Kisah mistis ini
terjadi di sebuah desa terpencil di pesisir Banten. Untuk melindungi
pravacy para pelakunya, baik nama pelaku maupun tepat kejadian sengaja
kami rahasiakan....
Malam itu suasana desa di tepi pantai
Selat Sunda itu terasa begitu mencekam. Udara dingin yang menggigit
sekujur tubuh membuat sesosok lelaki bernama Haryadi meringkuk sambil
memeluk sebuah guling. Dia tak pergi melaut malam ini. Dia merasa
badannya kurang enak, seperti akan didera sakit.
Suasana begitu sepi,
senyap tiada suara. Tiada rengekan manja sang isteri yang menggeluti
dadanya saat memadu kasih. Tiada lagi desahan-desahan napas menggelora
yang membawanya terbang ke angkasa. Haryadi kini merasa seorang diri di
dunia yang fana ini.
Entah mengapa, malam yang semakin larut, membuat
Haryadi semakin tersiksa oleh rasa sepi. Sayup-sayup suara jangkrik dan
binatang malam di kejauhan sana seolah menertawakan kesunyian dirinya.
Ingin dia berteriak, mengumpat dan memaki, tetapi kepada siapa umpatan
dan makian itu harus ditujukan. Semua yang terjadi memang akibat usulnya
yang edan, bahkan nyaris tak berperasaan.
Dan malam ini, adalah
malam yang dijanjikan almarhumah isterinya agar dia menemuinya di tanah
pekuburan. Bagaimana mungkin isterinya yang telah mati beberapa hari
silam itu memintanya bertemu...?
Lelaki berotot kekar itu menerawang
ke atas langit-langit gubuknya yang reyot di makan usia. Dia tak pernah
merasa seperti ini. Dia tak merasa begitu tersiksa dengan masa lalunya.
Dan dia tak pernah teringat pada isterinya yang mati dengan tragis itu.
Tapi,
malam ini benar-benar terasa lain. Dalam kesunyian yang nyaris
sempurna, lamat-lamat Haryadi malah seperti mendengar kembali suara
isterinya, sebelum dia memaksanya untuk melakukan perbuatan nista itu.
"Bila anak kita ini lahir, apa yang Akang inginkan dariku?"
Haryadi tidak lekas menjawab. Hatinya tengah dipermainkan oleh suatu keingian yang aneh.
"Sulastri isteriku, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu," katanya saat itu.
Sulastri
memandangi suaminya dengan bola matanya yang penuh dengan kemurnian
cinta. Dia pasrah dan begitu tulus menyayangi Haryadi, pria yang telah
berhasil merebut cintanya. Dia bahkan rela meninggalkan orang-orang yang
dikasihinya demi cintanya yang tulus. Dia tak peduli dengan segala
hujatan dan ultimatum dari kedua orang tuanya. Sulastri sama sekali tak
mengira bahwa lelaki yang digila-gilakannya itu kelak justru akan
menjatuhkan vonis kematian atas dirinya.
Malam itu, Haryadi masih
ingat, ketika mereka lama saling terdiam. Bibir Sulastri yang ranum
terbuka kecil menantikan gerangan apa yang akan disampaikan oleh lelaki
yang telah menjadi suaminya, yang sebenarnya tidak disetuju oleh kedua
orang tuanya itu. Sampai akhirnya terdengar suara lemah dari mulut
Haryadi, setelah dia menarik nafas panjang.
"Lastri, sebelumnya aku
minta maaf. Mungkin impianmu tidak akan menjadi kenyataan. Terpaksa ini
harus kita lakukan. Bukan karena aku tidak mencintai kamu dan anak yang
kini kau kandung itu, tapi sekali lagi aku terpaksa mengusulkan hal ini.
Akang minta pengertianmu, Lastri?" Haryadi seperti ragu untuk
mengungkapkan isi hatinya.
Sulastri bingung, "Apa sih sebanrnya yang
Akang inginkan?" tanyanya sambil menatap wajah Haryadi dengan tatapan
kosong. Dia sungguh tak mengerti dengan apa yang dimasud oleh suaminya.
Dia hanya tahu bahwa suaminya sangat mencintainya.
Malam itu,
Sulastri hanya diam dan menunggu. Sementara itu, Haryadi memperhatikan
wajah isterinya dengan seksama seakan mencari tahu reaksi Sulastri.
Setelah menenangkan sejenak gemuruh hatinya yang kian keras, barulah
haryadi melanjutkan kata-katanya.
"Begini, Lastri! Oleh karena keadaan kita yang sungguh terjepit, aku minta kau sudi melakukannya untukku. Kamu mau kan?"
"Maksudmu melakukan apa?" tanya Sulastri gemetar, karena selama ini memang tak pernah membantah setiap kemauan suaminya.
"Bagaimana
kalau kita gugurkan saja anak yang kau kandung itu?" jawab Haryadi
lirih, seakan dia sendiri penuh keraguan untuk mengusulkn ide gila
tersebut.
"Kang...oh..." hanya itu suara yang keluar dari bibir
mungil milik Sulastri. Kemudian terdengar isakan halus dari rongga
dadanya. Dia lari memeluk bantal. Haryadi mendekati dan membelai dengan
lembut rambut Sulastri. Lelaki itu mengecup tengkuk isterinya, lalu
membalikkan wajahnya.
"Lastri dengar dulu! Akang tahu perasaanmu. Aku
pun sebenarnya tak mau melakukannya. Tapi keadaan kita Lastri...keadaan
kita. Kau tahu betapa besar biaya yang harus kita keluarkan untuk
merawat anak kita kelak. Kita masih sangat miskin, sedangkan kau tahu
orang tuaku tak mungkin dapat membantu, keadaan mereka hampir tak
berbeda dengan kita. Sementara orang tuamu jelas masih memusuhi kita,"
tutur Haryadi dengan suara parau.
"Lastri, bukankah lebih berdosa
bila kita tak mampu merawat anak kita kelak? Nanti, setelah keuangan
kita sudah memungkinkan, kita bisa memiliki selusin anak," tegasnya.
Haryadi
sengaja menekan kata "selusin anak", untuk menunjukkan perasaannya
sendiri yang sesungguhnya penuh dengan ketakutan. Dia melihat ke atas
dan merasa Tuhan amat murka atas tindakannya. Namun, di pihak lain iblis
terus membakar hatinya agar Haryadi lebih mengeraskan tekad jahatnya.
Pada
akhirnya, Sulastri terbius oleh bujuk rayu suaminya. Meski ada rasa
khawatir dengan kandungannya yang telah berusia empat bulan, tapi dia
tak kuasa berbuat apa-apa. Dia tak mampu melawan kehendak suaminya yang
takut menghadapi kenyataan. Ya, sebagai kepala rumah tangga yang tak
memiliki pekerjaan tetap, Haryadi tiba-tiba memang menjadi seorang
pengecut. Dia sepertinya tak percaya bahwa Tuhan Maha Kuasa dan Adil
atas semua makhlukNya. Haryadi memang picik, sehingga iblis menari-nari
atas kemenangannya.
Tiga bulan silam, pagi-pagi sekali, Haryadi
mengajak Sulanstri pergi ke rumah seorang dukun yang terkenal. Setelah
sepasang suami isteri itu mengutarakan maksud kedatangannya, sang dukun
menyodorkan semacam ramuan yang harus diminum Sulastri agar kendungannya
ke luar sebelum saatnya. Walaupun rasanya sangat pahit dan sepat,
Sulastri tetap memaksakan diri untuk meminumnya.
Memang, tanpa
memerlukan waktu lama ramuan itu langsung bereaksi. Perutnya terasa
mulas dan sakit luar biasa. Ingin dia menjerit, tapi dengan sekuat
tenaga ditahannya. Sementara itu sang dukun terus memijit perutnya ke
atas dan ke bawah.
Sekitar setengah jam setelah dipijat terus menerus
oleh dukun itu, sakit di perut Sulastri agak berkurang. Sebelum sang
dukun mengizinkan mereka pulang, Sulastri disodori ramuan yang haus
diminumnya lagi di rumah.
Namun, ketika hari itu baru saja sampai di
rumah, Sulastri kembali merasakan kesakitan yang lara biasa. Walau
berusaha menahan, tapi erangannya makin lama makin melengking tinggi.
Melihat
keadaan isterinya yang begitu rupa, Haryadi tentu saja menjadi sangat
cemas. Cukup lama Sulastri bergulat dengan kesakitannya, sedangkan
Haryadi hanya bisa bingung tanpa tahu apa yang harus dilakuaknya.
Keadaan
Sulastri semakin parah ketika darah mengucur deras membanjiri kedua
pangkal pahanya, disusul kemudian gumpalan darah kehitam-hitaman.
Terdengar suaranya merintih pilu dan menyayat hati bagi siap pun yang
mendengarnya. Tapi sesaat berselang Sulastri terdiam, dan tubuhnya tak
bergerak-gerak lagi. Nafasnya yang tadi bergemuruh, kini lenyap dan
berganti ketenangan yang tak berirama. Wajahnya tampak begitu pucat. Ya,
Sulastri akhirnya mati karena kehabisan darah.
Melihat peristiwa
tragis itu spontan Haryadi terpekik sambil menguncang-guncang tubuh
isterinya. Dia menjerit-jerit memanggil nama isterinya, tapi Sulastri
tetap terbujur kaku di tempatnya.
Haryadi merasa sangat menyesal dan
berdosa. Dia merasa telah membunuh isterinya sendiri. Dalam hati Haryadi
mengutuki dirinya sendiri, tapi penyesalannya memang tiada berguna
lagi.
Tak lama kemudian sekitar rumahnya mulai berdatangan para
tetangga, karena teriakan Haryadi memang menembus dinding-dinding bilik
rumah mereka di malam pekat itu. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi,
tapi Haryadi tak berani menjelaskan sebab musabab yang sesungguhnya.
Orang kampung itu akhirnya hanya tahu bahwa Sulastri mati karena
keguguran. Dan, mereka mencoba menghibur Haryadi sambil menyatakan bela
sungkawa. Para tetangganya menyuruh Haryadi untuk bersabar dan tawakal,
lantaran tak ada seorang manusia pun yang mampu mengelak diri dari
takdir Illahi.
***
Malam itu, beberapa hari setelah isterinya
meninggal, seorang lelaki bernama Hasan datang ke rumah Haryadi.
Wajahnya tampak begitu pias seakan memendam ketakutan yang luar biasa.
Dengan napas tersengal-sengal dia memanggil-manggil Haryadi.
"Ada apa, Dik Hasan?" tanya Haryadi sedikit kaget.
Dengan
terbata-bata Hasan menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Pemuda
itu baru saja melihat sosok Sulastri di kegelapan ujung jalan desa.
Bahkan, almarhumah isteri Haryadi tersebut sempat berpesan kepada Hasan,
agar Haryadi menemuninya di tanah pemakaman pada esok malam.
Serasa
bagai disambar petir di siang bolong Haryadi mendengar cerita pemuda
itu. Sungguh rasanya tak masuk di akal. Mana mungkin orang meninggal
bisa bangkit lagi? Apalagi sampai ingin ditemui dikuburannya? Begitulah
hati Haryadi bertanya-tanya.
Dan, malam itu haryadi semakin dilanda penyesalan dan ketakutan. Dia seakan merasa dikejar oleh bayangan yang tak berwujud.
Keesokkan
harinya peristiwa itu telah menyebar ke seluruh pelosok kampung. Semua
warga mempergunjikan kejadian aneh yang dialami oleh Hasan.
Lalu, apa yang terjadi dengan Haryadi?
Mulanya
Haryadi tak mau memenuhi permintaan almarhumah isterinya. Namun, atas
bujukan orang kampung, dengan penuh rasa takut plus bersalah yang luar
biasa dia mau mengunjungi makam isterinya.
Malam itu udara agak
lembab. Langit tampak hitam pekat, seakan bintang-bintang segan
menampakkan diri. Angin bertiup agak kencang, membuat bulu kuduk Haryadi
dan orang kampung pesisir Selat Sunda yang mengawalnya meremang tak
terkendali. Batu-batu nisan di perkuburan itu bagaikan bayangan tangan
setan yang siap mencengkeram siap saja. Lolongan anjing yang terdengar
melengking panjang di kejauhan seolah memberi tanda bahwa sebentar lagi
akan terjadi sesuatu yang mengerikan.
Dengan penerangan obor, orang
kampung mengantarkan Haryadi ke pemakaman Sulastri. Dari jarak sekitar
tiga meter mereka melepaskan Haryadi yang dengan kaki gemetar terus
mendekati makam Sulastri. Langkah Haryadi gemetaran karena diliputi rasa
takut dan sesal yang amat dalam. Api obor yang dibawanya bergerak lemah
ke kiri dan ke kanan, tertiup angin yang terasa lebih kencang.
Sementara itu, lolongan anjing kian jelas memecah kesunyian malam seperti memberi isyarat maut bagi Haryadi.
Sewaktu
kaki Haryadi telah menginjak ujung makam, tiba-tiba tampak asap putih
muncul dari kepala makam. Asap itu mulanya tipis saja, tapi kian lama
kian menggumpal jelas. Beberapa detik berselang dari gumpalan asap tebal
itu menjelma sosok Sulastri, berdiri dengan wajah sangat muram. Dia
memandang Haryadi dengan mata penuh penyesalan dan pengharapan. Kemudian
terdengar suaranya halus dan lirih.
"Kang, Lastri tidak tahan oleh
azab kubur yang kini kualami. Lastri minta pengertian Akang. Lastri
mohon agar Akang mau menemani Lastri untuk sama-sama merasakan
penderitaan yang aku rasakan. Aku tidak sanggup menanggungnya seorang
diri, Kang. Bukankah dulu Akang pernah berjanji mau merasakan suka dan
duka bersamaku? Mau kan, Kang?"
Darah yang mengalir di tubuh Haryadi
seolah berhenti seketika. Dia diam tak bersuara. Dia merasa tak mungkin
mengabulkan pengharapan almarhumah isterinya. Sebenarnya, seperti itulah
dulu perasaan Sulastri tatakala dituntut mengabulkan permintaan Haryadi
untuk menggugurkan kandungannya.
Saat itu juga Haryadi ingin berlari
jauh meninggalkan tanah pekuburan itu, tapi kakinya bagaikan diikat
tambang, tak dapat digerakan walau sedikitpun.
Orang-orang kampung
ingin menolong Haryadi. Namun sebelum mereka bisa mendekati Haryadi,
tangan Sulastri sudah lebih dulu terulur dan menarik Haryadi dengan
kuatnya. Dan, apa yang terjadi kemudian sungguh suatu fenomena yang
sulit diterima akal sehat. Betapa tidak? Sulastri tiba-tiba lenyap dari
pandangan. Dia meninggalkan suara cekikikan persis suara Mak Lampir,
membuat semua bulu kuduk merinding.
Saat orang-orang mendekati tubuh
Haryadi yang terkulai di kaki batu nisan Sulastri, ternyata laki-laki
itu sudah tak bernyawa lagi. Sayup-sayup mereka masih sempat mendengar
suara nyaring tawa Sulastri di kejauhan.
Malam itu terasa bagai malam
yang amat panjang bagi penduduk kampung di pesisir Selat Sunda itu.
Lolongan anjing yang bersahut-sahutan ditingkahi suara angin di area
perkuburan itu seolah mengiringi kepergian Haryadi yang "dicabut"
nyawanya oleh almarhumah isterinya sendiri. Barangkali memang demikian
adanya Siapa yang beruat pasti akan menuai hasilnya.
Semoga kita dapat memetik hikmah dari kisah mistis yang sangat aneh ini...