Dari pernikahan dengan puteri jin
Gunung Semeru itu, ia dikaruniai beberapa orang anak. Meski kini mereka
hidup di alam terpisah, namun anak-anak itu kerap masih
mengunjunginya....
Peristiwa pernikahan antara manusia dan
jin masih menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Kontroversi
tentang hal itu bukan hanya terjadi pada masyarakat umum, para ulama pun
saling beda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa pernikahan mahluk dari
dua alam berbeda ini tidak mungkin terjadi, tetapi pendapat lain
mengatakan hal itu bisa terjadi jika Allah menghendaki. Sebab, "Tidak
ada yang mustahil bagi Allah jika Dia telah menghendaki". Begitu dalil
yang dikemukakan oleh mereka yang mempercayai fenomena yang cukup asyik
diperdebatkan ini.
Peristiwa yang dituturkan dalam tulisan ini adalah
sebuah kisah nyata, yang dialami seorang pemuda bernama Achmad Rais
Abdillah, pada tahun 1976. Pemuda itu sekarang telah menjadi seorang
Kyai sekaligus mengasuh pondok pesantren Tahfidz Al-Quran Mathlaul Huda
di Pekon Ambarawa, Pringsewu, Tanggamus.
Bagaimana peristiwa itu terjadi? Berikut kisah mistisnya....
Diceritakan,
pada suatu hari di tahun 1976, matahari masih miring 45 derajat di arah
Timur, Rais Abdillah masih santai di rumahnya ketika seorang temannya
bernama Hatib datang menjemputnya. Hatib mengajaknya memancing ikan di
sungai Brego. Sungai ini berada di Alas Purwo, di kaki Gunung Raung,
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Tempat mancing itu berjarak sekitar
30 km dari rumah orang tua Rais Abdillah, yakni di Desa Kemuning Sari
Kidul, Kec. Jenggawah, Kab. Jember, Jawa Timur. Sejak lama kawasan Alas
Purwo dipercaya sangat angker, sehingga jarang sekali orang yang berani
masuk ke dalamnya.
Hari itu, Rais Abdillah dan Hatib berangkat ke
sungai Brego mengendarai sepeda motor. Sesampai di tempat tujuan
keduanya memarkir sepeda motor di tepi sungai, lalu keduanya pun
memancing ikan.
Karena asyik mancing, tak terasa waktu bergulir
hingga tiba saatnya shalat Dzuhur. Hatib masih saja memancing ketika
terdengar suara adzan. Sementara itu, Rais Abdillah buru-buru berwudlu
untuk segera shalat. Saat mengambil air wudlu inilah tiba-tiba ia
mendengar
suara perempuan yang menyapanya, "Permisi, Mas! Aku tersesat,
apa boleh aku bertanya?"
Mendengar sapaan itu, Rais spontan menoleh
ke arah asal suara. Dilihatnya ada seorang wanita cantik duduk di
punggung kuda putih. Pakaian wanita itu berupa baju sutera hijau, yang
menutup seluruh tubuhnya dari leher hingga mata kaki. Aneh, dari mana
datangnya wanita itu? Pikir Rais.
Sesaat mata Rais Abdillah beradu
pandang dengan wanita itu. Dengan terheran-heran Rais melangkah
mendekati si gadis. Karena merasa aneh ada wanita cantik di tengah Alas
Purwo, Rais pun memberanikan diri bertanya, "Adik ini siapa? Kok berani
main di hutan sendirian?"
Yang ditanya tersenyum menawan. "Saya
tersesat, Mas. Teman-teman sudah pulang semua, saya ditinggal sendirian.
Dan, saya tidak tahu jalan pulang. Mas bisa mengantar saya, kan?" kata
gadis itu, penuh harap.
Aneh, seperti dihipnotis Rais Abdillah mengiyakan permintaan gadis itu. "Tapi, adik pulangnya kemana?" tanyanya.
"Ke Gunung Semeru, Mas!" jawabnya singkat.
Rais
semestinya bingung mendengar jawaban itu. Namun, karena ada kekuatan
gaib yang mempengaruhinya, maka dengan entengnya ia menjawab, "Baiklah
kalau begitu, saya naik motor dan kamu naik kuda," demikian kata Rais.
"Kita naik kuda saja. Motornya ditinggal di sini," kata gadis misterius itu dengan suara manja.
Rais termenung sesaat. "Ya sudah, saya duduk di depan, kamu di belakang," kata Rais mengalah.
"Masak begitu? Mas yang di belakang, saya di depan," rajuk si gadis dengan suara manja.
Sekali
lagi Rais mengalah. Mereka lalu naik ke punggung kuda meninggalkan Alas
Purwo menuju Gunung Semeru. Jarak Alas Purwo dengan Gunung Semeru
sekitar 200 Km. Sungguh, sebuah jarak yang lumayan jauh.
Anehnya,
lari kuda yang mereka tunggangi itu makin lama makin kencang dan
perlahan-lahan bahkan mengangkasa. Rais Abdillah dapat menyaksikan
dengan jelas pohon-pohon di Alas Purwo yang berada di bawah mereka.
Tapi, saat itu mulutnya seakan-akan terkunci untuk bertanya. Bahkan, dia
merasa hal itu wajar saja.
Aroma Cinta
Dalam
perjalanan itulah, Rais merasakan aroma wangi dari tubuh wanita itu. Ia
lalu menyorongkan wajahnya ke muka untuk melihat wajah si gadis yang
duduk di depannya. Rais terperangah. Gadis itu ternyata sangat cantik
dan berkulit halus mulus. Sebagai pemuda baru kali ini Rais melihat
gadis yang kecantikannya luar biasa. Lalu muncul hasratnya untuk
memperisteri si gadis.
"Namamu siapa, Dik?" tanya Rais tanpa
basa-basi. Sejak pertemuan di pinggir Sungai Brego tadi keduanya belum
mengetahui nama masing-masing.
"Maimunah, Mas!" jawabnya. Suara gadis itu terdengar merdu sekali.
"Kamu mau jadi isteri saya?" Rais kembali bertanya. Ia sendiri tidak mengerti mengapa bisa nekad begini.
"Saya
mau, asal Abah saya mengizinkan," katanya memberi angin, seraya minta
Rais Abdillah menyampaikan hal itu kepada ayahnya sesampai mereka di
rumah nanti. Maimunah kemudian menuturkan bahwa dirinya punya limabelas
saudara perempuan yang semuanya sangat mirip dengannya.
"Jika Abah
mengizinkan Mas menikahi saya, maka Abah akan meminta Mas menunjuk diri
saya dengan tepat diantara enambelas gadis (termasuk dirinya) yang
semuanya serupa," papar Maimunah. "Kalau Mas bisa menebak dengan tepat,
maka saya jamin kita pasti akan dinikahkan," tambahnya.
"Lalu bagaimana saya bisa membedakan Adik dengan saudara-saudaramu?" tanya Rais Abdillah.
"Nanti
akan ada tanda. Saat Mas disuruh menebak, akan ada seekor samberlilen
(sejenis serangga yang biasa digunakan untuk bahan pembuatan Susuk
Kecantikan-Red) hinggap di salah satu bahu kami. Nah, itulah saya,"
katanya.
Singkat cerita, tibalah mereka di kampung halaman Maimunah,
yakni sebuah perkampungan bangsa jin di puncak Gunung Semeru. Kehidupan
di sana hampir sama dengan kehidupan manusia. Di sana ada pasar, masjid,
kios-kios pedagang, dan orang-orang yang hilir mudik.
Sesampai di
rumah, mereka disambut ayah Maimunah. Sang ayah mengaku bernama Haji
Abdullah. Rais pun diperkenalkan dengan limabelas saudara perempuan
Maimunah. Rais terperangah, karena semuanya sangat mirip dengan
Maimunah, gadis yang baru saja bersamanya tadi. Saat itu Rais tidak
dapat membedakan mana Maimunah dan mana yang bukan.
Setelah istirahat beberapa saat, Haji Abdullah bertanya padanya tentang minatnya mempersunting Maimunah.
"Iya, saya ingin memperistri Maimunah, puteri Bapak," kata Rais.
"Saya
tidak keberatan, asal Ananda bisa menebak dengan tepat yang mana
Maimunah di antara limabelas saudara-saudaranya itu," kata Haji Abdullah
memberi syarat.
"Baiklah, saya siap," timpal Rais Abdillah.
Maka
acara menebak pun dimulai. Haji Abdullah memanggil keenambelas puterinya
agar berkumpul. Setelah mereka berkumpul Rais dipersilakan menebak.
Rais pun mulai berputar-putar di sekitar keenambelas puteri jin itu. Dia
kebingungan menebak, karena tanda-tanda yang disebutkan Maimunah belum
tampak.
Namun, tak lama kemudian seekor samberlilen masuk ke ruangan
itu, berputar-putar sejenak, lalu hinggap di bahu salah seorang gadis
puteri Haji Abdullah. Tanpa menunggu lama-lama Rais langsung menunjuk
gadis itu sebagai Maimunah.
"Yang itu!" seru Rais Abdillah, yang langsung disambut dengan pelukan oleh Haji Abdullah.
"Tepat,
ternyata Ananda punya pandangan makrifat. Belajar dimana ilmu makrifat
itu?" kata Haji Abdullah. Setelah itu tuan rumah pun langsung menggelar
acara pernikahan puterinya dengan Rais Abdillah. Acara berlangsung
dengan tatacara Islam, namun sangat sederhana.
Pulang ke Kampung
Setelah
resmi menjadi menantu Haji Abdullah, Rais diminta mertuanya untuk
membantu berdagang. Tugasnya adalah menjaga kios milik mertuanya, yakni
sebuah kios yang menyediakan semua kebutuhan dapur. Mulai dari beras,
kunyit, jahe, merica dan segala bumbu dapur komplit tersedia.
Perkawinannya dengan puteri jin ini membuahkan tiga orang puteri, yang masing-masing diberi nama Hunainah, Dalilah, dan Fatihah.
Waktu
terus berjalan. Tak terasa telah sepuluh tahun berlalu, Rais tiba-tiba
rindu pada ibunya di kampung. Dia lalu mengutarakan hal itu pada
mertuanya. Sang mertua maklum, dia memberi izin Rais pulang sekalian
membawa anak dan isterinya.
Tapi sayang, isterinya tidak bersedia
ikut Rais ke kampungnya. Alasannya, dia tidak bisa pisah dengan orang
tuanya. Rais diminta memilih, tetap tinggal bersamanya atau ingin pulang
tapi mereka harus bercerai.
Karena merasa sudah sangat lama tidak
bertemu ibunya, Rais pun memilih berpisah dengan isterinya. Terpaksa ia
harus pulang sendiri ke kampung halamannya. Namun, perceraian itu tidak
membuat mereka bertengkar. Mereka bercerai secara baik-baik. Bahkan,
ketika hendak berangkat Rais dibekali oleh mertuanya sekeranjang kunyit.
Ia pun dipinjami kuda putih yang pernah ia tunggangi bersama isterinya,
Maemunah. Rais Abdillah kemudian dilepas oleh isteri dan anak-anaknya
beserta mertua dan adik-adik ipar yang limabelas orang itu. Suasana haru
mengantar kepergian Rais Abdillah.
Sebagaimana ketika berangkatnya
dulu, ketika pulang inipun kuda yang dia tunggangi tidak menjejak tanah.
Kuda jin ini meluncur di angkasa kira-kira dua kali tinggi pohon
kelapa. Dalam perjalanan itu pula ia dapat menyaksikan aktivitas
penduduk yang dilewatinya. Ia melihat dengan jelas beberapa tetangganya
yang tengah ngobrol di pasar, di jalan, bahkan ada yang sedang mengayuh
becak. Ketika berjumpa dengan para tetangganya itu, ia ceritakan apa
yang dilihatnya tadi, para tetangganya membenarkan.
Yang membuat
heran para tetangganya, tempat mereka beraktivitas antara satu dengan
yang lainnya berjauhan, terpisah sampai puluhan kilometer. Dan mereka
tahunya Rais Abdillah berada di Alas Purwo. "Kok kamu tahu? Padahal saat
itu kamu di Alas Purwo?" tanya seorang tetangganya terheran-heran. Rais
hanya tersenyum saja.
Mengenai kunyit pemberian mertuanya tadi, oleh
Rais dibuangnya satu persatu di sepanjang perjalanan. Ketika mendekati
kampungnya kunyit itu hanya tersisa satu. Yang terakhir ini tidak
dibuangnya, karena bentuknya unik, yakni menyerupai sebuah gelang.
Karena bentuknya itulah, maka Rais pun memakainya sebagai gelang
ditangan kiri.
Kuda yang ditungganginya kemudian turun, lalu menepi
di Sungai Brego, Alas Purwo, tempat dimana pertama kali Rais bertemu
Maimunah. Setelah itu kuda dari Gunung Semeru itu lenyap. Rais lalu
pulang ke rumahnya.
Setiba di rumah Rais langsung menjumpai Ibunya.
Sang Ibu menyambutnya dengan peluk cium penuh haru. Namun, Rais tidak
menceritakan pengalamannya. Namun yang pasti, ketika tiba di hadapan
ibunya Rais baru menyadari bahwa kunyit yang tadi dipakainya di tangan
ternyata adalah emas. Ia lalu membawa emas itu ke toko emas untuk
diperiksa. Hasilnya sangat mengejutkan, emas itu kadarnya 24 karat
dengan berat hampir satu kilogram.
Sampai sekarang, anak-anak saya
yang dari bangsa jin itu sering mengunjungi saya. Bahkan ada yang sudah
menikah," cerita Rais yang kini sudah berusia di atas kepala lima dan
menjadi pimpinan sebuah pondok pesantren. Ia menyebut pengalaman ini
merupakan sebuah keajaiban Allah SWT yang diberikan kepada dirinya
sebagai sebuah karunia yang sangat besar.