Bagi kapal-kapal yang akan sandar di
Pelabuhan Pontianak, kemungkinan besar akan melewati pulau ini. Ya,
pulau Merundang! Konon, pulau ini dihuni oleh hantu. Benarkah? Berikut
kesaksian salah seorang ABK kapal kargo yang pernah mengalami kejadian
sangat aneh sekaitan dengan pulau Marundang…
Selepas
Maghrib, kapal kargo Ratu Rosali meninggalkan pelabuhan Pontianak.
Sesuai rencana, kapal ini akan berlayar menuju negeri jiran, Malaysia.
Kapal yang sarat muatan ini berlayar tenang meninggalkan Dermaga Teluk
Air, tempat Ratu Rosli sebelumnya ditambatkan. Senja itu, cuaca cukup
cerah. Sesuai dengan ramalan cuaca yang diinformasikan oleh pelabuhan,
hari itu ombak laut memang akan jinak, tanpa gejolak berarti.
Pulau
demi pulau dilalui Ratu Rosli tanpa rintangan. Namun, di tengah
perjalanan, tiba-tiba mesin kapal mengalami kerusakan. Kapal berhenti,
terombang-ambing ditengah laut. Karena kerusakan mesin tidak dapat
diperbaiki dengan cepat, maka tak ada pilihan lain. Ratu Rosli terpaksa
buang jangkar.
Bila kapal mengalami
kerusakan, sebagai bagian dari kru kapal, tentunya akupun ikut panic.
Terlebih kapten kapal kargo yang akrab disapa Pak Chief itu. Maklum
saja, keterlambatan akan menimbulkan komplain dari pemilik barang.
Mereka tak pernah mau mengerti bila kapal tiba ditujuan. Bahkan akan
jadi boomerang bagi pemilik kapal, sebab kepercayaan pelanggan ternodai.
Ternyata mesin kapal mengalami kerusakan fatal. Kruk as patah dan
tak bisa difungsikan lagi. Sementara onderdil cadangan tidak ada.
Karena
keadaan ini, keesokan harinya, Pak Chief terpaksa kembali ke Pontianak
dengan menumpang kapal nelayan yang kebetulan akan pulang.
Tak ada
yang mesti dikerjakan selama Pak Chief berada di darat. Para ABK
menghambur-hamburkan waktu percuma, atau paling-paling memancing
cumi-cumi.
Pemandangan laut yang menoton memang membuatku jenuh.
Akhirnya aku
beranjak masuk ke dek. Anehnya, malam itu aku gelisah.
Setiap ruang sepertinya tidak membuatku nyaman. Berdiri salah, duduk
apalagi.
Setelah cukup lama berbaring di kamar, rasa kantuk pun
menyerang. Beberapa saat kemudian aku terlelap.Dan, entah berapa lama
aku tertidur, tiba-tiba seorang wanita hadir dalam mimpiku. Bibirnya
yang padat berisi itu menyunggingkan senyuman yang begitu mempesona.
Wanita
cantik itu mengenakan gaun malam warna perak. Langkahnya gemulai,
anggun bak peragawati di atas cat walk. Lekuk tubuhnya, amboi, indah
sekali!
Sesekali dia menebar pandang ke seantero ruangan. Dan
sesekali pula dia melirik genit kepadaku. Sesaat kemudian dia
menghentikan langkahnya. Berdiri mematung dekat jendela yang memang
sengaja dibiarkan terbuka. Rambut panjangnya terurai menutupi leher
jenjangnya, melayang-layang liar dipermaikan angin yang berhembus
semilir.
Sebagai seorang pelaut yang jarang bertemu perempuan, apa
perempuan secantik dirinya, maka aku pun langsung tersihir oleh
kecantikannya. Jantungku berdebar tak beraturan. Betapa ingin aku
menyapanya, namun lidahku terasa kelu.
Entah berapa lama pandanganku
tetap menancap padanya. Bidadari itu belum juga beranjak dari jendela.
Namun, seketika rasa takjubku berubah menjadi takut. Entah mengapa,
perempuan itu menatapku dengan tajam, dengan sorot matanya yang penuh
dengan bara kebencian. Tatapannya berubah nanar, persis singa betina
lapar yang ingin menerkam mangsanya. Sangat mengerikan!
Seolah tak
peduli pada ketakutanku, perempuan itu merentangkan kedua tangannya yang
dipenuhi bulu-bulu halus. Ya, dia sepertinya ingin terbang ke luar
jendela. Tapi, tidak! Secepat kilat dia malah menghampiriku dan langsung
mendekapku.
Dalam dekapanya, aku sulit bergerak. Nafasku tercekat.
Anehnya, tubuh wanita cantik ini berbau seperti kemenyan. Sangat
menyengat. Aku meronta, berusaha melepaskan diri. Lalu aku berteriak
keras. “Lepaskan aku! Tolooong…!”
Anehnya lagi, kenapa Very, teman
sekamarku tidak lekas membantuku? Padahal posisinya tepat di sisiku.
Bahkan tubuh kami nyaris bersentuhan diatas dipan untuk dua orang ABK.
Kalau pun akhirnya ia bangun lebih dulu, mungkin karena mendengar gumam
tak jelas, atau tersenggol tubuhku yang bergerak tak terkendali.
“Hei..Man bangun!” teriaknya sambil mengguncangkan tubuhku.
Aku tersentak, dan kembali ke alam nyata. Spontan aku amat lega terlepas dari beban menyiksa dari mimpi yang menakutkan itu.
Very
menyeringai melihatku masih ketakutan. Dia juga tampak tegang. “Mimpi
seram ya, Man?” Tanyanya. Dia mengingatkanku agar membaca Bismillah
sebelum tidur, kemudian memberiku segelas air mineral.
“Mimpinya aneh,” ujarku setelah menenggak air mineral sampai habis.
“Memangnya mimpi apaan sih, sampai kamu berteriak-teriak seperti orang sekarat?” tanya Veri.
“Menyenangkan tapi menakutkan Ver. Seram!” jawabku, Lalu kuceritakan isi mimpiku.
“Berarti makhluk itu penghuni pulau Marundang? Mengapa baru sekarang?
Padahal sudah seminggu kita lego jangkar di sini,” ujar Very setelah
mendengar ceritaku, sambil mengernyitkan dahinya,
Aku memang baru
mendengar apa yang disebut Veri sebagai Pulau Marundang itu. Anehnya,
nama pulau ini sepertinya berhubungan dengan wanita yang hadir dalam
mimpiku.
Selepas mimpi itu, aku memang sulit memejamkan mata. Bahkan,
sekitar pukul tiga dini hari, melalu jendela, aku menerawang ke
kejauhan. Samar-samar pulau yang terletak antara Indonesia dan Malaysia
itu tampak diselimuti kabut, terkesan angker. Tiba-tiba bayangan sosok
wanita itu kembali mengusikku. Bukan kecantikan atau senyumnya,
melainkan sorot matanya yang menakutkan. Hih, bulu kudukku berdiri.
“Sudahlah,
lupakan saja, Man! Mimpi kan hanya bunga tidur. Jangan terlalu
dipikirkan kalau kau selalu mengingatnya, nanti kesurupan lho!” Very
menepuk bahuku.
Dua hari kemudian, kekhawatiran Very terjadi.
Menjelang sore, aku merasakan perubahan yang aneh. Sosok wanita itu
kembali mengusik ketenganku. Sudah kupaksakan agar bayangannya enyah
dari ingatanku, tetapi tak bisa.
Apa yang terjadi selanjutnya
menimpa diriku? Semuanya diceritakan oleh Very, karena aku memang sama
sekali tidak menyadarinya. Beginilah kisahnya…:
Setiba dari
Pontianak, Pak Chief kaget mendengar suara gaduh dari kamarku. Dia
penasaran, karena selama ini belum pernah melihatku bikin ulah.
Mendapati aku dirubungi para ABK, karuan Pak Chief keheranan. Saat itu,
aku bukanlah diriku lagi. Rupanya, makhluk itu telah menguasaiku.
Pak
Chief, juga teman-temanku ABK yang lain, ketakutan melihatku terus
cekikikan, dengan mata melotot sambil menceracau tak jelas. Pak Chief
berusaha menenangkanku.
“Siapa kau ini, laki-laki atau perempuan?”
tanyanya. Sementara itu, para ABK saling berpandangan, penuh harap
menunggu jawaban. Mereka ketakutan saatku pelototi bergantian.
Bukan
jawaban yang didapatkan didapatkan dari mulutku yang kerasukan itu.
Menurut cerita Very, aku malah menampar keras pipi kiri Pak Chef.
Sontak
saja lelaki bertubuh gempal ini jadi berang. Lima ABK yang mendapat
perintah langsung darinya segera memegangi tangan dan kakiku. Namun,
mereka kewalahan, sebab aku terus berontak dengan tenaga kuat luar
biasa.
Merasa khawatir akan keselamatanku, takut aku mencebur diri
ke laut misalnya, atas perintah Pak Chief, kemudian aku diikat pada
pilar di tengah ruangan. Ikatannya sangat kuat, dengan menggunakan tali
sebesar jari kelingking orang dewasa.
Kata Very, aku memang tak
bisa berkutik lagi. Tubuhku langsung terkulai menyatu dengan pilar itu.
Suasana kapal pun berubah tenang, dengan demikian para ABK, khususnya
bagian mesin bisa lebih berkonsentrasi memperbaiki kerusakan mesin.
Keputusan
Pak Chief memang kejam, namun tepat. Hal itu merupakan wujud dari
tanggung jawabnya sebagai pemimpin. “Sebelum sadarkan diri, jangan
lepaskan tali ini. Tolong awasi dia!” katanya dengan tegas, seperti yang
ditirukan Very.
Sejurus kemudian, Pak Chief pergi menuju ruangan
mesin. Dua orang petugas juru mesin mengaku kewalahan, sebab baru kali
ini mereka menghadapi kerusakan fatal. Butuh kesabaran ekstra memasang
kembali truk as ke dalam mesin. Apalagi onderdilnya masih baru.
Akhirnya,
mesin selesai diperbaiki. Anehnya, di saat bersamaan, aku yang semula
kerasukan kembali siuman. Pak Chief girang melihatku.
“Sudah sadar kau rupanya?” candanya sembari mengucek-ucek rambutku.
Setelah
mesin berhasil dihidupkan dan jangkar ditarik ke haluan, Ratu Rosali
pun siap melaju kembali meneruskan pelayaran yang tertunda. Karena truk
asnya diganti, kapal melaju lebih kencang dari biasanya, yakni dengan
kecepatan 12 mil/jam.
Meskipun aku telah sadar, namun ternyata Pak
Chief masih merisaukan keselamatanku. Buktinya, sepanjang perjalanan aku
selalu diawasinya. Rupanya, dia khawatir kalau tiba-tiba makhluk itu
kembali merasuki tubuhku.
Syukurlah, tak ada kejadian aneh hingga
kami sampai di tujuan. Usai bongkar muatan, selama 15 hari di pelabuhan
Malaysia, kami kembali berlayar menuju Lampung. Aku tak sabar ingin
secepatnya tiba disana. Aku yakin, Marni pasti menantikan kedatanganku
yang sudah terlambat lama. Dia wanita sederhana pedagang kopi keliling
di pelabuhan. Setiap awak kapal yang bersandar di Lampung, tentu
mengenalnya. Bersamanya, aku berharap hidupku lebih berwarna lagi.
Pada
saat pelayaran menuju lampang, suatu malam aku sendirian di kamar.
Asyik, aku bebas berfantasi tanpa ada yang mengganggu. Aku membayangkan
Marni, agar bisa melupakan sosok makhluk jahat itu. Tapi, ya Tuhan,
beberapa jam kemudian, aku kembali mendapatkan teror!
Entah dari mana
datangnya, tiba-tiba sosok mengerikan itu sudah berdiri di hadapanku.
Dia menampakkan wujudnya yang sangat menyeramkan. Persis Mak Lampir.
Gaun malamnya tetap berwarna perak, namun wajahnya tak cantik lagi.
Aku
takut setengah mati. Sekujur tubuhku lemas. Ingin berteriak, tapi bibir
rasanya terkunci. Ingin lari keluar dari kamar pun tak bisa.
Akhirnya,
dengan tubuh gemetar, aku hanya pasrah. Di saat ketakutanku tak
tertahan lagi, tiba-tiba dia menghilang. Aku lantas menghambur ke luar
kamar, ke ruangan Pak Chief. Aku menemukan ketenangan dan merasa aman.
Setidaknya, ada hiburan sementara menunggu pagi. Pak Chief cukup bijak,
mengizinkan aku nonton DVD sesukaku di kamarnya.
Kapal bersandar di
Lampung pada malam hari. Aku betul-betul kasmaran. Setelah pamit pada
Pak Chief, aku menemui Marni yang rumahnya tidak seberapa jauh dari
pelabuhan. Gadis sederhan itu amat antusias mendengarkan kejadian aneh
yang kualami.
Beberapa saat kami terdiam. Marni menatapku. Entah apa yang dia pikirkan. Kemudian dia memecah kesunyian.
“Sebaiknya
, istirahat saja dulu kerja di laut, Kak. Makhluk itu berbahaya! Siapa
tahu dia minta korban. Tapi saya hanya menyarankan. Tidak memaksa, lho!”
bibir gadis itu bergetar.
Giliran aku diam kebingungan. Mana yang
harus kupilih? Masih dua pulau lagi yang akan kusinggahi. Kalau
diteruskan, aku akan terus-terusan diteror makhluk sialan itu. Aku tak
ingin berlama-lama dalam kebimbangan.
Karena yakin, rasa takut itu
berasal dari diriku sendiri, maka kuputuskan meneruskan pelayaran ke
pulau Bangka. Keinginan mengundurkan diri kutangguhkan sampai tiba di
rute terakhir. Ya, kembali ke Pontianak. Dengan begitu, paling tidak aku
bangga akan diriku. Setidaknya aku bukan pelaut pengecut.
Selama
bersandar di pulau Bangka, tak ada kejadian aneh. Mungkin makhluk itu
telah lupa dan bosan mengusik ketenanganku. Atau mungkin dia sudah
berselingkuh dengan ABK lain? Segala sesuatu berjalan wajar hingga
selesai bongkar muatan. Setelah itu, pelayaran dilanjutkan menuju
Ketapang.
Pagi cerah, laut masih berkabut, sewaktu kapal bertolak meninggalkan pelabuhan Bangka.
Sebagai
seorang pelaut aku tahu persis kalau sedari dulu pulau Ketapang memang
terkenal nuansa mistinya. Sering kudengar cerita teman yang melihat
penampakkan di pelabuhan. Tapi, aku cenderung mengabaikannya.
Tiga
hari berlalu, aman di Ketapang. Pak Chief gembira melihatku kembali
ceria dan membaur sesama ABK. Seperinya biasanya, kami bersenda gurau
melepas penat usai kerja bongkar muatan.
Namun, sungguh aneh, di
tengah keceriaan itu, tiba-tiba sekelebat bayangan kembali melintas
dalam benakku. Bayangan wanita bergaun perak itu. Tapi, segera kutepis
dan langsung mengingat Marni. Demikian kulakukan berulang-ulang kali,
sehingga pikiran dan perasaanku mulai ngelantur. Semula aku beranggapan,
mustahil makhluk itu kembali mendatangiku lagi karena jarak Marundang –
Ketapang terlampau jauh. Tapi nyatanya, dia terus mengikuti dan kembali
bereaksi. Kali ini kejadiannya sangat aneh.
Malam itu, hujan masih
menyisakan gerimis. Suasana pelabuhan Ketapang tampak lengng. Biasanya,
bila cuaca cerah, warga setempat selalu datang meramaikan pelabuhan.
Disana-sini biasanya terlihat pasangan memadu kasih, duduk santai di
dermaga sambil mengobral janji-janji manisnya.
Tapi, malam itu
suasana sepi sekali. Bahkan, sebagian temanku pasti sudah terlelap. Aku
belum mengantuk. Aneh, perasaanku serasa sangat galau. Resah. Kusibuk
kandiri dengan mempertimbangkan keputusan terbaik setelah tiba di
Pontianak nanti. Berhenti kerja di laut, tapi apa yang bisa aku lakukan?
Sementara aku tak punya pengalaman kerja di darat?
Angin bertiup
kencang dan rasa dingin semakin menggigit. Sebagai perokok kronik, di
saat cuaca dingin, aku sangat membutuhkannya. Sial, rokokku tak satu pun
tersisa. Aku beringsut ke kamar sebelah. Begitu pintu terkuak, kulihat
temanku sudah pulas meringkuk. Rasanya sungkan membangunkan tidurnya.
Siapa tahu, mungkin dia tengah mimpi indah.
Kemudian aku langsung
meraih sebungkus rokok yang tergeletak di atas meja. Kunyalakan korek
api lalu menyulut sebatang. Begitu melangkah ingin meninggalkan kamar,
tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku. Spontan bulu kudukku meremang.
Ya,
Tuhan! Makhluk itu muncul dari kehampaan. Dia tiba-tiba saja sudah
berdiri dengan berkacak pinggang menghadangkan di bibir pintu. Tubuhnya
yang langsing itu masih mengenakan gaun malam berwarna perak. Bibirnya
tersenyum sinis dengan sorot mata melotot tajam.
Tanpa kuasa menolak,
aku mengikuti langkah wanita itu ketika dia menuntun lenganku pergi
meninggalkan kapal. Hanya itu terakhir yang kuingat di ambang batas
kesadaranku.
Rupanya, tak seorang ABK pun tahu bahwa aku kembali
dirasuki dan pergi bersama sosok perempuan misteri itu ke alamnya. Ya,
suatu tempat yang sulit diketahui di mana letak persisnya. Sebuah tempat
yang sangat asing bagiku, dan bagi siapa pun juga. Mungkin bukan di
alam nyata. Yang pasti, panorama alamnya begitu indah dilatari sederetan
pohon rindang.
Anehnya, selama dalam pengembaraan itu, yang
kurasakan bukannya malam hari, tetapi suatu sore saat matahari akan
tenggelam. Cuaca redup menyejukkan. Seluas mata memandang, yang kulihat
hanyalah hamparan pemandangan menakjubkan.
Setelah cukup lama
berjalan, akupun merasa lelah. Aku mengajaknya duduk di tepi sebuah
telaga. Wanita itu berdiri membelakangiku. Sementara aku tak berkedip
memandangi ikan-ikan beraneka warna yang terus berenang berseliwaran di
dalam telaga yang sangat bening. Karena kelelahan, aku bersandar pada
pokok pohon mati ditepi telaga itu. Tak lama kemudian, makhluk itu
melirikku sekilas, lalu pergi tanpa bicara sepatah katapun.
Yang tak
kalah aneh, saat terjaga, aku berada buritan kapal. Dengan gugup, aku
segera berlari meninggalkan lokasi ini. Waktu itu pagi sudah tiba. Saat
masuk kamar, kulihat Very belum juga bangun.
Pagi itu, perasaanku
tak menentu. Aku merenung, mengenang perjalanan yang kutelusuri di luar
kesadaranku. Sementara. Ratu Rosali bertolak meninggalkan pelabuhan
Ketapang.
Selama dalam pelayaran menuju Pontianak, sengaja aku pindah kamar. Temanku tak keberatan bertukar kamar yang kuanggap sial itu.
“Dengan
senang hati aku akan tidur di kamarmu. Jika nasib lagi mujur, siapa
tahu makhluk itu hadir dalam mimpiku nanti. Kemudian memberi angka jitu.
Lalu aku kaya mendadak jadi jutawan,” ujar Idham, temanku, dengan
gayanya yang jenaka.
Setelah bertukar kamar dengan Idham, kukira
wanita gaib itu tak lagi mengusikku. Namun, kenyataannya dia terus
mengikuti kemana pun aku pindah, bahkan ke mana pun kapal berlayar. Aku
tak bisa mendeteksi keberadaannya aku karena tak punya kemampuan
supranatural.
Di kamar yang baru, aku beranjak tidur dengan perasaan
sedikit lega. Biarlah temanku yang didatangi makhluk gaib itu. Tapi, apa
yang terjadi? Tiba-tiba dia muncul lagi dalam mimpiku. Kulihat dia
tampak beringas, sepertin ingin menelanku hidup-hidup. Jelas terdengar
saat wanita itu bicara begini, “Namaku Tukiyem. Aku minta disediakan
kambing putih.”
Bahkan, dia mengancam akan terus meneror ABK Ratu
Rosali sebelum keinginannya dikabulkan. Aku hanya melongo terdiam. Hanya
bisa mendengar, ingin bicara, tapi tak terucapkan.
Mimpi malam itu
makin membulatkan tekadku untuk mengundurkan diri. Aku tak harus takut
tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan di darat. Bukankah tersedia banyak
pilihan dalam hidup? Jika mau berusaha, selalu ada jalan, demikian
pikirku.
Bila tak ada peluang di daratan, apa salahnya kembali bekerja di laut. Tak harus kapal kargo Ratu Rosali yang berhantu ini.
Setelah
selesai bongkar muatan di pelabuhan Pontianak, malamnya aku menemui Pak
Chief di kamarnya. Dengan tegas kusampaikan keputusanku. Mendengar itu,
dia menyipitkan mata. Mungkin sulit memahami alasan pengunduran diriku
yang begitu mendadak. Tapi, dia merasa tidak berhak menghalangi niatku.
Sebelum
pergi meninggalkan kapal, aku harus menceritakan mimpiku semalam. Salah
besar jika kupendam sendiri. Demi keselamatan seisi kapal, apa salahnya
memenuhi permintaan makhluk itu.
Sepertinya Pak Chief tak
mempercayai kata-kataku. Dia mengangap makhluk gaib jenis apapun
hanyalah tahyul belaka. Tak mengapa. Yang penting aku lega, sebab mimpi
yang membebani pikiranku itu telah kuceritakan padanya.
Sebulan
kemudian, Ratu Rosali kembali berlayar ke Malaysia. Sebelum kapal
bertolak, aku menemui Very dan menanyakan tentang kambing putih
permintaan makhluk itu. Tapi jawabannya, “Pak Chief mengabaikan itu!”
Aku membatin, ABK siapa lagi yang akan diteror wanita sialan itu nanti?
Sementara
belum mendapat pekerjaan, aku menghabiskan hati-hariku di pelabuhan.
Kadang ikut melaut dengan perahu nelayan. Berangkat pagi mencari ikan,
sore harinya kembali ke daratan.
Waktu terus berlalu, Senin pagi,
tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan kapal nelayan yang membawa Pak
Chief bersama 10 ABK Ratu Rosali. Kapal nelayan itu menyelamatkan mereka
saat terapung di tengah laut, tak jauh dari pulau Marundang.
Menurut
Very, yang kutemui dalam keadaan shock, saat melintasi lautan pulau
Marundang, kapal kembali mengalami kerusakan. Baling-baling kemudi patah
tanpa sebab. Ketika itulah tiba-tiba angin bertiup kencang dari dua
arah, barat dan barat laut, membangkitkan ombak setinggi 5 meter.
Ratu
Rosali terombang-ambing tanpa daya. Akhirnya, suatu tamparan ombak yang
begitu dahsyat menenggelamkannya. Tamatlah riwayat kapal kargo itu….
Mendengar
cerita Veri, seketika sosok makhluk itu berkelebat dalam benakku.
Adakah hubungan kecelakaan itu dengan sikap sombong Pak Chief, yang tak
mau memberikan kambing putih pada sosok perempuan gaib yang mengaku
bernama Tukiyem itu?
Wallahu’alam. Hanya Allah SWT yang mengetahui rahasia hikmah di balik setiap musibah.