Inilah kisah mistis
tentang ramuan pelet super ampuh yang berasal dari daerah Minangkabau.
Seorang gadis yang termakan ramuan ini, hanya dalam waktu 6 jam dijamin
langsung minta dinikahi oleh pemuda yang semula dibencinya. Apa rahasia
ramuan ini...?
Sama seperti daerah-daerah lainnya di
Indonesia, daerah Minangkabau juga menyimpan berbagai macam ilmu gaib.
Salah satunya tentang keanekaragaman ilmu pelet, baik berupa
jampi-jampi, mantera, atau berupa sarana mistis lainnya. Salah satunya
adalah serbuk yang diaduk dengan kopi atau teh manis. Siapa saja, tak
peduli pemuda atau gadis, jika termakan ramuan pelet ini akan datang ke
rumah orang yang memberikan ramuan tersebut padanya.
Begitu hebatnya
serbuk gaib tersebut, sehingga korbannya akan menyerahkan dirinya sambil
mengemis, memohon agar dapat diterima cintanya. Bahkan seorang gadis
tak segan meminta agar segera dinikahi.
Ilmu pelet dengan media
berupa serbuh tersebut di daerah asalnya, Minangkabau, disebut sebagai
Cirik Barandang. Seorang gadis atau bujang yang termakan ramuan Cirik
Berandang ini dijamin akan mabuk kepayang. Siang hari teringat pada si
pembuat ramuan, dan malam harinya akan terbawa dalam mimpi. Bahkan
pemuda atau gadis yang memberikan ramuan Cirik Barandang datang dalam
mimpi sebagai seorang puteri raja, sang pangeran yang sangat mempesona.
Dalam mimpi itu, mereka bukan sekedar bercumbu atau bermesraan. Tapi
berhubungan intim hingga mencapai orgasme.
Biasanya, ramuan Cirik
Barandang dipergunakan seorang pemuda jika cintanya ditolak
mentah-mentah oleh gadis pujaannya. Merasa dihina oleh seorang gadis
sombong, bahkan bukan sekedar cinta ditolak, tapi si pemuda juga dicaci
maki dengan kata-kata sangat menyakitkan hati.
Karena itu kemudian
seorang pemuda datang ke rumah dukun yang mahir membuat ramuan Cirik
Barandang. Oleh sang dukun diberikan ramuan racikannya agar ditaburkan
dalam teh manis, kopi, jus, atau panganan berupa kue yang akan
dimakannya.
Celakanya, ramuan pelet ini tidak hanya digunakan oleh
para pemuda yang sakit hati karena ditolak cintanya dan dihina oleh si
gadis pujaan. Berdasarkan fakta,
para laki-laki tua di Ranah Minang,
terutama berlangsung di zaman lampau, banyak juga yang meminta bantuan
dukun jika akan menambah isteri berusia gadis belia. Mereka menggunakan
Cirik Barandang untuk membuat si gadis mabuk kepayang.
Dengan ramuan
Cirik Barandang ini, sang gadis yang semula benci dan menolak
mentah-mentah lamaran laki-laki gaek alias bandot tua itu, umumnya akan
berubah menjadi tergila-gila, mengemis dan minta dinikahi. Celakanya
lagi, karena terbius oleh harta si bandot tua, kebanyakan orang tua
gadis justeru bekerja sama untuk ìmengobatiî anak gadisnya agar mau
diperisteri, meski bersatatus sebagai isteri kedua, ketiga, atau keempat
sekalipun.
Cirik Barandang merupakan sarana pelet yang telah berusia
sangat tua, bahkan mungkin sangat langka. Kendati demikian, bukan
berarti pemegang ramuan super ampuh ini sepenuhnya punah. Diperkirakan,
ada orang-orang tua atau sepuh yang tinggal di pedesaan Minangkabau yang
masih menguasai petunjuk pembuatan ramuan pelet ini. Sebagai bukti,
beberapa waktu silam Penulis mendapat kesaksian langsung dari satu
keluarga, yang anak gadisnya sempat menjadi korban keganasan Cirik
Barandang.
Kisah mistis ini dialami oleh seorang gadis cantik dan
imut-imut, yang hingga kini masih tercatat sebagai mahasiswa di salah
satu universitas swasta di Kota Padang. Ayahnya memang penduduk asli
dari Ranah Minang. Ketika lebaran Idul Fitri lalu (sekitar Januari 2006)
si gadis ikut mudik bersama kedua orangtuanya, yang kebetulan kampung
halamannya terletak di sebuah desa pelosok di Sumbar, tak dinyana gadis
malang ini termakan ramuan Cirik Barandang.
Demi menjaga privacy
keluarga dimaksud, Penulis sengaja merasahasiakan nama-nama pelaku dalam
kisah ini. Jika ada nama pelaku dalam kisah ini sama dengan nama
Pembaca Kisah Mistis, di manapun berada, maka itu hanya kebetulan saja.
Nah, inilah kisah mistis lengkapnya...:
Sudah sepuluh tahun Sabirin,
ayah Bunga, tidak pernah mudik ke kampung halamannya yang terletak di
wilayah pelosok Sumbar. Karena rindu yang begitu menggumpan, lebaran
tahun lalu, Sabirin bersama seluruh anggota keluarganya pulang kampung.
Acara
mudik itu membuat semua anggota keluarga Sabirin begitu bersuka cita.
Namun tidak demikian dengan Bunga, anak gadis Sabirin yang tengah tumbuh
dewasa. Bagi Bunga, ikut mudik bersama ayahnya merupakan pengalaman
sangat tidak menyenangkan. Mengapa?
Diam-diam, Bunga rupanya punya
kesan tersendiri terhadap kampung kelahiran ayahnya yang masih kolot
memegang petatah-petitih leluhur itu. Setidaknya, pengalaman sepuluh
tahun lalu ketika pulang kampung bersama ayah masih terbayang dalam
benak gadis kuning langsat ini. Di kampung ayahnya yang kolot itu masih
serba pantang. Tidak boleh makan di depan pintu, duduk di atas kursi
sementara orang-orang tua di bawah, bahkan pantang bersenandung di malam
hari.
Sebagai gadis yang hidup dan dibesarkan di alam yang telah
modern, Bunga tidak suka ditegur dan diatur oleh pantangan-pantangan
yang baginya omong kosong itu.
Ingat hal tersebut, Bunga sebenarnya
malas ikutan mudik. Dia lebih senang tinggal di rumah saja. Tapi karena
semuanya ikut, maka dia pun terpaksa ikut juga. Dia tak berani tinggal
sendirian di rumah orang tuanya yang besar itu.
"Di kampung ayah, kau tidak boleh berpakaian seperti di kota, Bunga!" Belum-belum ibunya mengingatkan.
"Bunga harus memakai baju kebaya dan memakai jilbab kan, Bu?" Bunga balik bertanya sambil sedikit mencibir.
"Iya! Dan kau harus berkata sopan santun pada setiap orang yang bertemu denganmu," nasihat sang ibu lagi.
"Iya, Bunga mengerti!"
"Ingat, selain itu kau tidak boleh berlaku judes jika ada pemuda setempat menggodamu dan menjahilimu!"
"Memangnya
kenapa, Bu?" Bunga balik bertanya. Maklum, hal yang satu ini baru
didengarnya. Sewaktu datang pertama kali kampung halaman ayahnya, usia
Bunga kala itu memang baru 11 tahun. Jadi, sang ibu tidak merasa perlu
menyampaikan pesan ini.
"Jika kau berlaku judes, nanti pemuda itu akan memeletmu. Kau akan tergila-gila padanya dan minta dinikahi. Ingat itu!"
Bunga
malah tertawa lucu mendengar nasehat ibunya. "Kalau pemuda itu anak
orang kaya apa salahnya, Bu?" candanya sambil menahan tawa.
Sang ibu menarik nafas berat. "Ini serius, Bunga! Pokoknya ibu tidak ingin kau dipelet pemuda di sana!"
"Mengapa
ibu begitu cemas sih," balas Bunga. "Kita kan hidup di alam modern,
Bu. Ngapain sih kita harus percaya hal-hal semacam itu?"
Ibu Bunga
tidak menjawab, tapi hatinya sangat kesal melihat sikap putrinya yang
cantik itu. Sebagai ibu, dia merasa wajib untuk mencemaskan Bunga.
Karena anak gadisnya itu agak tomboy, maka jika digoda laki-laki dan dia
kurang berkenan, maka dia pasti akan membalasnya dengan sikap yang agak
keterlaluan. Sudah beberapa kali sang ibu mendengar Bunga membalas
lelaki yang menggoda, atau berbuat kurang ajar padanya, dengan makian.
Bahkan, Bunga berani menampar wajah laki-laki yang usil menjahilinya.
"Ibu
tidak perlu mencemaskan Bunga. Percayalah, Bunga akan mengingat nasehat
ibu dan mengindahkan semua nasehat ibu," ujar Bunga seakan coba
menenangkan perasaan ibunya. Sang ibu pun menarik nafas lega. Dia
berharap Bunga memang akan mematuhi nasehatnya....
***
Hari
sudah pukul sembilan pagi, tapi Bunga masih bermalas-malasan di tempat
tidur. Udara dingin pegunungan membuatnya malas bangkit dari ranjang.
Padahal, bagi warga kampung bangun di pagi hari merupakan suatu
keharusan. Terlebih buat anak gadis seperti bunga. Masyarakat menganggap
tabu anak gadis tidur hingga siang hari.
Sambil bermalas-malasan di
tempat tidur, Bunga mendengar neneknya menceracau karna dia belum juga
keluar dari dalam kamar. Suara Upik, saudara sepupunya, yang berusaha
membangunkan dirinya tidak membuat Bunga beranjak dari atas ranjang.
Bunga
yang bandel itu akhirnya bangun setelah sang nenek bersiap menyiram
tubuhnya dengan segayung air. Sambil tertawa-tawa dan berteriak ampun,
dia segera lari ke kamar mandi yang terletak di belakang rumah.
Hari
itu memang hari Minggu itu, hari pekan di kampung ayahnya. Upik
bermaksud mengajak Bunga pergi ke pasar. Karena itulah Bunga mengenakan
pakaian yang paling bagus. Dengan baju kebaya panjang khas Minang,
penampilan Bunga terlihat sangat feminim. Berulang kali sang nenek
memuji penampilan cucu kesayangannya ini.
Sementara itu, di rumah
nenek Bunga ada Malin, anak angkat nenek Bunga. Dia anak yatim piatu.
Usianya lima tahun lebih tua dari usia Bunga. Tanpa seorang pun tahu,
rupanya sejak pandangan pertama diam-diam Malin jatuh hati pada Bunga.
Suatu
hari, persisnya minggu kedua Bunga berada di kampung ayahnya,
terjadilah suatu peristiwa. Harinya juga hari Minggu, dan seperti Minggu
kemarin Upik juga berniat mengajak Bunga jalan-jalan ke pekan.
Karena
hari sudah siang dan Bunga seperti biasa belum bangun, tanpa menaruk
curiga nenek Bunga menyuruh Malin untuk membangunkan cucu kesayangannya
itu. Tentu saja perasaan Malin sangat girang mendapat tugas ini.
"Bunga, bangun hari sudah siang!" Malin mengingatkan sambil menggedor pintu kamar tidur Bunga yang terkunci dari dalam.
Samar-samar
Bunga mendengar suara Malin. Namun, dia hanya menggeliat. Hatinya kesal
karena tidurnya yang pulas diusik oleh Malin.
"Bunga, Upik menunggumu di ruang tamu!" Kali ini suara Malin agak keras, dan gedoran di pintu kamar juga semakin keras.
"Iya, aku bangun!" Teriak bunga, kesal.
"Lekasan, Upik sudah sedari tadi menunggumu!" Suara Malin semakin meninggi.
"Binatang
kamu! Dengar tidak sih, aku akan segera bangun?!" Emosi Bunga jadi
meledak. Bergegas dia membuka pintu kamar tidurnya. "Lin, kalau
bangunkan orang pakai otak, ya!" Bentaknya di hadapan Malin.
Pemuda
dusun itu tertegun sejenak. Wajahnya merah padam. Hatinya terasa nyeleki
sebab gadis yang diam-diam dikaguminya menyebut dirinya sebagai
binatang dan tak punya otak. Dua kata-kata itu rasanya begitu
menyakitkan. Malin menatap wajah Bunga dengan perasaan sakit hati.
"Apa lihat-lihat?!" Bentak Bunga lagi tidak senang dipelototi Malin seperti itu.
Malin
terdiam, tapi tatapannya semakin nanar. Bunga rupanya semakin kesal,
sehingga secara refleks tangan kanannya menampar wajah anak muda itu.
Malin
terdongak menerima tamparan Bunga yang kebetulan adalah gadis pemilik
Ban Hitam. Bukannya menyesal, Bunga yang tomboy malah merasa puas
hatinya. Dia tak sadar, emosinya ini telah membuatnya lupa pada nasehat
ibunya agar jangan berbuat kasar pada pemuda kampung ayahnya.
Tanpa
dinyana, perasaan sakit hati Malin pada Bunga menjadi lengkap sudah.
Seumur hidupnya baru pertama kali ini dia dihina dan dicaci maki seorang
gadis cantik. Lebih menyakitkan lagi, hal itu dilakukan oleh gadis yang
diam-diam sangat dia cintai dan kagumi.
Betapa hancur hati Malin,
seperti diiris-iris sembilu, dan seperti kaca terempas di batu. Pecah
berkeping-keping tanpa harapan untuk merangkainya kembali.
Kejadian
pagi itu, sepanjang hari terus saja muncul dalam pikirannya. Malin
benar-benar merasa sangat terhina karena disamakan dengan binatang yang
tidak punya otak. Dan tamparan itu, sungguh begitu menyakitkan. Bukan
wajahnya. Tapi hatinya yang terdalam. Ya, hati yang penuh cinta dan
kekaguman itu berubah penuh dengan kebencian.
Tiba-tiba muncul dalam
hati Malin niat untuk membalas perlakukan Bunga. ìAku akan membuatnya
bertekuk lutut dan mengemis cinta padaku.î Bisik hati Malin.
Malam
harinya, selesai shalat Isya di Masjid, Malin mendatangi rumah Datuk
Maruhun. Sang Datuk adalah dukun kampung pemilik ilmu pelet Cirik
Barandang. Usinya sudah mencapai 75 tahun. Kendati demikian, jangan
heran jika dia masih mempunyai isteri yang sebaya dengan usia cucunya,
yakni 25 tahun. Hal ini terjadi tentu saja berkat kehebatan ilmu pelet
yang dimilikinya.
Di hadapan Datuk Maruhan, Malin berterus terang
menceritakan perlakuan kasar Bunga pada dirinya. Sang Datuk merasa
sangat kasihan pada Malin. Dia menyanggupi akan membantu Malin untuk
membalaskan sakit hatinya.
"Ini ramuan Cirik Barandang. Ingat, bubuk
ini harus kau taburkan dalam gelas minumannya," pesan Datuk Maruhun
ketika memberikan bungkusan berupa kain putih kecil.
Di dalam bungkusan kain itu tentu saja terdapat serbuk yang telah dibacakan jampi-jampi ramuan Cirik Barandan.
"Terima
kasih, Datuk. Ini untuk sekedar membeli gula!" Malin memberikan uang 30
ribu rupaih pada Datuk Maruhan. Laki-laki gaek itu menerimanya dengan
senyum.
Singkat cerita, kesempatan menaburkan ramuan pelet Cirik
Barandang diperoleh Malin pada hari ketiga setelah dia menerima ramuan
sakti tersebut dari tangan Datuk Maruhan. Ketika itu Bunga sedang
membuat jus alpukat dalam gelas, dan tanpa dinyana tiba-tiba sang nenek
memanggilnya.
Tanpa rasa curiga. Bunga meninggalkan begitu saja jus
buahnya di atas meja. Kesempatan ini segera digunakan oleh Malin.
Setelah merasa aman, dia menaburkan serbuk Cirik Barandang dalam gelas
minuman itu. Setelah selesai mengerjakannya, Malin pun segera pergi.
Setelah
menaburkan ramuan Cirik Barandang, Malin sengaja tidak pulang ke rumah
orang tua angkatnya. Keluarga nenek Bunga sibuk mencarinya, tapi tidak
tahu dimana Malin berada.
Rupanya, reaksi pelet Cirik Berandang
sangat cepat sekali. Hanya dalam tempo 6 jam Bunga menjadi tidak
sadarkan diri. Aneh, dia menyebut-nyebut nama Malin, bahkan tanpa sadar
menyatakan perasaan cintanya. Perasaan rindu ingin bertemu Malin tidak
dapat ditahannya lagi.
Dengan merengek-rengek, Bunga meminta Sabirin,
ayahnya, agar mencari Malin. Sabirin merasa agak bingung, sementara
Bunga terus meminta agar ayahnya segera mencari Malin. Tapi di mana
Malin harus dicari? Anak itu seperti hilang ditelan bumi.
Sementara
itu, tidak malam tidak siang, Bunga terus bermimpi bersetebuh dengan
Malin. Bunga benar-benar merasa sangat tersiksa oleh rindunya. Hampir
sepanjang hari dia menyebut-nyebut nama Malin. Bahkan, saat matanya
terpejam tak jarang dia merintih-rintih seperti orang yang tengah
kenikmatan dalam olah seks. Sementara itu juga mulutnya tak henti
menyebut-nyebut nama Malin dengan suara mendesah penuh gairah.
Sabirin,
ibu Bunga dan neneknya akhirnya sadar sesuatu yang gaib telah terjadi
pada diri Bunga. Atas saran nenek Bunga, Sabirin akhirnya mendatangi
rumah Datuk Maruhan. Di hadapan sang Datuk, Sabirin menceritakan keadaan
anak gadis yang rupanya telah menjadi korban pelet dari pemuda bernama
Malin.
"Anak gadismu termakan ramuan Cirik Berandang!" Kata Datuk Maruhan memberikan penjelasan.
"Siapa yang memberikannya, Datuk?" Tanya Sabirin.
"Siapa lagi kalau bukan pemuda yang disebut-sebut namanya oleh anak gadismu itu."
"Jadi Malin yang melakukannya?"
Datuk
Maruhan mengangguk. "Benar, dia datang padaku dan kuberikan ramuan itu.
Dia sakit hati karena anak gadismu telah berbuat keterlaluan padanya,"
jelas Datuk Maruhan. Dia lalu menceritakan bagaimana perlakukan Bunga
terhadap Malin.
Sabirin tercenung beberapa saat lamanya. Dia menyesali perbuatan Bunga yang telah melanggar adat kesopanan itu.
"Maafkan anak gadis saya, Datuk. Saya minta dengan sangat agar Datuk sudi menyembuhkannya!" Pinta Sabirin setengah menghiba.
"Baiklah, ini serbuk penawarnya!" Kata Datuk Maruhan. Setelah dibacakan mantera serbuk penawar itu diberikan pada Sabirin.
"Terima
kasih Datuk. Ini untuk membeli tembakau," ujar Sarbini menyalami Datuk
Maruhun dengan menyelipkan uang 100 ribu. Datuk Maruhan menerimanya
dengan tersenyum gembira.
Beberapa saat setelah meminum serbuk
penawar, Bunga kembali pada keadaan semula. Dia tidak lagi
menyebut-nyebut nama Malin, bahkan dia sangat membencinya setengah mati.
Sabirin
dan seluruh keluarga nenek Bunga berusaha mencari Malin, tapi Malin
sudah pergi jauh. Malin bersumpah tidak akan menginjak rumah nenek Bunga
lagi.
***
Demikianlah kisah mistis tentang kehebatan ramuan
pelet Cirik Barandang. Keampuhan media pelet ini sangat sulit
ditandangi. Sayangnya, tak mudah mencari informasi mengenai orang tua
yang masih memiliki resep ramuan leluhur yang sangat langka ini. Sosok
seperti Datuk Maruhan seperti pada kisah ini termasuk manusia yang
sangat langka dan sulit ditemukan.
Tidak diperoleh informasi dari
bahan apa sajakah sebenarnya ramuan Cirik Barandang ini dibuat. Namun,
diperoleh sedikit petunjuk bahwa salah satu bahannya adalah (maaf) ujung
kotoran manusia, dalam hal ini si pembuat Cirik Barandang tersebut.
Semoga,
ulasan mengenai Cirik Barandang ini dapat menambah wawasan kita tentang
ilmu-ilmu gaib yang bertebaran di sekitar kita. Terutama, hal ini
penting diketahui oleh kaum Hawa, agar senantiasa berhati-hati dalam
bersikap, terutama ketika mereka berada di suatu tempat atau wilayah
yang masih kuat memegang tradisi nenek moyang. Ingat pepatah: "Di mana
bumi dipijak, di situ langit dijunjung."