boyolali.
Begitu tiba di rumah aku menubruk Ibuku meraung menangis di pangkuannya.
"Ono opo, Le. Teko-teko kok nangis (ada apa, nak. datang-datang kok nangis)?" tanya ibuku sampai mengelus-elus rambut kepalaku.
"Anu, Bu...Barang saya hilang, Mbok!" jawabku seperti anak kecil.
"Ya, sudah. Barang hilang tidak usah ditangisi. Bila ada rezeki nanti beli lagi."
"Barang yang hilang ini tidak bisa dibeli, Mbok. Tidak ada yang jual."
"Barang opo to, le. Kok tidak ada yang jual."
"Barang ini lho, Mbok!" jawabku sambil tanpa malu-malu melorotkan celanaku.
Di
bawah rimbunnya semak-semak hitam tidak ada barang yang biasa
bertengker disitu. Tentu saja Ibuku dan yang hadir menjadi seperti orang
linglung. Heran bercampur bingung. Pamanku menyarankan agar aku dibawa
ke "orang pintar". Aku pun menurutinya.
Namun, entah sudah berapa
orang tua di daerahku yang kami datangi tetapi tidak ada satupun yang
dapat memberikan solusi yang memuaskan.
Akhirnya aku pergi ke Klaten.
Persisnya ke rumah mantan Kepala Kantor sebuah perusahaan swasta di
Banjarmasin. Beliau bukan paranormal atau sejenisnya, tetapi sangat
berpengalaman dalam hal-hal seperti itu.
Setelah berbasa-basi
sebentar, pamanku menyampaikan maksud kami. Aku menceritakan sedikit
gambaran mengapa aku pulang ke Boyolali. Mendengar ceritaku Pak Adi,
orang pintar itu tertawa lebar.
"Saya kira apa yang pernah saya
dengar itu hanya dongeng atau sekedar lelucon. Ternyata memang
benar-benar ada. Kalau begitu jangan khawatir," kata Pak Adi.
"Jangan khawatir bagaimana. Lha wong "burung" hilang kok. Ini serius, Pak!" sergah pamanku.
"Begini. Dik Kamto apakah berniat menceraikan Emi?" tanya Pak Adi.
"Tidak. Saya tidak mungkin menceraikan Emi, Pak. Saya sangat mencintainya!" jawabku, tegas.
"Kalau begitu cepatlah kembali ke Camp Rantau Asem. Kamu akan mendapatkan kembali barangmu yang hilang itu!"
"Apakah betul, Pak?" aku penasaran.
"Saya jamin seratus persen!" tegas Pak Adi.
Tidak
ada jalan lain kecuali aku harus segera kembali ke Rantau Asem,
Katingan, Kalimantan Tengah. Menyadari keadaan yang aku alami, sampai
aku kembali ke tempat kerja tidak ada pembicaraan mengenai pernikahan
yang diinginkan oleh Ibuku.
Singkat cerita, aku telah tiba kembali di
Rantau Asem tempatku bekerja. Namun sesampainya di sana, ternyata
isteriku tidak ada di barakku. Dia pulang ke kampungnya, yang memang
tidak begitu jauh dari camp. Aku pun segera menyusulnya ke sana
Emi
memang pemain watak yang sempurna. Setiba di rumah mertua aku disambut
isteriku dengan hangat. Inilah yang membuatku tidak bisa melupakannya.
"Mas, ketinggalan burung, ya?" tanyanya manja.
"Aku sangat khawatir, Em!" jawabku sambil memeluknya dengan gemas.
"Tidak
usah khawatir. Barang mas tersimpan rapi kok. Ada di sini!" kata Emi
sambil menunjukkan stoples berisi sesuatu. Astaga! Sulit dipercaya.
Ternyata isi toples itu adalah "burungku" yang nampak teronggok tak
berdaya. Dengan santai Emi mengambil barang itu lalu menempelkannya
ditempatnya. Burungku pun kembali bertengger di sangkarnya semula.
Ajaib,
mengherankan, tak masuk akal! Dan entah kata apa lagi yang dapat
kuucapkan. Tetapi itulah kenyataannya. Entah ilmu apa yang telah
digunakan oleh Emi untuk melakukan tindakan yang sangat ajaib itu.
Hingga kini aku tak mengetahuinya. Namun yang pasti, hal seperti ini
kerap terjadi dan dilakukan oleh suku Dayak Ngaju.
Walau sampai
sekarang aku dan Emi tidak dikaruniai anak, kami tetap bahagia. Kami
hidup dalam bulan madu setiap hari. Soal anak, biarlah Tuhan yang akan
mengaturnya.