Kisah
mistis ini seperti dituturkan AF. Saat menjalani operasi ginjal,
persisnya di saat tak sadarkan diri akibat pengaruh obat bias, ruhnya
melanglang ke alam gaib. Dia bertemu dengan sosok putri yang cantik
jelita, yang mengaku sebagai Dewi Lanjar. Apa yang terjadi kemudian...?
Aku
seorang lelaki berusia 42 tahun. Sebut saja namaku Heru. Sejak aku
menikah dengan Sarah (bukan nama sebenarnya) dua puluh tahun silam,
hanya satu orang anak yang lahir dari rahimnya. Sarah adalah seorang
istri yang sangat pengertian, setia, dan penuh kasih sayang. Apalagi
dengan Andika (bukan nama sebenarnya), anak semata wayang kami. Tentu
saja, kami sangat mengharapkan suatu hari nanti Andika menjadi anak yang
bisa berbakti dan menghargai orang tuanya, dan berguna bagi orang lain.
Pada
pertengahan Maret tahun 2003, aku terpaksa terbaring di rumah sakit.
Menurut diagnosis dokter, ginjal kananku tak lagi berfungsi sebagaimana
layaknya ginjal manusia normal. Istriku dengan setia sekali
mendampingiku setiap saat. Kulihat wajahnya penuh dengan keharuan
mendalam karena tak kuasa melihat keadaanku. Apa daya, setiap penyakit
akan datang tanpa pernah terduga. Kehadirannya begitu cepat dan
tiba-tiba.
Selama
menjalani opname, untuk sementara waktu aku harus meninggalkan
pekerjaanku pada sebuah kantor Dinas Catatan Sipil. Seminggu sebelum aku
menjalani operasi, dokter sempat memeriksa ginjal milik Andika,
putraku. Dan alhamdulilah dinyatakan sehat oleh dokter. Dengan
keteguhan hati yang sangat kuat, Andika rela memberikan salah satu
ginjalnya padaku, ayahnya tercinta.
Aku
begitu terharu atas sikapnya yang tak terduga itu. Saat itu anakku
sudah lebih dulu berada di ruang operasi.
Aku teringat ketika detik-detik pertama memasuki ruang operasi. Sarah yang mengiringi kereta dorong tempatku berbaring lemah, terus melangkah sambil sesekali melelehkan air mata. Genggaman tangannya begitu erat. Aku bisa memahami apa yang dikhawatirkan istriku saat itu.
Aku teringat ketika detik-detik pertama memasuki ruang operasi. Sarah yang mengiringi kereta dorong tempatku berbaring lemah, terus melangkah sambil sesekali melelehkan air mata. Genggaman tangannya begitu erat. Aku bisa memahami apa yang dikhawatirkan istriku saat itu.
Belum
lagi istriku memikirkan Andika yang ginjalnya harus ditukar denganku.
Yang jelas saat itu istriku mengalami beban mental yang cukup berat.
Tapi aku yakin, Sarah akan selalu tabah dan sabar menunggu dan banyak
berdoa, memohon pada Yang Maha Kuasa agar suami dan anaknya diberi
keselamatan dalam menghadapi cobaan.
"Kuat
dan tabahkan dirimu, Pak!" Suara istriku sambil terisak. Aku yakin
banyak hal yang ingin dia katakan padaku. Namun ketika dia menatapku
dalam-dalam, semuanya menjadi kabur dan lama-kelamaan menghilang. Yang
ada di dalam hatiku hanya perasaan khawatiran yang amat sangat.
"Jangan
menangis, Sarah. Teruslah berdoa dan memohon pada Tuhan, agar aku
diberi keselamatan dan panjang umur," kataku lirih tak berdaya.
Sarah
mengangguk dan berdiri kaku di hadapanku. Kini aku sudah berada di
ruang operasi. Kini, kuserahkan segala hidup dan matiku kepada Tuhan.
Apa daya ternyata aku harus berjuang sekuat tenaga. Seandainya saja
Andika tidak keras kepala, tidak menyerahkan salah satu ginjalnya
untukku, mungkin saat itu aku sudah meninggal.
Ketika
salah seorang dokter menyuntikkan cairan bius ke dalam tubuhku,
tiba-tiba pandanganku menjadi gelap gulita. Dan tak lama setelah itu aku
seperti terhempas, aku tak sadarkan diri. Namun yang kurasakan
selanjutnya, jiwaku perlahan-lahan serasa melayang. Aku dapat melihat
dengan jelas apa yang dilakukan tim dokter di ruang operasi itu. Perutku
dibedah, sedangkan tubuhku saat itu lemah tak berdaya dengan mata
terpejam.
Ternyata
saat itu aku tidak sendirian, jauh di alam yang tidak kukenal
sebelumnya, tampak seorang wanita tengah bersamaku. Dan secara
bersamaan, menyaksikan tubuhku yang tak berdaya sedang dioperasi.
"Apa
yang kau lakukan di tempat ini?" Tanyaku pada wanita yang cantik bagai
seorang dewi itu. Sebelum dia menjawabnya, aku kian sadar akan siapa
diriku yang sebenarnya. "Bukankah aku tak berdaya karena sakit dan
kenapa aku berada disini?" Gumamku tanpa melihat wajah perempuan itu.
"Kamu sudah berada di alam lain, yang sebelumnya tidak pernah kamu lihat," cetus wanita itu dengan suara lembut.
"Apakah aku telah mati?"
"Ya, bisa juga dikatakan seperti itu."
"Lalu,
siapa kamu sebenarnya? Dan kenapa harus aku yang kau bawa kemari?”
tanyaku semakin penasaran. Ketika itu aku telah merasa kalau diriku
berada di sebuah ruangan besar yang afak temaram, tapi jelas bukan di
ruang operasi seperti pada awalnya.
"Aku
adalah Dewi Lanjar. Kamu tentu pernah mendengar namaku bukan? Dan untuk
saat ini kamu beruntung, dapat bertemu langsung dengan pemilik nama
itu. Kamu termasuk orang yang beruntung, Heru!" Katanya sambil
melayang-layang. Aneh! Kenapa aku sendiri mudah sekali mengangkat
tubuhku? Kemanapun Dewi Lanjar itu melayang, aku selalu mengikutinya.
"Lalu, mengapa harus aku yang kau bawa kemari, Dewi?" tanyaku lagi.
"Sebenarnya apa yang kamu cari selama bekerja siang dan malam di dunia?" Dia malah balik bertanya.
Sesaat aku terdiam.
“Uang! Ya, uang untuk memenuhi segala kebutuhan hidupku juga istri dan anakku. Memangnya kenapa, Dewi?"
"Heru...!"
Dia menatapku dengan teduh. "Kalau kamu menginginkan uang, kamu akan
mendapatkan semua itu dengan mudah disini. Harta kekayaan macam apa lagi
yang kamu inginkan, kamu tinggal menyebutnya asalkan kamu patuh dan
menuruti apa yang aku katakan. Jangan lupa, bulatkan hatimu untuk
memilih kekayaan itu."
"Semudah itukah, Dewi?" Aku ragu.
"Ya...!"
Dewi Lanjar menggengam tanganku, dia menarik dan membawaku entah ke
mana. Aku bahkan tak peduli lagi dengan tubuhku yang masih dibedah. Yang
kurasakan saat itu, aku tengah mengembara jauh meninggalkan bumi
pertiwi. Hingga akhirnya aku seperti berada di sebuah bangunan istana
yang begitu megah. Istana itu sepertinya berdiri kokoh di atas gugusan
awan.
Aku
terpana dengan pemandangan yang kusaksikan saat itu. Semua yang kualami
tak pernah kulihat sebelumnya di muka bumi ini. Pintu gerbang istana
itu terbuka dengan sendirinya. Aku tertegun akan bentuk bangunan yang
luar bisa megah dan luas. Persis sebuah istana para rtaja dalam dongeng.
Tetapi menurutku perkiraanku masih kalah megahnya dengan istana yang
kumasuki saat ini.
Layaknya
seorang tamu kebesaran, aku disambut dengan baik oleh Dewi Lanjar.
Bahkan setiap jengkal sudut ruangan istana diterangkannya padaku. Memang
ada segelintir orang yang lalu lalang. Entah siapa mereka. Aku tak
tahu, yang jelas wujud mereka sama sepertiku, manusia.
Tak
lama kemudian, tibalah aku di sebuah kamar yang amat luas. Bentuk
ranjangnya yang teramat mewah, tirai putih yang menyelimuti ranjang itu
juga sangat bagus. Seakan menambah suatu kenyamanan jika aku merebahkan
tubuhku di atasnya.
Sejenak
aku menatap wajah rupawan Dewi Lanjar. Kecantikan yang dimilikinya
memang luar biasa. Sangat tepat seperti putri atau bidadari.
"Silahkan kalau kamu mau beristirahat,' katanya singkat dan tangannya menunjuk ke arah tempat tidur mewah itu.
"Inikah tempat tinggalmu, Dewi?"
"Ya,
tinggallah disini untuk beberapa hari lamanya. Apa saja yang kamu
inginkan, semuanya sudah tersedia di sini," kata wanita cantik yang
mengaku Dewi Lanjar itu.
Aku
mengerjapkan mataku dan mendekati ranjang itu. Kurebahkan tubuhku di
atas kasur empuk. Aku merasakan kenyamanan yang luar biasa. Seumur hidup
aku tak pernah merebahkan tubuhku di tempat sebagus itu. Sejenak
kulihat Dewi Lanjar tersenyum saat menatapku, dan tak lama kemudian dia
melangkah keluar. Aneh! Tiba-tiba saja pintu kamar itu pun menutup
dengan sendirinya. Seperti ada remot kontrolnya.
Entah
apa yang ada dalam pikiranku saat itu. Ketika aku baru saja memejamkan
mata, tiba-tiba Dewi Lanjar sudah berada di ruangan yang sama. Tapi saat
itu sosok tubuh Dewi Lanjar dalam keadaan bugil, tanpa secuil pun kain
yang melekat di tubuhnya. Dengan tatapan matanya yang sayu dan rambut
yang dibiarkan tergerai, dia mulai mendekatiku.
Pandangan
mataku menangkap apa yang dia lakukan. Sepasang bukit kembarnya yang
membusung indah, kontan menggetarkan seluruh jiwa ragaku. Bahkan tanpa
segan, Dewi Lanjar melucuti pakaianku.
Dalam
beberapa saat, tak terasa aku telah tampil dalam keadaan bugil, tanpa
sehelai benang pun yang menempel di tubuhku. Wanita cantik berambut
hitam panjang itu pun merangkak dan naik di atas tubuhku.
Dengan
gelora yang terus membumbung tinggi, aku menciumi aroma wangi tubuhnya
yang terus menggelora dan membakar gairahku. Dia mencium bibirku,
melumat dan memilinnya perlahan-lahan. Sebagai laki-laki normal, kontan
saja membuatku terangsang hebat akibat mendapat serangan Dewi Lanjar.
Sejuta gairah menyelubungi jiwaku. Apalagi saat bukit kembarnya yang
putih dan mengkal itu menempel ketat di dadaku.
Saat
itu aku benar-benar dibuat tak berdaya. Aku hanya diam dan merasakan
sentuhan lembut yang terus dilancarkan Dewi Lanjar. Wanita cantik itu
tak ubahnya kuda binal yang luar biasa garang, apalagi ketika sudah
melakukan persetubuhan dengan lawan jenisnya. Desahan dan rintihan
keluar dari mulutnya, seiring dengan kenikmatan yang dirasakannya.
Ketika
senjata andalanku, yang sejak tadi telah menegang dahsyat, kini mulai
menunjukkan kehebatannya, seketika wajah Dewi Lanjar mendongak ke atas
langit-langit. Matanya terpejam-pejam seiring gerakan tubuhnya ke atas
dan ke bawah. Saat itu aku hanya bisa menerima dan pasrah dengan semua
yang terjadi.
Setelah
saatnya tiba, Dewi Lanjar merasa puas setelah beberapa kali berhubungan
denganku. Peristiwa demi peristiwa berlangsung begitu cepat. Lalu, Dewi
Lanjar membawaku ke sebuah ruangan yang lagi-lagi tak kalah megahnya.
Dia berdiri di sebuah singgasana kebesaran seorang putri raja. Aku
berdiri dua meter dari jaraknya berdiri dengan posisi lebih tinggi. Di
samping kanan kirinya tampak dua orang dayang-dayang cantik sedang
memegang kipas di tangannya.
"Katakan
saja, apakah kau menginginkan harta kekayaan. Kesenangan dunia, seperti
yang telah aku katakan kemarin," kata Dewi Lanjar yang terkesan lembut
namun tegas.
"Kekayaan apa yang dapat kuperoleh, Dewi?" Tanyaku.
"Semua itu tergantung dengan permintaanmu. Tapi dengan satu syarat," katanya dengan mengangkat satu jari telunjuk.
“Katakanlah, Dewi! Syarat apa yang harus aku penuhi?” Sahutku.
"Kau
harus rela menyerahkan nyawa orang yang paling kau kasihi, jika perlu
anakmu sendiri. Dengan syarat itu kau akan menjadi orang terkaya, yang
memiliki banyak harta. Bahkan, segala macam usaha yang kau jalankan
nanti akan mengalami kemjuan yang begitu pesat."
Ketika
mendengar ucapan ini, aku terkejut setengah mati. Sungguh, aku tak
pernah membayangkan sedikit pun dengan syarat yang akan diajukan Dewi
Lanjar. Saat itu juga, aku langsung menolak syarat gila yang
diinginkannya. Harta kekayaan yang dia tawarkan padaku adalah dengan
menjual nyawa orang yang kucintai, rasanya itu tidak akan terjadi. Aku
tidak mungkin menyetujuinya. Tidak!
Karena
aku tidak mau memenuhi persyaratan yang diinginkan Dewi Lanjar,
akhirnya aku diusir keluar dari istananya yang megah. Aku masih ingat
sekali, bagaimana wanita itu mengeluarkanku dengan sangat marah. Dan saat
itu pula pandanganku kembali gelap gulita. Tidak lama kemudian, mataku
mulai terbuka. Samar-samar aku mendengar banyak orang berkerumun di
sekelilingku, yang menungguiku di dalam kamar perawatan rumah sakit.
Ketika
pandangan mataku menangkap sosok wajah istriku, saat itu matanya nampak
membengkak. Dia segera memeluk tubuhku yang masih terbaring lemah.
“Pak, Alhamdulillah akhirnya kau selamat. Aku takut sekali kehilanganmu, Pak....” suara Sarah sambil terisak.
"Ada apa ini?" Tanyaku heran. Di sekelilingku, kulihat wajah-wajah kerabat dekatku tengah berkumpul.
"Dokter bilang Bapak sudah meninggal. Kondisimu terlalu lemah sekali, sehingga tidak kuat menjalani operasi."
Aku tercengang sambil menarik nafas panjang. "Bagaimana dengan anak kita, Bu? Apakah dia baik-baik saja?"
"Ya, Andika baik-baik saja, Pak. Dia akan senang sekali melihatmu sudah sehat kembali."
Tak
lama kemudian, seorang pemuda berkulit putih memasuki kamar dan
mendekatiku. Tangis bahagia menghiasi suasana saat itu. Bahkan istriku,
Sarah, nyaris tak bisa membendung lagi air matanya. Seminggu setelah
operasi berjalan, dokter yang menanganiku menginjinkan aku di rawat
jalan. Aku tak mungkin lama-lama tinggal di rumah sakit. Hal itu
disebabkan biaya yang kami keluarkan sangat besar sekali.
Setelah
kesehatanku dan Andika mulai berangsur-angsur membaik, akhirnya aku
mulai menceritakan apa yang telah terjadi pada diriku, tatkala aku
berada di alam yang tak pernah kutahu sebelumnya. Memang, di daerahku,
tepatnya di Pekalongan bagian Utara sering terdengar misteri seputar
Dewi Lanjar yang konon dapat memberikan kekayaan dengan syarat mau
menumbulkan nyawa anak kesayangan.
Aku
sempat menemui orang pintar yang mengerti tentang alam gaib Dewi
Lanjar. Orang pintar tersebut justru membenarkan sikapku yang telah
berhasil menolak ajakan sesatnya, yaitu meminta syarat manusia sebagai
tumbal. Dan mengenai hubungan intim yang aku lakukan bersama Dewi
Lanjar, menurutnya itu tak akan berakibat apa-apa.