Seorang wanita cantik memberinya
selembar uang Rp. 50.000. Ternyata, ini adalah uang siluman, atau yang
kemudian dikenal dengan nama Uang Balik. Uang inilah yang pada akhirnya
membuatnya kaya raya. Lantas, apa yang kemudian terjadi….
Sebut
saja lelaki yang sejatinya berwajah tampan itu dengan nama Danu.
Penulis mengenalnya berkat jasa seorang teman, yang kebetulan juga
temannya Danu. Seperti penuturan sohib Penulis itu, Danu memiliki kisah
perjalanan hidup yang sangat mencekam. Seperti apa? Danu membeberkan
kesaksiannya. Berikut ini kami jalinkan kisahnya untuk Anda…:
Malam
itu, entah malam yang ke berapa kalinya aku dan isteriku harus tidur
dengan menahan lapar. Maklumlah, pekerjaanku yang hanya sebagai pengepul
barang rongsokan kelas teri, yang setiap hari keliling dari kampung ke
kampung dengan sepeda butut, memang tidak menentu pendapatannya. Hampir
setiap hari, kami hanya bisa makan dua piring nasi dengan sayur bening
dan secobek sambal terasi. Kalau kebetulan dapat rezeki agak lumayan,
barulah kami bisa makan dengan ikan goreng atau telur asin.
Kebetulan,
siang hari tadi hujan turun lebat sekali, sehingga aku tidak bisa
leluasa melakukan aktivitasku keliling kampung membeli koran atau
botol-botol bekas. Alhasil, tak ada kelebihan uang yang bisa kubawa
pulang, kecuali rasa letih dan kepala yang pusing akibat kehujanan
hampir seharian.
Selepas sholat Isya, aku dan isteriku hanya makan
sisa sayur asam yang tinggal airnya saja. Nasi pun hanya tinggal
sepiring, dan kami makan bersama. Walau begitu, aku masih tetap merasa
beruntung. Meski kehidupan ekonomiku carut-marut, isteriku tetap setia
mendampingku. Dia juga termasuk seorang yang tekun dalam beribadah.
Ternyata
aku tidak salah memilih Kartika sebagai pendamping hidupku. Dia tak
hanya cantik dan salehah, namun dia juga isteri yang sangat sabar dalam
menghadapi segala cobaan. Namun,
cintanya yang tulus ini membuatku
merasa bersalah, sebab aku tdak bisa membahagiakan Kartika. Jangankan
memberinya harta yang berlimpah, untuk memberi kehidupan yang layak
saja aku tidak bisa melakukannya.
Sungguh, bila ingat semua itu, tak
terasa air mataku menetes. Aku merasa telah menjadi lelaki tak berguna.
Nasib buruk sepertinya telah menjadi bagian dalam hidupku. Bukannya aku
pemalas atau tidak mau bekerja keras. Aku sudah berusaha dengan
sungguh-sungguh dalam mencari rezeki. Tapi tetap saja hasilnya
pas-pasan.
“Tika, sampai kapan hidup kita akan begini terus?” cetusku sambil memandangi wajahnya yang ayu.
“Sabar ya, Mas. Mungkin ini cobaan dari Allah!” jawabnya singkat.
“Coba kalau dulu aku sekolah sampai sarjana, pasti hidup kita tidak akan susah begini,” kataku, menggerutu.
“Sudahlah, jangan menyalahkan keadaan, tidak baik terus-menerus mengeluh!” timpalnya dengan bijak.
Kartika,
atau biasa aku memanggilnya Tika, memang selalu menjadi sumber
pencerahan batin bagiku. Dia adalah apu semangat hidupku dalam
mengarungi kehidupan di dunia ini. Setiap kali aku merasa putus asa,
setiap kali aku terjatuh, maka dia selalu ada dan menjadi malaikat yang
seolah tak pernah bosan mengulurkan tangannya untukku. Rasanya berdosa
sekali bila aku menyatikinya.
Suatu malam, aku duduk menyendiri di
bibir sumur tua yang sudah tak terpakai lagi. Jaraknya sekitar 50 meter
dari belakang rumahku. Waktu itu, hatiku memang sedang galau memikirkan
kenyataan hidup yang kualami. Sambil membiarkan lamunanku berkelana
entah kemana, mataku seakan tak berkedip memandang langit yang penuh
dengan taburan bintang. Apalagi, malam itu bulan sedang purnama.
Sinarnya yang terang menjadi mahkota di malam nan sunyi itu.
Entah
pukul berapa, aku tak tahu, sebab aku memang tak pernah memiliki jam
tangan yang bagiku adalah sebuah barang mewah. Yang pasti, malam itu
suasana sudah sangat sepi. Tak ada suara pun orang lewat. Bahkan suara
jangkrik pun seolah tidak terdengar. Ya, malam yang hening. Rasa dingin
mulai menyelimuti tubuhku.
Ketika menyadari kesendirianku yang
sedemikian sempurna, tiba-tiba aku merasa takut sekali. Entah kenapa?
Bulu kudukku mendadak merinding. Aku bergegas bangkit dari tempat itu.
Namun, tiba-tiba aku tersentak kaget.
“Jangan pergi dari sini, kalau kamu ingin hidup kaya!”
Demikian kata satu suara yang tidak berwujud, yang membuatku kaget setengah mati.
Aku celingukkan, mencoba mencari sumber siapa pemilik suara itu. Tapi, jangankan orangnya, bayangannya pun aku tidak melihatnya.
“Siapa kau ini?” tanyaku, dengan bulu kuduk semakin berdiri meremang.
“Kembalilah
duduk di bibir sumur ini, Sayang!” suara iu kembali terdengar. Astaga!
Aku baru menyadari kalau suadara itu terdengar lembut sekali. Ya, suara
seorang wanita. Tapi, siapa dia? Mengapa ada wanita tengah malam begini?
“Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu. Duduklah kembali di bibir sumur ini, Sayang!” katanya lagi.
Entah mengapa, sekali ini aku menuruti perintahnya.
“Lihatlah ke dalam sumur dan tolong keluarkan aku dari dalam sumur ini,” pinta suara itu dengan nada lembut penuh permohonan.
Seperti
terhipnotis, aku langsung melolong ke dalam sumur. Aneh bin ajaib! Di
dalam sumur yang sudah tidak terpakai selama bertahun-tahun ternyata
memang ada seorang perempuan. Dengan sigap aku kemudian berusaha
mengeluarkan wanita cantik itu. Anehnya, saat itu, entah mengapa rasa
takut yang tadi menyergap batinku telah hilang entah kemana. Bahkan,
demi melihat kecantikan wanita itu, rasa takutku malah berubah menjadi
rasa cinta dan sayang. Padahal, jelas aku tidak pernah mengenal, atau
melihat wanita itu sebelumnya.
Kejadian selanjutnya sungguh terjadi
di luar akal sehat. Nafsu birahiku tiba-tiba bergejolak saat melihat
paha wanita itu tersingkap karena tertitup angin malam. Dan entah siapa
yang memulai, tiba-tiba aku sudah bergumulnya. Ya, kami bercinta seperti
laiknya sepasang kekasih yang dimabuk asmara setelah sekian lama tidak
saling bersua.
Apa yang terjadi detik selanjutnya?
Aku terkulai
lemas setelah menyemprotkan magma kenikmatan pada sesosok wanita cnatik
tersebut. Entah berapa lama kami bercumbu. Yang pasti, sebelum pergi,
wanita cantk itu memberikan selembar uang lima puluh ribuan rupiah
padaku sambil berkata, “Uang ini sebagai awal dari kekayaanmu, Sayang!”
Setelah itu dia pergi, dan bayangannya pun lenyap di telan gelap malam
di ambang subuh.
Aku tertegun dan bingung. Aku sulit mempercayai apa
yang barusan terjadi. Kuraba saku bajuku, ternyata selembar uang lima
puluh ribuan rupiah itu benar-benar ada….
Pagi hari setelah kejadian
ini, kepada Kartika aku pamit mencari rongsokan seperti biasanya. Tapi
sebenarnya aku tidak mencari rongsokan. Aku masih bingung dan cemas bila
teringat kejadian semalam.
“Apa sebenarnya maksud uang ini?” batinku sambil memegang uang Rp. 50.000 pemberi wanita misterius itu.
Meski
pada awalnya sekedar mencoba-coba, akhirnya kubelanjarkan uang itu ke
sebuah warung. Aku membeli beras, minyak goreng, telur dan beberapa
makanan ringan untuk camilan isteriku. Setelah dihitung, jumlah
belanjaanku Rp. 42.000. Jadi, aku masih menerima kembalian Rp. 8000
Sesampainya di rumah, bukan main senangnya isteriku. Dia menyambutku dengan rasa syukur.
“Alhamdulillah, akhirnya Mas Danu dapat rezeki kan?” ycap Kartika, memanjatkan rasa syukurnya.
Aku tersenyum, pura-pura ikut mengucapkan syukur. Dalam hati aku tetap berniat akan berusaha untuk menjaga rahasia ini.
Setelah
menyerahkan belanjaan itu kepada Kartika, aku bergegas mandi. Saat
kulepas bajuku, tiba-tiba uang Rp. 50.000 ribuan jatuh dari saku saku
bajuku. Aku terpana dibuatnya. Aneh, bukankah uang itu sudah habis
kubelanjakan? Lantas, kenapa bisa balik lagi ke saku bajuku?
Lambat
laun akhirnya aku mulai menyadari bahwa uang Rp. 50.000 pemberian
makhluk misterius itu memang bukanlah sembarang uang. Mungkin, ini
adalah uang siluman? Atau mungkin pula ini yang dinakaman Uang Balik?
Pada
awalnya, batinku gelisah karena kenyataan ini. Namun celakanya, lambat
laun aku malah menikmati keanehan ini. Mungkin, karena semakin hari
uangku semakin banyak. Bayangkan saja, setiap kali aku belanja uangku
pasti kembali utuh. Bukan hanya barang yang kubeli yang kuterima, tapi
sekaligus juga uang kembaliannya.
Untuk menghindari kecurigaan
isteriku, aku berdalih bisnis barang antik dengan orang kaya. Karena
ketulusan cintanya, isteriku percaya saja dengan kebohonganku.
Berkat
Uang Balik itu, dalam waktu yang tidak terlalu lama, aku mampu membeli
rumah, sawah, dan beberapa areal tanah yang cukup luas. Pekarangan yang
luas tersebut aku kapling-kapling menjadi rumah, kemudian aku jual
perunit. Maka jangan heran bila akhirnya aku mampu membeli mobil, juga
rumah mewah beserta isinya.
Tahukah, ada satu hal yang harus
kulakukan untuk mempertahankan kekayaan yang kumiliki. Setiap malam
Jum’at Legi, aku harus melayani isteri gaibku yang bersemayam di sumur
tua belakang rumah kami. Isteri gelapku ini bernama Puteri Sanca. Dia
berasal dari bangsa lelembut. Dari Puteri Sanca tersebut kekayaanku
bersumber.
Sampai sejauh ini Kartika, isteriku, tidak pernah tahu
sepak terjangku. Dalam hati, sebenarnya aku merasa berdosa. Tapi biarlah
semua ini menjadi rahasia hidupku.
Terlepas dari semua itu, setiap
toko atau warung yang baru aku beli, entah itu beli semen, emas atau
apa saja, uang dariku pasti hilang tak berbekas. Dan uang itu sebenarnya
tidak hilang, tapi uang itu kembali padaku. Memang, banyak orang yang
curiga padaku, tapi mereka tidak bisa membuktikan kecurigaannya itu.
Apalagi aku selalu berbuat amal baik dengan membagi-bagikan sembako.
Terutama setiap menjelang lebaran dan menjelang Ramadhan.
Aku juga
selalu menyantuni anak-anak yatim piatu. Jadi, sepertinya aku bersih di
mata masyarakat sekitar. Seiring dengan itu, kekayaanku semakin melimpah
ruah. Dan yang membuatku bahagia Kartika, isteriku, bisa tersenyum
senang dan hidup mewah.
Di luar sepengetahuanku, rupanya secara
diam-diam ada orang yang merasa tertipu oleh ulahku mencari orang
pintarl Akhirnya, orang itu menemukan penangkalnya. Dan orang ini
memberikan rahasia penangkal ini kepada pemilik warung atau toko yang
lainnya.
Apa yang kemudian terjadi?
Entah bagaimana, setiap aku
membeli sesuatu, uangku tidak kembali lagi seperti biasanya. Bahkan
uangku yang kusimpan dibrangkas, tiba-tiba lenyap tanpa sebab. Karena
itulah, dalam waktu singkat, hartaku mulai menipis. Aku benar-benar
shock dengan kenyataan ini.
Sementara itu, tanpa kuduga isteriku
juga mulai curiga dengan sepak terjangku. Dia berusaha menyadarkanku,
tapi aku menangkisnya dengan kera.
“Aku tidak sudi Mas mencari harta
dengan bersekutu dengan setan. Itu namanya murtad, Mas!” kata isteriku,
suatu malam. Baru kali ini kulihat dia berkata keras seperti itu
kepadaku.
Bukannya insyaf, aku malah menendang dan menamparnya. Aku
benar-benar berubah beringas, terlebih setelah tahu kalau isteriku
ternyata mencari orang pintar dan menyuruh orang untuk menguburkan
uangku di kuburan.
Setelah mengetahui perbuatan Kartika ini, dengan
kejam kuinjak-injak tubuhnya. Untung para tetangga segera menolongnya.
Kalau tidak, mungkin aku telah membunuh isteriku sendiri.
Dengan
kalap aku berlari menuju sumur tua tempat puteri Sanca. Aku
berteriak-teriak memanggil namanya. “Keluar puteri Sanca! Tolong aku.
Beri aku uang. Aku tidak ingin jatuh miskin, aku tidak ingin jadi kere!”
Pintaku menghiba.
Tiba-tiba dari dalam sumur tua tersebut keluar
seorang nenek renta berbaju compang-camping dan berbau anyir.
Orang-orang yang melihatnya pada muntah dan menutup hidungnya.
“Pergi kamu nenek busuk! Aku mau puteri Sanca, bukan kamu!” bentakku setelah meludah karena rasa jijik.
Nenek
itu tertawa menyeramkan. “Puteri Sanca itu ya aku. Ayo sini. Kamu telah
melanggar kesepakatan, sudah dua malam Jum’at, kamu tidak memenuhi
hasrat birahiku!” ucapnya sambil berusaha menyeretku ke dalam sumur tua.
Melihat itu, isteriku berusaha meraih tanganku. Aku sendiri terus meronta melakukan perlawanan.
“Kartika
toloong aku…tolong aku!” pintaku setengah putus asa. Percuma saja,
puteri Sanca yang ternyata siluman tua renta berhasil menyeretku masuk
ke dalam sumur.
Kudengar saat-saat terakhir isteri berteriak pilu
memanggil namaku. Dan suara isteriku itu rasanya begitu nyeri terdengar
di telingaku. Selanjutnya aku tidak mendengar apa-apa lagi. Pandanganku
jadi gelap dan pekat….
Saat siuman, kudapati diriku berada di ruang
perawatan sebuah rumah sakit. Sekujur tubuhku terasa nyeri. Namun, rasa
nyeri itu seakan lenyap saat kulihat Kartika menatapku dengan senyum,
walau kulihat matanya bengkak dan merah.
“Apa yang terjadi denganku, Tika?” tanyaku.
Kartika
tak menjawab. Dia berusaha menenangkanku,. Di saat yang sama, baru
kusadari kalau di dalam ruangan itu ada juga ayah dan ibuku, kedua
mertuaku, juga seorang lelaki tua bersorban putih, yang belakangan
kuketahui namanya sebagai Kyai Abdullah (samaran).
Nah, Kyai Abdullah
inilah yang kini membimbing pertobatanku. Belakangan aku tahu kalau
pada hari itu, aku benar-benar jatuh ke dalam sumur tua tersebut.
Untunglah para tetangga menyelamatkanku, walau beberapa persendianku
dinyatakan patah oleh dokter.
Kini, aku telah sembuh dan sehat
wal’afiat. Satu hal yang paling kusyukuri, Allah SWT masih memberiku
panjang umur, sehingga aku bisa melakukan tobatan nasuha. Walau
kekayaanku telah habis, namun aku bersyukur sebab masih memiliki Iman
Islam. Dan, aku juga masih bisa merasa bangga sebab memiliki isteri
salehah seperti Kartika.
Dengan sedikit sisa uang yang ada, Kartika
kini membuka sebuah warung kecil-kecilan, sedangkan aku tinggal di
pesentran milik Kyai Abdullah. Entah untuk berapa lama lagi….