Inilah
kisah mistis pengalaman menegangkan yang pernah dialami Ibu Masliha.
Saat menunggui anaknya yang dirawat di rumah sakit, dia ditemui sosok
pemuda tampan yang ternyata sudah menjadi mayat akibat kecelakaan.
Pemuda ini mengajaknya tidur di kamar mayat....
Saat
ini, boleh dikata hanya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Balung,
satu-satunya rumah sakit di Kabupaten Jember yang memiliki model banguna
paling istimewa. Model bangun rumah sakit yang terletak di Kecamatan
Balung ini, jauh dari kesan tempat dirawatnya orang-orang sakit.
Bangunannya tidak hanya artistik, namun sekaligus juga berada di
lingkungan yang cukup asri dan nyaman, sehingga para pasien merasa betah
menghabiskan waktu sambil menyembuhkan penyakitnya di tempat ini.
Apalagi ditambah peralatan kesehatan yang lengkap serta tenaga medis
yang terlatih, maka jelas membuat rumah sakit yang dalam lima
tahun terakhir ini terus menambah sarana dan prasarana kesehatannya,
semakin ramai dikunjungi para pasien. Bahkan, dapat dikatakan rumah
sakit ini memang semakin bergengsi.
Itulah
sekilas gambaran kondisi RSUD Balung saat ini. Keadaan tersebut sangat
bertolak belakang dengan saat pertama kali rumah sakit tersebut
didirikan, persisnya puluhan tahun yang lalu, tepatnya ketika RS itu
masih berbentuk Puskesmas. Bahkan, di tahun-tahun pertama Puskesma
Balung sempat tidak memiliki penerangan listrik, sebelum akhirnya
menggunakan listrik bertenaga diesel.
Meskipun
begitu, Puskesma yang menjadi cikal bakal RSUD Balung ini boleh dikata
tidak pernah sepi dari pasien. Karena di wilayah Jember bagian selatan,
hanya Balung-lah satu-satunya kecamatan yang memiliki Puskesmas.
Selain
keadaannya yang memprihatinkan, cerita-cerita menakutkan tentang
keberadaan Puskesma Balung bukan hal yang asing bagi warga setempat.
Juga bagi para pasien yang pernah menjalani rawat inap di sana. Ada
beberapa sumber menceritakan, pada malam hari, di tempat-tempat yang
tidak diberi penerangan, sering kali terlihat cahaya lilin yang berjalan
kesana-kemari tanpa ada yang membawa.
Tak
hanya itu,
kereta dorong yang dipakai untuk mengangkat pasien juga kerap berjalan sendiri menuju ke kamar mayat. Ditambah lagi, wujud-wujud yang menakutkan seringkali menghantui para pasien serta tenaga medis yang bekerja di sana.
kereta dorong yang dipakai untuk mengangkat pasien juga kerap berjalan sendiri menuju ke kamar mayat. Ditambah lagi, wujud-wujud yang menakutkan seringkali menghantui para pasien serta tenaga medis yang bekerja di sana.
Salah
satu pengalaman menakutkan dialami oleh Masliha, 72 tahun, saat menjaga
anaknya yang terserang muntaber dan harus menjalani rawat inap di salah
satu kamar Puskesmas Balung, tidak jauh dari kamar mayat. Kepada
Misteri, Masliha menuturkan kisah menakutkan yang dialaminya sekitar
tahun tujuh puluhan silam. Berikut ini ringkasannya...:
Sebelumnya
aku tidak pernah menginjakkan kaki di Puskesmas Balung. Jadi aku tidak
tahu ruangan-ruangan yang ada di tempat tersebut. Selama ini, kalau
anak-anakku ada yang sakit, suamikulah yang mengantar mereka berobat.
Itupun hanya penyakit ringan, yang sudah dapat disembuhkan dengan
berobat jalan.
Karena
itu, ketika anak bungsuku terkena muntaber, kekhawatiranku tidak dapat
disembunyikan. Apalagi melihat tubuhnya yang lemas, dengan wajah yang
pucat.
Tanpa
menunggu waktu lebih lama lagi, sesudah Maghrib, kami membawanya ke
Puskesmas Balung, yang jaraknya hampir 20 Km. dari rumah. Karena saat
itu masih belum ada angkutan umum yang mencari penumpang pada malam
hari, maka kami meminta bantuan tetangga yang memiliki becak untuk
mengantarkan kami ke Puskesmas Balung.
Begitu
sampai di Puskesmas, dokter langsung menangani anak bungsu saya.
Rupanya keadaan anakku lumayan gawat. Karena kehabisan banyak cairan,
dia harus diinfus, dan harus menjalani rawat inap.
"Mardi
kau jaga sendiri saja dulu ya, Bune. Aku akan pulang untuk beres-beres
rumah, dan menyelesaikan sisa pekerjaan. Besok pagi aku akan ke sini
lagi," kata suamiku setelah beberapa saat lamanya berada di dalam kamar
yang ditempati anakku.
Kamar
itu berukuran kecil. Ditempati dua ranjang dan dua lemari kecil.
Ranjang yang satu ditempati anakku, sedang ranjang lainnya ditempati
pasien yang lain seusia Mardi, yang juga menderita muntaber. Berbeda
dengan Mardi yang aku jaga seorang diri, pasien itu ditunggu kedua orang
tua serta kakaknya.
Sepeninggalan
suamiku, waktu aku habiskan dengan bercakap-cakap bersama kedua orang
tua pasien teman sekamar anakku. Cukup lama kami bertukar kata,
membicarakan apa saja untuk membunuh sepi dan mengurangi rasa dingin.
Sampai kedua orang itu mohon pamit untuk beristirahat. Menyusul anak
sulungnya yang telah terbaring di lantai yang beralaskan tikar, juga
mulai tertidur karena kantuk.
Akupun
sendiri di luar kamar, menikmati suasana sepi dan gelapnya malam.
Karena genset yang menjadi sumber penerangan, menurut penjelasan salah
seorang perawat mengalami kerusakan, maka keadaan Puskesmas itu menjadi
gelap. Cahaya lampu tempel yang menghiasi setiap ruangan, tidak mampu
melawan kegelapan. Sehingga suasana di sepanjang lorong puskesma tampak
remang-remang, seperti di lorong kuburan.
Cukup
lama aku duduk di lantai sambil bersandar pada pilar di luar kamar.
Sebenarnya, mataku sudah sangat mengantuk, dan tubuh minta direbahkan.
Tapi, melihat lantai di dalam kamar penuh sesak dengan penjaga pasien
lainnya, aku merasa risih untuk merebahkan tubuh, apalagi tidur
berdesak-desakan dengan mereka.
"Ibu sedang menunggu anaknya, ya?" tegur seorang pemuda tampan, yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku.
"I...i...iya!" Jawabku pendek dan sedikit agak gugup.
"Lebih baik ibu beristirahat di kamar sebelah sana. Kebetulan di sana
ada ranjang yang kosong. Ibu bisa memakainya untuk tidur. Daripada
duduk dilantai seperti sekarang ini, ibu bisa masuk angin. Jangan-jangan
setelah anak ibu sembuh, ganti ibu yang jatuh sakit!" nasehat pemuda
itu dengan penuh kekhawatiran. Aku menanggapinya dengan senyum kecil.
Namun, dalam hati aku membenarkannya.
"Mari, Bu. Saya antar ke kamare itu!" pemuda itu menawarkan jasanya.
Entah
karena terbawa oleh rasa lelah dan kantuk yang teramat sangat, atau
karena terpengaruh oleh suara pemuda itu yang lembut dan sopan, aku
menerima tawarannya. Tanpa menaruh curiga sedikitpun, kuikuti langkahnya
menuju kamar di bagian paling belakang. Aku ikuti terus, sampai pemuda
itu membuka pintu kamar dan memasukinya.
Ya,
berbeda dengan kamar-kamar pasien lainnya, di kamar itu sama sekali
tidak diberi penerangan. Hal ini membuat mataku untuk beberapa saat
lamanya tidak bisa melihat. Baru setelah terbiasa dengan suasana gelap
ruangan itu, aku dapat mengetahui keadaan kamar. Meskipun samar-samar,
kulihat kamar itu sangat bersih dan terawat. Ukurannya juga lebih luas
dari kamar-kamar pasien yang lain. Ada
empat buah ranjang yang bederet sedemikian rupa, tanpa ada lemari kecil
atau benda-benda lainnya. Keempat ranjang yang ada telihat kosong,
tidak berpenghuni.
"Silahkan
beristirahat, Bu!" pemuda itu mempersilahkan sambil menunjuk ke salah
satu ranjang. Dia sendiri mengangkat tubuh dan tidur di ranjang yang
lain.
Tanpa
menaruh rasa curiga, dan tanpa bertanya sepatah katapun, aku melakukan
hal yang sama seperti dirinya. Hanya saja, aku tidak menutupi sekujur
tubuh dengan selimut sebagaimana pemuda itu.
Karena
kantuk yang teramat sangat, aku langsung terlelap begitu punggungku
menyentuh kasur di ranjang itu. Entah berapa lama aku tertidur, aku
tidak ingat. Hanya yang pasti, dalam tidur aku mendapatkan mimpi yang
sangat menyeramkan.
Dalam
mimpi itu, aku seolah tertidur di tempat yang sama, dan terjaga. Begitu
terbangun, yang kudapati hanyalah kegelapan. Akupun mencoba bangkit.
Tapi....duk! Kepalaku terantuk benda yang keras. Dalam keadaan bingung
dan takut, tanganku meraba-raba. Astaga! Aku terkurung di dalam peti.
Ya, di dalam peti jenazah?
Ketakutanku
pun semakin menjadi. Dengan menahan perasaan takut yang teramat sangat,
tangan dan kaki aku dorongkan dengan sekuat tenaga ke atas. Seketika
itu pula pintu peti terbuka, dan aku segera bangkit dengan panik. Aku
berdiri sambil memandang keadaan sekeliling. Ternyata aku masih berada
di tempat yang sama. Di sebuah kamar yang berisi empat buah ranjang.
Hanya saja kalau sebelumnya ranjang-ranjang itu kosong, tidak
berpenghuni, kini diatasnya sudah teronggok peti-peti mati yang dingin
dan beku.
Peti-peti
mati siapa itu? Batinku dengan tubuh gemetar. Kenapa peti-peti itu
berada di sini? Kapan dan siapa yang meletakannya? Berbagai pertanyaan
memenuhi benakku.
Sebelum
pertanyaan-pertanyaan itu sempat terjawab, dan sebelum rasa takut
sempat kuatasi, sudah menyusul lagi peristiwa lain yang lebih
menakutkan. Tanpa aku duga, peti-peti yang teronggok diatas ranjang itu
tiba-tiba terbuka. Disusul dengan keluarnya sosok tubuh manusia dengan
wajah pucat pasi. Akupun tidak kuasa lagi mengendalikan rasa takut.
Tanpa sadar, mulutku sudah berteriak sekeras-kerasnya. Mendadak aku pun
terjaga dari tidur.
"Astaqfirullah al'azim..." gumamku saat terjaga, dengan keringat dingin yang membasahi sekujur tubuhku.
Saat
kupandangi sekelilingku, aku terkesiap sebab aku sungguh-sungguh berada
di tempat yang sama dengan yang ada dalam mimpiku. Ya, di sebuah kamar
yang berisi empat buah ranjang. Namun, di atas ranjang-ranjang itu tidak
ada lagi onggokan peti-peti mati. Hanya di salah satu ranjang saja aku
jumpai tubuh manusia yang terutupi selimut putih. Mungkin, tubuh itu
pemuda yang semalam mengajakku tidur disini.
Pemuda
itu masih terbaring di tempatnya, dengan sekujur tubuh tertutup oleh
selimut. Dengan kesadaran yang masih belum sempurna, aku lihat pintu
kamar dibuka seseorang dari luar. Disusul dengan masuknya dua orang
perawat yang memandangku dengan sorot mata penuh tanda tanya, bahkan
setengah ketakutan.
"Ke.....kenapa ibu tidur di sini?" tanya salah seorang perawat itu dengan gugup.
"Ibu masuk lewat mana?" perawat yang lain ikut melontarkan pertanyaan. "Kamar mayat inikan terkunci."
"Kamar mayat?" gumamku tidak mengerti.
"Ya,
ini kamar mayat, Bu! Dan barusan, kami baru membuka pintunya yang masih
terkunci. Lantas, Ibu masuk dari mana?" tutur si perawat yang pertama
kali bertanya padaku.
Seketika
jantungku berdegup keras. Sambil berusaha menenangkan perasaan,
kuceritakan apa yang kualami, "Semalam saya diajak pemuda itu untuk
beristirahat di sinii." Aku menudingkan telunjuk ke arah pemuda yang
berbaring di ranjang yang lain.
Mendenar
jawabanku, salah seorang perawat berjalan menghampiri ranjang yang
ditempati pemuda itu. Kemudian membuka selimut yang menutupi tubuhnya,
sambil berkata, "Bu, pemuda ini sudah meninggal kemarin siang akibat
kecelakaan. Karena identitasnya masih belum diketahui, maka untuk
sementara waktu ditempatkan di kamar mayat ini. Coba ibu lihat sendiri."
Dari
jarak kurang dari 2 meter, aku lihat wajah pemuda yang semalam
mengajakku beristirahat di kamar mayat ini. Wajah itu tidak lagi bersih
dan tampan, sebagaimana yang aku lihat semalam. Namun, wajah itu dihiasi
luka serta bercak-bercak darah yang sudah mengering. Begitu melihat
wajah tersebut, seketika itu pula aku jatuh pingsan.