Kisah mistis ini
mirip sebuah legenda yang diyakini kebenarannya. Sulastri, gadis desa
itu ternyata bersuamikan pemuda dari bangsa Siluman Buaya....
Seperti
biasanya, setiap pagi dan sore Sumi mencuci pakaian dan peralatan dapur
di sungai dekat rumahnya. Kebiasaan ini memang telah menjadi kebiasaan
penduduk desa yang terletak di pinggiran kali Cimenceuri.
Sore itu,
kebetulan air sungai sedang banjir. Ketika sedang mencuci, pandangan
mata Sumi tertuju pada sebuah benda hitam yang agak panjang, yang tampak
mengambang di dekat pangkalan tempat penduduk biasa mencuci. Tanpa
menaruh curiga, Sumi mendekati benda itu. Ketika dia menyentuhnya,
mendadak benda itu bergerak. Tapi bukannya menjauh, benda hitam itu
malah terus mendekatinya.
Ternyata, benda itu adalah seekor buaya,
tapi masih relatif kecil. Mungkin juga masih bayi. Aneh, Sumi bukannya
merasa takut, tapi justeru merasa kasihan pada hewan itu. Tanpa berpikir
macam-macam, akhirnya wanita desa berwajah ayu ini membawa bayi buaya
itu untuk dipelihara di rumahnya.
Sumi menaruh anak buaya temuannya
di dalam paso (baskom terbuat dari tanah) besar. Paso itu dia letakkan
di bahwa kolong tempat tidurnya yang sederhana.
"Kamu tinggal saja
denganku disini. Aku pasti akan merawatmu," bisik Sumi sambil
mengusap-usap anak buaya itu, tanpa rasa jijik atau takut ealau
sedikitpun.
Entah kekuatan apa yang mendorong Sumi berbuat begitu
baik kepada buaya kecil itu. Bahkan, Sumi dengan telaten memberikan
makan pada buaya itu di setiap harinya.
Anehnya, sejak memelihara
anak buaya itu, kehidupan Sumi yang telah lama menjanda malah berubah
serba kecukupan. Padahal, dulu dia hanya mampu mencukupi kebutuhan
sehari-hari. Memang, ada yang aneh dengan Sumi. Kadang-kadang, dengan
begitu saja dia mendapatkan uang dalam jumlah relatif besar untuk
dirinya yang disembunyikan di bawah bantal tempat tidurnya.
"Aneh, dari mana uang ini?"
pikir Sumi. Namun, dia tak pernah mampu menjawab pertanyaan ini.
Sementara
itu, hari-hari berlalu, anak buaya yang dipiaranya itu semakin tumbuh
besar. Sumi selalu memberinya makan dengan anak ayam yang dibelinya.
Setelah anak buaya itu semakin besar, maka apa yang terjadi? Paso yang
digunakan untuk memelihara buaya itu kini menjadi sempit, bahkan tak
mungkin bisa menampung tubuh si buaya yang tumbuh semakin besar.
Sumi
kebingungan dengan kenyataan ini. Akan dikemanakan buaya yang semakin
besar itu? Jika dibiarkan di rumahnya, dia takut mengganggu ketenangan
hidupnya, bahkan mungkin juga para tetangganya. Namun, jika dibawa ke
sungai, dia takut akan diketahui penduduk kampung. Mereka pasti
beramai-ramai akan membunuh buaya itu.
Di tengah kebingungannnya,
suatu malam, ketika Sumi kebingungan mencari jalan keluar untuk
menyelamatkan buayanya, tiba-tiba terdengar bunyi kecipak air disertai
suara berisik yang mencurigakan. Sumi yang ketika itu sedang tidur
akhirnya terbangun. Dia merasa curiga ada sesuatu yang terjadi dengan
buaya kesayangannya. Karena penasaran, Sumi memeriksa keadaan hewan
peliharaannya yang sudah dia pindahkan ke dapur, persisnya ke sebuah
kolam yang dia buat sendiri.
Begitu mencapai dapur, alangkah
terkejutnya Sumi. Dia hampir saja tak percaya melihatnya. Buaya
peliharaannya tampak semakin tumbuh besar dari siang sebelumnya, bahkan
kolam yang dia buat tak lagi bisa menampungnya. Dan buaya itu tengah
bergerak kesana-kemari, sambil membentur-benturkan badannya ke dinding
rumah. Untung dinding rumah bagian bawah peninggalan suaminya itu
terbuat dari susunan batu bata, meski belum lagi sempat diplester. Kalau
tidak, bisa saja rumah itu akan runtuh.
"Apa yang terjadi dengan buaya itu?" tanya Sumi dalam hati. Dia mulai dilanda kecemasan.
Sementara,
si buaya terus membentur-benturkan tubuhnya ke dinding. Aneh, bersamaan
dengan itu sepertinya ada lempengan-lempengan menyerupai sisik yang
tebal di tubuh si buaya yang jatuh berhamburan.
Sumi menyaksikannya
dengan cemas. Dia takut buaya itu benar-benar kalap dan menyerangnya.
Tentu akan sangat mengerikan. Sumi tak sanggup membayangkannya.
"Sahabatku,
mengapa kau marah begini. Kesalahan apa yang telah kuperbuat.
Maafkanlah aku kalau aku sudah berbuat salah terhadapmu. Dan aku mohon,
hentikanlah kemarahanmu," kata Sumi dengan hampir menangis. Dia
sungguh-sungguh takut buaya itu akan merobohkan rumahnya, atau bahkan
mungkin akan memangsa tubuhnya.
Namun, apa yang dipikirkan Sumi sama
sekali tidak terjadi. Peristiwa selanjutnya malah membuat perempuan yang
hampir menginjak usia kepala tiga itu ternganga heran. Dengan dada
berdegup kencang dia menyaksikan sesuatu yang sulit dimengerti oleh akal
sehatnya.
Ya, lihatlah apa yang terjadi! Beberapa lama setelah
membentur-benturkan tubuhnya dan serpihan-serpihan mirip sisik itu
berjatuhan, maka perlahan namun pasti hewan melata itu berubah wujud
menjadi sosok pemuda belasan tahun yang sangat tampan, dengan sorot
matanya yang tajam.
Melihat peristiwa ajaib ini Sumi tersurut
beberapa langkah. Dia nyaris tak percaya. Namun, ketika dia menyadari
bahwa itu sesuatu yang nyata, dia bermaksud segera pergi meninggalkan
tempat itu guna meminta pertolongan.
"Jangan takut padaku, Ibu Sumi!"
cegah pemuda jelmaan buaya itu, ketika melihat Sumi akan pergi. Wanita
itu segera menahan langkahnya.
"Percayalah padaku. Aku takkan berbuat
jahat padamu, malah aku akan menolongmu. Tapi, kau harus berjanji untuk
tidak menceritakan kejadian ini pada siapapun, anggap aku ini sebagai
anakmu”.
"Baiklah!" jawab Sumi. "Tapi siapa namamu, Nak?"
"Namaku Joko Andelo!" jawab si pemuda.
Ringkas
cerita, setelah peristiwa itu, kehidupan Sumi bertambah senang. Hatinya
juga selalu bahagia dan terhibur, sebab Joko Andelo terjun ke
masyarakat dan disukai banyak orang. Tak hanya wajahnya yang tampan dan
gagah. Dia juga ramah kepada siapa saja. Banyak juga gadis desa yang
tergila-gila padanya. Salah satunya yang menaruh hati padanya adalah
Sulastri, kembang desa tempat Sumi lahir, besar, dan kini tinggal.
Ternyata, Joko Andelo juga sangat senang pada Sulastri. Keduanya pun
saling jatuh cinta.
Pada hari yang ditentukan, Joko Andelo akhirnya menikah dengan Sulastri dan mereka hidup bersama.
Suatu hari Joko Andelo berkata pada Sulastri, "Sebenarnya Bu Sumi bukanlah ibu kandungku."
"Bukan ibumu?" tanya Sulastri, keheranan. "Lalu siapa ibu kandungmu yang sebenarnya?" Sulastri menatap penuh keingintahuan.
"Ibuku ada di desa seberang. Maukah kau menemui orang tuaku?"
Dengan
hati penasaran akhirnya Sulastri menerima ajakan suaminya. Mereka lalu
pergi. Mula-mula berjalan menuju seberang sungai Cimanceuri. Dalam
perjalanan itu Joko terus menceritakan bahwa di desa tempat tinggalnya
sangat menyenangkan, penduduknya ramah, makmur dan sentosa.
Sulastri
membayangkan keadaan dimana dia berada di sebuah desa yang amat ramai.
Ketika dia sedang bermain di alam hayalnya, tiba-tiba suaminya berada di
sebuah muka perkampungan yang sangat asing bagi Sulastri.
"Inilah desa tempat orang tuaku tinggal," ucap Joko pada Sulastri.
Sesaat
Sulastri terkejut. Dia hampir tak percaya melihat desa yang tampak
begitu makmur. Semua rumah penduduknya bagus, bercat putih bersih.
"Lalu, mana rumah orang tuamu?" tanya Sulastri.
"Sebentar lagi kita tiba!" jawab Joko.
Mereka
terus berjalan. Tatapan penduduk semua begitu ramah menyambut
kedatangan mereka. Di sana-sini saling menyapa, anak-anak kecil bermain
kejar-kejaran. Semuanya kelihatan bahagia.
Joko menuntun isterinya
menuju ke sebuah rumah. Begitu masuk, mereka disambut oleh suami isteri
yang telah berusia separuh baya. Merekalah ibu dan ayah Joko Andelo.
Sulastri
tak tahu apa yang terjadi dengan suaminya. Yang pasti, selama tinggal
di rumah mertuanya itu dia merasa betah, jauh lebih menyenangkan
daripada tempat tinggalnya. Tetapi dia teringat pada orang tuanya,
sehingga Sulastri bermaksud pulang menjenguk mereka. Ketika hendak
pulang dan mengajak serta suaminya, Joko tidak mau, karena harus menjaga
kedua orang tuanya.
Akhirnya Sulastri memutuskan untuk pulang
sendiri. Dia pun berjalan sampai di muka perkampungan, tetapi tiba-tiba
dirinya langsung muncul dari hulu sungai Cimanceuri dengan pakaian yang
basah kuyup. Betapa terkejutnya dia pada kenyataan ini. Namun, setelah
kejadian itu barulah Sulastri tersadar bahwa Joko Andelo, suaminya bukan
manusia biasa, melainkan sebangsa siluman.
Setelah pulang, Sulastri
bertanya pada Ibu Sumi tentang siapa Joko sebenarnya. Sumi menceritakan
asal-usul pertemuannya dengan Joko sampai dia memelihara dan merawat
Joko.
Beberapa bulan kemudian, Joko menjemput Sulastri ke rumahnya.
Tetapi Sulastri tidak mau ikut, karena dia merasa bahwa alamnya berbeda.
Lalu Joko Andelo berpesan pada isterinya, jika Sulastri ingin bertemu
dengan dirinya, maka pukul saja beduk, dengan begitu diapun akan datang
menemuinya.
Tetapi karena penduduk tempat tinggal Sulastri beragama
Islam dan setiap waktu sholat terlebih dahulu memukul beduk, jadi Joko
mengunjungi Sulastri sebanyak 5 kali dalam sehari. Maka di sungai
Cimanceuri kerap bermunculan buaya. Konon, buaya-buaya itu adalah
pengantar Joko ketika pergi dan pulang kembali. Akibatnya, wargapun
menjadi resah.
Hingga pada suatu hari, Sulastri melahirkan seorang
bayi dan bayi itu diserahkan pada Joko dengan syarat Joko tidak muncul
lagi untuk menemuinya.
Begitulah, kini tak ada lagi buaya yang muncul di Kali Cimanceuri sejak ratusan tahun silam peristiwa ini terjadi.