Jumat, 16 Desember 2011

TUNTUTAN DARI ALAM KUBUR

Kisah mistis ini terjadi di sebuah desa terpencil di pesisir Banten. Untuk melindungi pravacy para pelakunya, baik nama pelaku maupun tepat kejadian sengaja kami rahasiakan....

Malam itu suasana desa di tepi pantai Selat Sunda itu terasa begitu mencekam. Udara dingin yang menggigit sekujur tubuh membuat sesosok lelaki bernama Haryadi meringkuk sambil memeluk sebuah guling. Dia tak pergi melaut malam ini. Dia merasa badannya kurang enak, seperti akan didera sakit.
Suasana begitu sepi, senyap tiada suara. Tiada rengekan manja sang isteri yang menggeluti dadanya saat memadu kasih. Tiada lagi desahan-desahan napas menggelora yang membawanya terbang ke angkasa. Haryadi kini merasa seorang diri di dunia yang fana ini.
Entah mengapa, malam yang semakin larut, membuat Haryadi semakin tersiksa oleh rasa sepi. Sayup-sayup suara jangkrik dan binatang malam di kejauhan sana seolah menertawakan kesunyian dirinya. Ingin dia berteriak, mengumpat dan memaki, tetapi kepada siapa umpatan dan makian itu harus ditujukan. Semua yang terjadi memang akibat usulnya yang edan, bahkan nyaris tak berperasaan.
Dan malam ini, adalah malam yang dijanjikan almarhumah isterinya agar dia menemuinya di tanah pekuburan. Bagaimana mungkin isterinya yang telah mati beberapa hari silam itu memintanya bertemu...?
Lelaki berotot kekar itu menerawang ke atas langit-langit gubuknya yang reyot di makan usia. Dia tak pernah merasa seperti ini. Dia tak merasa begitu tersiksa dengan masa lalunya. Dan dia tak pernah teringat pada isterinya yang mati dengan tragis itu.
Tapi, malam ini benar-benar terasa lain. Dalam kesunyian yang nyaris sempurna, lamat-lamat Haryadi malah seperti mendengar kembali suara isterinya, sebelum dia memaksanya untuk melakukan perbuatan nista itu.

"Bila anak kita ini lahir, apa yang Akang inginkan dariku?"
Haryadi tidak lekas menjawab. Hatinya tengah dipermainkan oleh suatu keingian yang aneh.
"Sulastri isteriku, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu," katanya saat itu.
Sulastri memandangi suaminya dengan bola matanya yang penuh dengan kemurnian cinta. Dia pasrah dan begitu tulus menyayangi Haryadi, pria yang telah berhasil merebut cintanya. Dia bahkan rela meninggalkan orang-orang yang dikasihinya demi cintanya yang tulus. Dia tak peduli dengan segala hujatan dan ultimatum dari kedua orang tuanya. Sulastri sama sekali tak mengira bahwa lelaki yang digila-gilakannya itu kelak justru akan menjatuhkan vonis kematian atas dirinya.
Malam itu, Haryadi masih ingat, ketika mereka lama saling terdiam. Bibir Sulastri yang ranum terbuka kecil menantikan gerangan apa yang akan disampaikan oleh lelaki yang telah menjadi suaminya, yang sebenarnya tidak disetuju oleh kedua orang tuanya itu. Sampai akhirnya terdengar suara lemah dari mulut Haryadi, setelah dia menarik nafas panjang.
"Lastri, sebelumnya aku minta maaf. Mungkin impianmu tidak akan menjadi kenyataan. Terpaksa ini harus kita lakukan. Bukan karena aku tidak mencintai kamu dan anak yang kini kau kandung itu, tapi sekali lagi aku terpaksa mengusulkan hal ini. Akang minta pengertianmu, Lastri?" Haryadi seperti ragu untuk mengungkapkan isi hatinya.
Sulastri bingung, "Apa sih sebanrnya yang Akang inginkan?" tanyanya sambil menatap wajah Haryadi dengan tatapan kosong. Dia sungguh tak mengerti dengan apa yang dimasud oleh suaminya. Dia hanya tahu bahwa suaminya sangat mencintainya.
Malam itu, Sulastri hanya diam dan menunggu. Sementara itu, Haryadi memperhatikan wajah isterinya dengan seksama seakan mencari tahu reaksi Sulastri. Setelah menenangkan sejenak gemuruh hatinya yang kian keras, barulah haryadi melanjutkan kata-katanya.
"Begini, Lastri! Oleh karena keadaan kita yang sungguh terjepit, aku minta kau sudi melakukannya untukku. Kamu mau kan?"
"Maksudmu melakukan apa?" tanya Sulastri gemetar, karena selama ini memang tak pernah membantah setiap kemauan suaminya.
"Bagaimana kalau kita gugurkan saja anak yang kau kandung itu?" jawab Haryadi lirih, seakan dia sendiri penuh keraguan untuk mengusulkn ide gila tersebut.
"Kang...oh..." hanya itu suara yang keluar dari bibir mungil milik Sulastri. Kemudian terdengar isakan halus dari rongga dadanya. Dia lari memeluk bantal. Haryadi mendekati dan membelai dengan lembut rambut Sulastri. Lelaki itu mengecup tengkuk isterinya, lalu membalikkan wajahnya.
"Lastri dengar dulu! Akang tahu perasaanmu. Aku pun sebenarnya tak mau melakukannya. Tapi keadaan kita Lastri...keadaan kita. Kau tahu betapa besar biaya yang harus kita keluarkan untuk merawat anak kita kelak. Kita masih sangat miskin, sedangkan kau tahu orang tuaku tak mungkin dapat membantu, keadaan mereka hampir tak berbeda dengan kita. Sementara orang tuamu jelas masih memusuhi kita," tutur Haryadi dengan suara parau.
"Lastri, bukankah lebih berdosa bila kita tak mampu merawat anak kita kelak? Nanti, setelah keuangan kita sudah memungkinkan, kita bisa memiliki selusin anak," tegasnya.
Haryadi sengaja menekan kata "selusin anak", untuk menunjukkan perasaannya sendiri yang sesungguhnya penuh dengan ketakutan. Dia melihat ke atas dan merasa Tuhan amat murka atas tindakannya. Namun, di pihak lain iblis terus membakar hatinya agar Haryadi lebih mengeraskan tekad jahatnya.
Pada akhirnya, Sulastri terbius oleh bujuk rayu suaminya. Meski ada rasa khawatir dengan kandungannya yang telah berusia empat bulan, tapi dia tak kuasa berbuat apa-apa. Dia tak mampu melawan kehendak suaminya yang takut menghadapi kenyataan. Ya, sebagai kepala rumah tangga yang tak memiliki pekerjaan tetap, Haryadi tiba-tiba memang menjadi seorang pengecut. Dia sepertinya tak percaya bahwa Tuhan Maha Kuasa dan Adil atas semua makhlukNya. Haryadi memang picik, sehingga iblis menari-nari atas kemenangannya.
Tiga bulan silam, pagi-pagi sekali, Haryadi mengajak Sulanstri pergi ke rumah seorang dukun yang terkenal. Setelah sepasang suami isteri itu mengutarakan maksud kedatangannya, sang dukun menyodorkan semacam ramuan yang harus diminum Sulastri agar kendungannya ke luar sebelum saatnya. Walaupun rasanya sangat pahit dan sepat, Sulastri tetap memaksakan diri untuk meminumnya.
Memang, tanpa memerlukan waktu lama ramuan itu langsung bereaksi. Perutnya terasa mulas dan sakit luar biasa. Ingin dia menjerit, tapi dengan sekuat tenaga ditahannya. Sementara itu sang dukun terus memijit perutnya ke atas dan ke bawah.
Sekitar setengah jam setelah dipijat terus menerus oleh dukun itu, sakit di perut Sulastri agak berkurang. Sebelum sang dukun mengizinkan mereka pulang, Sulastri disodori ramuan yang haus diminumnya lagi di rumah.
Namun, ketika hari itu baru saja sampai di rumah, Sulastri kembali merasakan kesakitan yang lara biasa. Walau berusaha menahan, tapi erangannya makin lama makin melengking tinggi.
Melihat keadaan isterinya yang begitu rupa, Haryadi tentu saja menjadi sangat cemas. Cukup lama Sulastri bergulat dengan kesakitannya, sedangkan Haryadi hanya bisa bingung tanpa tahu apa yang harus dilakuaknya.
Keadaan Sulastri semakin parah ketika darah mengucur deras membanjiri kedua pangkal pahanya, disusul kemudian gumpalan darah kehitam-hitaman. Terdengar suaranya merintih pilu dan menyayat hati bagi siap pun yang mendengarnya. Tapi sesaat berselang Sulastri terdiam, dan tubuhnya tak bergerak-gerak lagi. Nafasnya yang tadi bergemuruh, kini lenyap dan berganti ketenangan yang tak berirama. Wajahnya tampak begitu pucat. Ya, Sulastri akhirnya mati karena kehabisan darah.
Melihat peristiwa tragis itu spontan Haryadi terpekik sambil menguncang-guncang tubuh isterinya. Dia menjerit-jerit memanggil nama isterinya, tapi Sulastri tetap terbujur kaku di tempatnya.
Haryadi merasa sangat menyesal dan berdosa. Dia merasa telah membunuh isterinya sendiri. Dalam hati Haryadi mengutuki dirinya sendiri, tapi penyesalannya memang tiada berguna lagi.
Tak lama kemudian sekitar rumahnya mulai berdatangan para tetangga, karena teriakan Haryadi memang menembus dinding-dinding bilik rumah mereka di malam pekat itu. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi, tapi Haryadi tak berani menjelaskan sebab musabab yang sesungguhnya. Orang kampung itu akhirnya hanya tahu bahwa Sulastri mati karena keguguran. Dan, mereka mencoba menghibur Haryadi sambil menyatakan bela sungkawa. Para tetangganya menyuruh Haryadi untuk bersabar dan tawakal, lantaran tak ada seorang manusia pun yang mampu mengelak diri dari takdir Illahi.
***

Malam itu, beberapa hari setelah isterinya meninggal, seorang lelaki bernama Hasan datang ke rumah Haryadi. Wajahnya tampak begitu pias seakan memendam ketakutan yang luar biasa. Dengan napas tersengal-sengal dia memanggil-manggil Haryadi.
"Ada apa, Dik Hasan?" tanya Haryadi sedikit kaget.
Dengan terbata-bata Hasan menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Pemuda itu baru saja melihat sosok Sulastri di kegelapan ujung jalan desa. Bahkan, almarhumah isteri Haryadi tersebut sempat berpesan kepada Hasan, agar Haryadi menemuninya di tanah pemakaman pada esok malam.
Serasa bagai disambar petir di siang bolong Haryadi mendengar cerita pemuda itu. Sungguh rasanya tak masuk di akal. Mana mungkin orang meninggal bisa bangkit lagi? Apalagi sampai ingin ditemui dikuburannya? Begitulah hati Haryadi bertanya-tanya.
Dan, malam itu haryadi semakin dilanda penyesalan dan ketakutan. Dia seakan merasa dikejar oleh bayangan yang tak berwujud.
Keesokkan harinya peristiwa itu telah menyebar ke seluruh pelosok kampung. Semua warga mempergunjikan kejadian aneh yang dialami oleh Hasan.
Lalu, apa yang terjadi dengan Haryadi?
Mulanya Haryadi tak mau memenuhi permintaan almarhumah isterinya. Namun, atas bujukan orang kampung, dengan penuh rasa takut plus bersalah yang luar biasa dia mau mengunjungi makam isterinya.
Malam itu udara agak lembab. Langit tampak hitam pekat, seakan bintang-bintang segan menampakkan diri. Angin bertiup agak kencang, membuat bulu kuduk Haryadi dan orang kampung pesisir Selat Sunda yang mengawalnya meremang tak terkendali. Batu-batu nisan di perkuburan itu bagaikan bayangan tangan setan yang siap mencengkeram siap saja. Lolongan anjing yang terdengar melengking panjang di kejauhan seolah memberi tanda bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu yang mengerikan.
Dengan penerangan obor, orang kampung mengantarkan Haryadi ke pemakaman Sulastri. Dari jarak sekitar tiga meter mereka melepaskan Haryadi yang dengan kaki gemetar terus mendekati makam Sulastri. Langkah Haryadi gemetaran karena diliputi rasa takut dan sesal yang amat dalam. Api obor yang dibawanya bergerak lemah ke kiri dan ke kanan, tertiup angin yang terasa lebih kencang.
Sementara itu, lolongan anjing kian jelas memecah kesunyian malam seperti memberi isyarat maut bagi Haryadi.
Sewaktu kaki Haryadi telah menginjak ujung makam, tiba-tiba tampak asap putih muncul dari kepala makam. Asap itu mulanya tipis saja, tapi kian lama kian menggumpal jelas. Beberapa detik berselang dari gumpalan asap tebal itu menjelma sosok Sulastri, berdiri dengan wajah sangat muram. Dia memandang Haryadi dengan mata penuh penyesalan dan pengharapan. Kemudian terdengar suaranya halus dan lirih.
"Kang, Lastri tidak tahan oleh azab kubur yang kini kualami. Lastri minta pengertian Akang. Lastri mohon agar Akang mau menemani Lastri untuk sama-sama merasakan penderitaan yang aku rasakan. Aku tidak sanggup menanggungnya seorang diri, Kang. Bukankah dulu Akang pernah berjanji mau merasakan suka dan duka bersamaku? Mau kan, Kang?"
Darah yang mengalir di tubuh Haryadi seolah berhenti seketika. Dia diam tak bersuara. Dia merasa tak mungkin mengabulkan pengharapan almarhumah isterinya. Sebenarnya, seperti itulah dulu perasaan Sulastri tatakala dituntut mengabulkan permintaan Haryadi untuk menggugurkan kandungannya.
Saat itu juga Haryadi ingin berlari jauh meninggalkan tanah pekuburan itu, tapi kakinya bagaikan diikat tambang, tak dapat digerakan walau sedikitpun.
Orang-orang kampung ingin menolong Haryadi. Namun sebelum mereka bisa mendekati Haryadi, tangan Sulastri sudah lebih dulu terulur dan menarik Haryadi dengan kuatnya. Dan, apa yang terjadi kemudian sungguh suatu fenomena yang sulit diterima akal sehat. Betapa tidak? Sulastri tiba-tiba lenyap dari pandangan. Dia meninggalkan suara cekikikan persis suara Mak Lampir, membuat semua bulu kuduk merinding.
Saat orang-orang mendekati tubuh Haryadi yang terkulai di kaki batu nisan Sulastri, ternyata laki-laki itu sudah tak bernyawa lagi. Sayup-sayup mereka masih sempat mendengar suara nyaring tawa Sulastri di kejauhan.
Malam itu terasa bagai malam yang amat panjang bagi penduduk kampung di pesisir Selat Sunda itu. Lolongan anjing yang bersahut-sahutan ditingkahi suara angin di area perkuburan itu seolah mengiringi kepergian Haryadi yang "dicabut" nyawanya oleh almarhumah isterinya sendiri. Barangkali memang demikian adanya Siapa yang beruat pasti akan menuai hasilnya.
Semoga kita dapat memetik hikmah dari kisah mistis yang sangat aneh ini...
Loading