Kisah mistis ini
merupakan kisah nyata yang terjadi beberapa puluh tahun silam di sebuah
desa pinggiran di wilayah Pantai Utara Banten. Untuk menghormati para
pelaku peristiwa, kami sengaja telah menyamarkan mereka....
Hampir
setahun ini Yudhis, sahabatku hanya mampu berbaring menyedihkan di
tempat tidur. Sisa hidupnya sepertinya hanya akan dia habiskan dengan
erangan kesakitan yang keluar dari mulutnya yang pencong, dan penuh luka
menjijikan. Bahkan luka iyu juga menjalar di sekujur tubuhnya.
Bau
anyir sangat menjijikkan menebar ke seluruh ruangan kamar tidur Yudhis.
Dia hanya berteman kepedihan serta penderitaan yang seperti tak
berujung.
Nyaris tak ada yang sudi mendekati Yudhis, kecuali hanya
aku yang sesekali datang membawakan makanan dan minuman untuknya.
Selebihnya, aku sendiri sangat jijik mendekatinya.
"Kau taruh saja
makanan itu di depan pintu kamarku, Ilham! Biar nanti aku sendiri yang
mengambilnya," kata Yudhis suatu ketika. Sepertinya dia pun sadar bahwa
aku hanya berpura-pura tidak jijik melihat keadaannya.
Hidup sendiri
penuh siksaan lahir bathin membuat Yudhis hanya bisa meratap dan
menyesali nasibnya. Mungkin dia sadar penyebab semua ini, tapi mungkin
juga tidak.
Aneh, kian hari tubuhnya dipenuhi koreng bernanah yang
tak henti-hentinya merembeskan darah seperti keringat. Tentu saja sakit
dan amat perih tiada terkira.
Isteri yang dia harapkan akan mampu
mengurus penderitaannya telah berpulang mendahuluinya. Begitu juga anak.
Dari ketiga kelahiran bayinya, tak seorangpun diberi umur panjang lebih
dari setahun. Mungkin ini hukum karma. Hanya para tetangga yang iba
saja yang selama ini membantunya. Itupun kalau dia sudah
berteriak-teriak meminta tolong baru ada yang menyambanginya.
"Aku
ingin mati, Ilham! Tapi mengapa
Tuha tak juga mencabut nyawaku?" sesal
Yudhis dengan tubuh gemetar menahan sakit yang terus menurus.
"Sabarlah, Yud! Tuhan tidak akan memberikan cobaan melibihi kekuatan yang kita miliki," hiburku.
Dengan
sengit dia membalasnya, "Sudah ribuan kali aku mendengar kata-kata itu.
Tapi coba kau lihat sendiri bagaimana keadaanku? Penyakit keparat ini
tak pernah berhenti menyiksaku."
Aku hanya terdiam, merasakan betapa hancurnya perasaan sahabat yang kukenal beberapa puluh tahun silam itu.
Memang,
sudah tak terhitung uang yang Yudhis keluarkan untuk mengobati
sakitnya. Dia telah berobat mulai dari dokter sampai orang pintar, yang
tak terhitung jumlahnya, hingga meludeskan semua harta bendanya. Menurut
analis medis, Yudhistira menderita sakit gula yang sudah sangat parah
hingga dokterpun angkat tangan. Paranormalpun geleng-geleng kepala, tak
sanggup mengobatinya.
Tidak sampai disitu saja penderitaannya. Lewat
teriakan keras, mulutnya menganga lebar dan mata melotot seolah ingin
loncat dari kelopaknya. Seketika itu nyawa Yudhistira lepas seperti
menahan sakit yang amat sangat. Aku tak kuasa menahan tangis melihat
proses kematiannya yang sangat tragis itu. Tapi, itulah pilihan yang
diinginkan oleh Yudhis. Dia telah pasrah melawan sakitnya, dan dia ingin
segera mati.
Tapi, penderitaan Yudhis rupanya belum lagi sirna. Saat
jenazahnya akan dimakamkan terjadi peristiwa yang sangat heboh. Hari
itu, ketika jasad Yudhistira yang amis terbungkus kain kafan akan
diturunkan ke liang lahat, entah kenapa tiba-tiba tubuh kaku itu seperti
sangat berat ratusan kilo, sehingga menimpa dua orang di bawahnya.
Begitu pula yang di atas ikut terjerembab ke lubang kubur yang sempit.
Oleh karena itu akhirnya jasad Yudhis terinjak-injak oleh para
penguburnya sendiri.
Aneh, padahal tubuh Yudhis kurus kering tinggal
kulit pembalut tulang. Tak satupun para pengubur dan pelayat mengetahui
penyebab apa yang terjadi dengan jasad itu. Setahu mereka, semasa hidup
dan sebelum penyakit terkutuk itu menyiksanya Yudhistira adalah orang
yang baik dan pemurah.
Tujuh hari setelah kematian Yudhistira yang
menyedihkan itu, secara tak sengaja Ibu Hanna, tetanggaku melihat
keanehan di sekitar makam Yudhistira yang kebetulan terletak di pinggir
areal makam dekat jalan umum yang banyak di lalaui orang. Sebagai
penjual kue basah, Ibu Hanna setiap hari memang melewati jalan itu.
Berangkat subuh pulang siang dari pasar di kota Kecamatan. Ini dia
lakukan demi membantu ekonomi keluarga karena sang suami hanya sebagai
buruh tani yang tak tentu penghasilannya.
Pagi menjelang siang itu
Ibu Hanna pulang sendiri dari pasar karena dagangannya paling duluan
habis terjual dibanding sesama penjual lainnya. Namun, ketika sampai di
sebarang TPU, Ibu Hanna berhenti sejenak mengamati sekitar makam
Yudhistira yang nampak aneh.
Entah mengapa, pohon-pohon di sekitar
makam itu nampak layu dan mati. Bahkan dua pohon Kamboja cukup besar di
samping makam seperti layu dan sebagian daunnya jatuh berguguran,
kering.
"Aneh, kenapa pohon-pohon di sekitar makam itu mati kering?"
batin Ibu Hanna. Dia menjadi takut dan segera berlalu pulang. Sesampai
di rumah Ibu Hanna mengadukan hal ini kepada suaminya, Pak Darto.
"Pak,
aku heran kenapa pohon-pohon di dekat makan Pak Yudhis itu pada mati.
Sekarang kan musin hujan, di tempat lain tak apa-apa," kata Ibu Hanna.
"Itukan
wajar saja, tak perlu dipikirkan. Ya, mungkin maunya pohon itu mati,
seperti juga si Yudhistira itu. Semua yang ada di dunia ini kan pasti
mati, Bu!" jawab Pak darto, sekenanya.
***
Setelah melihat
keganjilan itu, Ibu Hanna kerap kali mengalami mimpi yang sangat aneh.
Beginilah cerita dalam mimpi yang berkali-kali hadir dalam tidurnya
itu....
Pagi buta itu dia baru saja pulang dari pasar. Ketika lewat
di dekat pemakanan, wanita yang agak tambun ini berlari sekuat tenaga di
tengah hujan badai dan guntur menakutkan. Beberapa kali dia terjatuh.
Dia juga menjerit-jerit meminta tolong karena dikejar mahluk-mahluk
kecil seperti bocah dengan tampang beringas dan membawa cambuk yang
terbuat dari api yang membara. Mahluk-mahluk kecil berjumlah belasan itu
seolah menjadikan Ibu Hanna sebagai buruannya.
Aneh, ketika berlari
tiba-tiba Ibu Hanna melihat sebuah pohon aneh yang akarnya berada di
atas, sedang daunya di bawah. Setengah putus asa Bu Hanna berlindung di
balik tembok pagar pemakaman itu. Aneh, dia melihat makhluk-makhluk
kecil itu beramai-ramai menyerang pohon terbalik dengan cemetinya. Api
dari cemeti-cemeti itu membakar hingga daun-daun pohon terbalik itu
hancur menjadi api.
Bu Hanna tak menghiraukan keadaan dirinya. Namun
yang membuatnya ngeri yaitu ternyata bocah-bocah aneh itu tak mengeroyok
dirinya, melainkan pohon terbalik itu.
Anehnya laig, ternyata pohon
itu menjerit-jerit menahan sakit dan memohon ampun seolah hidup seperti
manusia. Sebagian daun itu mulai hancur menjadi api. Sedangkan batangnya
berlumuran darah. Yang lebih mengejutkan lagi, suara jeritan itu
seperti sudah dikenal Ibu Hanna. Ya, itu suara erangan tetangganya,
Yudhistira.
Menyadari hal itu, Ibu Hanna ikut menjerit-jerit. Dia
baru sadar ketika sebuah tepukan di pipinya mendarat yang tak lain
tamparan suaminya. Ibu Hanna terbangun dengan nafas terengah-engah dan
peluh membasahi badannya....
Begitulah mimipi aneh yang dialami oleh
Bu Hanna selama beberapa malam. Dia menceritakan semua keanehan yang
dialaminya itu padaku. Untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi, aku
mengajak Ibu Hanna ke rumah Kyai Kodir, tokoh tertua di desaku
sekaligus ulama yang tempo hari memimpin penguburan Yudhistira.
"Saya
cuma mau tanya, sebenarnya ada apa dengan makam Yudhistira, juga mimpi
saya itu, Pak Kyai?" kata Ibu Hanna setelah menceritakan semua yang
dialaminya itu.
"Dosa apa sebenarnya yang ditanggung Yudhistra hingga keadaannya seperti itu, Pak Kyai?" imbuhku.
Kyai Kodir hanya tersenyum kecil. Namun wajahnya menampakkan kegelisahan.
"Soal
dosa, itu urusan Allah dan umatnya itu sendiri. Aku tak tahu apa yang
terjadi dengan Yudhistira. Soal pohon-pohon yang mati itu...aku juga
sudah dengar. Ya sudah, kau pulang saja dulu. Jangan dipikirkan. Yang
penting, rajin sholat dan bacalah wiridan yang aku berikan padamu!"
jawab Kyai Kodir, bijak.
Ibu Hanna pulang lebih dulu, sedang aku
tetap bertahan di rumah Kyai Kodir. Sepulang Ibu Hanna, Kyai Kodir tak
urung gelisah juga. Rupanya, tanpa sepengetahuan siapapun dia sendiri
tiga malam berturut-turut didatangi arwah Yudhistira yang nampak
tersiksa minta agar kematiannya disempurnakan. Anehnya lagi dalam
pertemuan di alam maya itu Kyai Kodir juga melihat wajah seorang
perempuan yang tak dikenalnya. Maka diam-diam pula dia mulai menyelidiki
dan berdzikir memohon petunjukNya. Dia ingin mengetahui ada apa dengan
mendiang Yudhistira.
Seminggu berlalu, ternyata petunjuk Allah itupun
datang. Tanpa disangka rumah Kyai Kodir kedatangan tiga orang tamu
yaitu Pak Barnas, Ketua RW di kampungku, dan seorang perempuan setengah
baya berdandan agak menor ditemani seorang anak berusia sembilan
tahunan. Yang membuat Kyai Kodir sekaligus aku yang juga hadir di sana
terkejut, perempuan menor itu menurut pengakuan Kyai Kodir ternyata raut
wajahnya sama dengan yang hadir dalam mimpi yang dialami sang Kyai
selama beberapa malam.
Ya, perempuan itu mengaku sebagai isteri muda
Yudhistira. Dia menyebut namanya Lisa. Sebelumnya, Lisa datang ke rumah
Pak Barnas selaku RW dengan tujuan ingin memastikan berita kematian
Yudhistira, sekaligus mengurus prihal hak waris atas tanah mendiang
Yudhistira. Menurt Lisa, anak kecil yang bersamanya itu adalah anak
almarhum.
"Lalu...kenapa Pak Barnas datang ke tempatku. Apa yang bisa saya bantu?" tanya Kyai Kodir.
"Maaf,
Pak Kyai. Kedatangan saya ini sebenarnya hanya ingin tahu silsilah
Yudhistira, mengingat Pak Kyai adalah orang tertua di desa ini.
Barangkali Pak Kyai mengetahui siapa sebenarnya pemilik warisan yang sah
atas rumah dan tanah mendiang itu," ujar Pak Barnas. Sebidang tanah
seluas sekitar 300 meter persegi yang di atasnya berdiri sebuah rumah
kecil permanen memang satu-satunya harta peninggalan Yudhistira.
Kyai
Kodir geleng-geleng kepala. "Akupun tak tahu keluarga Yudhistira
sebenarnya. Yang saya tahu dia menetap di desa ini sudah puluhan tahun
dan memiliki isteri tanpa anak. Itu saja keluarganya, dan sekarang aku
tak tahu lagi keluarganya yang lain."
"Barang kali Mbak Lisa ini mengetahuinya?" tanyaku, coba menjernihkan suasana.
Yang
ditanya justru menangis pilu, hingga membingungkan kami semua. Lalu
dengan sesenggukan Lisa bercerita panjang lebar mengenai Yudhistira.
"Alarhum
sesungguhnya punya dua isteri sah. Yang satu tinggal di desa ini dan
yang satu adalah di Lampung. Yang di Lampung itu adalah saya sendiri.
Saya awal mulanya hanyalah seorang pelacur langganan Mas Yudhis. Ketika
saya diajak hidup serumah saya menurut dengan harapan dia mau mengawini
saya. Dan ternyata dia menyanggupinya, bahkan berjanji akan menceraikan
isterinya dan memberikan harta warisan kepada saya. Sebab saat itu saya
sudah mengandung anak ini."
Lisa mengelus-elus kepala bocah di
sampingnya. Lalu ia kembali melanjutkan ceritanya, "Setelah kandungan
saya berumur lima bulan, saya baru tahu pekerjaan Mas Yudhis yang
sebenarnya, hingga membuat saya diam-diam justru menjauhinya karena
takut kualat. Ternyata almarhum itu bisa hidup enak
dari....dari...membunuh banyak orang. Ya, dia adalah seorang pembunuh
bayaran."
Cerita Lisa benar-benar menyentakkan kami. Sungguh sulit bagi kami untuk mrempercayainya.
Ketika kami berada dalam kebingungan, perempuan itu kembali melanjutkan kisahnya....
"Mas
Yudhis itu sering menerima pesanan membunuh orang. Biasanya itu pesanan
cukong-cukong kaya dari kota yang kebetulan mempunyai musuh. Menurut
pengakuan almarhum, dia sudah dua belas kali membunuh, bahkan ada yang
dipenggal dan diambil kepalanya. Begitu saya tahu siapa sebenarnya
Almarhum, saya berusaha menghindar dan bersembunyi. Sejak itu, saya tak
tahu lagi kabar Mas Yudhis hingga lahir anak saya ini. Begitu saya
dengar dia sudah meninggal, saya baru berani kelaur dan bermaksud
menagih ucapannya dulu. Tapi...tapi saya tak tahu siapa kini yang harus
saya tagih. Saya sudah berhenti jadi pelacur dan ingin hidup layak
dengan anak saya yang juga anak Mas Yudhis ini. Sebab kami sudah tak
punya apa-apa lagi."
Aku, Kyai Kodir dan Pak Barnas kembali
tercengang mendengar cerita perempuan bernama Lisa itu. Kami seolah tak
percaya akan ucapannya. Kami juga hampir tak percaya dengan kebejatan
mendiang Yudhistira. Namun aku sadar kalau selama ini mendiang memang
penuh rahasia. Misalkan saja dia sering pergi meninggalkan rumah untuk
waktu yang lama, lalu ketika datang selalu membawa penghasilan dalam
jumlah besar.
"Setahu saya almarhum juga memiliki jimat yang tak
mempan dibacok atau ditembak. Jimat itu katanya sudah dipendam di dalam
rumahnya saat dia sakit parah," cetusku.
Kini terbukalah misteri
Yudhistra. Dia ternyata menyimpan riwayat kelam yang hanya pantas
dilakukan oleh Iblis. Dan kini terkuaklah apa yang sedang dijalani
Yudhistira di alam kuburnya. Mungkin di sana dia sedang meraung-raung
menerima siksa kubur yang amat pedih hingga keadaan sekitar makamnya pun
nampak seperti terbakar oleh bias panasnya api alam kubur....belum lagi
pertanggungjawabannya di hari kiamat kelak.