Konon, sihir ini merupakan peninggalan nenek moyang Bangsa India.
Seseorang yang akan mewarisi sihir ular rambut, wajib melakukan sebentuk
ritual pemujaan di rumah nenek moyangnya. Biasanya yang menjadi pewaris
adalah keturunan yang berkelamin perempuan yang sudah bersuami….
Konon
sihir sering ditumpangi atau dibantu oleh energi setan, sebagaimana
yang diamalkan oleh mereka yang menguasai ilmu sihir warisan nenek
moyang tempo dulu. Korban sihir dapat disembuhkan dengan ruqyah, doa,
serta ramuan obat dari berjenis tumbuh-tumbuhan.
Kisah
berikut ini masih ada hubungannya dengan kekuatan sihir. Karena alasan
tertentu, si penutur kisah meminta agar jatidirinya disembunyikan.
Berikut kisah lengkapnya…:
Saat itu, aku telah menikah dengan seorang
gadis desa dari suku Mandaliling, dan menempati sebuah rumah sebagai
hadiah perkawinan dari ayah mertua. Lokasi tempat kediaman kami ini
letaknya agak terpencil dari rumah tetangga. Namun, rumah yang kami
tempati cukup besar, asri dan bersih serta laik huni.
Air sungai
yang letaknya tak jauh dari rumah kami sangat jernih, sehingga selain
untuk mandi dan mencuci pakaian, airnya cukup laik untuk diminum. Perlu
kuungkapkan bahwa desa tempat kami berdomisili dikenal sebagai daerah
yang sudah kondang keangkerannya.
Si Piso Dainang, demikian nama
desa itu. Letaknya lebih kurang 20 km dari kota Sipirok. Di
perkampungan ini masih banyak ditemukan fenomena yang aneh-aneh. bahkan
hingga kini dikenal merupakan daerah terlarang bagi siapa saja yang
datang atau berkunjung dengan membawa niat yang tidak baik. Jika
ketentuan ini dilanggar, maka nasibnya tidak akan beruntung.
Selain
itu, ada sebuah pantangan yang dipegang teguh oleh warganya: Jangan
sekali-kali berani mencoba mengambil barang orang tanpa hak, atau
mencuri di kampung ini. Akibatnya cukup fatal. Bisa-bisa si pelaku akan
tersesat, tidak tahu jalan pulang dan akan mengalami hal-hal yang sangat
menakutkan.
Pantangan lainnnya yang perlu diketahui bagi pendatang,
adalah tidak boleh
bersiul pada malam hari, juga dilarang meludah di
sembarang tempat, dan mengorek-ngorek kerak nasi. Yang paling pantang
adalah menjemur celana dalam perempuan yang sedang haid di luar rumah
atau dibiarkan tercampak di kamar mandi.
Demikianlah sekilas tentang
berbagai pantangan di desan tempat aku dan isteriku tinggal. Walau
kelihatannya main-main, namun tak seorang pun berani melanggar
pantangan-pantangan tersebut.
Entah berhubungan atau tidak dengan berbagai pantangan tersebut, kisah menyeramkan ini akhirnya kualami….
Masih
kuingat, hari itu bertepatan dengan Selasa Kliwon. Isteriku, sebut saja
namanya Boru Lubis, baru pulang dari rumah sakit di kota Sipirok.
Wanita yang sangat kucintai ini sempat dirawat inap akibat keguguran
pada kelahirannya yang ketiga. Karena masih mengalami pendarahan, dia
kulihat sering keluar masuk kamar mandi yang terletak di pinggir sungai
samping rumah kami. Kamar mandi ini berdinding bilik bambu tanpa atap di
atasnya.
Beberapa hari setelah kepulangan isteriku dari rumah sakit,
malamnya aku mendapat giliran ronda. Aku sedang asyik ngobrol dengan
beberapa petugas jaga lainnya, ketika malam itu terlihat dari arah
puncak bukit segumpal cahaya merah seukuran ikatan sapu lidi. Aku
tertarik melihat penampakan ini karena cahaya aneh itu meluncur deras ke
arah rumahku. Sepertinya, cahaya itu turun dan masuk ke dalam sumur.
Melihat
keanehan ini, menyebabkan hatiku tidak tenang dan agak cemas. Jantungku
terdegup kencang sebab rasa khawatir menyelinap dalam dada begitu
menyadari bahwa saat itu aku meninggalkan isteriku yang belum pulih
kesehatannya di rumah bersama dua orang anak-anak kami yang masih kecil.
Untuk
menyelidiki fenomena aneh tersebut, aku bersama dua orang petugas ronda
bergegas menuju cahaya tadi menghilang. Begitu tiba di sana, alangkah
kagetnya kami menyaksikan ramainya ular-ular seukuran belut sawah. Yang
membuat kami bnyaris terkencing-kencing, ternyata gerombolan ular ini
bertaut pada sepotong kepala perempuan. Ular-ular yang panjangnya kurang
lebih 70 cm kemudian berkeliaran di seputar sumur. Mereka saling
berebut merubungi celana dalam isteriku yang siang tadi mungkin lupa
dicci akibat keletihan.
Cukup lama aku dan dua rekanku melihat
keanehan ini. Kami terkesima seperti laiknya orang terkena sihir. Hawa
mistis memang menyungkup suasana malam itu. Kami masih terpana ketika
ular-ular itu lenyap begitu saja meninggalkan celana dalam isteriku yang
penuh dengan lubang bekas gigitan mereka.
Aku baru sadar dari
ketersimaanku, ketika terdengar suara isteriku menjerit-jerit seperti
orang menahan kesakitan. Bersamaan dengan itu, para tetangga menjadi
terbangun dan mereka segera berhamburan menuju rumah kami.
Saat
kulihat, isteriku pingsan. Namun yang membikin seram, pada bagian
sekitar perutnya yang terbuka, tumbuh rambut-rambut aneh dan menjijikan
dalam bentuk jalinan berwujud ular-ular kecil sebesar kepala lidi yang
kepalanya bergerak kian kemari. Pemandangan ini amat mirip seperti yang
kulihat di dekat sumur.
Tak ayal lagi, para tetangga yang hadir
tampak ketakutan menyaksikannya. Seorang demi seorang, mereka kemudia
mundur meninggalkan rumah kami. Yang bertahan, hanya dua lelaki tua,
namun mereka nampak kebingungan juga menyaksikan fenomena aneh sekaligus
menyeramkan ini.
Sementara itu, ular-ular rambut itu semakin banyak
bermunculan, sementara isteriku terus merintih-rintih kesakitan. Ngeri
aku memandangnya, dan tidak tahu harus berbuat apa.
Sayup-sayup
kudengan adzan Subuh. Anehnya, bersamaan dengan itu, ular-ular mini di
perut isteriku, kemudian menghilang dengan meninggalkan guratan-guratan
kemerahan seperti bilur. Perempuan yang sangat kucintai itu pun tertidur
karena lelah menahan sakit.
Ketika matahari menampakkan wajahnya di
ufuk timur, isteriku mulai tersadar. Namun, dia nampaknya seperti orang
bodoh dan tidak bisa di ajak bicara. Seharian perempuan yang bernama
Boru Lubis ini hanya duduk termenung saja. Ketika kucoba menegurnya, dia
hanya diam. Paling-paling memandangku dengan sorot mata kosong. Entah
apa yang terjadi dengannya?
Malam berikutnya, menjelang tengah malam,
Boru Lubis kembali mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya.
Kucoba menenangkannya ketika kulihat ular-ular rambut itu muncul lagi
dari dalam perutnya. Dengan keberanian yang kupaksakan, nekad aku
mencabut ular-ular seekor demi seekor. Isteriku menjerit menahan sakit,
bersamaan dengan tercabutnya ular-ular itu dari perutnya.
Tetapi…usaha
yang nekad ini percuma. Aneh sekali! Begitu tercabut, maka ular-ular
itu muncul lagi, seolah berurat akan di dalam perut isteriku.
Tetangga yang datang hanya melongo, tanpa mampu berbuat apa-apa. Mereka hanya merasa prihatin.
Penyakit
yang dialami isteriku benar-benar aneh dan mengerikan. Datang pada
malam telah larut, tapi segera menghilang ketika pagi tiba. Namun, pada
siang hari isteriku tidak bisa diajak ngomong sepatah pun, seperti orang
bisu.
Melihat keanehan ini, terbersit dalam benakku, tidak mustahil
ibu dari anak-anakku ini telah terkena guna-guna atau sihir. Untuk
mastikan dugaan ini, aku segera melaporkan kasus ini ke ayah mertuaku di
kota Sipirok. Ayah rupanya sependapat dengan diriku, bahwa anak
perempuannya telah terserang ilmu gaib sejenis sihir. Beliau kemudian
berusaha mendatangi orang pintar yang menguasai ilmu, bahkan hingga ke
Tapanuli Utara. Namun, tidak seorangpun yang mampu menyembuhkan
isteriku.
Sementara itu, hampir sebulan setiap malam Boru Lubis
mengerang kesakitan pada saat ular-ular itu bermunculan. Tubuhnya mulai
kurus, karena sejak kejadian pertama, dia sudah tidak berselera makan
dan minum.
Upaya terakhir, kuputuskan memboyongnya ke rumah sakit di
kota Sipirok. Dan hari itu aku sudah bersiap-siap berangkat mencari
kendaraan, ketika pintu rumahku terdengar diketuk seseorang dari luar.
Aku
bergegas membukanya. Di ambang pintu kulihat berdiri seorang lelaki tua
berwajah hitam legam mengenakan jubah putih yang kontras sekali dengan
rona wajah dan kulitnya.
Lelaki tua yang tidak kukenal ini, sesat
mengumbar senyumnya sambil memperkenalkan dirinya. Dia mengaku seorang
pengembara yang aslinya berasal dari daerah Benggali, India.
“Nama
saya Mahipal Ranjit Singh!” ujarnya sembari mengulurkan tangan kea
rahku, untuk mengajak bersalaman. Dia juga mengatakan, bahwa dirinya
merasa terpanggil singgah, karena mengetahui di rumah kami ada orang
yang sedang sakit.
“Tahu dari mana kalau isteri saya sedang sakit, Tuan?” tanyaku sedikit curiga.
Lelaki
tua yang mengaku bernama Mahipal Ranjit Singh ini hanya mengulum senyum
tanpa menjawab. Namun, sebagai tuan rumah yang baik, aku masih ingin
bersikap santun. Aku menyilahkannya masuk dan duduk di kursi tamu.
Setelah
duduk, degera saja dia bercerita tentang berbagai penyakit yang
disebabkan oleh sihir. Dia juga memastikan bahwa penyakit isteriku
datang dari sihir ular rambut yang ganas.
Aku hanya heran, karena
tamu ini belum melihat kondisi isteriku yang masih terbaring lemah dalam
kamar tidur, namun sepertinya sudah mengetahui bagaimana keadaannya.
“Boleh saya menjenguk si sakit?” tanyanya dengan nada santun. “Kalau memungkinkan, saya ingin membantu kesembuhannya.”
Melihat
aku mengangguk-angguk, dia langsung berdiri dan kuantar masuk ke kamar
tidur kami. Hanya sebentar saja dia memperhatikan isteriku, kemudian
mengajakku keluar kembali dan duduk di kursi tamu.
“Dugaan saya
benar. Isterimu terkena sihir ular rambut yang ganas. Dan kalau tidak
ditolong dengan cepat akan menyebabkan kematian,” tuturnya pula.
Untuk
meyakinkan diriku, tamua yang sering kupanggil “Tuan” ini kemudian
berkisah tentang sejarah keberadaan sihir ular rambut. Konon, sihir itu
merupakan peninggalan nenek moyang bangsa India. Agaknya,
saudara-saudara dari negeri Hindustan yang datang ke Indonesia sempat
mewariskan kepada warga setempat setelah dimodifikasi sedemikian rupa,
sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Menurutnya, sihir ular rambut
yang asli, dikenal sebagai pusaka keturunan keluarga. Seseorang yang
akan mewarisi sihir ular rambut, wajib melakukan sebentuk ritual
pemujaan di rumah nenek moyangnya yang berusia lanjut. Biasanya yang
menjadi pewaris adalah keturunan yang berkelamin perempuan yang sudah
bersuami.
Rumah nenek moyang biasanya terbuat dari dinding yang
dilumuri lumpur dan tanpa jendela, kecuali sebuah pintu yang tidak boleh
dibuka lama-lama ketika matahari bersinar terang. Saat itu, sebuah
lampu minyak segera dinyalakan dekat pedupaan termasuk mengisi air minum
dalam tempayan.
Manakala mereka yang akan mewarisi pusaka kuno ini
memasuki rumah nenek moyang tersebut maka harus merangkak menggunakan
kedua lutut dan siku-siku tangan. Tak bleh ngomong sepatah katapun.
Semua dilakukan melalui isyarat. Begitu berada di dalamnya, mereka yang
akan mewarisi sihir ular, harus melepaskan semua pakaian yang melekat di
tubuhnya, lalu duduk bersila.
Setelah itu, maju ke depan sambil
terus melakukan ritual pemujaan tanpa berbicara apapun, kecuali desah
nafas belaka. Melalui pedupaan, kemudian menyeruak asap setanggi. Dan di
depan mereka terletak lampu minyak yang menerangi ruangan secara
samar-samar. Kemudian ritual pemujaan dilanjutkan dengan lebih khusyuk
lagi sambil tegak berdiri dan tubuh mereka yang polos tanpa busana
kemudian diarahkan menghadap lampu minyak tanpa bergerak-gerak.
Entah
dari mana datangnya, seorang bertelanjang dada muncul dan mengangkat
pedupaan. Sosok yang ini kemudian menghirup asap pedupaan dan
menghembuskan asap setanggi itu keseluruh tubuh mereka yang mengikuti
ritual.
Setelah itu, mereka diperintahkan duduk kembali di depan
sosok telanjang dada. Para pelaku ritual kemudian bersedekap tangan di
dada masing-masing. Mata mereka konsentrasi memandang ujung jari yang
didekapkan di dada tadi.
Pemujaan dengan cara bersedekap tangan ini,
dilakukan terus-menerus tanpa melakukan gerakan berupa apapun. Maka,
tidak lama kemudian, nampak percikan api menimbulkan kilatan-kilatan
sinar terlontar dari lampu minyak yang menyinari tubuh-tubuh mereka. Dan
pada saat bersamaan, seluruh helai rambut di kepala mereka akan
berdiri. Rambut yang berdiri tersebut kemudian bergerak dan memilin
secara otomatis sehingga membentuk wujud ular mini.
Ritual ini harus
dilakukan tujuh malam berturut-turut. Pada malam ketujuh, pelaku ritual
harus menyediakan seekor hewan ternak, biasanya yang dipilih kambing
untuk dijadikan korban sihir ular rambut. Kambing itu diikatkan didepan
lampu minyak. Jarak antara kambing itu dengan pelaku yang melakukan
pemujaan kira-kira 5 meter.
Tapi, khusus pada pemujaan malam terakhir
itu, sosok telanjang dada meniupkan nafiri kedalam tubuh pelaku ritual
melalui lobang tubuh mereka, seperti lobang telinga, pusar, aurat dan
naus. Begitu energi nafiri beraktivitas dalam diri pelaku ritual,
seluruh rambut mereka berdiri dan terayun-ayun pada saat berjalin-jalin
berwujud ular-ular mini.
Fenomena itu yang terjadi pada malam ke
tujuh, ketika ular-ular rambut yang berasal dari jalinan rambut dikepala
pelaku ritual, tiba-tiba melesat bagaikan anak panah yang terlepas dari
busurnya. Menikam atau menusuk tubuh kambing yang sengaja dijadikan
sebagai uji coba. Kambing yang dikorbankan, sebelumnya nampak gelisah
ingin dilepaskan dari tali yang mengikatnya, menjadi terdiam tak
bergerak.
Dan dalam hitungan detik, kemudian mati oleh bisa ular rambut dalam kondisi kaku.
“Demikian dahsyatnya pusaka karuhun sihir ular rambut yang asli tersebut,” kata Mahipal Ranjit Singh menutup kisahnya.
Aku
yang sedari tadi menyimak cerita tamuku ini hanya diam, tidak mampu
berkomentar sepatah katapun selain manggut-manggut saja.
“Seperti
saya ungkapkan tadi, bahwa sihir ular rambut yang mendatangkan penyakit
pada isterimu, bukan yang asli dari Hindustan, melainkan sudah
dimodifikasi,” tambah Mahipal Ranjit Singh. “Jadi, masih ada harapan
untuk disembuhkan. Meskipun sudah tiba pada puncak krisis,” tandasnya
pula.
Tanpa banyak tanya, aku segera menyiapkan apa yang dimintanya.
Baskom yang berisi air bersih diletakkan lelaki tua itu didekat
isteriku. Kudengar mulutnya melafadzkan beberapa ayat Al-Qur’an,
kemudian dilanjutkan dengan mantera-mantera kuno yang sulit kumengerti.
Usai
itu, Mahipal Ranjit Singh mengambil sesuatu dari balik jubah putihnya.
Rupanya sebentuk piring porselin kecil antik yang kemudian dicelupkannya
ke dalam air di baskom.
“Sebaiknya kamu buka baju isterimu,”
pintanya kemudian dengan nada sopan dan berwibawa. Meski agak ragu-ragu,
aku mematuhi arahannya demi kesembuhan isteri tercinta.
Begitu
pakaian Boru Lubis tersingkap, Mahipal Ranjit Singh segera
menelungkupkan piring antik tadi di dada isteriku. Apa yang terjadi?
Piring
porselin ini langsung lengket ke dada isteriku. Bagaikan terhisap oleh
energi magnet yang teramat kuat. Sejurus kemudian terdengar bunyi
dentingan piring bersamaan mengendurnya tarikan magnet gaib tadi.
“Kekuatan
sihir ular rambut ini, cukup lumayan juga. Meskipun sudah dimodifikasi
oleh mereka yang mewariskannya,” desah Mahipal Ranjit Singh sambil
membalikkan piring itu.
Aneh, dibalik piring itu nampak lengekt
ular-ular rambut. Puluhan ekor jumlahnya, berwarna hitam legam dan
wujudnya mirip cacing-cacing tanah. Sementara besarnya tak lebih dari
kepala lidi dengan panjang sekitar 30 sentimeter.
Tak lama kemudian
isteriku terbangun dari tidurnya. Aneh, dia sudah mampu berkomunikasi
dengan baik meskipun dengan suara masih terbata-bata.
“Apa yang telah terjadi denganku, Bang?” tanyanya, kebingungan. Aku tersenyum haru.
“Sudah hampir sebulan kamu mengalami penyakit aneh,” jelasku sambil menahan air mata.
Boru
Lubis tertegun cukup lama sambil memperhatikan tubuhnya yang kurus
kering. Mungkin ingin memastikan apa yang kukatakan barusan. Kami saling
berpelukan dan bertangisan, sehingga aku sendiri lupa pada Mahipal
Ranjit Singh, tamu sekaligus dewa penolong kesembuhan isteriku itu.
Kemana
perginya lelaki itu? Dia seperti menghilang tanpa jejak. Setelah
kususul keluar rumah, aku kecewa dan menyesal karena belum sempat
mengucapkan terima kasih padanya.
Namun, di ruang tamu kutemukan
selembar kertas yang bertuliskan: “Maaf, saya berlalu tanpa pamit. Jadi
saya tidak perlu diberi apapun, bahkan ucapan terima kasih sekalipun.
Bersyukurlah dan berterima kasihlah kalian pada Allah SWT. Karena telah
menggerakkan saya untuk singgah di rumah kalian yang memang butuh
pertolongan. Yang perlu kalian ketahui, bahwa penyakit yang ditimbulkan
oleh sihir ular rambut tersebut, dilakukan oleh orang iseng yang ingin
mengadakan uji coba keampuhan ilmu yang dimilikinya. Jadi bukan karena
ada unsur dendam. Selamat tinggal, dari saya sang pengembara.”
Cukup
lama aku tertegun setelah membaca kalimat itu. Siapa sebenarnya lelaki
tua yang mengaku sebagai pengembara itu? Apakah lelaki tua yang mengaku
bernama Mahipal Ranjit Singh itu merupakan sosok malaikat atau jin
muslim yang menyamar? Pertanyaan tersebut hingga kini belum pernah
kuperoleh jawabannya.