Pengalaman
traumatik itu nyaris menghempaskan mimpi-mimpiku tentang keindahan
cinta. Bahkan, seumur-umur aku tak pernah berani membayangkan apa arti
kemesraan yang sebenarnya. Seks bagiku adalah sesuatu yang menakutkan,
sekaligus menjijikan. Persepsi inilah yang kemudian membentuk karakterku
menjadi seorang gadis yang dingin. Ya, tak ada secuilpun keinginan di
hatiku untuk memiliki kekasih, apalagi mengharapkan sentuhan kemesraan
dari seorang pria idamanku.
Semua
persepsi negatif tentang seks yang sempurna menghuni batinku itu
terbentuk akibat sebuah pengalaman yang sangat tragis, bahkan mungkin
menjijikan sekali. Hal itu terjadi ketika aku baru duduk di bangku kelas
1 SMA. Sama sekali tidak pernah terlintas dalam benakku, seseorang yang
selama ini begitu penuh perhatian terhadap diriku, ternyata telah
membenamkanku di dalam lumpur kenistaan.
Malam
itu, semuanya berlangsung bagai neraka. Ketika aku tengah tertidur
pulas, lelaki itu datang. Dia menindih tubuhku, dan membekap mulutku.
Nafasnya yang memburu itu menyapu wajahku, yang ketika itu bangun dengan
ketakutan.
"Diam, atau semua orang akan tahu tentang apa yang kita lakukan malam ini?”
Dia
mengancamku. Ya, Tuhan! Aku menganal suaranya. Ya, orang yang tengah
menindih tubuhku dengan nafas penuh nafsu itu tak lain adalah Kak Riko.
Dia adalah Kakak tiriku. Dia lahir dari isteri papaku terdahulu yang
telah lama meninggal dunia.
Serasa
tak percaya, untuk beberapa saat lamanya aku tidak berusaha
memberontak. Namun,
dengan barnafsu Kak Riko mencium wajah dan leherku, bahkan dua bukit kembar di atas dadaku.
dengan barnafsu Kak Riko mencium wajah dan leherku, bahkan dua bukit kembar di atas dadaku.
"Kak, jangan…!" aku coba memohon.
Namun,
dia seperti srigala kelaparan yang baru mendapatkan mangsa. Dengan
bernafsu dia malah menarik gaun tidurku hingga sobek. Gerakannya pun
semakin buas sampai nafasku dibuat sesak. Dengan sekuat tenaga kucoba
membanting tubuhnya. Namun, Kak Riko yang atletis itu memang bukanlah
lawanku. Tenaganya yang kuat membuatku tak berdaya.
Malam
itu, aku benar-benar seperti seekor kelinci di mulut srigala kelaparan.
Setelah kehabisan tenaga untuk menyelamatkan diri, aku coba mencari
pertolongan dengan berteriak. Namun apalah artinya, sebab tangan Kak
Riko yang kuat itu telah membekap mulutku dan menguncinya. Karena kalap
dibakar birahi, dia bahkan tak perduli ketika telapak tangannya kugigit
kuat-kuat. Dia sepertinya tak merasa kesakitan sama sekali.
Yang
terjadi selanjutnya tentu gampang diterka. Dengan gairah yang membara,
Kak Riko memacuku. Dia sama sekali tak perduli pada rintihan dan
tangisku.
Segalanya
memang berlangsung begitu cepat. Aku sama sekali tak menyangka kalau
Kakak tiriku yang selama ini begitu perhatian dan sangat meyayangiku
ternyata telah tega memperkosaku. Malam itu kehancuran begitu jelas
membayang dalam pelupuk mataku.
Saat
tergolek lemah di atas pembaringanku yang telah bernoda darah perawan,
kutampari wajah Kak Riko. Dia hanya meringis menangis sakit.
"Maafkan aku, Lia. Aku hilap!" katanya, getir.
Aku
tersudut di dinding kamar dengan air mata yang mengalir deras. Kak Riko
meninggalkanku sambil berkali-kali meninju sendiri wajahnya. Dan sejak
itu, aku begitu membencinya. Bahkan kemudian aku meminta Mamaku untuk
mengirimku ke Bandung, ke rumah Nenekku, dan melanjutkan sekolah di sana.
Mulanya Mama dan Papa tiriku menolak keinginanku untuk pindah ke rumah Nenek ke Bandung. Namun, dengan alasan ingin menjaga Nenek, akhirnya mereka mengijinkannya.
Kak
Riko sendiri merasa kebaratan dengan keputusanku itu. "Biar aku saja
yang pergi dari rumah ini. Aku bisa pindah ke Jogya dan tinggal bersama
Eyang Kakungku di sana," katanya, coba membujukku.
Tapi,
aku sudah benar-benar muak dengannya. Apapun yang dikatakannya sama
sekali tak membuat sikapku berubah. Bahkan seumur hidup aku tak ingin
lagi melihat lelaki bernama Riko Prasetyo, yang dulu kuanggap sebagai
seorang kakak yang baik hati terhadap adiknya itu. Dia tidak hanya
menyakiti tubuhku dan hatiku, namun dia juga telah menghancurkan masa
depanku….
***
Peristiwa pemerkosaan yang terjadi persis di tengah malam itu memang sungguh bagaikan monster yang seumur hidup selalu membuatku ketakutan. Ya, aku mengalami trauma yang sangat dalam, sampai-sampai aku selalu merasa jijik bila membayangkan seorang pria menyentuh tubuhku, dan bermesraan dengannya. Karena itu adalah wajar jika semenjak SMA hingga duduk di bangku perguruan tinggi tak pernah sekalipun aku berpacaran. Padahal, tak sedikit pria yang naksir berat padaku. Namun, jangankan membalas cinta mereka, mimpi ngobrol berduaan dengan mereka saja rasanya begitu menjijikan.
Peristiwa pemerkosaan yang terjadi persis di tengah malam itu memang sungguh bagaikan monster yang seumur hidup selalu membuatku ketakutan. Ya, aku mengalami trauma yang sangat dalam, sampai-sampai aku selalu merasa jijik bila membayangkan seorang pria menyentuh tubuhku, dan bermesraan dengannya. Karena itu adalah wajar jika semenjak SMA hingga duduk di bangku perguruan tinggi tak pernah sekalipun aku berpacaran. Padahal, tak sedikit pria yang naksir berat padaku. Namun, jangankan membalas cinta mereka, mimpi ngobrol berduaan dengan mereka saja rasanya begitu menjijikan.
Sampai
kemudian aku lulus menjadi Sarjana dan bekerja di sebuah perusahaan
agen properti, mimpi untuk mempunyai kekasih itu tak pernah terlintas
walau secuilpun. Padahal, menjelang usia 28 tahun, aku sudah sangat
pantas menjadi isteri dan ibu dari seorang anak. Tapi apa boleh buat,
aku sungguh-sungguh tak berseeara pada lelaki, terlebih bila ingatanku
melayang pada kejadian malam itu. Rasanya, semua lelaki adalah makhluk
yang sangat kejam dan tak patut diberi perhatian.
Barangkali,
pendirianku itu memang salah. Tapi, siapa yang akan mampu mengobati
luka hatiku akibat perbuatan Kak Riko yang sedemikian kejam dan
menyakitkan? Sungguh, tak seorangpun yang mampu melakukannya. Termasuk
Kak Riko, yang akhirnya memilih bekerja dan tinggal di Amerka karena dia
mengaku merasa malu dan sangat berdosa telah menodai diriku.
Pengorbanan Kak Riko itu sama sekali tak cukup. Apalagi dia tak mungkin
bisa mengembalikan kesucian diriku.
Aku
telah mengubur dalam-dalam semua mimpi untuk menjalani kehidupan normal
sebagai seorang wanita yang bersuami dan melahirkan anak-anak.
Persepsiku tentang seks yang menakutkan dan menjijikan itu benar-benar
tak dapat diubah lagi. Namun, semua ini akhirnya harus kukaji ulang
ketika aku diperkenalkan oleh Nenek dengan seorang pria bernama Gusman.
Sikapnya yang begitu simpatik membuatku cukup terkesan kepadanya. Namun,
bukan semata hal ini yang membuatku harus bertempur habis-habisan untuk
merubah persepsiku tentang seks dan perkawinan. Adalah keinginan Nenek
yang membuatku terpaksa harus menyerah.
"Sebelum
meninggal, Nenek ingin melihat kau menikah, Lia. Nenek mohon, terimalah
ramalan Gusman. Dia anak yang baik dan dari keturunan baik-baik juga.
Kakeknya masih memiliki hubungan kerabat dengan keluarga kita," pinta
Nenek dengan penuh harap.
Aku
tak mungkin bisa melawan keinginan Nenek, sebab dialah yang selama ini
menjadi tumpuan hidupku sejak peristiwa malam itu menimpaku. Lagi pula,
benar yang dikatakan Nenek. Gusman adalah seorang pria yang baik. Sejak
setengah tahun mengenalnya, dan kami sering pergi berduaan, tak pernah
sekalipun dia bertindak tak senonon pada diriku. Bahkan, menyentuh
wajahku saja belum pernah dilakukannya. Dia begitu menghormatiku. Dia
begitu menjunjung drajatku sebagai seorang wanita. Tak hanya itu, dia
juga seorang pria yang telah mapan. Taraf pendidikannya cukup tinggi,
begitupun dengan status sosial ekonominya. Dia adalah seorang pengusaha
muda yang sukses. Dengan ketampanan dan kedudukannya aku yakin dia bisa
mendapatkan calon pendamping hidup yang melebihi diriku. Namun, Gusman
mengaku tak bisa jatuh cinta ke wanita lain selain diriku.
Lantas, haruskah aku menyamakan Gusman seperti Kak Riko atau pria-pria pengumbar syahwat lainnya?
Aku
mencoba untuk bersikap bijak. Setidaknya, aku mencoba menempatkan
Gusman sebagai suatu pengecualian. Dengan niat untuk membahagiakan
Nenekku yang telah renta, aku memang harus mengubah penderianku selama
ini.
Akhirnya,
aku menerima lamaran Gusman. Namun, keputusan ini akhirnya melahirkan
kegamangan baru dalam diriku. Ya, aku begitu takut jika Gusman yang pria
bertipe konvensional itu tiba-tiba mempermasalahkan status
keperawananku. Sebagai seorang yang masih kuat memegang tradisi, Gusman
tentu akan sangat kecewa bila tahu kalau aku sudah tak perawan lagi
akibat kebejatan yang dilakukan Kak Riko di malam jahanam itu.
"Kita kan sama-sama berasal dari keluarga menak
(bangsawan Sunda-Red) yang terpandang. Karena itu aku yakin kau seorang
gadis yang sangat memegang kehormatan. Ya, aku sangat mendambakan
kesucian tubuh seorang wanita seperti dirimu, sebab itu jauh lebih
berharga dari apapun."
Kata-kata
Gusman itu selalu terngiang-ngiang dalam gendang telingaku. Akupun
merasa semakin gamang. Mengapa tidak dari dulu Gusman mengatakan hal
itu, sehingga aku tidak dibuat merasa dikejar-kejar kesalahan? Mengapa
Gusman mengatakan hal tersebut setelah aku resmi menerima pinangan kedua
orang tuanya? Lantas, apakah aku harus membatalkan rencana pernikahan
antara aku dengan dirinya?
Tidak
mungkin! Kalau hal ini yang kutempuh, berarti aku telah mencorengkan
aib di muka keluargaku. Bisa jadi juga ini membuat Nenekku akan sangat
kecewa, dan secara langsung berarti juga aku telah melukai batinnya.
Lalu, apa yang harus aku lakukan?
Aku
benar-benar bingung menghadapi hal ini. Untunglah di tengah kebingungan
ini ada Neni, sehabatku semasa kuliah. Dialah yang memberikan solusi
padaku. Meski hal itu sangat naif, namun mau tak mau aku harus mencoba
jalan keluar yang diberikan Neni.
Kata
Neni, dia kenal dengan seorang paranormal yang bisa meracik benda gaib
yang berkhasiat untuk mengembalikan keperawanan. Mulanya, aku sangat
sulit percaya. Namun, mendengar cerita Neni yang menyebutkan kalau salah
seorang sepupunya pernah membuktikan kehebatan benda tersebut, maka aku
pun mencoba untuk mempercayainya.
"Sepupuku
itu punya kasus yang hampir sama seperti dirimu. Alhamdulillah,
semuanya berjalan sukses berkat bantuan paranormal itu," tegas Neni.
"Apa mungkin seorang wanita yang telah diperkosa bisa kembali seperti perawan?" desakku.
"Aku mendengar semua dari mulutnya sendiri. Pokoknya, malam pertamanya sukses, nggak ada komplin dari suaminya yang juga ortodoks seperti Gusman, calon suamimu itu," tegas Neni lagi.
Karena
cerita Neni yang begitu meyakinkan, akhirnya aku mau juga berkunjung ke
rumah paranormal yang asli orang Banten itu. Singkat cerita, paranormal
yang akrab disapa Pak Amung itu memberiku sebuah benda yang disebutnya
sebagai Mustika Sutra Garba. Benda itu bentuknya seperti ikat pinggang,
atau persisnya angkin yang terbuat dari kain putih. Menurut Pak Amung, di dalam angkin
ini terdapat berbagai racikan benda-benda gaib, seperti Buluh Perindu
dan Getah Sutra. Cara membuatnya juga tidak sembarangan, melainkan harus
dengan lelaku puasa mutih selama 10 hari.
Angkin
tersebut harus aku pakai sebelum 40 hari 40 malam sebelum tiba saat
pernikahanku dengan Gusman. Jadi, selama 40 hari 40 malam aku harus
mengikatkan apa yang disebut sebagai Mustika Sutra Garba itu di
pinggangku. Bahkan pada saat duduk di pelaminanpun aku harus memakainya.
Pas memasuki malam pertama barulah angkin tersebut harus aku buka.
"Berdasarkan
pengalaman yang sudah-sudah, Alhamdulillah hasilnya sukses. Yang
penting, kamu harus yakin seratus persen. Mudah-mudahan syareat ini
berjodoh denganmu," kata Pak Amung, seperti menebar angin surga.
Walau
sedikit agak sinting, aku berusaha keras untuk meyakini kehebatan dari
benda mistis bernama Mustika Sutra Garba itu. Alhasil, akupun
menggunakan benda itu selama 40 hari 40 malam sampai pas malam pertama.
Selama waktu tersebut, aku tak pernah melepaskan benda tersebut,
termasuk ketika mandi.
Pas
malam pertama, sesuai dengan petunjuk Pak Amung, Mustika Sutra Garba
aku lepas sambil berandam di air kembang tujuh rupa yang telah dimantrai
oleh Pak Amung. Hasilnya?
Benar-benar
menakjubkan. Seprai ranjang pengantinku ternoda oleh darah perawan, dan
Kang Gusman, suamiku, benar-benar percaya bahwa mahkotaku ini masih
suci.
Entah
bagaimana hal ini bisa terjadi. Mungkin, inilah bukti kalau terapi gaib
yang dilakukan oleh Pak Amung lewat Mustika Sutra Garba memang
benar-benar ampuh. Aku sangat berterima kasih padanya. Berkat kelebihan
ilmu Pak Amung, aku terbebas dari ketakutan yang begitu panjang
menghantui hari-hariku.