Sayup-sayup
kudengar tangis pilu yang menyayat hati. Semakin lama semakin
mengusikku. Kulangkahkan kaki menuju sumber suara itu.
Astagfirullah...siapakah gerangan gadis cantik berambut panjang sebahu
itu...?
Tiga tahun menumpang hidup di rumah mertua,
memaksaku harus berpikir keras. Berpikir bagaimana caranya agar aku
mandiri, tidak selalu hidup di rumah mertua.
Ya, aku ingin segera
membawa isteriku pindah, meski itu hanya di rumah kontrakan. Kendati
keinginan itu pernah ditolak mentah-mentah oleh mertua, namun tekadku
sudah bulat. Bagaimana pun aku tetap ngotot ingin mencari rumah
kontrakkan.
Begitulah. Setelah berpikir soal rumah kontrakan, sebulan
kemudian aku mendapatkan rumah yang kuinginkan. Rumah itu tidak terlalu
bagus, namun cukup besar untuk ukuran keluarga kecil. Apalagi, kami
belum memiliki seorang anak pun. Maka, tanpa pertimbangan yang
macam-macam, rumah itu jadi kukontrak.
"Sebelum ditempati, kamu mesti
mengadakan selamatan dulu, Nak. Itu sudah menjadi tradisi yang tidak
boleh dilanggar," pesan mertuaku, wanti-wanti.
Memang tak salah jika
mertuaku berpesan seperti itu. Soalnya, sejak aku belum resmi menikahi
anaknya, aku dikenalnya sebagai menantu yang suka tak percaya dengan
hal-hal di luar nalar. Begitu pula soal pesan selamatan itu.
"Insya Allah, Bu!" hanya itu jawabku waktu itu.
Seiring
perkembangan waktu, tibalah saatnya aku mulai menempati rumah milik Pak
Warno, yang dikontrakan kepada dengan harga relatif murah. Sepeninggal
Pak Warno yang seorang duda, praktis rumah itu kosong. Tak pelak, karena
dikosongkan selama lebih hampir dua tahun lamanya, keadaan rumahnya
sangat kotor. Selain banyak terdapat sarang laba-laba, juga keadaan
temboknya sudah banyak yang kusam dan mengelupas.
Niatku, sebelum aku
menempati rumah itu, aku akan membersihkannya sendiri. Daripada
memberikan uang kepada tukang untuk membersihkannya, mending kubersihkan
sendiri saja. Sekalian ngirit, maksudku.
Begitulah, akhirnya pada
hari Minggu aku mulai membersihkannya. Sejak pagi aku sudah berangkat ke
sana. Dengan membawa peralatan seadanya, kubuka pintu pagarnya. Suara
berderit mengiringi terbukanya pagar besi yang telah karatan. Sesaat aku
sempat kaget ketika tiba-tiba saja terasa olehku hembusan angin
sepoi-sepoi menerpa wajahku. Halus dan hangat kurasakan....
Aku terus
melangkahkan kaki dan mulai membuka pintu rumah. Sama seperti ketika
aku membuka pagar depan. Begitu pintu terbuka, suara derit seolah
mengiringinya. Sepertinya, suara derit pintu itu berasal dari dari
gesekan antar karat yang banyak terdapat di engsel daun pintu. Sejauh
itu aku hanya berpikir, "Ya, beginilah kalau rumah dibiarkan lama dan
tidak dirawat...."
Setalah berpikir seperti itu, hembusan angin
kembali menerpa wajahku. Masih tetap seperti yang pertama. Halus dan
hangat, kurasakan. Secara spontan aku langsung geleng-geleng kepala
begitu tahu keadaan di dalamnya. Meski ada seperangkat kursi tamu yang
lengkap, namun debu tebal yang menempel ibaratnya bisa ditanami jagung.
Ah, sudahlah... toh bagaimana pun rumah ini jadi kukontrak. Jadi, apapun
resikonya aku harus siap menerimanya.
Pertama aku membersihkan semua
mebel dengan kain yang kubasahi dengan air. Setelah itu, barulah aku
membersihkan temboknya. Satu persatu foto-foto yang terpampang
kuturunkan. Mataku agak tertegun ketika hendak menurunkan sebuah foto
seorang gadis dengan rambut panjangnya yang sebahu.
"Wuiiih, cantik sekali anak ini. Siapa, ya...? Apakah anak Pak Warno?" Pertanyaan itu terus mengusikku.
Aku
pun terus melanjutkan pekerjaanku. Entah, sudah berapa batang rokok
yang kuhisap sambil bersih-bersih. Aku juga tak ingat lagi, sudah berapa
gelas akur aku minum, kuteguk untuk mengusir rasa haus yang mencekik
tenggorokanku. Namun yang pasti, pada akhirnya aku kelelahan. Bisa jadi
saking capeknya, secara tak sadar aku tertidur pulas di sofa ruang tamu
yang telah kubersihkan itu.
Di saat tidur, antara sadar dan tidak
telingaku mendengar suara seseorang mengetuk pintu. Tak hanya, bersamaan
dengan ketukan itu aku juga mendengar suara seorang wanita yang memberi
salam, "Assalamu'ailakum...!"
"Waalaikumsalam! Ya, silahkan masuk,"
ujarku membalas suara perempuan di depan pintu. Aku segera bergegas
menuju ke arah suara. Begitu pintu kubuka, nampak seorang gadis belia
berdiri di depan pintu.
Sesaat lamanya aku tertegun dibuatnya. Seolah
tak percaya dengan pandangan mataku. Gadis itu, ya gadis itu..."Ah,
cantik sekali!" Hanya itu yang mampu terucap pelan dari bibirku, yang
seolah terasa terkunci.
Setelah kupersilahkan masuk, barulah gadis
yang mengaku bernama Maharani itu mau masuk ke rumah. Langkah kakinya
pelan namun serasi dan penuh wibawa. Sorot matanya sendu, seolah
memancarkan kesedihan yang mendalam. Begitu memasuki ruang tamu, dia
langsung menatap foto dirinya yang saat itu masih tergeletak di atas
meja lantaran baru kubersihkan. Lama sekali dia menatap foto dirinya.
Lalu, senyumnya mengembang sarat arti....
"Maafkan, foto itu terpaksa aku turunkan. Kukira kau tidak akan datang kemari," cetusku, coba menyelami perasaannya.
"Ah, mungkin memang foto ini sudah tak pantas menghiasi ruangan ini," ujarnya, getir.
Entah
bagaimana mulanya, setelah agak lama mengobrol spontan tercipta suasana
akrab di antara kami. Maharani tak lagi merasa sungkan untuk mengambil
minuman di dapur. Dengan cekatan tangannya membuka laci kitchen set.
Dari sana, diambilnya sebotol selai strawberry dan beberapa potong roti
tawar. Lalu, secara perlahan dia mengoleskan selai itu di atas roti
tawar.
Tak bisa kupungkiri. Selama berbincang dengan Maharani, terus
terang, pikiranku mendadak jadi piktor (pikiran kotor-pen). Sempat pula
kubayangkan, bagaimana enaknya bercumbu dengannya. Kulitnya yang putih
bersih nampak terawat, dan kecantikan wajahnya sempat membuat jantungku
bergetar, bergetar menahan gejolak nafsu....
"Hayo sedang berpikir apa? Aku tahu lo yang sedang Mas pikirkan," ujar Maharani yang secara spontan membuatku kaget.
Setelah
mengatakan hal itu, tiba-tiba dia berdiri dan langsung menghampiriku.
Yang lebih membuatku kaget, tanpa sungkan dan basa-basi dia langsung
mendaratkan ciuman setelah duduk di pangkuanku. Seakan tidak memberiku
kesempatan untuk bernafas, Maharani terus mencumbuku.
Untuk beberapa
saat lamanya bibir kami saling berpagut. Lama hal itu kami lakukan. Aku
sampai tak sadar ketika dengan halus tangan Maharani mulai membuka
kancing baju dan celanaku. Pikiranku langsung bagikan melayang, terbang
di awang-awang. Semua yang kurasakan terasa begitu indah. Kuakui,
Maharani memang piawai dalam memainkan lidahnya.
Bisa jadi, hal itu
pula yang membuatku semakin hanyut. Bahkan, secara jujur kuakui, aku
semakin tak mampu mengendalikan diri ketika dengan beraninya Maharani
menanggalkan semua kain yang membungkus tubuh mulusnya. Dan, astaga!
"Maharani, Sayangku!" hanya itu yang mampu terucap dari bibirku.
Belum
hilang rasa heran dan keterkejutanku, Maharani langsung menindih
tubuhku. Setelah puas melumat bibirku, kini gilirannya menjilati sekujur
tubuhku. Aku semakin tak bisa menguasai diri ketika jilatannya semakin
berani. Dan, lagi-lagi aku hanya pasrah ketika dia membawaku ke alam
nirwana. Bagai mendaki sebuah gunung yang tak pernah ada puncaknya, aku
terus dibimbingnya...
Ketika nyaris mencapai puncak kenikmatan itu,
tiba-tiba badanku terjatuh. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku.
Aku celingukan seperti orang tolol. Aku semakin malu ketika tiba-tiba
kudengar suara isteriku, "Mas...Mas, sadar... kenapa sih...?"
Astaghfirullah...!
Saat itu aku teramat sangat malu. Bagaimana tidak? Selain isteriku,
bapak-ibu mertuaku juga melihatku dalam keadaaan bugil. Masih dengan
menahan perasaan malu yang tak tergambarkan, aku mencoba meraih baju dan
celanaku. Setelah diberi segelas air putih, barulah secara
berangsur-angsur pikiranku kembali normal. Aku pun baru sadar kalau
ternyata aku telah diajak bercinta oleh Maharani di alam nun jauh di
sana. Ya, mungkin di alam gaib.
Menurut cerita para tetangga
kanan-kiri rumah milik almarhum Pak Warno tersebut, Maharani adalah
puteri tunggal saudagar kaya pada era tahun 70-an itu. Tanpa sebab yang
jelas, gadis itu meninggal. Hal itu pulalah yang membuat isteri Pak
Warno sedih hingga akhirnya meninggal. Tak pelak, Pak Warno pun
mengalami kesedihan yang sama sama, sehingga memilih hidup sendiri, dan
akhirnya pergi meninggalkan rumahnya setelah mengontrakkannya padaku.
Karena meninggalnya tak jelas, maka diyakini arwah Maharani sering
menampakkan diri. Bahkan, konon kabarnya dia suka menggangu, terutama
kaum lelaki. Termasuk diriku? Ah, ada-ada saja...!