Kedua orang tua
Wardiman mati secara bersamaan dengan sebab yang tak jelas. Nyatanya,
mereka pulang ke Laut Selatan untuk melunasi perjanjian. Bagaimana kisah
mistis selanjutnya….
Rasa rindunya yang sudah tak
terbendung lagi untuk dapat bertemu dengan kedua orang tuanya, meskipun
cuma sebatas mimpi, telah menghantarkan Wardi di batas keheningan. Desah
nafas melankolik yang paling lemah sekalipun terdengar sangat nyaring.
Semua hampa! Kosong! Dan kekosongan itu terasa semakin lama semakin
menyempit. Hatinya yang gelisah tak menentu, dapat diumpamakan sebuah
panggung teater yang kosong tanpa pemain.
Keterkejutan yang luar
biasa melanda Wardi. Entah bagaimana ceritanya, di hadapannya telah
berdiri seorang laki-laki tua. Dalam pada itu Wardi ingin menjerit
sekuat-kuatnya. Namun apa daya, mulutnya memang terbuka, akan tetapi
suaranya seperti tersekat di tenggorokan. Dan suara itu hanya bergaung
di dalam dadanya sendiri.
Tidak tahu persis apa yang menyebabkan
semua itu terjadi, tiba-tiba saja suhu badan Wardi meninggi. Tetapi apa
daya, badannya lunglai dan suhu tubuhnya mendingin. Dua menit, tiga
menit, hingga lima menit, Wardi tidak bergerak dan detak nadinya sama
sekali tidak terasa. Apakah dia telah mati?
"Siapapun adanya dirimu,
kumohon jangan ganggu aku. Pergi...!!" Wardi menjadi semakin panik
ketika kakek misterius itu menatapnya dengan pandangan aneh. Tapi
hardikannya itu hanya menggema di dalam dadanya.
"Cukup!" Kakek
misterius itu menggeram dan suaranya laksana guruh tanda sangkala kiamat
telah datang. "Aku bukan yang membunuh kedua orang tuamu, tapi kedua
orang tuamu sendirilah yang telah membunuh hidupnya sendiri. Sekarang
ikutlah bersamaku. Kita lihat apa yang terjadi dengan kedua orang
tuamu!"
Wardi tak tahu
apa yang dimaksudkan kakek itu. Dan bukankah
dia tak pernah menuduh siapapun atas kematian kedua orang tuanya? Wardi
semakin menggigil. Laki-laki tua yang berpakaian serba putih itu
mengulurkan tangannya dan siap membimbing Wardi untuk jalan berbarengan
bersamanya. Wardi hanya bisa bersikap pasrah. Dia tak kuasa menolak
ajakan lelaki misterius itu.
Melihat sikap yang ditunjukkan Wardi,
laki-laki yang berjenggot panjang itu tertawa sangat keras. Tawa itu
membuat Wardi semakin menggigil ketakutan. Dia merasa tawa itu
seolah-olah tawa kemenangan iblis yang telah berhasil menjurumuskan Adam
dan Hawa untuk memakan Buah Terlarang, sehingga mereka terusir dari
taman sorga.
Sambil terus berjalan entah kemana dirinya dibawa pergi,
Wardi perlahan-lahan mulai peka dengan lingkungannya yang baru. Dia
mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Hatinya berdebar-debar tanpa sebab
yang jelas.
Sesuai pesan laki-laki yang menuntunnya, Wardi terus
berpegangan tangan, namun tak berani bertanya walau sepatah katapun.
Sesekali dia melihat kakek itu menempelkan jari telunjuknya persis di
bibirnya, memberi isyarat supaya dirinya tidaklah bicara sepatah
katapun, meski Wardi merasa sangat heran dengan perjalanan yang
dilaluinya. Ya, dia merasa tubuhnya begitu ringan, seringan kapas. Tak
hanya itu, dia juga menyaksikan tempat di sekelilingnya yang sangat
asing. Seumur hidup Wardi tak pernah melihat tempat seperti itu.
Manakala
langkah-langkah mereka telah sampai di sebuah perkampungan baru yang
suasananya sangat sunyi, Wardi memejamkan matanya. Ya. perasaannya
mengatakan ada yang ganjil. Tak lama kemudian dia membuka matanya dan
matanya menjadi liar memandang sekelilingnya. Dia kemudian dihadapkan
pada kenyataan yang selama ini belum pernah dilihatnya. Entah bagaimana
ini bisa terjadi, dia melihat makhluk yang berwarna hijau campur warna
biru, tingginya setinggi tumpukan buah kiwi, kepalanya bundar, mempunyai
buntut mungil dan tiga jari kaki dan jari tangan. Apakah jenis makhluk
itu? Wardi terheran-heran.
Untuk yang kesekian kalinya, Wardi
hampir-hampir tak mempercayai akan penglihatannya sendiri. Setelah
melihat makhluk aneh berwarna campuran hijau dan biru itu, kini dia
dihadapkan pada kenyataan yang lebih seru. Dia melihat rombongan katak
yang berjejer, berbaris rapi. Pasukan katak itu seperti tengah
memberikan penghormatan kepada laki-laki tua misterius yang mengajak
Wardi. Sementara itu, Wardi hanya mengatupkan bibirnya rapat-rapat,
dengan sekujur tubuh menggigil hebat.
Pikiran Wardi semakin
berkecamuk tak karuan. Dia merasakan saat ini dirinya tidak lagi berada
di bumi yang hanya akan bertemu dengan manusia, tapi seperti di dalam
Station of Babylon 5 dalam serial Star Trek yang penuh dengan
makhluk-makhluk angkasa luar.
Suasana ganjil benar-benar
menyelimutinya. Wardi tak tahu harus bagaimana lagi. Hampir-hampir saja
dia tak percaya pada penglihatannya sendiri. Dalam hati dia terus
bertanya-tanya, bagaimana ini bisa terjadi? Apalagi ketika dia melihat
seekor katak tengah mengayuh kendaraan mirip sepeda kumbang.
Benar-benar edan!
Keganjilan-keganjilan
yang ditemuinya menggelitik pikiran dan nuraninya. Biarpun begitu,
mulutnya tetap bungkam. Keinginan dan harapannya untuk dapat bertemu
dengan kedua orang tuanya mendorongnya untuk bersikap tut wuri
handayani. Ya, dia menurut saja!
Benar adanya. Harapannya untuk dapat
bertemu dengan kedua orang tuanya akhirnya menjadi kenyataan juga.
Dalam pada itu pikirannya menyusuri masa kecil, di saat dirinya bermain
pluturan daun jambe bersama kedua orang tuanya.Wardi tersenyum kecut.
Tiba-tiba saja lahirlah kembali kekosongan. Mendadak ada sesuatu yang
tampak dari sorot mata kedua orangtuanya itu seperti kosong, karena
seolah-olah harapan telah hilang. Kekosongan, itu menyiratkan kesedihan
dan penderitaan yang sangat panjang.
"Benarkah itu Bapak dan Ibuku...?" Wardi menggumam.
Dia
lalu termangu-mangu. Persoalan kodrat telah menggelitik nuraninya.
Gejolak jiwa yang berpendar merata yang akan menuju ketidakterbatasan,
menjadi kondisi yang teramat menyedihkan. Wardi mempunyai pemikiran
bahwa kedua orang tuanya tidak mampu menemukan suatu tempat
peristirahatan dalam kondisi kosong. Wardi merasakan keheningan yang
teramat liar! Kekosongan itu telah berubah maknanya. Segala sesuatnya
berkahir dengan tragis. Teramat menyedihkan!
Kekosongan itu telah
berubah makna, bukan lagi sebuah kematian, akan tetapi sebuah penantian
kedua orang tuanya. Dan kematian kedua orang tuanya ternyata bukanlah
akhir kehidupan. Dugaannya bahwa arwah kedua orang tuanya menemukan
kedamaian abadi di sisi Tuhan, meleset jauh. Dan gambaran yang tergelar
di hadapannya saat ini adalah realitas.
Semasa hidupnya dulu, orang
tua Wardi adalah orang terkaya di Kecamatan Trowulan. Juragan sapi yang
sukses, sawahnya ada dimana-mana. Tapi kini, semua telah berubah jauh.
Di ruang dan waktu yang telah menjadi momen miliknya, kedua orang tuanya
menjadi budak! Budak alam lelembut! Dulu semasa hidupnya orang tuanya
yang berkuasa atas setan-setan itu. Kini sebaliknya, penghuni alam
lelembut itu yang berkuasa atas orang tuanya.
Mereka tengah memetik buah. Kedua orang tuanya menjadi budak, tukang angon sapi di alam lelembut sampai kiamat datang.
"Segala perbuatan itu harus ada bayarannya," laki-laki tua yang menuntun Wardi tertawa keras sekali.
"Bapak...Ibuuu...!"
jerit panjang Wardi ketika melihat kedua orang tuanya menerima cambukan
yang bertubi-tubi. Benar-benar tak ada rasa perikeiblisan.
Bersama
jerit panjang itu, semuanya menjadi gelap. Pegangan tangan si kakek
terlepas. Bersamaan dengan itu juga laki-laki misterius yang berpakaian
serba putih yang telah membawanya bertemu dengan kedua orang tuannya
yang sekarang telah menjadi budak di Laut Kidul, tiba-tiba lenyap tanpa
bekas.
***
Keluarga Wardi benar-benar pasrah, demikian para
tetangga yang telah berkumpul di rumahnya, juga yakin kalau Wardi telah
meninggal. Orang-orang sudah mulai membaca surat Yasin sebagian lagi
mempersiapkan perlengkapan (ubo rampen) upacara pemakaman. Sepuluh menit
kemudian, orang-orang yang ada di rumah itu dikejutkan suara erangan
dari mulut Wardi. Lelaki anak tunggal Pak Karso dan Bu Karso itu tidak
jadi meninggal. Dia kemudian menangis sesunggukan sambil berpelukan pada
Lek Sugiman, adik dari ayahnya.
"Bapak…Ibu, Lek! Mereka…mereka!"
Geragap Wardi. Dia merasa sulit menceritakan apa yang baru saja
dialaminya. Dan dia merasa hal itu memang tak pantas diceritakan di
tengah suasana tetangga yang sedang ramai. Dia tak sanggup membongkar
aib itu.
Kuasa Tuhan memang teramat besar. Yang dianggap tidak masuk
akal oleh manusia, bisa terjadi demikian mudahnya. Persiapan-persiapan
upacara pemakaman kembali dibatalkan. Wardi benar-benar hidup kembali.
Mata
Wardi yang sebelumnya terpejam, kini terbuka lebar. Tapi pandangannya
serasa hampa. Bayangan kedua orag tuanya yang kini telah menjadi budak
di Laut Kidul terus bermain-main di pelupuk matanya. Dia kembali
tenggelam dalam pikirannya yang kalut. Barangkali kedua orang tuanya
harus di Laut Kidul untuk membayar perjanjian yang telah disepakati
antara kedua orang tuanya dengan penguasa Laut Kidul.