KALIGESING adalah sebuah daerah di Kabupaten Purworejo Jawa Tengah
dengan penghasilan utama penduduk dari buah durian. Hampir di setiap
pekarangan warga terdapat pohon durian. Daerah ini sangat terkenal, di
samping penghasil buah tersebut, salah satu pahlawan yaitu WR Supratman
yang terkenal dengan ciptaan lagu Indonesia Raya berasal dari daerah
ini.
Melihat kondisi daerah yang berbukitan, memang Kaligesing kaya dengan
hasil buah yang beraneka ragam, beberapa waktu lalu koran ini bertemu
dengan salah satu warga Kaligesing yang bernama Agus di bandara
Sepinggan Balikpapan. Karena sudah saling kenal terlibat perbincangan
akrab.
Kisah ini terjadi sekitar tahun 1991, dimana penulis dan Agus, pada
waktu itu menjadi pemuda desa dan ditugaskan jaga malam yang lebih
dikenal dengan ronda. Karena desa kami belum punya pos ronda, untuk
sementara tempat menggunakan balai desa sebagai tempat berkumpul.
Biasanya dalam satu malam ada sekitar 12 orang yang ronda dan ini dibuat
secara bergilir dengan warga yang lain.
Kami sangat akrab, maklumlah kami hidup di desa dengan segala sesuatu
serba minim, akan tetapi semangat kebersamaan begitu terasa di daerah
ini. Pada waktu itu, kami mengalami kejadian yang aneh dan tak masuk
akal, bermula ketika kami mendapat jatah ronda malam, biasanya kami
harus sudah berkumpul sekitar pulul 22.00 dan berakhir pukul 05.00. Kami
pukul tersebut sudah ada di balai desa dan setiap dua jam sekali, kami
keliling desa melihat situasi keadaan desa, jangan sampai terjadi
pencurian atau sesuatu hal yang tak diinginkan.
Hari mulai beranjak malam, kami baru saja pulang dari berkeliling
desa, rasa lelah dan kantuk membuat kami mencoba tidur sebentar dengan
beralas tikar yang biasa digunakan para peronda. Tiba-tiba dari kamar
gudang yang ada di balai desa terdengar suara "klak, klak!," sangat
keras. "Apaan itu Gus," tanyaku pada temanku itu. "Tak tahu ya, mungkin
tikus, ayo kita lihat aja," ajak Agus padaku. Kami pun berusaha mencari
sumber suara dengan cara mendekati kamar gudang, untunglah kamar tidak
dikunci, pelan-pelan pintu kami buka.
Bolam 10 watt menerangi ruangan gudang dan yang kami lihat sungguh
sangat mengejutkan, keranda tempat membawa mayat bergerak sendiri,
seperti ada sesuatu yang akan masuk ke dalamnya dan payung perlengkapan
jenazah terbuka dengan sendirinya lalu menutup lagi dan terbuka lagi
secara berulang kali. Memang tidak masuk akal, tidak ada orang,
alat-alat perlengkapan pengangkut jenazah dapat bergerak-gerak. Kami
saling berpandangan dan berakhir dengan berlari menjauh dari kamar
gudang tersebut.
Malam itu kami tidak berani lagi ada di balai desa, masih takut
dengan kejadian yang baru saja kami lihat. Setelah pagi harinya barulah
tersiar kabar, bahwa salah satu warga desa ada yang meninggal. Rasa
penasaran dan ingin tahu, kami mencoba mendatangi rumah Ketua RT.
"Memang benar, setiap ada orang desa yang akan meninggal, biasanya
sebelumnya ditandai dengan payung dan keranda yang kita simpan di balai
desa itu begerak sendiri," kata Harjo, Ketua RT setempat.
Memang di desa kami dulunya alat perlengkapan seperti keranda,
payung, kain mori dan yang lainnya disimpan di balai desa dan ini sudah
menjadi kebiasaan desa kami.
Pada waktu aku tanyakan pada Agus, apakah alat-alat tersebut masih
disimpan di balai desa sampai sekarang. "Sudah dipindah di KUD dan
sekarang ronda tetap diadakan, akan tetapi sudah di pos yang baru
dibangun secara swadaya masyarakat desa," jawab Agus.
Hampir dua jam kami berbagi ceritera dan saling bernostalgia masa
lalu. Pesawat telah menunggu Agus untuk kembali ke Kaligesing Purworejo