Semasa hidupnya dia adalah Nyai peliharaan seorang Meneer Belanda. Dia mati setelah diperkosa para algojo bayaran isteri sang Meneer yang cemburu. Tak puas sampai di situ, isteri sang Meneer juga memerintahkan para alogojonya untuk memotong-motong tubuh Warsinah, yang kemudian di kubur di bawah lantai kamar. Bagaimana kisah selanjutnya…?
Rumah kuno itu telah berkali-kali dikontrak orang. Anehnya, semua orang yang pernah mengontraknya, rata-rata tidak ada yang pernah betah atau kerasan. Paling-paling hanya bertahan satu atau dua bulan menempatinya. Entah apa alasannya, tak seorang pun dari mereka yang memberikan keterangan atau alasan. Memang, ada sesuatu yang unik. Setiap orang yang keluar dari rumah kontrakan itu, rata-rata tutup mulut dan tak mau bercerita.
Adalah Pak Sarmad, si pemilik rumah gedung kuno tersebut. Mungkin, dia sendirilah yang mengetahui apa sebab-sebabnya si pengontrak rumah rata-rata hengkang dalam waktu yang singkat. Entah apa yang terjadi di sana?
Yang terakhir kali mengontrak atau menempati rumah tua itu adalah keluarga Pak Burhan. Bersama dua orang anak dan istrinya, serta seorang pembantu rumah tangga, mereka tinggal di rumah kontrakan itu. Namun baru sepuluh hari menempati rumah tersebut, ada kesaksian yang cukup membuat bulu kuduk merinding.
“Semalam saya mendengar ada suara seorang wanita menangis, lalu saya bangun dan mencari sumber suara tangisan tersebut. Tapi baru saja saya melangkah dari pintu kamar, hih, di depan mata saya terlihat ada sepotong kepala seorang wanita tergeletak di lantai, di depan pintu kamar Nyonya!” Tutur B Nuri, pembantu rumah tangga di rumah itu, kepada isteri Pak Burhan.
Pada mulanya isteri Pak Burhan tidak percaya pada cerita Bi Nuri, yang dikiranya cuma mengada-ada saja. Namun ketika pada suatu malam, saat suaminya sedang ditugaskan keluar kota dan dia sedang tidur sendirian di kamarnya, isteri Pak Burhan ini menjerit-jerit ngeri karena melihat ada sesosok tubuh tanpa kepala, kemudian hilang lenyap di sepanjang lantai kamar yang terbuat dari semen yang retak-retak.
“SSelain saya melihat ada sesosok tubuh tanpa kepala, juga pada keesokan malamnya saya melihat pula ada sepasang tangan yang melayang-layang di dalam kamar tidur kita,” tutur isteri Pak pada suatu pagi, tatkala Pak Burhan hendak berangkat kerja. “Bukan cuma itu saja kok, Mas! Si Nuri, pembantu kita, malah pernah ditarik-tarik kakinya selagi tidur oleh tangan-tangan yang menyeramkan!”
“Ah, mungkin kau dan si Nuri cuma bermimpi barangkali!” Tukas Burhan tak percaya pada kata-kata isterinya yang berbau takhayul itu. “Mana mungkin sih ada hantu di abad modern seperti sekarang ini?” Tambahnya menegaskan.
Burhan tak
peduli dengan ketakutan isterinya. Hingga pada malam Selasa Wage itu, dia merasa sulit sekali untuk tidur. Sebentar-sebentar dia meneguk kopi panas, sehingga tubuhnya agak sedikit menjadi berkeringat dan matanya menjadi tidak mengantuk. Sementara isterinya bersama kedua anaknya telah tidur. Namun Burhan sendiri tidak tahu pasti, apakah isterinya sudah tertidur pulas, atau hanya sekedar berbaring diam-diam membelakanginya. Sementara lampu kamar sengaja tidak dimatikan, sehingga ruang kamar terang benderang. Maksudnya agar mengurangi ketakutan isterinya.
Tiba-tiba, menjelang dini hari itu, sayup-sayup Burhan mendengar suara bunyi ketukan pada lantai kamar. Suara ketukan itu kian lama semakin bertambah cepat. Malah suaranya tidak dari satu arah saja, tapi seluruh dinding tembok kamar bagai turut mengantarkan bunyi suara ketukan itu ke telinganya. Hati Burhan berdebar-debar. Dia mulai tegang.
Sambil memiringkan sedikit tubuhnya, Burhan turun dari tempat tidur. Betapa kagetnya dia, karena pada saat itu tiba-tiba dia melihat ada sepasang tangan yang amat menyeramkan, melayang-layang di sekitar tempat tidur anaknya. Tangan tersebut bagai hendak meraba sesuatu, seperti gerak tangan orang yang tenggelam hendak menjangkau tempat bergantung. Pangkal lengan itu samar-samar tumbuh di sepanjang lantai kamar yang terbikin dari semen yang retak-retak. Terkadang mencuat keluar sampai ke bahunya. Walau Burhan tergolong seorang laki-laki pemberani, namun tak urung tubuhnya menggigil seperti tikus ketakutan dikejar kucing. Selanjutnya tangan-tangan itu menggoyang-goyangkan kaki anaknya yang sedang tidur nyenyak, sehingga anaknya itu terbangun sambil langsung berteriak-teriak ketakutan.
“Tolong, Ibu! Tolong Ayah! Tangan setan itu mengganggu lagi!” Teriak si bungsu, yang tidur di tepi ranjang sebelah luar. Pada saat yang hampir bersamaan, isterinya pun turut terbangun pula. Sementara itu, suhu di dalam kamar itu terasa mendadak menjadi sangat dingin. Dingin beku dan seakan melembab.
Burhan dapat menyaksikan dengan jelas, ketika secara perlahan-lahan tangan itu kemudian menyusup masuk lagi ke lantai semen yang retak-retak, laksana uap yang ditutup dengan suatu tabir yang tak tampak. Burhan cuma bias bengong saja tanpa dapat berbuat apa-apa, memandang kejadian aneh yang ada di hadapannya. Sementara sang isteri yang ketakutan segera memeluk tubuhnya, diiringi suara tangisan anak mereka yang telah turun dari tempat tidur.
Pada pukul tiga dinihari itu juga, Burhan serta keluarga mengemasi seluruh barang-barangnya. Menyusul mohon pamit pada Pak Sarmad, si pemilik rumah yang dikontraknya itu.
“Kami akan meninggalkan rumah Bapak pada malam hari ini juga,” ucap Burhan dengan nafas ngos-ngosan seperti diuber-uber anjing. “Rumah Pak Sarmad ada hantunya, saya dan isteri serta anak-anak baru saja diganggu hantu-hantu itu!”
Pak Sarmad tidak merasa terkejut mendengar laporan itu. Wajah tetap tenang. Sementara Burhan menyeka keringat di keningnya dengan pangkal lengannya, seraya sesekali diliriknya rumah yang dikontraknya itu, yang ternyata ada hantunya. Pada malam hari itu juga, rumah kuno yang mengerikan itu ditinggalkan oleh keluarga Burhan.
Setelah keluarga Burhan meninggalkan rumah kuno penuh misteri tersebut, maka terjadilah suatu kejadian yang teramat ganjil. Tiba-tiba seluruh daun pintu dan semua daun jendela kamar terbuka dengan sendirinya. Seolah-olah penghuni rumah yang tak tampak itu merasa kecewa, karena kini sudah tidak ada lagi orang-orang yang akan menemaninya di dalam rumah itu.
Berhubung rumah kuno itu letaknya cukup strategis dan cukup menarik serta tarip sewanya tidak terlalu mahal, maka belum ada satu minggu, ada saja orang yang berminat ingin menempatinya. Kali ini yang mengontrak adalah seorang janda muda beranak tiga bernama: Santika. Dia merasa tertarik dengan rumah itu lantaran halamannya luas. Dia berniat hendak membuka warung rokok plus berjualan makanan kecil di depan rumah itu.
Semula Pak Sarmad masih agak ragu-ragu. Kasihan bila nantinya janda muda beranak tiga itu diganggu oleh hantu penunggu rumah tersebut. Tetapi akhirnya dia menerima juga tawaran Santika untuk mengontrak rumah miliknya yang angker itu.
Selama tiga hari berturut-turut janda muda beranak tiga bernama Santika itu mendiami rumah gedung tua tersebut memang tidak terjadi apa-apa. Santika merasa senang juga hatinya ketika pada suatu hari Pak Sarmad memberikannya satu tandan pisang Ambon hasil kebunnya. Mungkin karena Pak Sarmad merasa kasihan melihat pada ketiga anak Santika yang masih kecil-kecil dan sudah yatim itu. Terlebih-lebih lagi ketika Santika menceritakan, bahwa suaminya mati karena disantet. Korban guna-guna dari saingan dagang suaminya, yang merasa syirik melihat usaha suaminya berkembang pesat. Keberhasilan suami Samtika sebagai agen rokok dan pedagang makanan kecil ternyata membuat iri hati saingan dagangnya. Demikianlah cerita janda muda beranak tiga berasal dari kota Tegal kepada Pak Sarmad.
Santika sendiri adalah tamatan sekolah guru. Sebelum menikah dia pernah mengajar di sekolah dasar dan kemudian menikah dengan seseorang pengusaha agen rokok. Dengan berbekal sedikit warisan almarhum suaminya, kini Santika berniat hendak membuka warung rokok sebagai penghasilannya setiap hari demi membesarkan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil.
Rupanya, makhluk gaib tidak sudi memikirkan keadaan manusia yang mendiami rumah kuno celaka tersebut. Tepat pada hari ketujuh belas, yaitu pada malam Jum’at Kliwon, saat jam telah menunjukkan pukul satu dini hari, Santika dikejutkan oleh jeritan anaknya yang pertama, yang sudah pandai bicara.
Santika mendekap anaknya sambil membujuk: “Ada apa, Adi? Kok malam-malam begini menjerit-jerit?”
“Ada tangan-tangan yang menyeramkan, B!” Jawab Adi, anaknya, sambil menunjuk ke lantai di bawah tempat tidur yang tampak retak-retak. “Tangan itu barusan saja menarik-narik kaki Adi, Bu!”
“Tangan?” Tanya Santika. “Maksud Adi tangan siapa?” Dia mendesak anaknya agar segera berkata yang sebenarnya. Sementara anaknya yang kedua dan paling bungsu juga turut terbangun pula. Anak-anak yang masih berusia di bawah tujuh tahun terkadang memang mempunyai perasaan yang peka. Sebentar saja ketiga anak Santika itu langsung saja menangis di tengah malam. Santika mencoba untuk membujuk, guna mendiamkan ketiga anaknya yang sedang menangis, namun sia-sia. Malah mereka semakin bertambah menangis kian menjadi.
Santika diam terpaku, duduk di tepi tempat tidur, sambil memandang lantai yang retak-retak yang ditunjuk tadi oleh Adi. Karena hidupnya telah cukup lama menderita, sejak suaminya mati disantet, maka membuat perempuan bernama Santika ini menjadi tabah menghadapi segala persoalan. Selama Santika hidup menjanda dan menanggung beban ketiga anak yang didapatnya dari suaminya, menyebabkan dia agak sukar dilamar oleh lelaki sebagai isteri. Ada juga beberapa duda yang telah mempunyai anak, pernah ingin menikahinya. Tetapi Santika sudah bertekad, sebisa-bisanya ingin memikul hidup ketiga anaknya, sekuat tenaga dan kemampuan yang ada pada dirinya.
Manusia yang paling penakut pun, dapat berubah nekad dan pemberani bila hidup yang dilalui terlalu keras dan kejam. Salah satu di antaranya adalah janda beranak tiga bernama Santika ini. Dia tidak percaya kalau Allah SWT mentakdirkan rumah yang ditempatinya sekarang ini ada hantunya. Santika merasa yakin bahwa dia berada di pihak yang patut dikasihani oleh Tuhan, apalagi dengan ketiga anak yatim yang dihidupinya. Dan Santika merasa yakin sekali bahwa Tuhan pasti akan selalu melindunginya. Apalagi Santika juga amat rajin sholat. Maka tak heran kalau dia cukup kebal dan tabah dalam menghadapi segala persoalan dan rintangan.
Santika terus memandang ke lantai dekat tempat tidur dengan mata terpentang lebar. Sekujur tubuhnya menjadi tegang dan kalut untuk menghadapi segala apa yang bakal terjadi pada ketiga anaknya. Santika dalam sekejab kini telah berubah bagai singa betina yang berusaha melindungi anaknya dari bahaya. Dia menjadi berani dan beringas, siap untuk menghadapi segala apa pun.
“Hei, mengapa kau berbuat usil kepada kami yang malang ini?” Pekik Santika dengan suara lantang, sambil memelukiketiga anaknya. “Kenapa kau ganggu kami yang sudah bernasib malang, malah ingin dibuat sengsara?!”
Tiba-tiba terdengar suara gesekan lembut di bawah lantai. Suara tersebut mirip bunyi sesosok tubuh yang terseret dengan paksa. Juga diiringi oleh suara napas sesak seperti orang tercekik.
Dengan penuh tabah Santika mendekati tepi tempat tidur. Kini dia dapat melihat jelas ada genangan air yang meresap kembali ke permukaan yang lantainya retak. Tempat itulah tadi yang ditunjuk oleh anaknya, Adi. Benarkah ada tangan yang muncul dari bawah sana?
“Apabila kau tidak dapat bicara, maka jawablah dengan ketukan sebagai tanda! Dapatkah kau melakukannya?” tanya Santika dengan suara lantang.
Semula cuma sayup-sayup, tapi kemudian semakin bertambah jelas suara ketukan di bawah lantai semen. Santika sejenak terpaku, saking herannya, karena ucapannya dijawab. Sejenak matanya mengamati sekeliling kamar, mencari alat tulis dan kertas.
Sambil tetap memeluk ketiga anaknya, Santika mengambil beberapa lembar kertas dan sebuah pensil. Kemudian duduk bersila menghadapi lantai retak yang senantiasa lembab itu.
“Apabila kau setan atau hantu, maka jawablah dengan ketukan sebanyak tiga kali. Tetapi jika kau roh manusia, harap jawablah dengan ketukan sebanyak tujuh kali,” ujar Santika dengan penuh tabah, sambil memangku ketiga anaknya di pangkuannya.
Suasana hening sejenak. Pada detik-detik yang menegangkan itu, kemudian terdengar suara bunyi gesekan terseret di bawah lantai dan selanjutnya terdengar bunyi ketukan sebanyak tujuh kali.
“He, ternyata kau adalah roh manusia?” ulang Santika. Kembali terdengar lagi bunyi ketukan sebanyak tujuh kali.
Secara tiba-tiba Santika teringat ketika dia pernah menjadi guru sekolah dasar. Selanjutnuya dia mengambil inisiatif; dengan menderetkan seluruh alpabet dari mulai huruf A sampai ke huruf Z dengan pensil di atas lembaran kertas.
“Apabila nanti salah satu dari huruf ini kutunjuk, harap ketuklah jika benar, sebagai salah satu huruf dari namamu,” ujar Santika, yang kini telah berani menurunkan ketiga anak-anaknya dari pangkuannya.
Menyusul kemudian, dengan perlahan ujung jari Santika menunjuk mulai dari huruf A sampai pada huruf W, mendadak terdengar bunyi ketukan di bawah lantai. Santika buru-buru menulis huruf W sebagai awal tulisannya. Ketukan yang kedua terdengar saat jari Santika menunjukkan ke huruf A. Dalam tempo yang singkat tersusun rapi semua huruf yang menunjukkan sebuah nama: WARSINAH.
Hingga menjelang fajar, Santika menyalin seluruh abjad demi abjad seluruh catatan yang diperolehnya dari hasil ketukan misterius di bawah lantai. Ternyata yang dulu menjadi penghuni rumah, yang sekarang di tempati oleh Santika, adalah seorang Nyai Belanda atau isteri simpanan seorang Meneer Belanda bernama WARSINAH.
Menurut pengakuan cerita Nyai Warsinah, dulunya dia pernah tinggal bersama dengan Meneer Peter van Houften sebagai Nyai Belanda sang Meneer. Semula mereka hidup bahagia, namun suatu ketika datanglah isteri Meneer Peter dari negeri Belanda. Saat itu kebetulan Meneer Peter sedang pergi keluar kota untuk suatu urusan dagang.
Menurut cerita roh Nyai Warsinah, pada malam hari yang naas itu dia disiksa secara sadis oleh isteri Meneer Peter yang datang bersama para tukang pukulnya.
Yang lebih mengerikan lagi Warsinah diperkosa dengan biadab secara bergilir oleh kelima laki-laki algojo itu dihadapan isteri Meneer Peter van Houften. Akibat dilanda cemburu, maka dengan sadis sekali Nyonya Belanda tersebut menghabisi nyawa Nyai Warsinah dengan memotong-motong tubuh wanita malang itu menjadi mayat terpotong tujuh. Selanjutnya mayat si Nyai malang yang terpotong tujuh itu dikubur, lalu disemen, di tengah kamar, tanpa kain kafan sebagai pembalutnya. Sungguh mengerikan!
Setelah terjadi dialog yang sangat panjang, akhirnya roh Nyai Warsinah memohon kepada Santika, agar dapat menyampaikan pesannya: yaitu meminta agar Pak Sarmad, si pemilik rumah, sudi menguburkan tulang-tulangnya dengan upacara sewajarnya. Selanjutnya memindahkannya ke tempat pemakaman umum.
Sampai pukul enam pagi Santika menuliskan ulang seluruh diktean abjad berangkai sehingga menjadi sebuah riwayat hidup yang singkat. Setelah itu, dia melaporkannya kepada Pak Sarmad.
Pada siang harinya Pak Sarmad membongkar lantai kamar yang berubin retak dan senantiasa lembab itu. Ternyata diketemukan tulang belulang Nyai Warsinah masih tetap utuh. Kemudian dengan suatu upacara yang amat sederhana tulang belulang itu dimakamkan di tanah wakaf, dan diberi sebuah nisan kayu bertuliskan nama: WARSINAH.
Allah SWT telah menakdirkan bahwa janda Santika yang memiliki tiga orang anak yatim, akhirnya mampu mengakhiri kegelisahan roh penasaran yang tidak terkubur secara sewajarnya.