Kisah mistis ini
sungguh-sungguh telah menimpa seorang sahabat saya (Penulis-Red). Demi
menjaga privacy mereka, nama-nama tokoh sengaja telah disamarkan....
Kehilangan
sesuatu yang kita cintai sungguh merupakan hal yang sangat menyakitkan.
Apalagi kehilangan seorang pujaan hati, dambaan kalbu. Sungguh, ini
kenyataan yang sangat pahit. Setidaknya, begitulah yang dialami Anita.
Sejak kehilangan Andi, hidupnya serasa tak berarti. Hari-harinya penuh
dengan kesedihan. Batinnya selalu dilanda gemuruh tak menentu yang
membuatnya kembali menangis, menangis, dan menangis.
"Sudahlah,
lupakanlah Andi, Nita! Sepanjang waktu pun kau menangis, dia tidak akan
bisa kembali bersama kita," bujuk Siska, sahabat setianya yang selalu
mencoba menghibur dan memberi harapan-harapan baru.
Siska boleh saja
bicara seperti itu, sebab dia memang tidak merasakan apa yang dialami
oleh Anita. Kematian Andi baginya merupakan kenyataan pahit yang sangat
sulit dipercaya. Bagaimana mungkin dia bisa memperacayainya. Hanya
sekitar satu jam sebelum malaikat maut merenggut nyawa Andi, Anita baru
saja bersamannya. Bahkan mereka baru saja melakukan hal yang sama sekali
terlarang bagi keduanya.
Ya, malam minggu itu sejak sore hingga
malam hari mereka menikmatinya berdua saja. Mulanya mereka memadu kasih
di tepi pantai sambil membicarakan tentang masa depan yang akan mereka
jalani bersama. Entah setan mana yang akhirnya menuntun mereka melangkah
ke kamar sebuah losmen sederhana. Di sanalah cinta mereka saling
berlabuh. Andi memacu hasrat cintanya, dan Anita hanya bisa mendesah dan
menjerit kecil dalam kepasrahan sorgawi. Lalu segalanya berubah begitu
cepat. Kenikmatan itu sepertinya hanya sesaat saja mereka reguk. Di saat
peluh belum lagi mengering, mereka telah terjerambab ke dalam jurang
penyesalan. Anita hanya bisa menangisi sesuatu yang hilang dari dirinya.
Miliknya yang paling berharga.
"Maafkan aku, Nita. Tidak seharusnya kita melakukan perbuatan ini, Sayang!" bisik Andi dengan mata nanar dan wajah pucat.
Anita
menggeleng pelan sambil menggigit bibirnya yang indah. Dia pun coba
membohongi dirinya, "Tidak, Sayang! Aku menangis begini justeru karena
aku bahagia."
Mereka pun berpelukan mesra. Dan mereka mencoba untuk tidak menyesalinya.
Malam
itu mereka pergi meninggalkan kamar losmen dengan hati yang mencoba
sungguh-sungguh bahagia dengan kenistaan yang telah mereka lakukan.
Dengan pelukan erat tangan Anita yang duduk di jok belakang, Andi memacu
Kawasaki Ninja-nya menembus kegelapan malam. Andi yang senang ngebut
tentu tak pernah mau kompromi dengan sepeda motornya. Dia memacu
kendaraan itu nyaris seperti lesatan anak panah dari busurnya. Begitu
cepat, hingga beberapa kali Anita harus mencubit pinggangnya agar sang
kekasih mengurangi laju kendaraannya. Tapi Andi hanya mau mengerti
sedikit saja. Hanya sesekali dia mengurangi laju sepeda motor ber-CC
besar itu. Setelah itu dia kembali ngebut, hingga hanya sepuluh menit
kemudian mereka tiba di rumah Anita.
Waktu itu jarum jam telah
menunjukkan pukul 24 WIB lewat beberapa menit. Karena malam sudah cukup
larut, Andi terpaksa tidak mampir lagi di rumah Anita. Setelah mengantar
gadis kelas 3 SMA itu sampai depan pintu rumahnya, Andi pun segera
berpamitan. Anita pun tidak memaksanya untuk singgah karena malam memang
sudah hampir larut.
"Hati-hati, jangan ngebut ya, Sayang!" pesan
Anita. Aneh, tak seperti biasanya dia berpesan seperti ini, sebab dia
telah tahu hobi berat pacarnya itu. Dipesan seribu kali pun Andi pasti
akan tetap ngebut.
Entah mengapa, Anita mengucapkan pesan tersebut
malam itu. Mungkin hal ini semata-mata karena didorong oleh nalurinya
yang memberi tahu bahwa akan terjadi sesuatu pada diri Andi, pacarnya.
Dan kenyataannya memang seperti itulah. Satu jam setelah kepergian Andi,
Anita yang sedang melamunkan sensasi mesra yang baru saja dilakukannya
bersama Andi, tiba-tiba dikejutkan oleh bunyi ponselnya. Dan
keterkejutannya kian sempurna ketika dia mendengar kabar dari seseorang
nun jauh di sana.
"Andi baru saja tabrakan. Kalau sempat, lekaslah kau ke rumah sakit, Nita!"
Demikianlah kabar yang membuat Anita sekali lagi harus menumpahkan air matanya....
***
Anita
jatuh tak sadarkan diri ketika malam itu tiba di rumah sakit dan
mendapat berita bahwa Andi telah menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Dia sulit percaya dengan kenyataan yang sepertinya begitu cepat terjadi
ini.
Tapi, memang begitulah yang telah telah terjadi. Andi harus mati
karena kecerobohannya sendiri. Malam itu di jalanan dia mendapatkan
musuh pengendara sepeda motor yang lain, yang mengajaknya balapan. Bagi
Andi, pantang didahului oleh siapa pun ketika sedang ngebut. Namun
sepeda motor itu tiba-tiba saja menyalipnya. Andi tentu saja panas
hatinya. Dia segera mengejar sepeda motor itu. Kejar-kejaran pun
terjadi. Dengan sepeda motor yang ber-CC besar Andi tentu saja berhasil
menyalip. Namun dia rupanya lengah. Saat jalanan menikung, di sana ada
sebuah mesin perata jalan yang tengah terparkir. Andi tak menduga sama
sekali. Dia terlambat mengantispasi. Dengan kecepatan 150 Km. perjam
sepeda motornya menghantam roda besi mesin itu. Andi terpental beberapa
puluh meter. Kawasaki Ninja-nya ringsek dan patah menjadi dua bagian.
Sementara itu tubuh Andi yang hanya terbuat dari tulang dan daging itu
mengalami keadaan yang lebih parah. Tubuh itu remuk dengan kepala pecah.
Andi pun meninggal di tempat kejadian.
Betapa tragis kematian Andi.
Kenyataan inilah yang sulit diterima oleh Anita. Namun sesungguhnya
bukan semata kepergian Andi yang tragis itu yang terus membuatnya
bersedih. Kesedihan Anita juga ditambahi oleh apa yang telah dilakukan
oleh Andi malam itu atas dirinya. Ya, tiba-tiba saja Anita menganggap
betapa tidak adilnya kehidupan ini. Mengapa kehidupan harus berlalu dari
diri Andi ketika cowok itu telah menanamkan noda di tubuhnya?
Sesungguhnya
hal itulah yang membuat air mata Anita selalu mengalir deras, sehingga
Siska yang paling dekat dengannya pun sulit untuk menghiburnya dari
kesedihan.
"Sampai kapan kau akan terus menangisi kepergian Andi,
Nita? Relakanlah dia berpulang ke sisiNya. Jangan bebani dia dengan
tangismu!" bujuk Siska seperti seorang ibu yang berusaha meminumkan obat
kepada anaknya yang masih balita.
Anita hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya sambil berusaha menghentikan tangisnya. Tak ada kata-kata yang
keluar dari mulutnya, kendati sebenarnya dia sangat ingin menceritakan
hal yang sebenarnya kepada Siska. Namun dia takut Siska bukannya
bersimpati, apalagi memberikan jalan keluar untuk dirinya, malahan Siska
akan membenci dan mencemoohnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan Siska
yang alim itu akan berubah benci dan menganggap dirinya sebagai gadis
murahan.
***
Karena pukulan batin yang teramat berat, Anita
yang selama ini dikenal sebagai primadona di SMA-nya itu akhirnya
mengalami banyak perubahan. Hari-harinya tak lagi ceria. Kecantikannya
pun mulai pudar. Lihatlah, rambutnya yang dulu indah tergerai kini
berubah kusut masai tak terawat lagi. Kulitnya yang halus pun kini mulai
tumbuh bintik-bintik merah dan kehitaman karena dia sudah malas mandi.
Sehari-hari kerjanya hanya mengurung diri di dalam kamar. Dia bahkan
sudah melupakan sekolahnya.
Pada malam 40 hari kematian Andi, Anita tiba-tiba berteriak-teriak histeris dan memohon agar Andi membawanya pergi bersamanya.
"Bawalah aku, Andi…! Aku ikut…aku ikut, Sayang!"
Begitulah
kata-kata yang diucapkan Anita dalam rintih, tangis dan jeritannya.
Ayah dan ibunya berusaha menenangkannya, termasuk juga kakak dan
adiknya, serta pembantu yang bekerja di rumah itu.
"Sadarkah, Nak! Lupakanlah, Andi. Relakanlah dia pergi!" bujuk ayahnya.
Keluarga
itu berusaha menenangkan Anita tidak hanya dengan bujuk rayu. Mereka
juga berusaha menenangkan dengan kekuatan tenaga sebab Anita selalu
memberontak dan ingin berlari menyusul Andi.
"Andi aku ikut! Tunggu aku, Andi!" pekik Anita berulang-ulang.
Apa
yang sesungguhnya terjadi? Malam itu, tanpa seorang pun tahu sebenarnya
Anita sungguh-sungguh merasakan kehadiran Andi. Cowok itu datang
kepadanya dengan pakaian serba putih. Dan dia selalu melambai-lambaikan
tangannya, mengajak Anita pergi bersamanya. Karena itulah kemudian Anita
memanggil-manggil Andi, hingga akhirnya mencemaskan seluruh penghuni
rumah itu.
Setelah lepas 40 hari kematian Andi, Anita memang selalu
merasakan kehadiran Andi di dalam kamarnya. Bayangan lelaki itu kerap
muncul dengan pakaian serba putihnya, sehingga Andi nampak sangat tampan
dan mempesona. Namun di waktu lain Andi justeru muncul dalam wujud yang
menyeramkan. Ya, terkadang dia hadir dalam bayangan sosok tubuh yang
hancur dan kepala remuk, sehingga tampaklah cairan otaknya yang meleleh.
Dalam
kenyataan lain, akibat melihat penampakan-penampakan seperti itu Anita
kerap merengek-rengek minta ikut bersama Andi. Namun di saat yang lain
Anita pun kerap menjerit-jerit ketakutan. Keluarganya pun hampir setiap
malam selalu sibuk menenangkannya. Mereka juga telah mendatang dokter,
psikiater, bahkan dukun untuk coba membujuk Anita agar melupakan Andi.
Namun semuanya seperti sia-sia. Bahkan, paranomal yang diminta tolong
mengatakan bahwa Anita takkan pernah bisa terlepas dari bayangan arwah
Andi. Alasannya? "Mereka satu sama lain telah terikat pada sumpah
sehidup semati," kata si paranormal.
Memang, malam itu selepas
melakukukan hubungan yang sangat terlarang itu, mereka telah
mengikrarkan sumpah untuk saling mencinta sehidup semati. Sumpah ini
ternyata telah menjadi semacam ikatan gaib antara Anita dan Andi,
sehingga setelah mati pun Andi selalu mendatangi Anita, di saat malam
dan di saat gadis itu sunyi dalam kesendirian.
Arwah Andi terus
mengunjungi Anita, hingga akhirnya Anita pun tak kuasa menahan
kerinduan. Dia menderita sakit. Dalam sakitnya dia selalu
menyebut-nyebut nama Andi. Seminggu setelah terbaring sakit, di suatu
malam gelap berselimut hujan, Anita menghembuskan nafas terakhirnya.
Semua orang menangisi kepergiannya. Namun, Anita telah pergi bersama
cinta dan dan kerinduannya. Juga bersama dosa yang hitam.