Jumat, 16 Desember 2011

DEMI KEPERAWANAN AKU JALANI RITUAL GAIB

Kisah mistis ini d oleh Lia Amalia di Bandung. Karena gundah memikirkan ketidakperawanannya, mojang priangan ini nekad melakukan sebuah ritual mistis yang disebutnya dengan nama Mustika Sutra Garba. Bagaimana kisahnya? Berikut ini kesaksian Lia kepada Penulis…..
Pengalaman traumatik itu nyaris menghempaskan mimpi-mimpiku tentang keindahan cinta. Bahkan, seumur-umur aku tak pernah berani membayangkan apa arti kemesraan yang sebenarnya. Seks bagiku adalah sesuatu yang menakutkan, sekaligus menjijikan. Persepsi inilah yang kemudian membentuk karakterku menjadi seorang gadis yang dingin. Ya, tak ada secuilpun keinginan di hatiku untuk memiliki kekasih, apalagi mengharapkan sentuhan kemesraan dari seorang pria idamanku.
Semua persepsi negatif tentang seks yang sempurna menghuni batinku itu terbentuk akibat sebuah pengalaman yang sangat tragis, bahkan mungkin menjijikan sekali. Hal itu terjadi ketika aku baru duduk di bangku kelas 1 SMA. Sama sekali tidak pernah terlintas dalam benakku, seseorang yang selama ini begitu penuh perhatian terhadap diriku, ternyata telah membenamkanku di dalam lumpur kenistaan.
Malam itu, semuanya berlangsung bagai neraka. Ketika aku tengah tertidur pulas, lelaki itu datang. Dia menindih tubuhku, dan membekap mulutku. Nafasnya yang memburu itu menyapu wajahku, yang ketika itu bangun dengan ketakutan.
"Diam, atau semua orang akan tahu tentang apa yang kita lakukan malam ini?”
Dia mengancamku. Ya, Tuhan! Aku menganal suaranya. Ya, orang yang tengah menindih tubuhku dengan nafas penuh nafsu itu tak lain adalah Kak Riko. Dia adalah Kakak tiriku. Dia lahir dari isteri papaku terdahulu yang telah lama meninggal dunia.
Serasa tak percaya, untuk beberapa saat lamanya aku tidak berusaha memberontak. Namun,
dengan barnafsu Kak Riko mencium wajah dan leherku, bahkan dua bukit kembar di atas dadaku.
"Kak, jangan…!" aku coba memohon.
Namun, dia seperti srigala kelaparan yang baru mendapatkan mangsa. Dengan bernafsu dia malah menarik gaun tidurku hingga sobek. Gerakannya pun semakin buas sampai nafasku dibuat sesak. Dengan sekuat tenaga kucoba membanting tubuhnya. Namun, Kak Riko yang atletis itu memang bukanlah lawanku. Tenaganya yang kuat membuatku tak berdaya.
Malam itu, aku benar-benar seperti seekor kelinci di mulut srigala kelaparan. Setelah kehabisan tenaga untuk menyelamatkan diri, aku coba mencari pertolongan dengan berteriak. Namun apalah artinya, sebab tangan Kak Riko yang kuat itu telah membekap mulutku dan menguncinya. Karena kalap dibakar birahi, dia bahkan tak perduli ketika telapak tangannya kugigit kuat-kuat. Dia sepertinya tak merasa kesakitan sama sekali.
Yang terjadi selanjutnya tentu gampang diterka. Dengan gairah yang membara, Kak Riko memacuku. Dia sama sekali tak perduli pada rintihan dan tangisku.
Segalanya memang berlangsung begitu cepat. Aku sama sekali tak menyangka kalau Kakak tiriku yang selama ini begitu perhatian dan sangat meyayangiku ternyata telah tega memperkosaku. Malam itu kehancuran begitu jelas membayang dalam pelupuk mataku.
Saat tergolek lemah di atas pembaringanku yang telah bernoda darah perawan, kutampari wajah Kak Riko. Dia hanya meringis menangis sakit.
"Maafkan aku, Lia. Aku hilap!" katanya, getir.
Aku tersudut di dinding kamar dengan air mata yang mengalir deras. Kak Riko meninggalkanku sambil berkali-kali meninju sendiri wajahnya. Dan sejak itu, aku begitu membencinya. Bahkan kemudian aku meminta Mamaku untuk mengirimku ke Bandung, ke rumah Nenekku, dan melanjutkan sekolah di sana.
Mulanya Mama dan Papa tiriku menolak keinginanku untuk pindah ke rumah Nenek ke Bandung. Namun, dengan alasan ingin menjaga Nenek, akhirnya mereka mengijinkannya.
Kak Riko sendiri merasa kebaratan dengan keputusanku itu. "Biar aku saja yang pergi dari rumah ini. Aku bisa pindah ke Jogya dan tinggal bersama Eyang Kakungku di sana," katanya, coba membujukku.
Tapi, aku sudah benar-benar muak dengannya. Apapun yang dikatakannya sama sekali tak membuat sikapku berubah. Bahkan seumur hidup aku tak ingin lagi melihat lelaki bernama Riko Prasetyo, yang dulu kuanggap sebagai seorang kakak yang baik hati terhadap adiknya itu. Dia tidak hanya menyakiti tubuhku dan hatiku, namun dia juga telah menghancurkan masa depanku….
***

Peristiwa pemerkosaan yang terjadi persis di tengah malam itu memang sungguh bagaikan monster yang seumur hidup selalu membuatku ketakutan. Ya, aku mengalami trauma yang sangat dalam, sampai-sampai aku selalu merasa jijik bila membayangkan seorang pria menyentuh tubuhku, dan bermesraan dengannya. Karena itu adalah wajar jika semenjak SMA hingga duduk di bangku perguruan tinggi tak pernah sekalipun aku berpacaran. Padahal, tak sedikit pria yang naksir berat padaku. Namun, jangankan membalas cinta mereka, mimpi ngobrol berduaan dengan mereka saja rasanya begitu menjijikan.
Sampai kemudian aku lulus menjadi Sarjana dan bekerja di sebuah perusahaan agen properti, mimpi untuk mempunyai kekasih itu tak pernah terlintas walau secuilpun. Padahal, menjelang usia 28 tahun, aku sudah sangat pantas menjadi isteri dan ibu dari seorang anak. Tapi apa boleh buat, aku sungguh-sungguh tak berseeara pada lelaki, terlebih bila ingatanku melayang pada kejadian malam itu. Rasanya, semua lelaki adalah makhluk yang sangat kejam dan tak patut diberi perhatian.
Barangkali, pendirianku itu memang salah. Tapi, siapa yang akan mampu mengobati luka hatiku akibat perbuatan Kak Riko yang sedemikian kejam dan menyakitkan? Sungguh, tak seorangpun yang mampu melakukannya. Termasuk Kak Riko, yang akhirnya memilih bekerja dan tinggal di Amerka karena dia mengaku merasa malu dan sangat berdosa telah menodai diriku. Pengorbanan Kak Riko itu sama sekali tak cukup. Apalagi dia tak mungkin bisa mengembalikan kesucian diriku.
Aku telah mengubur dalam-dalam semua mimpi untuk menjalani kehidupan normal sebagai seorang wanita yang bersuami dan melahirkan anak-anak. Persepsiku tentang seks yang menakutkan dan menjijikan itu benar-benar tak dapat diubah lagi. Namun, semua ini akhirnya harus kukaji ulang ketika aku diperkenalkan oleh Nenek dengan seorang pria bernama Gusman. Sikapnya yang begitu simpatik membuatku cukup terkesan kepadanya. Namun, bukan semata hal ini yang membuatku harus bertempur habis-habisan untuk merubah persepsiku tentang seks dan perkawinan. Adalah keinginan Nenek yang membuatku terpaksa harus menyerah.
"Sebelum meninggal, Nenek ingin melihat kau menikah, Lia. Nenek mohon, terimalah ramalan Gusman. Dia anak yang baik dan dari keturunan baik-baik juga. Kakeknya masih memiliki hubungan kerabat dengan keluarga kita," pinta Nenek dengan penuh harap.
Aku tak mungkin bisa melawan keinginan Nenek, sebab dialah yang selama ini menjadi tumpuan hidupku sejak peristiwa malam itu menimpaku. Lagi pula, benar yang dikatakan Nenek. Gusman adalah seorang pria yang baik. Sejak setengah tahun mengenalnya, dan kami sering pergi berduaan, tak pernah sekalipun dia bertindak tak senonon pada diriku. Bahkan, menyentuh wajahku saja belum pernah dilakukannya. Dia begitu menghormatiku. Dia begitu menjunjung drajatku sebagai seorang wanita. Tak hanya itu, dia juga seorang pria yang telah mapan. Taraf pendidikannya cukup tinggi, begitupun dengan status sosial ekonominya. Dia adalah seorang pengusaha muda yang sukses. Dengan ketampanan dan kedudukannya aku yakin dia bisa mendapatkan calon pendamping hidup yang melebihi diriku. Namun, Gusman mengaku tak bisa jatuh cinta ke wanita lain selain diriku.
Lantas, haruskah aku menyamakan Gusman seperti Kak Riko atau pria-pria pengumbar syahwat lainnya?
Aku mencoba untuk bersikap bijak. Setidaknya, aku mencoba menempatkan Gusman sebagai suatu pengecualian. Dengan niat untuk membahagiakan Nenekku yang telah renta, aku memang harus mengubah penderianku selama ini.
Akhirnya, aku menerima lamaran Gusman. Namun, keputusan ini akhirnya melahirkan kegamangan baru dalam diriku. Ya, aku begitu takut jika Gusman yang pria bertipe konvensional itu tiba-tiba mempermasalahkan status keperawananku. Sebagai seorang yang masih kuat memegang tradisi, Gusman tentu akan sangat kecewa bila tahu kalau aku sudah tak perawan lagi akibat kebejatan yang dilakukan Kak Riko di malam jahanam itu.
"Kita kan sama-sama berasal dari keluarga menak (bangsawan Sunda-Red) yang terpandang. Karena itu aku yakin kau seorang gadis yang sangat memegang kehormatan. Ya, aku sangat mendambakan kesucian tubuh seorang wanita seperti dirimu, sebab itu jauh lebih berharga dari apapun."
Kata-kata Gusman itu selalu terngiang-ngiang dalam gendang telingaku. Akupun merasa semakin gamang. Mengapa tidak dari dulu Gusman mengatakan hal itu, sehingga aku tidak dibuat merasa dikejar-kejar kesalahan? Mengapa Gusman mengatakan hal tersebut setelah aku resmi menerima pinangan kedua orang tuanya? Lantas, apakah aku harus membatalkan rencana pernikahan antara aku dengan dirinya?
Tidak mungkin! Kalau hal ini yang kutempuh, berarti aku telah mencorengkan aib di muka keluargaku. Bisa jadi juga ini membuat Nenekku akan sangat kecewa, dan secara langsung berarti juga aku telah melukai batinnya. Lalu, apa yang harus aku lakukan?
Aku benar-benar bingung menghadapi hal ini. Untunglah di tengah kebingungan ini ada Neni, sehabatku semasa kuliah. Dialah yang memberikan solusi padaku. Meski hal itu sangat naif, namun mau tak mau aku harus mencoba jalan keluar yang diberikan Neni.
Kata Neni, dia kenal dengan seorang paranormal yang bisa meracik benda gaib yang berkhasiat untuk mengembalikan keperawanan. Mulanya, aku sangat sulit percaya. Namun, mendengar cerita Neni yang menyebutkan kalau salah seorang sepupunya pernah membuktikan kehebatan benda tersebut, maka aku pun mencoba untuk mempercayainya.
"Sepupuku itu punya kasus yang hampir sama seperti dirimu. Alhamdulillah, semuanya berjalan sukses berkat bantuan paranormal itu," tegas Neni.
"Apa mungkin seorang wanita yang telah diperkosa bisa kembali seperti perawan?" desakku.
"Aku mendengar semua dari mulutnya sendiri. Pokoknya, malam pertamanya sukses, nggak ada komplin dari suaminya yang juga ortodoks seperti Gusman, calon suamimu itu," tegas Neni lagi.
Karena cerita Neni yang begitu meyakinkan, akhirnya aku mau juga berkunjung ke rumah paranormal yang asli orang Banten itu. Singkat cerita, paranormal yang akrab disapa Pak Amung itu memberiku sebuah benda yang disebutnya sebagai Mustika Sutra Garba. Benda itu bentuknya seperti ikat pinggang, atau persisnya angkin yang terbuat dari kain putih. Menurut Pak Amung, di dalam angkin ini terdapat berbagai racikan benda-benda gaib, seperti Buluh Perindu dan Getah Sutra. Cara membuatnya juga tidak sembarangan, melainkan harus dengan lelaku puasa mutih selama 10 hari.
Angkin tersebut harus aku pakai sebelum 40 hari 40 malam sebelum tiba saat pernikahanku dengan Gusman. Jadi, selama 40 hari 40 malam aku harus mengikatkan apa yang disebut sebagai Mustika Sutra Garba itu di pinggangku. Bahkan pada saat duduk di pelaminanpun aku harus memakainya. Pas memasuki malam pertama barulah angkin tersebut harus aku buka.
"Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, Alhamdulillah hasilnya sukses. Yang penting, kamu harus yakin seratus persen. Mudah-mudahan syareat ini berjodoh denganmu," kata Pak Amung, seperti menebar angin surga.
Walau sedikit agak sinting, aku berusaha keras untuk meyakini kehebatan dari benda mistis bernama Mustika Sutra Garba itu. Alhasil, akupun menggunakan benda itu selama 40 hari 40 malam sampai pas malam pertama. Selama waktu tersebut, aku tak pernah melepaskan benda tersebut, termasuk ketika mandi.
Pas malam pertama, sesuai dengan petunjuk Pak Amung, Mustika Sutra Garba aku lepas sambil berandam di air kembang tujuh rupa yang telah dimantrai oleh Pak Amung. Hasilnya?
Benar-benar menakjubkan. Seprai ranjang pengantinku ternoda oleh darah perawan, dan Kang Gusman, suamiku, benar-benar percaya bahwa mahkotaku ini masih suci.
Entah bagaimana hal ini bisa terjadi. Mungkin, inilah bukti kalau terapi gaib yang dilakukan oleh Pak Amung lewat Mustika Sutra Garba memang benar-benar ampuh. Aku sangat berterima kasih padanya. Berkat kelebihan ilmu Pak Amung, aku terbebas dari ketakutan yang begitu panjang menghantui hari-hariku.
Loading